Lompat ke isi

Aseksualitas: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Edra Biru (bicara | kontrib)
Feminist research: menerjemahkan sebagian artikel
Edra Biru (bicara | kontrib)
Feminist research: menerjemahkan sebagian artikel
Baris 81: Baris 81:
Dalam sebuah kajian tahun 1983 oleh Paula Nurius, yang menyertakan 689 subjek (sebagian besar merupakan mahasiswa berbagai universitas di Amerika Serikat yang sedang mempelajari kelas-kelas psikologi atau sosiologi), skala berfantasi dan erotisisme dua dimensi digunakan untuk mengukur orientasi seksual. Berdasarkan hasilnya, para responden diberi angka mulai dari 0 hingga 100 untuk heteroerotisisme 0 sampai 100 untuk homoerotisisme. Para responden yang memiliki angka kurang dari 10 pada keduanya dilabeli "aseksual". Mereka ini terdiri dari 5% lelaki dan 10% perempuan. Hasilnya memperlihatkan bahwa aseksual dilaporkan memiliki frekuensi yang jauh lebih rendah dan memiliki hasrat frekuensi aktivitas seksual yang bervariasi termasuk memiliki pasangan banyak, aktivitas seksual anal, berhubungan seksual dengan lokasi yang bervariasi, dan berbagai aktivitas otoerotik.<ref name="Ruspini"/><ref name="Nurius"/>
Dalam sebuah kajian tahun 1983 oleh Paula Nurius, yang menyertakan 689 subjek (sebagian besar merupakan mahasiswa berbagai universitas di Amerika Serikat yang sedang mempelajari kelas-kelas psikologi atau sosiologi), skala berfantasi dan erotisisme dua dimensi digunakan untuk mengukur orientasi seksual. Berdasarkan hasilnya, para responden diberi angka mulai dari 0 hingga 100 untuk heteroerotisisme 0 sampai 100 untuk homoerotisisme. Para responden yang memiliki angka kurang dari 10 pada keduanya dilabeli "aseksual". Mereka ini terdiri dari 5% lelaki dan 10% perempuan. Hasilnya memperlihatkan bahwa aseksual dilaporkan memiliki frekuensi yang jauh lebih rendah dan memiliki hasrat frekuensi aktivitas seksual yang bervariasi termasuk memiliki pasangan banyak, aktivitas seksual anal, berhubungan seksual dengan lokasi yang bervariasi, dan berbagai aktivitas otoerotik.<ref name="Ruspini"/><ref name="Nurius"/>


=== Feminist research ===
=== Penelitian Feminis ===
Bidang kajian aseksualitas masih muncul sebagai turunan dari bidang yang lebih luas mengenai [[gender and sexuality studies|kajian gender dan seksualitas]]. Para peneliti terkemuka yang telah menghasilkan karya signifikan dalam kajian aseksualitas di antaranya[[KJ Cerankowski]], Ela Przybylo, dan CJ DeLuzio Chasin.
Bidang kajian aseksualitas masih muncul sebagai turunan dari bidang yang lebih luas mengenai [[gender and sexuality studies|kajian gender dan seksualitas]]. Para peneliti terkemuka yang telah menghasilkan karya signifikan dalam kajian aseksualitas di antaranya[[KJ Cerankowski]], Ela Przybylo, dan CJ DeLuzio Chasin.


Baris 95: Baris 95:
Akademisi Ianna Hawkins Owen menuliskan, "Kajian-kajian mengenai ras telah mengungkapkan penyebaran aseksualitas dalam wacana dominan sebagai satu perilaku seksual ideal untuk membenarkan baik pemberdayaan orang-orang kulit putih maupun pensubordinasian orang-orang kulit hitam untuk menegakkan sistem sosial dan politik yang dirasialisasi."<ref name=":6">{{Cite book|last=Hawkins Owen|first=Ianna|title=Asexualities : feminist and queer perspectives|others=Cerankowski, Karli June., Milks, Megan.|year=2014|isbn=978-0-415-71442-6|location=New York|oclc=863044056}}</ref> Hal ini sebagian karena [[sexualization|seksualisasi]] dan deseksualisasi secara bersamaan terhadap perempuan-perempuan kulit hitam dalam [[Mammy archetype in the United States|pola dasar mami]], dan juga bagaimana masyarakat mendeseksualisasi minoritas ras tertentu, sebagai bagian dari penawaran untuk mengklaim superioritas oleh bangsa berkulit putih.<ref name=":6" /> Situasi ini hidup berdampingan dengan seksualisasi tubuh perempuan kulit hitam dalam pola dasar [[Jezebel]], yang keduanya digunakan untuk membenarkan perbudakan dan memungkinkan pengendalian yang lebih jauh.<ref name=":6" /> Owen juga mengkritisi "...investasi dalam membangun aseksualitas atas nama ras kulit putih (siapa lagi yang dapat mengklaim akses utuk menjadi seperti orang-orang lainnya?)".<ref>{{Cite journal|last=Owen|first=Ianna Hawkins|s2cid=149999756|date=November 2018|title=Still, nothing: Mammy and black asexual possibility|journal=Feminist Review|language=en|volume=120|issue=1|pages=70–84|doi=10.1057/s41305-018-0140-9|issn=0141-7789|doi-access=free}}</ref> Eunjung Kim mengomentari pada titik temu antara ketunaan atau [[crip theory|teori lumpuh]] dan aseksualitas, dengan mengatakan bahwa orang-orang penyandang ketunaan lebih sering dideseksualisasi.<ref>{{Cite book|last=Kim|first=Eunjung|title=Asexualities : feminist and queer perspectives|others=Cerankowski, Karli June., Milks, Megan.|year=2014|isbn=978-0-415-71442-6|location=New York|oclc=863044056}}</ref><ref>{{Cite journal |last=Kim |first=Eunjung |date=2011 |title=Asexuality in disability narratives |url=https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1363460711406463 |journal=Sexualities |volume=14 |issue=4 |pages=479–493 |doi=10.1177/1363460711406463 |s2cid=55747579 |via=Sage Journals |access-date=March 7, 2022 |archive-date=March 7, 2022 |archive-url=https://web.archive.org/web/20220307220258/https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1363460711406463 |url-status=live }}</ref> Kim membandingkan gagasan perempuan [[Hypoactive sexual desire disorder|dingin]] dengan aseksualitas dan menganalisis sejarahnya dari sudut queer, orang lumpuh, dan feminis. Akasemisi Karen Cuthbert berkomentar "menyediakan diskusi pertama yang berlandaskan empiris mengenai titik temu aseksualitas dan ketunaan (dan pada hal yang lebih sempit, gender dan 'ras')."<ref>{{Cite journal |last=Cuthbert |first=Karen |date=2017 |title=You Have to be Normal to be Abnormal: An Empirically Grounded Exploration of the Intersection of Asexuality and Disability |url=http://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0038038515587639 |journal=Sociology |language=en |volume=51 |issue=2 |pages=241–257 |doi=10.1177/0038038515587639 |s2cid=141976966 |issn=0038-0385 |via=Sage Publications |access-date=March 7, 2022 |archive-date=March 7, 2022 |archive-url=https://web.archive.org/web/20220307225006/https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0038038515587639 |url-status=live }}</ref>
Akademisi Ianna Hawkins Owen menuliskan, "Kajian-kajian mengenai ras telah mengungkapkan penyebaran aseksualitas dalam wacana dominan sebagai satu perilaku seksual ideal untuk membenarkan baik pemberdayaan orang-orang kulit putih maupun pensubordinasian orang-orang kulit hitam untuk menegakkan sistem sosial dan politik yang dirasialisasi."<ref name=":6">{{Cite book|last=Hawkins Owen|first=Ianna|title=Asexualities : feminist and queer perspectives|others=Cerankowski, Karli June., Milks, Megan.|year=2014|isbn=978-0-415-71442-6|location=New York|oclc=863044056}}</ref> Hal ini sebagian karena [[sexualization|seksualisasi]] dan deseksualisasi secara bersamaan terhadap perempuan-perempuan kulit hitam dalam [[Mammy archetype in the United States|pola dasar mami]], dan juga bagaimana masyarakat mendeseksualisasi minoritas ras tertentu, sebagai bagian dari penawaran untuk mengklaim superioritas oleh bangsa berkulit putih.<ref name=":6" /> Situasi ini hidup berdampingan dengan seksualisasi tubuh perempuan kulit hitam dalam pola dasar [[Jezebel]], yang keduanya digunakan untuk membenarkan perbudakan dan memungkinkan pengendalian yang lebih jauh.<ref name=":6" /> Owen juga mengkritisi "...investasi dalam membangun aseksualitas atas nama ras kulit putih (siapa lagi yang dapat mengklaim akses utuk menjadi seperti orang-orang lainnya?)".<ref>{{Cite journal|last=Owen|first=Ianna Hawkins|s2cid=149999756|date=November 2018|title=Still, nothing: Mammy and black asexual possibility|journal=Feminist Review|language=en|volume=120|issue=1|pages=70–84|doi=10.1057/s41305-018-0140-9|issn=0141-7789|doi-access=free}}</ref> Eunjung Kim mengomentari pada titik temu antara ketunaan atau [[crip theory|teori lumpuh]] dan aseksualitas, dengan mengatakan bahwa orang-orang penyandang ketunaan lebih sering dideseksualisasi.<ref>{{Cite book|last=Kim|first=Eunjung|title=Asexualities : feminist and queer perspectives|others=Cerankowski, Karli June., Milks, Megan.|year=2014|isbn=978-0-415-71442-6|location=New York|oclc=863044056}}</ref><ref>{{Cite journal |last=Kim |first=Eunjung |date=2011 |title=Asexuality in disability narratives |url=https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1363460711406463 |journal=Sexualities |volume=14 |issue=4 |pages=479–493 |doi=10.1177/1363460711406463 |s2cid=55747579 |via=Sage Journals |access-date=March 7, 2022 |archive-date=March 7, 2022 |archive-url=https://web.archive.org/web/20220307220258/https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1363460711406463 |url-status=live }}</ref> Kim membandingkan gagasan perempuan [[Hypoactive sexual desire disorder|dingin]] dengan aseksualitas dan menganalisis sejarahnya dari sudut queer, orang lumpuh, dan feminis. Akasemisi Karen Cuthbert berkomentar "menyediakan diskusi pertama yang berlandaskan empiris mengenai titik temu aseksualitas dan ketunaan (dan pada hal yang lebih sempit, gender dan 'ras')."<ref>{{Cite journal |last=Cuthbert |first=Karen |date=2017 |title=You Have to be Normal to be Abnormal: An Empirically Grounded Exploration of the Intersection of Asexuality and Disability |url=http://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0038038515587639 |journal=Sociology |language=en |volume=51 |issue=2 |pages=241–257 |doi=10.1177/0038038515587639 |s2cid=141976966 |issn=0038-0385 |via=Sage Publications |access-date=March 7, 2022 |archive-date=March 7, 2022 |archive-url=https://web.archive.org/web/20220307225006/https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0038038515587639 |url-status=live }}</ref>


