Lompat ke isi

Prasasti Rabwan: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Sastrawan (bicara | kontrib)
Memperbaiki beberapa poin-poin dalam bagian Penafsiran
Sastrawan (bicara | kontrib)
→‎Penafsiran: Menambahkan pranala untuk acuan karya Kusen
Tag: kemungkinan spam pranala VisualEditor-alih
Baris 30: Baris 30:
Istilah ''bhaṭāra'' bisa dipakai untuk menyebut seorang raja bijaksana yang telah wafat, tetapi juga dipakai untuk menyebut para dewata. Ada tafsiran bahwa ''bhaṭāra'' merujuk kepada seorang raja dimakamkan di Rabwan, berdasarkan kekeliruan membaca ''bhaṭāra I rabvān'' sebagai ''bhaṭāra saṅ lumaḥ I rabvān''. Namun, oleh karena ketiadaan istilah ''lumah'' dalam prasasti ini, maka tafsiran ini belum bisa dipastikan. Bisa jadi ''bhaṭāra'' di Rabwan merupakan seorang raja atau bangsawan yang didewakan setelah wafat, tetapi hal ini tidak disampaikan secara eksplisit dalam prasasti Rabwan, sehingga belum bisa diterima sebagai fakta yang pasti. Yang jelas, Pu Wirawikrama telah mempersembahkan sebuah genta perunggu kepada dewata atau raja yang ditempatkan di Rabwan.
Istilah ''bhaṭāra'' bisa dipakai untuk menyebut seorang raja bijaksana yang telah wafat, tetapi juga dipakai untuk menyebut para dewata. Ada tafsiran bahwa ''bhaṭāra'' merujuk kepada seorang raja dimakamkan di Rabwan, berdasarkan kekeliruan membaca ''bhaṭāra I rabvān'' sebagai ''bhaṭāra saṅ lumaḥ I rabvān''. Namun, oleh karena ketiadaan istilah ''lumah'' dalam prasasti ini, maka tafsiran ini belum bisa dipastikan. Bisa jadi ''bhaṭāra'' di Rabwan merupakan seorang raja atau bangsawan yang didewakan setelah wafat, tetapi hal ini tidak disampaikan secara eksplisit dalam prasasti Rabwan, sehingga belum bisa diterima sebagai fakta yang pasti. Yang jelas, Pu Wirawikrama telah mempersembahkan sebuah genta perunggu kepada dewata atau raja yang ditempatkan di Rabwan.


Pu Wirawikrama menjabat sebagai penguasa (''rakryān'') di atas daerah lungguh (''watek'') Wungkal Tihang. Dapat dipastikan bahawa Pu Wīrawikrama adalah seorang pejabat tinggi di jaman Balitung (898-910 M), berdasarkan disebutnya di beberapa prasasti lain yang dikeluarkan oleh Balitung, misalnya Nama daerah lungguh Watu Tihang terkesan agak mirip dengan Wungkal Humalang yang disebut dalam [[prasasti Wanua Tengah III]] (908 M). Wungkal Humalang sebelumnya menjadi tanah lungguh dari seorang pangeran bernama Dyah Jebang, yang kemudian naik tahta menjadi raja Medang antara tahun 894-898 M.<ref>Kusen, ''Raja-raja Mataram Kuno dari Sanjaya sampai Balitung, sebuah rekonstruksi berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III'', Berkala Arkeologi, Tahun XIV, Edisi Khusus, 1994, hlm. 90-94.</ref> Prasasti ini menyebutkan bahwa yang mempersembahkan genta perunggu adalah Pu Wīrawikrama dari Wungkal Tihang. Namun, hubungan antara Pu Wirawikrama (''rakryan'' di Watu Tihang di jaman Balitung) dan Dyah Jebang (''rakryan'' di Wungkal Humalang sebelum jaman Balitung) belum jelas.
Pu Wirawikrama menjabat sebagai penguasa (''rakryān'') di atas daerah lungguh (''watek'') Wungkal Tihang. Dapat dipastikan bahawa Pu Wīrawikrama adalah seorang pejabat tinggi di jaman Balitung (898-910 M), berdasarkan disebutnya di beberapa prasasti lain yang dikeluarkan oleh Balitung, misalnya Nama daerah lungguh Watu Tihang terkesan agak mirip dengan Wungkal Humalang yang disebut dalam [[prasasti Wanua Tengah III]] (908 M). Wungkal Humalang sebelumnya menjadi tanah lungguh dari seorang pangeran bernama Dyah Jebang, yang kemudian naik tahta menjadi raja Medang antara tahun 894-898 M.<ref>Kusen, ''Raja-raja Mataram Kuno dari Sanjaya sampai Balitung, sebuah rekonstruksi berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III'', Berkala Arkeologi, Tahun XIV, Edisi Khusus, 1994, hlm. 90-94. https://berkalaarkeologi.kemdikbud.go.id/index.php/berkalaarkeologi/article/view/721/655</ref> Prasasti ini menyebutkan bahwa yang mempersembahkan genta perunggu adalah Pu Wīrawikrama dari Wungkal Tihang. Namun, hubungan antara Pu Wirawikrama (''rakryan'' di Watu Tihang di jaman Balitung) dan Dyah Jebang (''rakryan'' di Wungkal Humalang sebelum jaman Balitung) belum jelas.


