Dukacita anak: Perbedaan antara revisi
←Membuat halaman berisi '{{Sedang ditulis}} '''Perasaan berkabung''' atau '''berdukacita''' pada diri anak-anak timbul ketika mereka kehilangan seseorang yang penting dalam hidupnya. Beberapa penelitian dan kajian literatur mengungkapkan hal tersebut, tetapi cenderung lebih sedikit ketimbang penelitian mengenai kesedihan yang dialami orang dewasa. Anak-anak dalam hidupnya kemungkinan akan mengalami kejadian yang melibatkan kehilangan orang tua, saudara kandung, atau teman...' |
+Kategori:Masa kanak-kanak; +Kategori:Psikologi perkembangan menggunakan HotCat |
||
Baris 25: | Baris 25: | ||
==Pranala luar == |
==Pranala luar == |
||
* [https://speakinggrief.org/get-better-at-grief/understanding-grief/kids-grieve-differently Seputar Berduka: Cara Anak-anak Berduka berbeda dengan Orang Dewasa ] |
* [https://speakinggrief.org/get-better-at-grief/understanding-grief/kids-grieve-differently Seputar Berduka: Cara Anak-anak Berduka berbeda dengan Orang Dewasa ] |
||
[[Kategori:Masa kanak-kanak]] |
|||
[[Kategori:Psikologi perkembangan]] |
Revisi per 30 Maret 2022 00.34
Perasaan berkabung atau berdukacita pada diri anak-anak timbul ketika mereka kehilangan seseorang yang penting dalam hidupnya. Beberapa penelitian dan kajian literatur mengungkapkan hal tersebut, tetapi cenderung lebih sedikit ketimbang penelitian mengenai kesedihan yang dialami orang dewasa. Anak-anak dalam hidupnya kemungkinan akan mengalami kejadian yang melibatkan kehilangan orang tua, saudara kandung, atau teman karena bunuh diri, cedera yang tidak disengaja, pembunuhan, atau penyebab alami.[1] Setiap anak memiliki tingkat dukacita yang berbeda-beda, termasuk juga duka yang pelik maupun yang tidak.[2] Tidak seperti orang dewasa, anak-anak yang mengalaminya, kemungkinan mengekspresikan dukacita lewat tingkah laku, dan kecil kemungkinan tidak memperlihatkan emosinya secara terang-terangan.[3] Anak-anak yang mengalami kehilangan dan kesedihan dianjurkan untuk mendapatkan perawatan yang melibatkan intervensi kelompok,[4] terapi bermain,[5] dan terapi perilaku kognitif.[6] Berbagai bentuk perawatan untuk anak-anak yang mengalami kehilangan dan atau kesedihan dapat membantu mengurangi gejala kegelisahan, depresi, penyesuaian sosial, serta stres pascatrauma.[4] Penelitian telah menunjukkan bahwa penting untuk menyadari kesulitan dalam memprediksi bagaimana kehilangan yang tertutup dapat berdampak pada emosi anak dan bagaimana kemampuan mengatasi (coping) mereka akan berbeda di setiap usia dan budaya.[3]
Latar belakang
Di berbagai budaya, pada umumnya kehilangan orang tua dianggap sebagai fase tersulit yang akan dilewati oleh seorang anak.[7] Di negara-negara barat, sebanyak 5% orang akan mengalami kehilangan orang tua ketika mereka masih anak-anak.[8] Di seluruh dunia, bagi anak-anak, kehilangan orang tua menjadi peristiwa penting dalam hidup mereka.[7] Tetapi, setiap anak memiliki proses berdukanya masing-masing, yang dapat dilihat perbedaannya berdasarkan usia mereka, tingkat kedekatan mereka dengan orang tuanya, serta karakteristik kematian.