=== Bogaert's psychological work and theories ===
=== Karya dan teori psikologis Bogaert ===
Bogaert argues that understanding asexuality is of key importance to understanding sexuality in general.<ref name="bogaert2015">{{cite journal | last1 = Bogaert |first1=A. F. |s2cid=23720993 | year = 2015 | title = Asexuality: What It Is and Why It Matters | journal = Journal of Sex Research | volume = 52 | issue = 4 | pages = 362–379 | doi = 10.1080/00224499.2015.1015713|pmid=25897566 }}</ref> For his work, Bogaert defines asexuality as "a lack of lustful inclinations/feelings directed toward others," a definition that he argues is relatively new in light of recent theory and empirical work on sexual orientation. This definition of ''asexuality'' also makes clear this distinction between behavior and desire, for both asexuality and celibacy, although Bogaert also notes that there is some evidence of reduced sexual activity for those who fit this definition. He further distinguishes between desire for others and desire for sexual stimulation, the latter of which is not always absent for those who identify as asexual, although he acknowledges that other theorists define asexuality differently and that further research needs to be done on the "complex relationship between attraction and desire".<ref name="bogaert2015" /> Another distinction is made between romantic and sexual attraction, and he draws on work from [[developmental psychology]], which suggests that romantic systems derive from [[attachment theory]] while sexual systems "primarily reside in different brain structures".<ref name="bogaert2015" />
Bogaert berpendapat bahwa memahami aseksualitas adalah kunci penting untuk memahami seksualitas secara umum.<ref name="bogaert2015">{{cite journal | last1 = Bogaert |first1=A. F. |s2cid=23720993 | year = 2015 | title = Asexuality: What It Is and Why It Matters | journal = Journal of Sex Research | volume = 52 | issue = 4 | pages = 362–379 | doi = 10.1080/00224499.2015.1015713|pmid=25897566 }}</ref> Utuk karyanya, Bogaert mendefinisikan aseksualitas sebagai "kekurangan keinginan/perasaan bernafsu yang ditujukan pada orang lain," satu definisi yang menurutnya relatif baru dalam teori dan karya empiris terkini mengenai orientasi seksual. Definisi ''aseksualitas'' ini juga memperjelas perbedaan antara perilaku dan hasrat, baik untuk aseksualitas maupun selibat, meskipun Bogaert juga mencatat bahwa ada bukti aktivitas seksual yang dikurangi bagi yang masuk dalam definisi ini. Dia membedakan lebih jauh lagi antara hasrt bagi orang lain dan hasrat untuk rangsangan seksual, yang terakhir tidak selalu absen bagi mereka yang teridentifikasi sebagai aseksual, meskipun dia mengakui bagi pembuat teori lainnya mendefinisikan aseksualitas secara berbeda dan bahwa penelitian lebih jauh perlu dilakukan mengenai "hubungan yang rumit antara ketertarikan dan hasrat".<ref name="bogaert2015" /> Perbedaan lainnya dibuat antara ketertarikan asmara dan seksual, dan dia menyebutkan karya dari [[developmental psychology|psikologi perkembangan]], yang menyarankan bahwa sistem romantis yang diambil dari [[attachment theory|teori kasih sayang]] sementara sistem seksual "terutama bersarang di struktur otak yang berbeda".<ref name="bogaert2015" />


Concurrent with Bogaert's suggestion that understanding asexuality will lead to a better understanding of sexuality overall, he discusses the topic of asexual masturbation to theorize on asexuals and "'target-oriented' [[paraphilia]], in which there is an inversion, reversal, or disconnection between the self and the typical target/object of sexual interest/attraction" (such as attraction to oneself, labelled "automonosexualism").<ref name="bogaert2015" />
Concurrent with Bogaert's suggestion that understanding asexuality will lead to a better understanding of sexuality overall, he discusses the topic of asexual masturbation to theorize on asexuals and "'target-oriented' [[paraphilia]], in which there is an inversion, reversal, or disconnection between the self and the typical target/object of sexual interest/attraction" (such as attraction to oneself, labelled "automonosexualism").<ref name="bogaert2015" />

Revisi per 4 Mei 2022 00.54



Templat:Good article Templat:Orientasi Seksual

Templat:Asexuality topics sidebar

Aseksualitas adalah kekurangan daya tarik seksual terhadap orang lainnya, atau rendahnya, atau tak adanya ketertarikan dalam atau hasrat untuk aktivitas seksual.[1][2][3] Aseksualitas juga dapat dianggap sebagai salah satu orientasi seksual atau ketiadaannya.[4][5] Aseksualitas juga dapat dikategorikan lebih luas, untuk meliputi spektrum lebih luas dari subidentitas aseksual.[6]

Aseksualitas berbeda dari abstinensi dari aktivitas seksual dan juga dari selibat,[7][8] yang merupakan perilaku dan pada umumnya dimotivasi oleh faktor-faktor seperti pribadi, sosial, atau keyakinan beragama individu.[9] Orientasi seksual, tidak seperti perilaku seksual, diyakini "abadi".[10] Sebagian orang aseksual terlibat dalam aktivitas seksual meskipun kekurangan daya tarik seksual atau hasrat seks, karena berbagai alasan, seperti hasrat untuk secara fisik menyenangkan diri sendiri atau kekasih, atau hasrat untuk memiliki anak.[7][11]

Penerimaan aseksualitas sebagai orientasi seksual dan bidang penelitian ilmiah masih relatif baru,[2][11] sebagai subjek penelitian yang sedang bertumbuh dari perspektif sosiologis maupun psikologis sudah mulai berkembang.[11] Meskipun beberapa peneliti menegaskan bahwa aseksualitas adalah salah satu orientasi seksual, ada juga yang tidak setuju.[4][5] Individu yang aseksual mungkin mewakili satu persen populasi.[2]

Berbagai komunitas aseksual telah mulai dibentuk sejak dampak Internet dan media sosial di pertengahan dasawarsa 1990an. Komunitas yang paling produktif dan terkenal di antara yang lainnya adalah Jaringan Kebertampakan dan Pendidikan Aseksual, yang didirikan pada tahun 2001 oleh David Jay.[4][12]

Definisi, identitas, dan hubungan

Aseksualitas terkadang disebut ace (kependekan fonetik dari "aseksual"[13]), sementara komunitasnya terkadang disebut komunitas ace, oleh para peneliti atau aseksual.[14][15] Karena ada begitu banyak variasi di antara orang-orang yang mengidentifikasi diri sebagai aseksual, aseksualitas dapat melingkupi definisi yang luas.[16] Para peneliti pada umumnya mendefinisikan aseksualitas sebagai kekurangan daya tarik seksual atau kekurangan ketertarikan seksual,[4][11][17] tetapi definisinya dapat beragam; mereka dapat menggunakan istilahnya "untuk mengacu pada individu yang memiliki hasrat atau ketertarikan seksual yang rendah maupun tak ada sama sekali, perilaku seksual yang rendah atau tak ada sama sekali, hubungan asmara eksklusif yang nonseksual, atau kombinasi ketiadaan hasrat dan perilaku seksual".[11][18] Identifikasi diri sebagai aseksual juga dapat menjadi faktor penentu.[18]

Jaringan Kebertampakan dan Pendidikan Aseksual mendefinisikan aseksual sebagai "seseorang yang tidak mengalami ketertarikan seksual" dan menyatakan, "Kaum minoritas kecil lainnya akan menganggap diri mereka sebagai aseksual selama periode waktu yang singkat sambil menjelajah dan mempertanyakan seksualitas mereka sendiri" dan bahwa "tak ada tes lakmus untuk menentukan apakah seseorang memang aseksual. Aseksualitas seperti identitas lainnya – pada intinya, hanya satu kata yang digunakan seseorang untuk membantu memahami diri sendiri. Jika pada titik tertentu seseorang menemukan kata aseksual berguna dalam menggambarkan diri mereka, kami mendorongnya menggunakannya selama masih masuk akal untuk melakukannya."[19]

Orang-orang aseksual, meskipun kekurangan ketertarikan seksual pada gender manapun, mungkin dapat terlibat dalam hubungan asmara murni, sementara yang lainnya tidak.[4][20] Ada individu yang diidentifikasi aseksual yang merasakan ketertarikan seksual tetapi tidak memiliki kehendak untuk bertindak atas ketertarikan itu karena mereka tidak memiliki hasrat yang sesungguhnya atau memiliki kebutuhan untuk terlibat dalam aktivitas seksual maupun nonseksual (berpelukan, berpegangan tangan, dsb.), sementara aseksual lainnya mau berpelukan atau terlibat dalam aktivitas fisik nonseksual lainnya.[7][8][11][16] Sebagian aseksual lainnya berpartisipasi dalam aktivitas seksual karena kepenasaran.[11] Sebagian mungkin bermasturbasi sebagai bentuk tunggal pelepasan, sementara yang lainnya tidak merasakan kebutuhan untuk melakukannya.[16][21][22]

Bertalian dengan aktivitas seksual khususnya, kebutuhan atau hasrat masturbasi biasanya diacu sebagai dorongan seks oleh para aseksual dan mereka memisahkannya dari ketertarikan seksual dan bertindak seksual; aseksual yang bermasturbasi pada umumnya menganggapnya sebagai produk normal tubuh manusia dan bukan pertanda seksualitas yang terpendam, dan mungkin bahkan tidak mendapatkan kepuasan darinya.[11][23] Sebagian lelaki aseksual tidak dapat ereksi dan aktivitas seksual dengan berusaha melakukan penetrasi tidak mungkin bagi mereka.[24] Para aseksual juga berbeda dalam perasaan mereka terhadap melakukan tindakan seks: sebagian tak acuh dan mungkin bersenggama untuk keuntungan kekasihnya; yang lainnya sangat enggan terhadap ide melakukannya, meskipun mereka biasanya bukannya tidak menyukai orang berhubungan seks.[11][16][22]

Banyak orang yang beridentitas aseksual juga diidentifikasi dengan label lainnya. Identitas lainnya ini meliputi bagaimana mereka mendefinisikan gender mereka dan orientasi hubungan asmara mereka.[25] Mereka seringkali akan menggabungkan karakteristik-karakteristik ini ke dalam label lebih besar yang menjadi identitas diri mereka. Berkenaan dengan aspek romantis atau emosi orientasi seksual atau identitas seksual, misalnya, aseksual mungkin mengidentifikasi diri mereka sebagai heteroseksual, lesbian, gay, biseksual, queer,[19][20] atau dengan mengikuti istilah-istilah untuk mengindikasikan bahwa mereka memiliki asosiasi dengan aspek romantik, dan bukan seksual, dari orientasi seksual:[16][20]

  • aromantis; kekurangan ketertarikan romantis terhadap siapapun
  • biromantis; dengan analogi pada biseksual
  • heteroromantis; dengan analogi terhadap heteroseksual
  • homoromantis; dengan analogi terhadap homoseksual
  • panromantis; dengan analogi terhadap panseksual

Orang-orang mungkin juga mengidentifikasi sebagai gray-A (seperti romantis abu-abu, demiromantis, demiseksual or semiseksual) karena mereka merasa di antara aromantis dan nonaromantis, atau di antara aseksualitas dan ketertarikan seksual. Sementara istilah gray-A mungkin melingkupi siapapun yang terkadang merasa daya tarik romantis atau seksual, demiseksual, atau semiseksual mengalami ketertarikan seksual hanya sebagai komponen sekunder, merasakan ketertarikan seksual setelah hubungan emosi yang stabil atau besar sudah tercipta.[16][26]

Kata dan frasa unik lainnya yang digunakan dalam komunitas aseksual untuk menguraikan identitas dan hubungan juga ada. Satu istilah yang diciptakan oleh para individu dalam komunitas aseksual adalah fokus-teman, yang mengacu pada hubungan nonromantis yang bernilai tinggi. Istilah lainnya termasuk squishes dan zucchinis, yaitu masing-masing idaman nonromantis dan hubungan platonik-queer. Sebagian askesual menggunakan bentuk kartu as yang sebagai identitas orientasi romantis mereka, seperti as sekop untuk aromantisisme dan as hati sebagai nonaromantisisme.[13]

Istilah-istilah seperti nonaseksual dan alloseksual digunakan untuk mengacu pada para individu yang ada di sisi berseberangan dengan spektrum seksualitas.[27]

Penelitian

Kelaziman

Skala Kinsey mengenai respon seksual, yang memperlihatkan tingkat orientasi seksual. Skala aslinya meliputi penamaan "X", yang mengindikasikan kurangnya perilaku seksual.[28]

