Wanua: Perbedaan antara revisi
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: kemungkinan spam pranala kemungkinan spam |
perbaikan ketikan |
||
Baris 52: | Baris 52: | ||
1. Masinambow, Dr. EKM. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (1995) "Minahasa: Wanua dan Kawanua, Sebuah Pengantar." 5 hal. Abstract PDF. Jurnal Antropologi Indonesia No. 51 (1995). http://journal.ui.ac.id/index.php/jai/article/view/3304 |
1. Masinambow, Dr. EKM. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (1995) "Minahasa: Wanua dan Kawanua, Sebuah Pengantar." 5 hal. Abstract PDF. Jurnal Antropologi Indonesia No. 51 (1995). http://journal.ui.ac.id/index.php/jai/article/view/3304 |
||
2.Supit, Bert. (1986). Minahasa : dari amanat Watu Pinawetengan sampai Gelora Minawanua. 226 hal. Jakarta, |
2. Supit, Bert. (1986). Minahasa : dari amanat Watu Pinawetengan sampai Gelora Minawanua. 226 hal. Jakarta, Penerbit Sinar Harapan. |
||
{{budaya-stub}} |
{{budaya-stub}} |
Revisi per 23 Januari 2022 20.39
Dalam bahasa Minahasa Kawanua sering di artikan sebagai penduduk negeri atau wanua-wanua yang bersatu atau "Mina-Esa" (Orang Minahasa). Kata Kawanua telah diyakini berasal dari kata Wanua.
Asal Usul
Wanua dalam bahasa Melayu Tua (Proto Melayu), diartikan sebagai wilayah pemukiman. Mungkin karena beberapa ribu tahun yang lalu, bangsa Melayu tua telah tersebar di seluruh wilayah Asia Tenggara hingga ke kepulauan pasifik. Setelah mengalami perkembangan sejarah yang cukup panjang, maka pengertian kata Wanua juga mengalami perkembangan. Tadinya kata Wanua diartikan sebagai wilayah pemukiman, kini berkembang menjadi desa, negeri bahkan dapat diartikan sebagai negara. Sementara dalam bahasa Minahasa, kata Wanua diartikan sebagai negeri atau desa.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa istilah Wanua - yang diartikan sebagai tempat pemukiman - sudah digunakan sejak orang Minahasa masih merupakan satu taranak ketika berkediaman di pegunungan Wulur-Mahatus, yang kemudian mereka terbagi menjadi tiga kelompok Taranak, masing-masing: Makarua Siouw, Makatelu Pitu, Telu Pasiowan
Karena sistem Taranak melahirkan bentuk pemerintahan turun-temurun, maka pada abad ke-17 terjadi suatu persengketaan antara ketiga taranak tersebut. Persengketaan terjadi karena taranak Makatelu Pitu, mengikat pernikahan dengan "Makarua Siouw", sehingga leluhur Muntu-untu dan Mandey dari "Makatelu Pitu" muncul sebagai kelompok Taranak yang terkuat dan memegang pemerintahan pada seluruh Wanua - yang waktu itu terdiri dari Tountumaratas, Tountewu dan Toumbuluk
Dengan bertambahnya penduduk Minahasa, maka Tountumaratas berkembang menjadi Tounkimbut dan Toumpakewa. Untuk menyatakan kedua kelompok itu satu asal, maka dilahirkan suatu istilah Pakasa’an yang berasal dari kata Esa. Pakasa’an berarti satu yakni, Toungkimbut di pegunungan dan Toumpakewa di dekat pantai. Lalu istilah Walak dimunculkan kembali. Perkembangan selanjutnya nama walak-walak tua di wilayah Tountemboan berganti nama menjadi walak Kawangkoan Tombasian, Rumo’ong dan Sonder.
Kemudian kelompok masyarakat Tountewo membelah menjadi dua kelompok yakni: Tounsea dan Toundano.
Menurut Drs. Corneles Manoppo, masyarakat Toundano terbelah lagi menjadi dua yakni: Masyarakat yang bermukim di sekitar danau Tondano dan Masyarakat "Toundanau" yang bermukim di wilayah Ratahan dan Tombatu
Masyarakat di sekitar Danau Tondano membentuk tiga walak yakni; Tondano Touliang, Tondano Toulimambot dan Kakas-Remboken
Dengan hilangnya istilah Pakasaan Tountewo maka lahirlah istilah Pakasa’an Tonsea dan Pakasa’an Tondano.
Pakasa’an Tonsea terdiri dari tiga walak yakni Maumbi, Kema dan Likupang. Abad 18 Tounsea hanya mengenal satu hukum besar (Mayor) atau "Hukum Mayor", wilayah Maumbi, Likupang dan Kema di perintah oleh Hukum kedua, sedangkan Tondano memiliki banyak mayor-mayor.