== Referensi ==
== Referensi ==

Revisi per 18 April 2022 08.38

Prasasti Rabwan (juga disebut Prasasti Roban) adalah prasasti peninggalan dari kerajaan Medang, ditemukan pada tahun 1952 di Desa Tlogopakis Kecamatan Petungkriono, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Prasasti ini mempunyai keunikan tersendi, ditulis diatas Gentha Perunggu (lonceng) kecil berukuran tinggi sekitar 17 cm dan diameter +/- 13 cm menggunakan aksara Kawi dan bahasa Jawa Kuno dengan angka tahun 827 Saka. Data penanggalan menunjukkan bahwa genta ini dipersembahkan pada tanggal 3 Februari 906.[1][2]

Fisik

  • Bentuk : Lonceng / Gentha
  • Bahan : Perunggu
  • Ukuran Prasasti : tinggi sekitar 17 cm dan diameter +/- 13 cm
  • Bentuk Aksara dan Bahasa : aksara Kawi dan bahasa Jawa Kuno

Penemuan

Prasasti Rabwan ditemukan pada tahun 1952 di Desa Tlogopakis Kecamatan Petungkriyono – Kabupaten Pekalongan oleh seorang petani yang kebetulan sedang membajak sawah. Kini prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta dengan nomor inventaris PUSPAN/AK/Pr/b.1.[2]

Isi

Prasasti ini menceritakan tentang persembahan sebuah genta perunggu oleh seorang bangsawan bernama Pu Wirawikrama kepada bhaṭāra di Rabwan.

Transkripsi

Transkripsi berdasarkan bacaan Boechari (2012) yang diverifikasi oleh Griffiths (2014) dan disesuaikan dengan norma transliterasi terkini.[1][2]

Oṁ namaś śivāya
  1. I śaka 827 phālguṇa-māsa tithi saptamĭ śukla, tu, va, so, vāra kāla rakryān· I vuṅkal tihaṁ pu vīravikrama maṅarpanākan· gaṇṭa I bhaṭāra Iṁ rabvān·
  2. likhita siṅgahan·

Terjemahan

Oṁ. Sembah terhadap Śiva! Pada tahun Saka 827 bulan Palguna tanggal 7 paruh terang, wara Tunglai – Wagai – Soma (yaitu 3 Februari 906), Rakryān di Wungkal Tihang bernama Pu Wīrawikrama mempersembahkan sebuah genta kepada Bhaṭāra di Rabwān. Ditulis oleh Singgahan.

Penafsiran

Adanya nama Rabwan atau Roban di sini menunjukkan bahwa pada tahun 906 M daerah ini masih eksis dan saat itu berkait dengan adanya bangunan suci kerajaan di tempat itu.

Istilah bhaṭāra bisa dipakai untuk menyebut seorang raja bijaksana yang telah wafat, tetapi juga dipakai untuk menyebut para dewata. Ada tafsiran bahwa bhaṭāra merujuk kepada seorang raja dimakamkan di Rabwan, berdasarkan kekeliruan membaca bhaṭāra I rabvān sebagai bhaṭāra saṅ lumaḥ I rabvān. Namun, oleh karena ketiadaan istilah lumah dalam prasasti ini, maka tafsiran ini belum bisa dipastikan. Bisa jadi bhaṭāra di Rabwan merupakan seorang raja atau bangsawan yang didewakan setelah wafat, tetapi hal ini tidak disampaikan secara eksplisit dalam prasasti Rabwan, sehingga belum bisa diterima sebagai fakta yang pasti. Yang jelas, Pu Wirawikrama telah mempersembahkan sebuah genta perunggu kepada dewata atau raja yang ditempatkan di Rabwan.

Pu Wirawikrama menjabat sebagai penguasa (rakryān) di atas daerah lungguh (watek) Wungkal Tihang. Dapat dipastikan bahawa Pu Wīrawikrama adalah seorang pejabat tinggi di jaman Balitung (898-910 M), berdasarkan disebutnya di beberapa prasasti lain yang dikeluarkan oleh Balitung, misalnya Nama daerah lungguh Watu Tihang terkesan agak mirip dengan Wungkal Humalang yang disebut dalam prasasti Wanua Tengah III (908 M). Wungkal Humalang sebelumnya menjadi tanah lungguh dari seorang pangeran bernama Dyah Jebang, yang kemudian naik tahta menjadi raja Medang antara tahun 894-898 M.[3] Prasasti ini menyebutkan bahwa yang mempersembahkan genta perunggu adalah Pu Wīrawikrama dari Wungkal Tihang. Namun, hubungan antara Pu Wirawikrama (rakryan di Watu Tihang di jaman Balitung) dan Dyah Jebang (rakryan di Wungkal Humalang sebelum jaman Balitung) belum jelas.

Referensi

  1. ^ a b Boechari (2012). Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 341-348. ISBN 978-2855394732. 
  2. ^ a b c Griffiths, Arlo; Lunsingh Scheurleer, Pauline (2014). "Ancient Indonesian Ritual Utensils and their Inscriptions: Bells and Slitdrums". Arts asiatiques. 69: 132. doi:10.3406/arasi.2014.1872. 
  3. ^ Kusen, Raja-raja Mataram Kuno dari Sanjaya sampai Balitung, sebuah rekonstruksi berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III, Berkala Arkeologi, Tahun XIV, Edisi Khusus, 1994, hlm. 90-94. https://berkalaarkeologi.kemdikbud.go.id/index.php/berkalaarkeologi/article/view/721/655

Lihat pula