Sebagian besar akademisi menyetujui aseksualitas itu langa, hanya meliputi 1% atau kurang dari populasi.[29] Aseksualitas bukan aspek baru dari seksualitas manusia, tpai secara relatif baru bagi wacana publik.[30] Sebagai perbandingan dengan seksualitas lainnya, aseksualitas telah menerima sedikit perhatian dari komunitas ilmuwab, dengan informasi kuantitatif mengenai kelaziman rendahnya jumlah aseksualitas.[31][32] S. E. Smith dari The Guardian tidak yakin aseksualitas meningkat, malah cenderung ke arah keyakinan yang sekadar lebih terlihat.[30] Alfred Kinsey memberi nilai individu dari 0 sampai 6 menurut orientasi seksual mereka dari heteroseksual sampai homoseksual, yang dikenal sebagai skala Kinsey. Dia juga memasukkan kategori yang disebut "X" untuk individu yang "tidak memiliki kontak seksual atau tanpa reaksi."[33][34] Meskipun dalam zaman modern ini dikategorikan sebagai perwakilan aseksualitas,[35] akademisi Justin J. Lehmiller menyatakan, "Klasifikasi X Kinsey menggarisbawahi kurangnya perilaku seksual, sementara definisi modern aseksualitas menggarisbawahi kurangnya ketertarikan seksual. Karenanya, Skala Kinsey mungkin tidak cukup akurat mengklasifikasi aseksualitas."[28] Kinsey melabeli 1.5% orang dewasa laki-laki dari populasi sebagai X.[33][34] Dalam buku keduanya, Sexual Behavior in the Human Female (Perilaku Seksual pada Manusia Perempuan), dia melaporkan rincian individu yang merupakan X: perempuan tak menikah = 14–19%, perempuan menikah = 1–3%, perempuan pernah menikah = 5–8%, laki-laki tidak menikah = 3–4%, laki-laki menikah = 0%, dan laki-laki pernah menikah = 1–2%.[34]

Data empiris yang lebih jauh mengenai demografi aseksual muncul pada tahun 1994, ketika sebuah tim penelitian di Britania Raya menjalankan sebuah survei komprehensif terhadap 18.876 penduduk Inggris, yang didorong oleh kebutuhan mengenai informasi seksual setelah pandemi AIDS. Survey tersebut meliputi pertanyaan mengenai ketertarikan seksual, yang dijawab oleh 1.05% responden dengan mereka "tidak pernah merasakan ketertarikan secara seksual pada siapapun sama sekali".[36] Kajian fenomena ini dilanjutkan oleh peneliti Kanada, Anthony Bogaert di tahun 2004, yang mengeksplorasi demografi aseksual dalam sebuah rangkaian kajian. Penelitian Bogaert mengindikasikan bahwa 1% populasi Inggris tidak mengalami ketertarikam seksual, tapi dia meyakini bahwa angka 1% bukan merupakan refleksi akurat dari persentase populasi yang kemungkinan jauh lebih besar yang dapat diidentifikasi sebagai aseksual, dengan catatan bahwa 30% orang yang dikontak untuk survei awal memilih untuk tidak berpartisipasi dalam survei ini. Karena orang-orang yang pengalaman seksualnya kurang menolak berpartisipasi dalam kajian mengenai seksualitas, dan aseksual cenderung kurang mendapat pengalaman seksual daripada orang-orang seksual, kemungkinan aseksual kurang terwakili dalam partisipasi responden. Kajian yang sama menemukan jumlah homoseksual dan biseksual dikombinasikan sekitar 1.1% dari populasi, yang jauh lebih kecil dibanding yang diindikasikan oleh kajian-kajian lainnya.[17][37]

Bertentangan dengan angka 1% Bogaert, sebuah kajian oleh Aicken et al., yang dipublikasikan pada tahun 2013, mengemukakan bahwa, berdasarkan data Natsal-2 dari tahun 2000 sampai 2001, kelaziman aseksualitas di Inggris hanya 0.4% untuk rentang usia 16–44.[18][38] Persentase ini mengindikasikan penurunan dari angka 0.9% yang ditentukan dari data Natsal-1 yang dikumpulkan dari rentang usia yang sama satu dasawarsa sebelumnya.[38] Analisis yang dilakukan tahun 2015 oleh Bogaert juga menemukan penurunan yang sama antara data Natsal-1 dan Natsal-2.[39] Aicken, Mercer, dan Cassell menemukan beberapa bukti perbedaan etnik di antara para responden yang tidak mengalami ketertarikan seksual; baik laki-laki maupun perempuan asal India dan Pakistan memiliki kemungkinan lebih tinggi melaporkan kekurangan ketertarikan seksual.[38]

Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh YouGov di tahun 2015, 1.632 penduduk Inggris dewasa diminta untuk berusaha menempatkan diri mereka dalam skala Kinsey. 1% peserta menjawab "Tanpa seksualitas". Perincian pesertanya adalah 0% laki-laki, 2% perempuan; 1% melintasi semua rentang usia.[40]

Orientasi seksual, kesehataan mental, dan penyebab

Ada perdebatan besar mengenai apakah aseksualitas merupakan orientasi seksual.[4][5] Aseksualitas telah dibandingkan dan disamakan dengan hypoactive sexual desire disorder/gangguan hasrat seksual hipoaktif (HSDD), bahwa keduanya mengimplikasikan kekurangan ketertarikan seksual secara umum pada siapapun; HSDD telah dipergunakan untuk secara medis merawat aseksualitas, tapi aseksualitas secara umum tidak dianggap sebagai gangguan atau disfungsi seksual (seperti anorgasmia, anhedonia, dll.), karena aseksualitas tidak berarti mendifinisikan seseorang memiliki masalah medis atau masalah yang berhubungan dengan orang lain secara sosial.[8][20][41] Tak seperti orang yang memiliki HSDD, orang-orang aseksual secara normal tidak mengalami "penanda kesulitan" dan "penderitaan antarpersonal" berkaitan dengan perasaan terhadap seksualitas mereka, atau secara umum kekurangan gairah seksual; aseksualitas dianggap kekurangan atau ketiadaan ketertarikan seksual sebagai karakteristik yang ditanggung selama hidup.[17][20] Salah satu kajian menemukan bahwa, dibandingkan dengan subjek HSDD, aseksual melaporkan tingkat yang lebih rendah dari hasrat seksual, pengalaman seksual, penderitaan yang berkenaan dengan seks, dan gejala-gejala depresif.[42] Peneliti Richards dan Barker melaporkan bahwa aseksualitas tidak memiliki kadar alexithymia, depresi, atau gangguan kepribadian.[20] Namun, sebagian orang mungkin mengidentifikasi diri aseksual meskipun kondisi nonseksual mereka dijelaskan oleh salah satu atau lebih gangguan yang disebut di atas.[43]

Kajian pertama yang memberikan data empiris mengenai aseksual diterbitkan pada tahun 1983 yang ditulis oleh Paula Nurius, mengenai hubungan antara orientasi seksual dan kesehatan mental.[44] 689 subjek—sebagian besar merupakan mahasiswa dari berbagai universitas di Amerika Serikat yang sedang mempelajari kelas-kelas psikologi atau sosiologi—diberi beberapa survei, termasuk empat skala kesehatan diri klinis. Hasilnya memperlihatkan aseksual lebih mungkin memiliki harga diri yang rendah dan lebih mungkin mengalami depresi daripada anggota orientasi seksual lainnya; 25.88% dari heteroseksual, 26.54% biseksuals (yang juga disebut "ambiseksual"), 29.88% homoseksual, dan 33.57% aseksual yang dilaporkan bermasalah dengan harga diri. Kecenderungan yang sama juga muncul bagi depresi. Nurius tidak percaya kesmpulan tegas dapat ditarik dari hal ini karena berbagai alasan.[44][45]

Dalam kajian tahun 2013, Yule et al. melihat variasi kesehatan mental antara Kaukasia yang heteroseksual, homoseksual, biseksual, dan aseksual. Hasilnya dari peserta 203 laki-laki dan 603 perempuan termasuk dalam temuan-temuannya. Yule et al. menemukan peserta laki-laki aseksual lebih mungkin dilaporkan mengalami gangguan suasana hati daripada laki-laki lainnya, khususnya bila dibandingkan dengan peserta heteroseksual. Hal yang sama juga ditemukan pada peserta perempuan aseksual dibanding dengan yang heteroseksual; namun, perempuan nonaseksual dan nonhetereseksual memiliki angka tertinggi. Peserta aseksual dari kedua jenis kelamin lebih mungkin memiliki gangguan kecemasan daripada peserta heteroseksual dan nonheteroseksual, karena mereka lebih mungkin daripada peserta heteroseksual participants dilaporkan memiliki perasaan bunuh diri dalam waktu yang belum lama berlalu. Yule et al. mengajukan hipotesis bahwa sebagian dari perbedaan ini mungkin karena diskriminasi dan faktor-faktor sosial lainnya.[46]

Berkenaan dengan kategori orientasi seksual, aseksualitas mungkin diperdebatkan bukan merupakan kategori yang berarti untuk ditambahkan pada rangkaiannya, dan malah diperdebatkan sebagai kekurangan orientasi seksual atau seksualitas.[5] Argumen lainnya berpendapat bahwa aseksualitas merupakan penyangkalan seksualitas alami seseorang, dan merupakan gangguan yang disebabkan oleh rasa malu terhadap seksualitas, kecemasan atau pelecehan seksual, terkadang mendasarkan keyakinan ini pada aseksual yang bermasturbasi atau sesekali terlibat dalam aktivitas seksual hanya untuk menyenangkan pasangan asmara.[5][22][24] Dalam konteks identitas politik orientasi seksual, aseksualitas mungkin secara pragmatis memenuhi fungsi politik satu kategori identitas orientasi seksual.[27]

Pendapat bahwa aseksualitas merupakan disfungsi seksual merupakan kontroversi di antara komunitas aseksual. Mereka uang mengidentifikasi diri sebagai aseksual biasanya memilih diakui sebagai orientasi seksual.[4] Para akademisi yang berpendapat bahwa aseksualitas merupakan orientasi seksual dapat menunjuk pada keberadaaan pilihan seksual yang berbeda.[5][7][24] Mereka dan banyak orang-orang aseksual meyakini bahwa kekurangan ketertarikan seksual cukup valid untuk dikategorikan sebagai orientasi seksual.[47] Para peneliti berpendapat bahwa aseksual tidak memilih untuk tidak memiliki hasrat seksual, dan secara umum mukai menemukan perbedaan mereka dalam perilaku seksual sekitar masa remaja. Karena fakta-fakta ini muncul, memang beralasan bahwa aseksualitas lebih dari sekadar pilihan perilaku dan bukan sesuatu yang dapat disembuhkan seperti gangguan.[24][48] Ada juga analisis mengenai apakah mengidentifikasi diri sebagai aseksual menjadi lebih populer.[49]

Penelitian mengenai etiologi orientasi seksual ketika diterapkan pada aseksualitas memiliki masalah definisi orientasi seksual yang tidak konsisten dengan definisi para peneliti yang memasukkan aseksualitas.[50] Ketika heteroseksualitas, homoseksualitas, dan biseksualitas biasanya, tapi tidak selalu, ditentukan selama tahun-tahun awal kehidupan sebelum masa remaja, tidak diketahui kapan aseksualitas dapat ditentukan. "Tidak jelas apakah karakteristik ini [yaitu, "kekurangan ketertarikan dalam atau hasrat untuk seks"] berlaku sepanjang hidup, ataukah diperoleh."[11]