Masyarakat Tombuluk sejak zaman Watu Pinawetengan abad ke-7 tetap utuh satu Pakasa’an yang terdiri dari tiga walak yakni, Tombariri, Tomohon dan Sarongsong. Dengan demikian istilah Wanua berkembang menjadi dua pengertian yaitu: Ro’ong atau negeri dan pengertian sempit, artinya Negeri yang sama dengan Ro’ong (desa atau kampung)
Jadi, kata Wanua, memiliki dua unsur yaitu: Ro’ong atau negeri dan Taranak atau penduduk
Ro’ong itu sendiri memiliki unsur: Wale, artinya rumah dan Tana. Kata Tana dalam bahasa Minahasa punya arti luas yaitu mencakup Talun (hutan), dan Uma (kebun atau kobong)
Kobong terbagi menjadi dua yaitu: "kobong kering" dan "kobong pece" (sawah). Kalau kita amati penggunaan kata Wanua dalam bahasa Minahasa misalnya ada dua orang yang bertempat tinggal di desa yang sama kemudian bertemu di hutan. Si A bertanya pada si B:"Mange wisa" (mau ke mana ?) Kemudian B menjawab: "Mange witi uma" (pergi ke kobong), si B balik bertanya pada si A:"Niko mange wisa" (kamu hendak ke mana ?) si A menjawab: "Mange witi Wanua" (mau ke negeri, maksudnya ke kampung dimana ada rumah-rumah penduduk). Contoh lain adalah kata "Mina - Wanua". Kata " Mina" artinya, pernah ada tetapi sekarang sudah tidak ada. Maksudnya, tempo dulu di tempat itu ada negeri dan sekarang sudah tidak ada lagi (negeri lama) karena negeri itu telah berpindah ke tempat lain. Kata "Mina Amak " (Amak = Bapak) adalah sebutan pada seseorang lelaki dewasa yang dahulu ada tetapi sekarang sudah tidak ada, karena meninggal.
Kata Wanua yang punya pengertian luas dapat kita lihat pada kalimat "Rondoren um Wanua...". Kata Wanua dalam kalimat ini artinya; Negeri-negeri di Minahasa dan tidak berarti hanya satu negeri saja. Maksudnya... melakukan pembangunan di seluruh Minahasa. Jadi sudah termassuk negeri-negeri dari walak-walak dan pakasa’an yang didiami seluruh etnis atau sub-etnis Minahasa.
Masa Kini
Jadi dapat dilihat bahwa pengertian utama dari kata Wanua lebih mengarah pada pengertian sebagai wilayah adat dari Pakasa’an (kesatuan sub-etnis) yang sekarang terdiri dari kelompok masyarakat yang mengaku turunan leluhur Toar & Lumimu’ut. Turunan dalam arti luas termasuk melalui perkawinan dengan orang luar, Spanyol, Belanda, Ambon, Gorontalo, Jawa, Sumatra dan sebagainya. Orang Minahasa boleh mendirikan Wanua di luar Minahasa, tetapi orang Tombulu tidak boleh mendirikan negeri Tombulu di wilayah Totemboan atau sebaliknya. Inilah yang dimaksud dengan adat kebiasaan. Meletakkan "Watu I Pe-ro’ong" atau batu rumah menjadi negeri yang baru dilakukan oleh Tona’as khusus, misalnya, bergelar Mamanua (Ma’Wanua = Pediri Negeri) yang tau batas-batas wilayah antara walak yang satu dengan walak yang lain, jangan sampai salah tempat hingga terjadi perang antara walak.
Setelah meneliti arti kata Wanua dari berbagai segi, kita teliti arti awalah Ka pada kata Kawanua. Beberapa awalan pada kata Ka-rete (rete=dekat) berdekatan rumah, artinya teman tetangga. Ka-Le’os (Le’os=baik), teman berbaik-baikan (kekasih). Kemudian kata Ka-Leong (leong=bermain) teman bermain.
Dari ketiga contoh di atas, dapat diprediksi bahwa awalan Ka memberi arti teman, jadi, Ka-wanua dapat diartikan sebagai Teman Satu Negeri, Satu Ro’ong, satu kampung. Untuk lebih jelasnya kita ambil contoh melalui syair lagu "Marambak" (naik rumah baru)... "Watu tinuliran umbale Mal’lesok ungkoro’ ne Kawanua..." artinya batu tempat mendirikan tiang rumah baru, bersimbolisasi menepis niat jahat dan dengki dari teman satu negeri. Misalnya, batu rumah baru itu di Tombulu bersimbol menjauhkan dengki sesama warga Tombulu satu kampung, dan tidak ditujukan pada kampung atau walak lain misalnya Tondano dan Tonsea.
Demikian juga cerita tua-tua Minahasa dinamakan "sisi’sile ne tou Mahasa" (buku A.L Waworuntu) dan "A’asaren Ne Tou Manhesa" artinya cerita-cerita orang Minahasa. Tidak ditulis "A’asaren ne Kawanua" atau cerita orang Kawanua. Disini terlihat bahwa orang Minahasa di Minahasa tidak menamakan dirinya Kawanua. Orang Minahasa di Minahasa menamakan dirinya "Orang Minahasa" dan bukan "Orang Kawanua" selanjutnya baru diterangkan asal sub-etnisnya seperti, Tondano, Tontemboan, Tombatu dan sebagainya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah Kawanua dilahirkan oleh masyarakat orang Minahasa di luar Minahasa sebagai sebutan identitas bahwa seseorang itu berasal dari Minahasa, dalam lingkungan pergaulan mereka di masyarakat yang bukan orang Minahasa, misalnya di Makasar, Balikpapan, Surabaya, Jakarta, Padang, Aceh.
Orang Minahasa yang sudah beberapa generasi berada di luar Minahasa menggunakan istilah Kawanua untuk mendekatkan diri dengan daerah asal, dan walaupun sudah kawin-mawin antara suku, masih merasa dekat dengan Wanua lalu melahirkan Jawanua, Bataknua, Sundanua, dan lain sebagainya.
Pustaka
1. Masinambow, Dr. EKM. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (1995) "Minahasa: Wanua dan Kawanua, Sebuah Pengantar." 5 hal. Abstract PDF. Jurnal Antropologi Indonesia No. 51 (1995). http://journal.ui.ac.id/index.php/jai/article/view/3304
2. Supit, Bert. (1986). Minahasa : dari amanat Watu Pinawetengan sampai Gelora Minawanua. 226 hal. Jakarta, Penerbit Sinar Harapan.