Karakter atau watak seseorang menjadi faktor penting yang akan mempengaruhi proses berduka. Tetapi, seorang anak yang memiliki perilaku maladaptif, masyarakat umum mungkin akan menganggapnya sebagai hal yang wajar (tidak ada sangkut-paut dengan proses berduka) karena tidak ada pandangan yang diterima secara universal tentang proses berduka.[9]
Proses berduka
Terdapat dua kategori dukacita yang dialami anak setelah mereka kehilangan orang tuanya yaitu; duka yang kompleks dan sewajarnya. Duka yang sewajarnya adalah proses normal yang akan dialami sebagian besar anak. Anak-anak yang mengalami dukacita sewajarnya, dan mereka segera mendapat pengasuhan yang memadai, kemungkinan tidak akan berisiko mengalami kondisi kesehatan jiwa di masa depan.[10] Berduka yang meluap-luap (kompleks) terjadi ketika seorang individu gagal untuk kembali ke fungsi emosional dan tingkah laku awal mereka.[11]
Menentukan definisi serta durasi dari proses berduka telah menjadi sumber kontroversi selama beberapa dekade ke belakang.[12][13] Menurut buku Statistik dan Diagnostik Manual untuk Gangguan Jiwa edisi ke-5 (DSM-V), gangguan kesedihan yang kompleks (complicated grief disorder) dialami pada anak yang kehilangan seseorang yang Benar-benar memiliki hubungan dekat dengan mereka; dan selama 6 bulan ke depan mereka lebih sering mengalami salah satu dari gejala berikut: kerinduan, kesedihan atau rasa sakit emosional, terlalu berlama-lama mengingat kematian hingga melupakan yang lain. Selain itu, terdapat enam gejala lagi yang dialami dalam kesehariannya terkait gangguan reaktif hingga kematian atau gangguan sosial/identitas.[14]
Pertimbangan pengembangan
Anak-anak bisa saja menjadi rentan dengan kehidupannya setelah mengalami kehilangan. Kerentanan ini disebabkan oleh ketidakdewasaan semasa berkembang dan kurangnya kemampuan mengatasi masalah. Anak-anak dan orang dewasa pada umumnya memiliki respon yang serupa ketika sedang berduka, tetapi gejala dan rentang kesedihan mereka setelah kehilangan kemungkinan berbeda. Salah satu gejala yang timbul pada anak-anak biasanya adalah mereka akan selalu menanyakan perihal kematian berulang kali. Di samping itu, cara anak-anak mengekspresikan emosi mereka berbeda dengan orang dewasa; orang dewasa cenderung mengungkapkan dukacita mereka melalui perasaan sedih secara langsung, tetapi anak-anak mungkin akan mengubah perilakunya menjadi buruk. Penelitian menekankan pentingnya menyadari dan tidak mengharapkan anak-anak untuk menunjukkan emosi mereka secara terbuka seperti orang dewasa, melainkan bahwa perilaku mereka dapat menunjukkan tekanan internal mereka.[3]
Penanganan
Sebagian besar anak-anak mengalami duka dan kehilangan beberapa kali dalam masa kecilnya. Untuk mengatasi masalah tersebut terdapat berbagai cara penanganan yang dapat diterapkan seperti, terapi bermain, terapi Kelompok, dan terapi perilaku kognitif. Terapi bermain merupakan bentuk psikoterapi terhadap anak dengan menggunakan permainan seperti menggambar yang membantu anak-anak berbicara tentang perasaan mereka. Masalah kesedihan anak-anak juga dapat diatasi dengan memanfaatkan terapi kelompok, di mana sekelompok teman sebaya dengan usia yang sama berbagi cerita tentang perasaan mereka sehingga dapat memberikan dukungan emosional bagi semua anggota kelompok.[4] Terakhir adalah terapi perilaku kognitif yang menggunakan teknik kognitif untuk membantu anak dalam mengubah perilaku mereka dan menggunakan teknik coping yang lebih efektif.[6]
Berbagai bentuk penanganan yang bertujuan untuk membantu anak-anak dalam mengatasi kehilangan dan duka cita juga membantu mengurangi gejala kecemasan, depresi, masalah penyesuaian diri, dan stres pascatrauma. Dengan menggunakan bentuk-bentuk terapi yang didorong secara empiris untuk anak-anak yang mengalami kehilangan, anak-anak dapat mengurangi gejala-gejalanya dan mengurangi kemungkinan putus pengobatan dengan memusatkan perhatian pada perasaan dan reaksi yang mereka miliki terhadap kematian atau bunuh diri seseorang yang dekat.[4]
Referensi
- ^ Melhem, N. M. (2011). "Grief in Children and Adolescents Bereaved by Sudden Parental Death. Archives of , 68(9),". General Psychiatry. 68 (9): 911.