Salah satu kriteria yang biasanya diambil untuk mendefinisikan orientasi seksual adalah kestabilan sepanjang waktu. Dalam sebuah analisis di tahun 2016 yang dimuat dalam Archives of Sexual Behavior, Brotto et al. menemukan "hanya dukungan lemah" bagi kriteria ini ditemui di antara individu aseksual.[51] Sebuah analisis mengenai data dari Kajian Longitudinal Nasional terhadap Kesehatan Remaja hingga Dewasa oleh Stephen Cranney menemukan bahwa, dari 14[a] individu yang dilaporkan tidak memiliki ketertarikan seksual dalam gelombang ketiga kajian ini (ketika subjeknya berada dalam usia 18 hingga 26 tahun), hanya tiga yang terus teridentifikasi seperti ini pada gelombang keempat, enam tahun kemudian.[53] Namun, Cranney mencatat bahwa identifikasi aseksual dalam gelombang ketiga masih signifikan sebagai penelaah identifikasi seksual dalam gelombang berikutnya. Dalam penafsiran selanjutnya, Cranney menyatakan bahwa interpretasi data ini diperumit oleh ketiadaan "penetapan standar kuantitatif untuk berapa lama hasrat seksual berlangsung sebelum dianggap cukup stabil atau mendalam untuk dianggap sebagai orientasi".[52]

Aktivitas seksual dan seksualitas

Meskipun sebagian aseksual bermasturbasi sebagai bentuk tunggal pelepasan atau melakukan hubungan badan untuk keuntungan pasangan asmara, yang lainnya tidak (lihat di atas).[11][16][21] Fischer et al. melaporkan bahwa "para akademisi yang mengkaji fisiologi sekitar aseksualitas berpendapat bahwa orang-orang aseksual mampu bergairah berkenaan dengan alat kelaminnya tapi mungkin mengalami kesulitan dengan yang disebut rangsangan subjektif." Ini artinya adalah "meskipun tubuhnya terangsang, secara subjektif – di tingkat pikiran dan emosi – seseorang tidak mengalami rangsangan".[18]

Institut Kinsey mensponsori survei kecil lainnya mengenai topik ini di tahun 2007, yang menemukan bahwa aseksual yang mengidentifikasi diri "dilaporkan secara signifikan kurang berhasrat seks dengan pasangan, memiliki tingkat terangsang secara seksual lebih rendah, dan memiliki gairah seksual yang lebih rendah, tetapi tidak berbeda secara konsisten dari nonaseksual dalam angka penghambatan seksual mereka atau hasrat bermasturbasi mereka".[11]

Sebuah makalah di tahun 1977 berjudul Asexual and Autoerotic Women: Two Invisible Groups, yang ditulis oleh Myra T. Johnson, secara eksplisit dipersembahkan pada aseksualitas dalam manusia.[54] Johnson mendefinisikan aseksual sebagai lelaki dan perempuan "yang, dengan mengabaikan kondisi fisik atau emosi, sejarah seksual sesungguhnya, dan status pernikahan, maupun orientasi ideologis, tampaknya memilih untuk tidak terlibat dalam aktivitas seksual." Dia membandingkan perempuan otoerotik dengan perempuan aseksual: "Perempuan aseksual... tidak memiliki hasrat seksual sama sekali [tapi] perempuan otoerotik... mengenali hasrat semacam itu namun memilih untuk memuaskan diri sendiri." Bukti Johnson sebagian besar adalah surat-surat yang ditemukan redaksi dalam majalah-majalah perempuan yang ditulis oleh perempuan aseksual/otoerotik. Dia menggambarkan mereka sebagai tak terlihat, "tertekan oleh sebuah konsensus bahwa mereka tidak ada," dan ditinggalkan baik oleh revolusi seksual maupun gerakan feminis. Johnson berpendapat bahwa masyarakat mengabaikan atau menyangkal keberadaan mereka atau bersikeras mereka pasti pertapa untuk berbagai alasan relijius, neurotik, atau aseksual karena alasan politis.[54][55]

Dalam sebuah kajian yang diterbitkan tahun 1979 dalam buku kelima Advances in the Study of Affect, dan juga dalam artikel lain yang menggunakan data yang sama dan diterbitkan di tahun 1980 dalam Journal of Personality and Social Psychology, Michael D. Storms dari Universitas Kansas mengikhtisarkan skala Kinsey yang digambarkan kembali oleh dirinya sendiri. Sementara Kinsey mengukur orientasi seksual berdasarkan kombinasi perilaku seksual dan berfantasi serta erotisisme yang sesungguhnya, Storms hanya menggunakan berfantasi dan erotisisme. Namun, Storms menempatkan heteroeritisisme dan homoerotisisme pada sumbu yang berbeda, bukan pada dua ujung sumbu yang sama; hal ini memungkinkan perbedaan antara biseksualitas (yang memeragakan baik heteroerotisisme maupun homoerotisisme dalam tingkatan yang masing-masing dapat dibandingkan dengan heteroseksual atau homoseksual) dan aseksual (yang memeragakan tingkat homoerotisisme yang dapat dibandingkan dengan heteroseksual dan tingkat heteroerotisisme yang dapat dibandingkan dengan homoseksual, yaitu, sedikit sekali hingga tak ada sama sekali). Jenis skala ini diperuntukkan bagi aseksualitas untuk pertama kalinya.[56] Storms memperkirakan bahwa banyak peneliti yang mengikuti model Kinsey dapat salah mengategorikan subjek aseksual sebagai biseksual, karena keduanya secara sederhana didefinisikan oleh kekurangan pilihan gender dalam pasangan seksual.[57][58]

Dalam sebuah kajian tahun 1983 oleh Paula Nurius, yang menyertakan 689 subjek (sebagian besar merupakan mahasiswa berbagai universitas di Amerika Serikat yang sedang mempelajari kelas-kelas psikologi atau sosiologi), skala berfantasi dan erotisisme dua dimensi digunakan untuk mengukur orientasi seksual. Berdasarkan hasilnya, para responden diberi angka mulai dari 0 hingga 100 untuk heteroerotisisme 0 sampai 100 untuk homoerotisisme. Para responden yang memiliki angka kurang dari 10 pada keduanya dilabeli "aseksual". Mereka ini terdiri dari 5% lelaki dan 10% perempuan. Hasilnya memperlihatkan bahwa aseksual dilaporkan memiliki frekuensi yang jauh lebih rendah dan memiliki hasrat frekuensi aktivitas seksual yang bervariasi termasuk memiliki pasangan banyak, aktivitas seksual anal, berhubungan seksual dengan lokasi yang bervariasi, dan berbagai aktivitas otoerotik.[44][45]

Penelitian Feminis

Bidang kajian aseksualitas masih muncul sebagai turunan dari bidang yang lebih luas mengenai kajian gender dan seksualitas. Para peneliti terkemuka yang telah menghasilkan karya signifikan dalam kajian aseksualitas di antaranyaKJ Cerankowski, Ela Przybylo, dan CJ DeLuzio Chasin.

Sebuah naskah yang ditulis tahun 2010 oleh KJ Cerankowski dan Megan Milks, berjudul New Orientations: Asexuality and Its Implications for Theory and Practice, mengemukakan bahwa aseksualitas mungkin serupa pertanyaan tersendiri untuk kajian gender dan seksualitas.[59] Cerankowski dan Milks berpendapat bahwa aseksualitas menimbulkan lebih banyak lagi pertanyaan dari yang telah dijawabnya, seperti bagaimana seseorang dapat puasa berhubungan seks, yang secara umum diterima oleh masyarakat sebagai naluri paling mendasar.[60] Makalah New Orientations mereka menyatakan bahwa masyarakat memiliki anggapan "Seksualitas [LGBT dan] perempuan sebagai berdaya atau tertindas. Gerakan aseksual menantang asumsi tersebut dengan menantang banyak paham dasar mengenai feminisme proseks [yang didalamnya] sudah didefinisikan sebagai seksualitas represif atau antiseks." Sebagai tambahan untuk menerima identifikasi diri sebagai aseksual, Jaringan Kebertampakan dan Pendidikan Aseksual telah merumuskan aseksualitas sebagai orientasi yang ditentukan secara biologis. Rumusan ini, jika dibedah secara ilmiah dan dibuktikan, akan mendukung kajian buta peneliti Simon LeVay mengenai hipotalamus dalam lelaki gay, perempuan, dan lelaki lurus, yang mengindikasikan bahwa ada perbedaan biologis antara lelaki lurus dan lelaki gay.[61]

Di tahun 2014, Cerankowski dan Milks menyunting dan menerbitkan Asexualities: Feminist and Queer Perspectives, sebuah koleksi esai yang dimaksudkan untuk menjelajahi politik aseksualitas dari perspektif feminis dan queer.[60] Koleksi ini dibagi menjadi pendahuluan dan enam bagian: Meneorikan Aseksualitas: Orientasi Baru; Politik Aseksualitas; Memvisualkan Aseksualitas dalam Budaya Media; Aseksualitas dan Maskulinitas; Kesehatan, Ketunaan, dan Medikalisasi; serta Membaca Secara Aseksual: Teori Karya Tulis Aseksual. Setiap bagian terdiri dari dua sampai tiga naskah yang mengulas aspek penelitian aseksualitas yang sesuai. Salah satu naskahnya ditulis oleh Ela Przybylo, nama lain yang mulai dikenal dalam karya tulis akademis aseksual. Artikelnya, berkenaan dengan antologi Cerankowski dan Milks, memusatkan perhatian pada laki-laki yang mengidentifikasi diri aseksual, khususnya pada pengalaman tekanan-tekanan yang dialami laki-laki terhadap berhubungan seks dalam wacana dan media Barat yang dominan. Tiga lelaki ynggal di Ontario bagian Selatan, Kanada, diwawancari pada tahun 2011, dan Przybylo mengakui bahwa ukuran sampelnya yang kecil artinya penemuannya tak dapat digeneralisasikan pada populasi yang lebih besar dalam hal keterwakilan, dan bahwa mereka "bersifat menyelidiki dan sementara", terutama dalam bidang yang masih kekurangan dalam teorisasi.[62] Ketiga orang yang diwawancara terpengaruh oleh stereotipe bahwa lelaki harus menikmati dan menginginkan seks untuk menjadi "lelaki sejati".[62]

Karya Przybylo lainnya, Asexuality and the Feminist Politics of "Not Doing It", yang diterbitkan di tahun 2011, mengenakan lensa feminis untuk menulis ilmiah tentang aseksualitas. Pryzyblo berpendapat bahwa aseksualitas dimungkinkan hanya melalui konteks orang Barat mengenai "keharusan-keharusan seksual, senggama, dan heteroseksual".[63] Dia menyebutkan karya-karya terdahulu yang ditulis oleh Dana Densmore, Valerie Solanas, dan Breanne Fahs, yang berpendapat "aseksualitas dan selibat" sebagai strategi politik feminis melawan patriarki.[63] Meskipun Przybylo memang membuat pemisahan antara aseksualitas dan selibat, dia menganggap mengaburkan garis di antara keduanya membuat produktif bagi seorang feminis memahami topik tersebut.[63] Dalam naskahnya di tahun 2013, "Memproduksi Fakta: Aseksualitas Empiris dan Kajian Ilmiah Mengenai Seks", Przybylo membedakan antara dua tahap berbeda penelitian aseksual: bahwa akhir dasawarsa 1970an hingga awal 1990an, yang sering meliputi pemahaman sangat terbatas mengenai aseksualitas, dan peninjauan kembali yang dilakukan lebih baru mengenai subjek tersebut yang dikatakannya dimulai oleh kajian Bogaert di tahun 2004 dan telah mempopulerkan subjek tersebut dan membuatnya lebih "terlihat secara budaya". Dalam artikel ini, sekali lagi Przybylo menegaskan pemahaman aseksualitas sebagai fenomena budaya, dan tetap kritis mengenai kajian ilmiahnya.[64] Pryzblo menerbitkan sebuah buku, Asexual Erotics, di tahun 2019. Dalam buku ini, dia berpendapat bahwa aseksualitas memiliki "paradoks" yaitu orientasi seksual yang didefinisikan oleh sama sekali ketiadaan aktivitas seksual. Dia membedakan antara pemahaman sosiologis mengenai aseksualitas dan pemahaman budaya, yang menurutnya dapat meliputi "jalinan terbuka berbagai kemungkinan, kesenjangan, ketumpangtindihan, perselisihan, dan keharmonisan".[65]

CJ DeLuzio Chasin menyatakan dalam Reconsidering Asexuality and Its Radical Potential bahwa penelitian akademis mengenai aseksualitas "telah memposisikan aseksualitas sejajar dengan wacana esensialis mengenai orientasi seksual" yang merepotkan karena menciptakan sebuah biner antara aseksual dan orang-orang yang telah dikenai intervensi psikiatris untuk gangguan-gangguan seperti Gangguang Hasrat Seksial Hipoaktif.[41] Chasin mengatakan bahwa biner ini mengimplikasikan bahwa semua aseksual mengalami (karenanya menanggung) kekurangan ketertarikan seksual seumur hidup, sehingga semua nonaseksual yang mengalami kekurangan hasrat seksual merasa tertekan karenanya, dan menganggap para aseksual yang mengalami perasaan tertekan seperti itu abnormal secara psikologis.[41] Seperti yang dikatakan Chasin yang mendiagnosa sebagai HSDD bertindak mengobati dan merawat serta mengatur seksualitas perempuan, artikel itu bertujuan "mengungkap" definisi aseksual yang bermasalah yang berbahaya baik pada aseksual maupun perempuan. Chasin menyatakan bahwa aseksualitas memiliki daya untuk menantang wacana lumrah mengenai kealamian seksualitas, tapi penerimaan tanpa mempertanyakan definisi saat ini tidak memperkenankannya. Chasin juga berpendapat di situ dan di dalam karya lainnya dalam Making Sense in and of the Asexual Community: Navigating Relationships and Identities in a Context of Resistance bahwa merupakan hal yang penting untuk mempertanyakan kenapa seseorang dapat merasa tertekan mengenai hasrat seksual yang rendah. Chasin berargumen lebih jauh bahwa para dokter memiliki kewajiban secara etis untuk menghindari merawat hasrat seksual yang rendah pada hakikatnya sebagai ketidaknormalan psikologis, dan untuk mendiskusikan aseksualitas sebagai kemungkinan yang layak (saat relevan) dengan pasien yang secara klinis datang karena hasrat seksual yang rendah.[27]

Titik pertemuan dengan ras dan ketunaan

Akademisi Ianna Hawkins Owen menuliskan, "Kajian-kajian mengenai ras telah mengungkapkan penyebaran aseksualitas dalam wacana dominan sebagai satu perilaku seksual ideal untuk membenarkan baik pemberdayaan orang-orang kulit putih maupun pensubordinasian orang-orang kulit hitam untuk menegakkan sistem sosial dan politik yang dirasialisasi."[66] Hal ini sebagian karena seksualisasi dan deseksualisasi secara bersamaan terhadap perempuan-perempuan kulit hitam dalam pola dasar mami, dan juga bagaimana masyarakat mendeseksualisasi minoritas ras tertentu, sebagai bagian dari penawaran untuk mengklaim superioritas oleh bangsa berkulit putih.[66] Situasi ini hidup berdampingan dengan seksualisasi tubuh perempuan kulit hitam dalam pola dasar Jezebel, yang keduanya digunakan untuk membenarkan perbudakan dan memungkinkan pengendalian yang lebih jauh.[66] Owen juga mengkritisi "...investasi dalam membangun aseksualitas atas nama ras kulit putih (siapa lagi yang dapat mengklaim akses utuk menjadi seperti orang-orang lainnya?)".[67] Eunjung Kim mengomentari pada titik temu antara ketunaan atau teori lumpuh dan aseksualitas, dengan mengatakan bahwa orang-orang penyandang ketunaan lebih sering dideseksualisasi.[68][69] Kim membandingkan gagasan perempuan dingin dengan aseksualitas dan menganalisis sejarahnya dari sudut queer, orang lumpuh, dan feminis. Akasemisi Karen Cuthbert berkomentar "menyediakan diskusi pertama yang berlandaskan empiris mengenai titik temu aseksualitas dan ketunaan (dan pada hal yang lebih sempit, gender dan 'ras')."[70]

Karya dan teori psikologis Bogaert

Bogaert berpendapat bahwa memahami aseksualitas adalah kunci penting untuk memahami seksualitas secara umum.[39] Utuk karyanya, Bogaert mendefinisikan aseksualitas sebagai "kekurangan keinginan/perasaan bernafsu yang ditujukan pada orang lain," satu definisi yang menurutnya relatif baru dalam teori dan karya empiris terkini mengenai orientasi seksual. Definisi aseksualitas ini juga memperjelas perbedaan antara perilaku dan hasrat, baik untuk aseksualitas maupun selibat, meskipun Bogaert juga mencatat bahwa ada bukti aktivitas seksual yang dikurangi bagi yang masuk dalam definisi ini. Dia membedakan lebih jauh lagi antara hasrt bagi orang lain dan hasrat untuk rangsangan seksual, yang terakhir tidak selalu absen bagi mereka yang teridentifikasi sebagai aseksual, meskipun dia mengakui bagi pembuat teori lainnya mendefinisikan aseksualitas secara berbeda dan bahwa penelitian lebih jauh perlu dilakukan mengenai "hubungan yang rumit antara ketertarikan dan hasrat".[39] Perbedaan lainnya dibuat antara ketertarikan asmara dan seksual, dan dia menyebutkan karya dari psikologi perkembangan, yang menyarankan bahwa sistem romantis yang diambil dari teori kasih sayang sementara sistem seksual "terutama bersarang di struktur otak yang berbeda".[39]

Concurrent with Bogaert's suggestion that understanding asexuality will lead to a better understanding of sexuality overall, he discusses the topic of asexual masturbation to theorize on asexuals and "'target-oriented' paraphilia, in which there is an inversion, reversal, or disconnection between the self and the typical target/object of sexual interest/attraction" (such as attraction to oneself, labelled "automonosexualism").[39]

In an earlier 2006 article, Bogaert acknowledges that a distinction between behavior and attraction has been accepted into recent conceptualizations of sexual orientation, which aids in positioning asexuality as such.[71] He adds that, by this framework, "(subjective) sexual attraction is the psychological core of sexual orientation", and also addresses that there may be "some skepticism in [both] the academic and clinical communities" about classifying asexuality as a sexual orientation, and that it raises two objections to such a classification: First, he suggests that there could be an issue with self-reporting (i.e., "a 'perceived' or 'reported' lack of attraction", particularly for definitions of sexual orientation that consider physical arousal over subjective attraction), and, second, he raises the issue of overlap between absent and very low sexual desire, as those with an extremely low desire may still have an "underlying sexual orientation" despite potentially identifying as asexual.[71]

Community

General

Templat:LGBT symbols

Some members of the asexual community opt to wear a black ring on the middle finger of their right hand as a form of identification.[72]

An academic work dealing with the history of the asexual community is presently lacking.[73] Although a few private sites for people with little or no sexual desire existed on the Internet in the 1990s,[74] scholars state that a community of self-identified asexuals coalesced in the early 21st century, aided by the popularity of online communities.[75] Volkmar Sigusch stated that "Groups such as 'Leather Spinsters' defended asexual life against the pressure of culture" and that "Geraldin van Vilsteren created the 'Nonlibidoism Society' in the Netherlands, while Yahoo offered a group for asexuals, 'Haven for the Human Amoeba.'"[74] The Asexual Visibility and Education Network (AVEN) is an organization founded by American asexuality activist David Jay in 2001 that focuses on asexuality issues.[4] Its stated goals are "creating public acceptance and discussion of asexuality and facilitating the growth of an asexual community".[4][12]

For some, being a part of a community is an important resource because they often report having felt ostracized.[25] Although online communities exist, affiliation with online communities vary. Some question the concept of online community, while others depend on the online asexual community heavily for support. Elizabeth Abbott posits that there has always been an asexual element in the population, but that asexual people kept a low profile. While the failure to consummate marriage was seen as an insult to the sacrament of marriage in medieval Europe, and has sometimes been used as grounds for divorce or to rule a marriage void, asexuality, unlike homosexuality, has never been illegal, and it has usually gone unnoticed. However, in the 21st century, the anonymity of online communication and general popularity of social networking online has facilitated the formation of a community built around a common asexual identity.[76]

Communities such as AVEN can be beneficial to those in search of answers to solve a crisis of identity with regard to their possible asexuality. Individuals go through a series of emotional processes that end with their identifying with the asexual community. They first realize that their sexual attractions differ from those of most of society. This difference leads to questioning whether the way they feel is acceptable, and possible reasons for why they feel this way. Pathological beliefs tend to follow, in which, in some cases, they may seek medical help because they feel they have a disease. Self-understanding is usually reached when they find a definition that matches their feelings. Asexuality communities provide support and information that allows newly identified asexuals to move from self-clarification to identifying on a communal level, which can be empowering, because they now have something to associate with, which gives normality to this overall socially-isolating situation.[77]

Asexual organizations and other Internet resources play a key role in informing people about asexuality. The lack of research makes it difficult for doctors to understand the causation. Like with any sexual orientation, most people who are asexual are self-identified. This can be a problem when asexuality is mistaken for an intimacy or relationship problem or for other symptoms that do not define asexuality. There is also a significant population that either does not understand or does not believe in asexuality, which adds to the importance of these organizations to inform the general population; however, due to the lack of scientific fact on the subject, what these groups promote as information is often questioned.

On June 29, 2014, AVEN organized the second International Asexuality Conference, as an affiliate WorldPride event in Toronto. The first was held at the 2012 World Pride in London.[78] The second such event, which was attended by around 250 people, was the largest gathering of asexuals to date.[79] The conference included presentations, discussions, and workshops on topics such as research on asexuality, asexual relationships, and intersecting identities.

Symbols

The asexual pride flag

In 2009, AVEN members participated in the first asexual entry into an American pride parade when they walked in the San Francisco Pride Parade.[80] In August 2010, after a period of debate over having an asexual flag and how to set up a system to create one, and contacting as many asexual communities as possible, a flag was announced as the asexual pride flag by one of the teams involved. The final flag had been a popular candidate and had previously seen use in online forums outside of AVEN. The final vote was held on a survey system outside of AVEN where the main flag creation efforts were organized. The flag colors have been used in artwork and referenced in articles about asexuality.[81] The flag consists of four horizontal stripes: black, grey, white, and purple from top to bottom. The black stripe represents asexuality, the grey stripe representing the grey-area between sexual and asexual, the white stripe sexuality, and the purple stripe community.[82][83][84]

Ace Week

Ace Week (formerly Asexual Awareness Week) occurs on the last full week in October. It is an awareness period that was created to celebrate and bring awareness to asexuality (including grey asexuality).[85][86] It was founded by Sara Beth Brooks in 2010.[87][88]

International Asexuality Day

International Asexuality Day (IAD) is an annual celebration of the asexuality community that takes place on 6 April.[89] The intention for the day is "to place a special emphasis on the international community, going beyond the anglophone and Western sphere that has so far had the most coverage".[90] An international committee spent a little under a year preparing the event, as well as publishing a website and press materials.[91] This committee settled on the date of 6 April to avoid clashing with as many significant dates around the world as possible, although this date is subject to review and may change in future years.[90][92]

The first International Asexuality Day was celebrated in 2021 and involved asexuality organisations from at least 26 countries.[89][93][94] Activities included virtual meetups, advocacy programs both online and offline, and the sharing of stories in various art-forms.[95]

Religion

Studies have found no significant statistical correlation between religion and asexuality,[96] with asexuality occurring with equal prevalence in both religious and irreligious individuals.[96] Nonetheless, asexuality is not uncommon among celibate clergy, since others are more likely to be discouraged by vows of chastity.[97] In Aicken, Mercer, and Cassell's study, a higher proportion of Muslim respondents than Christian ones reported that they did not experience any form of sexual attraction.[96]

Because of the relatively recent application of the term asexuality, most religions do not have clear stances on it.[98][sumber tepercaya?] In [[]] Matthew:19:11-12-9, Jesus mentions "For there are eunuchs who were born that way, and there are eunuchs who have been made eunuchs by others – and there are those who choose to live like eunuchs to the sake of the kingdom of heaven."[99] Some biblical exegetes have interpreted the "eunuchs who were born that way" as including asexuals.[99][100]

Christianity has traditionally revered celibacy (which is not the same as asexuality); the apostle Paul, writing as a celibate, has been described by some writers as asexual.[101] He writes in [[|]] Corinthians#7:6-9 1 Corinthians:7:6-9-9,

I wish that all men were as I am. But each man has his own gift from God; one has this gift, another has that. Now to the unmarried and the widows I say: It is good for them to stay unmarried, as I am. But if they cannot control themselves, they should marry, for it is better to marry than to burn with passion.