- ^ Worden, J. W. (1996). Children and grief: When a parent dies.
- ^ a b c Osterweis, M; Solomon, F; Green, M (1989). Bereavement: reactions, consequences, and care. Washington, D.C.: National Academy Press.
- ^ a b c d Pfeffer, C. R.; Jiang, H; Kakuma, T; Hwang, J; Metsch, M (2002). "Group Intervention for Children Bereaved by the Suicide of a Relative". Journal of the American Academy of Child & Adolescent Psychiatry. 41 (5): 505–513.
- ^ Fiorini, J; Mullen, J. A. (2006). Counseling children and adolescents through grief and loss. Champaign, IL: Research Press.
- ^ a b Cohen, J. A.; Mannarino, A. P.; Deblinger, E (2006). Treating trauma and traumatic grief in children and adolescents. New York: The Guilford Press.
- ^ a b Yamamoto, K.; Davis, O. L.; Dylak, S.; Whittaker, J.; Marsh, C.; van der Westhuizen, P. C. (1996). "Across six nations: stressful events in the lives of children". Child Psychiatry and Human Development. 26 (3): 139–150. doi:10.1007/BF02353355. ISSN 0009-398X. PMID 8819876.
- ^ Currier, Joseph M.; Holland, Jason M.; Neimeyer, Robert A. (2007). "The effectiveness of bereavement interventions with children: a meta-analytic review of controlled outcome research". Journal of Clinical Child and Adolescent Psychology. 36 (2): 253–259. doi:10.1080/15374410701279669. ISSN 1537-4416. PMID 17484697.
- ^ Carter, Susan L. (1989-11). "Themes of Grief". Nursing Research (dalam bahasa Inggris). 38 (6): 354–357. ISSN 0029-6562.
- ^ Worden, J. William (1996). Children and Grief: When a Parent Dies (dalam bahasa Inggris). Guilford Publications. ISBN 978-1-57230-746-9.
- ^ Cutcliffe, John R. (1998-10). "Hope, counselling and complicated bereavement reactions". Journal of Advanced Nursing. 28 (4): 754–761. doi:10.1046/j.1365-2648.1998.00724.x. ISSN 0309-2402.
- ^ Wakefield, Jerome C.; First, Michael B. (2012). "Validity of the bereavement exclusion to major depression: does the empirical evidence support the proposal to eliminate the exclusion in DSM-5?". World psychiatry. 11 (1): 3–10. doi:10.1016/j.wpsyc.2012.01.002. ISSN 2051-5545. PMC 3266762 . PMID 22294996.
- ^ Kendler, Kenneth S.; Myers, John; Zisook, Sidney (2008). "Does Bereavement-Related Major Depression Differ From Major Depression Associated With Other Stressful Life Events?". The American journal of psychiatry. 165 (11): 1449–1455. doi:10.1176/appi.ajp.2008.07111757. ISSN 0002-953X. PMC 2743738 . PMID 18708488.
- ^ American Psychiatric Association (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders: DSM-5(5th ed.) (dalam bahasa Inggris). Arlington, VA. ISBN 978-0-89042-554-1.