Asexuals marching in a pride parade in London

A 2012 study published in Group Processes & Intergroup Relations reported that asexuals are evaluated more negatively in terms of prejudice, dehumanization and discrimination than other sexual minorities, such as gay men, lesbians and bisexuals. Both homosexual and heterosexual people thought of asexuals as not only cold, but also animalistic and unrestrained.[102] A different study, however, found little evidence of serious discrimination against asexuals because of their asexuality.[103] Asexual activist, author, and blogger Julie Decker has observed that sexual harassment and violence, such as corrective rape, commonly victimizes the asexual community.[104] Sociologist Mark Carrigan sees a middle ground, arguing that while asexuals do often experience discrimination, it is not of a phobic nature but "more about marginalization because people genuinely don't understand asexuality."[105]

Asexuals also face prejudice from the LGBT community.[47][104] Many LGBT people assume that anyone who is not homosexual or bisexual must be straight[47] and frequently exclude asexuals from their definitions of queer.[47] Although many well-known organizations devoted to aiding LGBTQ communities exist,[47] these organizations generally do not reach out to asexuals[47] and do not provide library materials about asexuality.[47] Upon coming out as asexual, activist Sara Beth Brooks was told by many LGBT people that asexuals are mistaken in their self-identification and seek undeserved attention within the social justice movement.[104] Other LGBT organizations, such as The Trevor Project and the National LGBTQ Task Force, explicitly include asexuals because they are non-heterosexual and can therefore be included in the definition of queer.[106][107] Some organizations now add an A to the LGBTQ acronym to include asexuals; however, this is still a controversial topic in some queer organizations.[108]

In some jurisdictions, asexuals have legal protections. While Brazil bans since 1999 whatever pathologization or attempted treatment of sexual orientation by mental health professionals through the national ethical code,[109] the U.S. state of New York has labeled asexuals as a protected class.[110] However, asexuality does not typically attract the attention of the public or major scrutiny; therefore, it has not been the subject of legislation as much as other sexual orientations have.[37]

In the media

Sir Arthur Conan Doyle intentionally portrayed his character Sherlock Holmes as what would today be classified as asexual.[97]

Asexual representation in the media is limited and rarely openly acknowledged or confirmed by creators or authors.[111] In works composed prior to the beginning of the twenty-first century, characters are generally automatically assumed to be sexual[112] and the existence of a character's sexuality is usually never questioned.[112] Sir Arthur Conan Doyle portrayed his character Sherlock Holmes as what would today be classified as asexual,[97] with the intention to characterize him as solely driven by intellect and immune to the desires of the flesh.[97] The Archie Comics character Jughead Jones was likely intended by his creators as an asexual foil to Archie's excessive heterosexuality, but, over the years, this portrayal shifted, with various iterations and reboots of the series implying that he is either gay or heterosexual.[97][113] In 2016, he was confirmed to be asexual in the New Riverdale Jughead comics.[113] The writers of the 2017 television show Riverdale, based on the Archie comics, chose to depict Jughead as a heterosexual despite pleas from both fans and Jughead actor Cole Sprouse to retain Jughead's asexuality and allow the asexual community to be represented alongside the gay and bisexual communities, both represented in the show.[114] This decision sparked conversations about deliberate asexual erasure in the media and its consequences, especially on younger viewers.[115]

Anthony Bogaert has classified Gilligan, the eponymous character of the 1960s television series Gilligan's Island, as asexual.[97] Bogaert suggests that the producers of the show likely portrayed him in this way to make him more relatable to young male viewers of the show who had not yet reached puberty and had therefore presumably not yet experienced sexual desire.[97] Gilligan's asexual nature also allowed the producers to orchestrate intentionally comedic situations in which Gilligan spurns the advances of attractive females.[97] Films and television shows frequently feature attractive, but seemingly asexual, female characters who are "converted" to heterosexuality by the male protagonist by the end of the production.[97] These unrealistic portrayals reflect a heterosexual male belief that all asexual women secretly desire men.[97]

Asexuality as a sexual identity, rather than as a biological entity, became more widely discussed in the media in the beginning of the twenty-first century.[111] The Fox Network series House represented an "asexual" couple in the episode "Better Half". However, this representation has been questioned by members of the asexual community (including AVEN founder, David Jay) due to the episode concluding in the reveal that the man simply had a pituitary tumor that reduced his sex drive, and the woman was only pretending to be asexual to please him.[116] This led to controversy over the representation and a change.org petition for Fox Network to reconsider how it represents asexual characters in the future, stating it "represented asexuality very poorly by attributing it to both medical illness and deception."[116] Children's animated television series SpongeBob SquarePants was under speculation (2002) and later controversy (2005) because of claims that SpongeBob and his best friend, Patrick, are gay.[117][118] This prompted the creator, Stephen Hillenburg, to clarify on both occasions that he does not consider them gay or heterosexual, but rather asexual.[119][120][121] He also linked SpongeBob's ability to reproduce asexually by "budding" to further explain that the character doesn't necessarily need relationships.[122]

The Netflix series BoJack Horseman revealed in the end of the third season that Todd Chavez, one of the primary characters, is asexual. This has been further elaborated in the fourth season of the series and has been generally well accepted by the asexual community for its methods of positive representation.[123]

See also

Explanatory notes

  1. ^ This denominator is mistakenly given as 25 in the abstract of Cranney's initial study. The number of individuals who reported no sexual attraction in wave III was 14, according to Table 2, the first paragraph of the section "Multivariate Analysis", and the following quote from Cranney's subsequent commentary: "Specifically, of the 14 people who indicated 'no sexual attraction' in Wave III, only three went on to do so in Wave IV (Table 2)."[52]

References

  1. ^ Robert L. Crooks; Karla Baur (2016). Our Sexuality. Cengage Learning. hlm. 300. ISBN 978-1305887428. Diakses tanggal January 4, 2017. 
  2. ^ a b c Katherine M. Helm (2015). Hooking Up: The Psychology of Sex and Dating. ABC-CLIO. hlm. 32. ISBN 978-1610699518. Diarsipkan dari versi asli tanggal November 22, 2020. Diakses tanggal January 4, 2017. 
  3. ^ Kelly, Gary F. (2004). "Chapter 12". Sexuality Today: The Human PerspectivePerlu mendaftar (gratis) (edisi ke-7th). McGraw-Hill. hlm. 401 (sidebar). ISBN 978-0-07-255835-7. Asexuality is a condition characterized by a low interest in sex. 
  4. ^ a b c d e f g h i Marshall Cavendish, ed. (2010). "Asexuality". Sex and Society. 2. Marshall Cavendish. hlm. 82–83. ISBN 978-0-7614-7906-2. Diarsipkan dari versi asli tanggal October 16, 2015. Diakses tanggal July 27, 2013. 
  5. ^ a b c d e f Bogaert, AF (April 2015). "Asexuality: What It Is and Why It Matters". The Journal of Sex Research. 52 (4): 362–379. doi:10.1080/00224499.2015.1015713. PMID 25897566. 
  6. ^ Scherrer, Kristin (2008). "Coming to an Asexual Identity: Negotiating Identity, Negotiating Desire". Sexualities. 11 (5): 621–641. doi:10.1177/1363460708094269. PMC 2893352alt=Dapat diakses gratis. PMID 20593009. 
  7. ^ a b c d Margaret Jordan Halter; Elizabeth M. Varcarolis (2013). Varcarolis' Foundations of Psychiatric Mental Health Nursing. Elsevier Health Sciences. hlm. 382. ISBN 978-1-4557-5358-1. Diarsipkan dari versi asli tanggal July 26, 2020. Diakses tanggal May 7, 2014. 
  8. ^ a b c DePaulo, Bella (September 26, 2011). "ASEXUALS: Who Are They and Why Are They Important?". Psychology Today. Diarsipkan dari versi asli tanggal October 1, 2015. Diakses tanggal December 13, 2011. 
  9. ^ The American Heritage Dictionary of the English Language (3d ed. 1992), entries for celibacy and thence abstinence.
  10. ^ "Sexual orientation, homosexuality and bisexuality". American Psychological Association. Diarsipkan dari versi asli tanggal August 8, 2013. Diakses tanggal March 30, 2013. 
  11. ^ a b c d e f g h i j k l Prause, Nicole; Cynthia A. Graham (August 2004). "Asexuality: Classification and Characterization" (PDF). Archives of Sexual Behavior. 36 (3): 341–356. doi:10.1007/s10508-006-9142-3. PMID 17345167. Diakses tanggal April 4, 2022. 
  12. ^ a b Swash, Rosie (February 25, 2012). "Among the asexuals". The Guardian. Diarsipkan dari versi asli tanggal February 11, 2021. Diakses tanggal February 2, 2013. 
  13. ^ a b Decker, Julie S. (2015). The Invisible Orientation: An Introduction to Asexuality. Simon and Schuster. ISBN 9781510700642. Diarsipkan dari versi asli tanggal April 12, 2021. Diakses tanggal 20 April 2019.  Templat:Page number needed
  14. ^ Meg Barker (2012). Rewriting the Rules: An Integrative Guide to Love, Sex and Relationships. Routledge. hlm. 69. ISBN 978-0415517621. Diarsipkan dari versi asli tanggal July 26, 2020. Diakses tanggal February 8, 2016. 
  15. ^ Shira Tarrant (2015). Gender, Sex, and Politics: In the Streets and Between the Sheets in the 21st Century. Routledge. hlm. 254–256. ISBN 978-1317814764. Diarsipkan dari versi asli tanggal May 24, 2021. Diakses tanggal February 8, 2016. 
  16. ^ a b c d e f g Karli June Cerankowski; Megan Milks (2014). Asexualities: Feminist and Queer Perspectives. Routledge. hlm. 89–93. ISBN 978-1-134-69253-8. Diarsipkan dari versi asli tanggal July 16, 2014. Diakses tanggal July 3, 2014. 
  17. ^ a b c Bogaert, Anthony F. (2006). "Toward a conceptual understanding of asexuality". Review of General Psychology. 10 (3): 241–250. doi:10.1037/1089-2680.10.3.241. Diarsipkan dari versi asli tanggal January 14, 2012. Diakses tanggal August 31, 2007. 
  18. ^ a b c d Nancy L. Fischer; Steven Seidman (2016). Introducing the New Sexuality Studies. Routledge. hlm. 183. ISBN 978-1317449188. Diarsipkan dari versi asli tanggal July 26, 2020. Diakses tanggal January 4, 2017. 
  19. ^ a b "Overview". The Asexual Visibility and Education Network. 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal November 19, 2016. Diakses tanggal January 6, 2016. 
  20. ^ a b c d e f Christina Richards; Meg Barker (2013). Sexuality and Gender for Mental Health Professionals: A Practical Guide. SAGE. hlm. 124–127. ISBN 978-1-4462-9313-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal July 28, 2014. Diakses tanggal July 3, 2014. 
  21. ^ a b Westphal, Sylvia Pagan. "Feature: Glad to be asexual". New Scientist. Diarsipkan dari versi asli tanggal December 19, 2007. Diakses tanggal 11 November 2007. 
  22. ^ a b c Bridgeman, Shelley (5 August 2007). "No sex please, we're asexual". The New Zealand Herald. Diarsipkan dari versi asli tanggal November 3, 2018. Diakses tanggal September 16, 2011. 
  23. ^ Yule, Morag A.; Brotto, Lori A.; Gorzalka, Boris B. (2014). "Sexual fantasy and masturbation among asexual individuals". The Canadian Journal of Human Sexuality. 23 (2): 89–95. doi:10.3138/cjhs.2409. 
  24. ^ a b c d Carrigan, Mark (August 2011). "There's More to Life Than Just Sex? Difference and Commonality Within the Asexual Community". Sexualities. 14 (4): 462–478. doi:10.1177/1363460711406462. 
  25. ^ a b MacNeela, Pádraig; Murphy, Aisling (December 30, 2014). "Freedom, Invisibility, and Community: A Qualitative Study of Self-Identification with Asexuality". Archives of Sexual Behavior. 44 (3): 799–812. doi:10.1007/s10508-014-0458-0. ISSN 0004-0002. PMID 25548065. 
  26. ^ Adler, Melissa (2010). "Meeting the Needs of LGBTIQ Library Users and Their Librarians: A Study of User Satisfaction and LGBTIQ Collection Development in Academic Libraries". Dalam Greenblatt, Ellen. Serving LGBTIQ Library and Archives Users. North Carolina: McFarland & Company. ISBN 978-0-7864-4894-4. 
  27. ^ a b c Chasin, CJ DeLuzio (2015). "Making Sense in and of the Asexual Community: Navigating Relationships and Identities in a Context of Resistance". Journal of Community & Applied Social Psychology. 25 (2): 167–180. doi:10.1002/casp.2203. ISSN 1099-1298. 
  28. ^ a b Justin J. Lehmiller (2017). The Psychology of Human Sexuality. John Wiley & Sons. hlm. 250. ISBN 978-1119164708. Diarsipkan dari versi asli tanggal March 20, 2021. Diakses tanggal November 29, 2017. 
  29. ^ Etaugh, Claire A.; Bridges, Judith S. (2017-10-16). Women's Lives: A Psychological Exploration, Fourth Edition (dalam bahasa Inggris). Taylor & Francis. ISBN 978-1-315-44938-8. Diarsipkan dari versi asli tanggal March 9, 2022. Diakses tanggal June 25, 2021. 
  30. ^ a b Smith, S. E. (August 21, 2012). "Asexuality always existed, you just didn't notice it". The Guardian. Diarsipkan dari versi asli tanggal April 8, 2015. Diakses tanggal March 11, 2013. 
  31. ^ LeBreton, Marianne E. (2014). Bogaert, Anthony F., ed. "Understanding Asexuality". QED: A Journal in GLBTQ Worldmaking. 1 (3): 175–177. doi:10.14321/qed.1.3.0175. ISSN 2327-1574. JSTOR 10.14321/qed.1.3.0175. 
  32. ^ Poston, Dudley L.; Baumle, Amanda K. (2010). "Patterns of asexuality in the United States". Demographic Research. 23: 509–530. doi:10.4054/DemRes.2010.23.18alt=Dapat diakses gratis. ISSN 1435-9871. JSTOR 26349603. 
  33. ^ a b Kinsey, Alfred C. (1948). Sexual Behavior in the Human Male. W.B. Saunders. ISBN 978-0-253-33412-1. 
  34. ^ a b c Kinsey, Alfred C. (1953). Sexual Behavior in the Human Female. W.B. Saunders. ISBN 978-0-253-33411-4. 
  35. ^ Mary Zeiss Stange; Carol K. Oyster; Jane E. Sloan (February 23, 2011). Encyclopedia of Women in Today's World. SAGE Publications. hlm. 158. ISBN 978-1-4129-7685-5. Diarsipkan dari versi asli tanggal September 14, 2020. Diakses tanggal July 27, 2013. 
  36. ^ Wellings, K. (1994). Sexual Behaviour in Britain: The National Survey of Sexual Attitudes and Lifestyles. Penguin Books.
  37. ^ a b Bogaert, Anthony F. (2004). "Asexuality: prevalence and associated factors in a national probability sample". Journal of Sex Research. 41 (3): 279–87. doi:10.1080/00224490409552235. PMID 15497056. 
  38. ^ a b c Aicken, Catherine R. H.; Mercer, Catherine H.; Cassell, Jackie A. (2013-05-01). "Who reports absence of sexual attraction in Britain? Evidence from national probability surveys". Psychology & Sexuality. 4 (2): 121–135. doi:10.1080/19419899.2013.774161. ISSN 1941-9899. Diarsipkan dari versi asli tanggal September 23, 2019. Diakses tanggal October 14, 2018. 
  39. ^ a b c d e Bogaert, A. F. (2015). "Asexuality: What It Is and Why It Matters". Journal of Sex Research. 52 (4): 362–379. doi:10.1080/00224499.2015.1015713. PMID 25897566. 
  40. ^ "1 in 2 young people say they are not 100% heterosexual". 2015-08-16. See the full poll results. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal April 9, 2021. Diakses tanggal 2018-12-31. 
  41. ^ a b c Chasin, CJ DeLuzio (2013). "Reconsidering Asexuality and Its Radical Potential" (PDF). Feminist Studies. 39 (2): 405. doi:10.1353/fem.2013.0054. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal March 3, 2014. Diakses tanggal April 29, 2014. 
  42. ^ Brotto, L. A.; Yule, M. A.; Gorzalka, B..B. (2015). "Asexuality: An Extreme Variant of Sexual Desire Disorder?". The Journal of Sexual Medicine. 12 (3): 646–660. doi:10.1111/jsm.12806. PMID 25545124. 
  43. ^ Karli June Cerankowski; Megan Milks (2014). Asexualities: Feminist and Queer Perspectives. Routledge. hlm. 246. ISBN 978-1-134-69253-8. Diarsipkan dari versi asli tanggal September 12, 2015. Diakses tanggal July 3, 2014. 
  44. ^ a b c Elisabetta Ruspini; Megan Milks (2013). Diversity in family life. Policy Press. hlm. 35–36. ISBN 978-1447300939. Diarsipkan dari versi asli tanggal July 26, 2020. Diakses tanggal January 4, 2017. 
  45. ^ a b Nurius, Paula (1983). "Mental Health Implications of Sexual Orientation". The Journal of Sex Research. 19 (2): 119–136. doi:10.1080/00224498309551174. 
  46. ^ Yule, Morag A.; Brotto, Lori A.; Gorzalka, Boris B. (2013). "Mental Health and Interpersonal Functioning in Self-Identified Asexual Men and Women". Psychology & Sexuality. 4 (2): 136–151. doi:10.1080/19419899.2013.774162. 
  47. ^ a b c d e f g Decker, Julie Sondra (2015). The Invisible Orientation: An Introduction to Asexuality. New York City, New York: Skyhorse Publishing. ISBN 978-1-5107-0064-2. Diarsipkan dari versi asli tanggal July 26, 2020. Diakses tanggal January 10, 2018. 
  48. ^ Over, Ray; Koukounas, Eric (1995). "Habituation of Sexual Arousal: Product and Process". Annual Review of Sex Research. 6 (1): 187–223. doi:10.1016/S0301-0511(01)00096-5. Diarsipkan dari versi asli tanggal September 23, 2019. Diakses tanggal January 20, 2013. 
    Cited from: Kelly, Gary F. (2004). Sexuality Today: The Human Perspective (edisi ke-7th). McGraw-Hill. hlm. 401. ISBN 978-0-07-255835-7. 
  49. ^ Meyer, Doug (2017). "The Disregarding of Heteronormativity: Emphasizing a Happy Queer Adulthood and Localizing Anti-Queer Violence to Adolescent Schools". Sexuality Research & Social Policy. 14 (3): 331–344. doi:10.1007/s13178-016-0272-7. 
  50. ^ Garcia-Falgueras, A; Swaab, DF (2010). Sexual hormones and the brain: an essential alliance for sexual identity and sexual orientation. Endocr Dev. Endocrine Development. 17. hlm. 22–35. doi:10.1159/000262525. ISBN 978-3-8055-9302-1. PMID 19955753. 
  51. ^ Brotto, L. A.; Yule, M. (2016). "Asexuality: Sexual Orientation, Paraphilia, Sexual Dysfunction, or None of the Above?". Archives of Sexual Behavior. 46 (3): 619–627. doi:10.1007/s10508-016-0802-7. PMID 27542079. 
  52. ^ a b Cranney, Stephen (2016). "Does Asexuality Meet the Stability Criterion for a Sexual Orientation?". Archives of Sexual Behavior. 46 (3): 637–638. doi:10.1007/s10508-016-0887-z. PMID 27815642. 
  53. ^ Cranney, Stephen (2016). "The Temporal Stability of Lack of Sexual Attraction across Young Adulthood". Archives of Sexual Behavior. 45 (3): 743–749. doi:10.1007/s10508-015-0583-4. PMC 5443108alt=Dapat diakses gratis. PMID 26228992. 
  54. ^ a b Karli June Cerankowski; Megan Milks (2014). Asexualities: Feminist and Queer Perspectives. Routledge. hlm. 244. ISBN 978-1-134-69253-8. Diarsipkan dari versi asli tanggal July 26, 2020. Diakses tanggal January 4, 2017. 
  55. ^ "Asexual and Autoerotic Women: Two Invisible Groups" found in ed. Gochros, H. L.; J. S. Gochros (1977). The Sexually Oppressed. Associated Press. ISBN 978-0-8096-1915-3
  56. ^ Karli June Cerankowski; Megan Milks (2014). Asexualities: Feminist and Queer Perspectives. Routledge. hlm. 113. ISBN 978-1-134-69253-8. Diarsipkan dari versi asli tanggal July 26, 2020. Diakses tanggal January 4, 2017. 
  57. ^ Storms, Michael D. (1980). "Theories of Sexual Orientation" (PDF). Journal of Personality and Social Psychology. 38 (5): 783–792. doi:10.1037/0022-3514.38.5.783. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal September 23, 2019. Diakses tanggal February 2, 2013. 
  58. ^ Storms, M. D. (1979). Sexual orientation and self-perception. ed. Pliner, Patricia et al. Advances in the Study of Communication and Affect. Volume 5: Perception of Emotion in Self and Others Plenum Press
  59. ^ Aleksondra Hultquist; Elizabeth J. Mathews (2016). New Perspectives on Delarivier Manley and Eighteenth Century Literature: Power, Sex, and Text. Routledge. hlm. 123. ISBN 978-1317196921. Diarsipkan dari versi asli tanggal September 23, 2019. Diakses tanggal January 4, 2017. 
  60. ^ a b Karli June Cerankowski; Megan Milks (2014). Asexualities: Feminist and Queer Perspectives. Routledge. hlm. 1–410. ISBN 978-1-134-69253-8. Diarsipkan dari versi asli tanggal July 26, 2020. Diakses tanggal January 4, 2017. 
  61. ^ Myers, David G. (2010). Psychology (edisi ke-9th). New York: Worth Publishers. hlm. 474. ISBN 978-1-4292-1597-8. 
  62. ^ a b Przybylo, Ela. "Masculine Doubt and Sexual Wonder: Asexually-Identified Men Talk About Their (A)sexualities" from Karli June Cerankowski and Megan Milks, eds., Asexualities: Feminist and Queer Perspectives (Routledge, 2014), 225-246.
  63. ^ a b c Przybylo, Ela (2011). Asexuality and the Feminist Politics of 'Not Doing It' (Tesis MA). Edmonton, Alberta: University of Alberta. doi:10.7939/R3RB04. 
  64. ^ Przybylo, Ela (2013). "Producing Facts: Empirical Asexuality and the Scientific Study of Sex". Feminism & Psychology. 23 (2): 224–242. doi:10.1177/0959353512443668. 
  65. ^ Przybylo, Ela (2019). Asexual erotics : intimate readings of compulsory sexuality. Columbus: Ohio State University. hlm. 1–32. ISBN 978-0-8142-1404-6. OCLC 1096288008. Diarsipkan dari versi asli tanggal March 9, 2022. Diakses tanggal December 9, 2020. 
  66. ^ a b c Hawkins Owen, Ianna (2014). Asexualities : feminist and queer perspectives. Cerankowski, Karli June., Milks, Megan. New York. ISBN 978-0-415-71442-6. OCLC 863044056. 
  67. ^ Owen, Ianna Hawkins (November 2018). "Still, nothing: Mammy and black asexual possibility". Feminist Review (dalam bahasa Inggris). 120 (1): 70–84. doi:10.1057/s41305-018-0140-9alt=Dapat diakses gratis. ISSN 0141-7789. 
  68. ^ Kim, Eunjung (2014). Asexualities : feminist and queer perspectives. Cerankowski, Karli June., Milks, Megan. New York. ISBN 978-0-415-71442-6. OCLC 863044056. 
  69. ^ Kim, Eunjung (2011). "Asexuality in disability narratives". Sexualities. 14 (4): 479–493. doi:10.1177/1363460711406463. Diarsipkan dari versi asli tanggal March 7, 2022. Diakses tanggal March 7, 2022 – via Sage Journals. 
  70. ^ Cuthbert, Karen (2017). "You Have to be Normal to be Abnormal: An Empirically Grounded Exploration of the Intersection of Asexuality and Disability". Sociology (dalam bahasa Inggris). 51 (2): 241–257. doi:10.1177/0038038515587639. ISSN 0038-0385. Diarsipkan dari versi asli tanggal March 7, 2022. Diakses tanggal March 7, 2022 – via Sage Publications. 
  71. ^ a b Bogaert, Anthony F (2006). "Toward a Conceptual Understanding of Asexuality". Review of General Psychology. 10 (3): 241–250. doi:10.1037/1089-2680.10.3.241. 
  72. ^ Chasin, CJ DeLuzio (2013). "Reconsidering Asexuality and Its Radical Potential". Feminist Studies. 39 (2): 405–426. doi:10.1353/fem.2013.0054. 
  73. ^ Carrigan, Mark; Gupta, Kristina; Morrison, Todd G. (2015). Asexuality and Sexual Normativity: An Anthology. Routledge. ISBN 978-0-415-73132-4. Diarsipkan dari versi asli tanggal July 26, 2020. Diakses tanggal August 20, 2019. 
  74. ^ a b Volkmar Sigusch. "Sexualitäten: Eine kritische Theorie in 99 Fragmenten". 2013. Campus Verlag [de].
  75. ^ Abbie E. Goldberg (2016). The SAGE Encyclopedia of LGBTQ Studies. SAGE Publications. hlm. 92. ISBN 978-1483371290. Diarsipkan dari versi asli tanggal July 26, 2020. Diakses tanggal October 5, 2017. [...] The sociological literature has stressed the novelty of asexuality as a distinctive form of social identification that emerged in the early 21st century. 
  76. ^ Duenwald, Mary (July 9, 2005). "For Them, Just Saying No Is Easy". The New York Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal October 20, 2014. Diakses tanggal 17 September 2007. 
  77. ^ Carrigan, Mark (2011). "There's more to life than sex? Differences and commonality within the asexual community". Sexualities. 14 (4): 462–478. doi:10.1177/1363460711406462. 
  78. ^ Shira Tarrant (June 19, 2015). Gender, Sex, and Politics: In the Streets and Between the Sheets in the 21st Century. Taylor & Francis. hlm. 278–. ISBN 978-1-317-81475-7. Diarsipkan dari versi asli tanggal February 13, 2021. Diakses tanggal September 4, 2017. 
  79. ^ "World Pride Toronto: Asexuals march in biggest numbers yet". Toronto Star. June 23, 2014. Diarsipkan dari versi asli tanggal November 18, 2021. Diakses tanggal 6 October 2014. 
  80. ^ Anneli, Rufus (June 22, 2009). "Stuck. Asexuals at the Pride Parade". Psychology Today. Diarsipkan dari versi asli tanggal March 9, 2022. Diakses tanggal July 15, 2013. 
  81. ^ "Asexuality – Redefining Love and Sexuality". recultured. 9 January 2012. Diarsipkan dari versi asli tanggal June 17, 2018. Diakses tanggal 7 August 2012. 
  82. ^ Bilić, Bojan; Kajinić, Sanja (2016). Intersectionality and LGBT Activist Politics: Multiple Others in Croatia and Serbia. Springer. hlm. 95–96. 
  83. ^ Decker, Julie. The Invisible Orientation: An Introduction to Asexuality. Skyhorse. 
  84. ^ "Asexual". UCLA Lesbian Gay Bisexual Transgender Resource center. Diarsipkan dari versi asli tanggal September 4, 2017. Diakses tanggal June 25, 2018. 
  85. ^ Kumar, Shikha (2017-03-18). "Meet India's newest sexual minority: The asexuals". Hindustan Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal June 29, 2018. Diakses tanggal 2017-09-08. 
  86. ^ "AAW – About Us". asexualawarenessweek.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal January 7, 2016. Diakses tanggal 2016-01-03. 
  87. ^ Exton, Robyn (2016-11-14). "Aces Show Their Hand – What Is Asexuality And Why You Should Know About It". HuffPost. Diarsipkan dari versi asli tanggal June 29, 2018. Diakses tanggal 2017-09-08. 
  88. ^ "About [prerelease]". asexualawarenessweek.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal September 4, 2017. Diakses tanggal 2017-09-04. 
  89. ^ a b "International Asexuality Day". International Asexuality Day (IAD) (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal April 7, 2021. Diakses tanggal April 8, 2021. 
  90. ^ a b "FAQ". International Asexuality Day (IAD) (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal March 7, 2021. Diakses tanggal April 8, 2021. 
  91. ^ "Redefining Perceptions Of Asexuality With Yasmin Benoit". noctismag.com (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal April 6, 2021. Diakses tanggal April 8, 2021. 
  92. ^ Flood, Rebecca (April 6, 2021). "Asexual Meaning as First International Asexuality Day Celebrated Around the World". Newsweek. Diarsipkan dari versi asli tanggal April 6, 2021. Diakses tanggal April 7, 2021. 
  93. ^ Waters, Jamie (March 21, 2021). "'I don't want sex with anyone': the growing asexuality movement". The Guardian. Diarsipkan dari versi asli tanggal April 1, 2021. Diakses tanggal April 7, 2021. 
  94. ^ O'Dell, Liam (April 6, 2021). "What is International Asexuality Day?". The Independent. Diarsipkan dari versi asli tanggal April 6, 2021. Diakses tanggal April 7, 2021. 
  95. ^ "In Nepal's growing queer movement, here's how asexuals are trying to amplify their voice". kathmandupost.com (dalam bahasa English). Diarsipkan dari versi asli tanggal April 9, 2021. Diakses tanggal 2021-04-07. 
  96. ^ a b c Aicken, Catherine R. H.; Mercer, Catherine H.; Cassell, Jackie A. (2015-09-07). "Who reports absence of sexual attraction in Britain? Evidence from national probability surveys". Dalam Carrigan, Mark; Gupta, Kristina; Morrison, Todd G. Asexuality and Sexual Normativity: An Anthology. New York City, New York and London, England: Routledge. hlm. 22–27. ISBN 978-0-415-73132-4. Diarsipkan dari versi asli tanggal July 26, 2020. Diakses tanggal January 10, 2018. 
  97. ^ a b c d e f g h i j Bogaert, Anthony (2012). Understanding Asexuality. Lanham, Maryland: Rowman and Littlefield Publishers, Inc. hlm. 36–39. ISBN 978-1-4422-0099-9. Diarsipkan dari versi asli tanggal July 26, 2020. Diakses tanggal January 10, 2018. 
  98. ^ "Asexuality and Christianity" (PDF). Asexual Awareness Week. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal October 29, 2013. Diakses tanggal January 10, 2018. 
  99. ^ a b Kaoma, Kapya (2018). Christianity, Globalization, and Protective Homophobia: Democratic Contestation of Sexuality in Sub-Saharan Africa. Boston, Massachusetts: Palgrave Macmillan. hlm. 159–160. ISBN 978-3-319-66341-8. Diarsipkan dari versi asli tanggal September 23, 2019. Diakses tanggal January 10, 2018. 
  100. ^ Cole, William Graham (2015) [1955]. Sex in Christianity and Psychoanalysis. Routledge Library Editions: Psychoanalysis. New York City, New York and London, England: Routledge. hlm. 177. ISBN 978-1138951792. Diarsipkan dari versi asli tanggal September 23, 2019. Diakses tanggal January 10, 2018. 
  101. ^ Zuckerman, Phil (2003). An Invitation to Sociology of Religion. New York City, New York and London, England: Routledge. hlm. 111. ISBN 978-0-415-94125-9. Diarsipkan dari versi asli tanggal September 23, 2019. Diakses tanggal January 11, 2018. 
  102. ^ MacInnis, Cara C.; Hodson, Gordon (2012). "Intergroup bias toward 'Group X': Evidence of prejudice, dehumanization, avoidance, and discrimination against asexuals". Group Processes & Intergroup Relations. 15 (6): 725–743. doi:10.1177/1368430212442419. 
  103. ^ Gazzola, Stephanie B, and Melanie A. Morrison. "Asexuality: An emergent sexual orientation". Sexual Minority Research in the New Millennium.
  104. ^ a b c Mosbergen, Dominique (June 20, 2013). "Battling Asexual Discrimination, Sexual Violence, and Corrective Rape". HuffPost. Diarsipkan dari versi asli tanggal August 18, 2013. Diakses tanggal August 2, 2013. 
  105. ^ Wallis, Lucy (January 17, 2012). "What is it like to be asexual?". BBC News. BBC. Diarsipkan dari versi asli tanggal January 6, 2019. Diakses tanggal January 1, 2014. 
  106. ^ The Trevor Project - FAQ about asexuality Diarsipkan April 6, 2021, di Wayback Machine., The Trevor Project website. Retrieved April 4, 2018.
  107. ^ "The a is Here to Stay". April 30, 2013. Diarsipkan dari versi asli tanggal March 10, 2018. Diakses tanggal April 4, 2018. 
  108. ^ Mosbergen, Dominique (June 21, 2013). "LGBT, Asexual Communities Clash over Ace Inclusion". HuffPost. Diarsipkan dari versi asli tanggal March 5, 2018. Diakses tanggal April 4, 2018. 
  109. ^ Psychiatrist Jairo Bouer talks about the "collateral effects" of "gay cure" bill Diarsipkan January 15, 2014, di Wayback Machine. (dalam bahasa Portugis)
  110. ^ The Sexual Orientation Non-Discrimination Act ("SONDA") (State of New York, Office of the Attorney General, Civil Rights Bureau)
  111. ^ a b Kelemen, Erick. "Asexuality". Encyclopedia of Sex and Gender. Ed. Fedwa Malti-Douglas. Vol. 1. Detroit: Macmillan Reference USA, 2007. 103. Gale Virtual Reference Library. Web. May 2, 2016.
  112. ^ a b Jackson, Stevi, and Sue Scott. Theorizing Sexuality. Maidenhead: Open UP, 2010. Web. May 2, 2016.
  113. ^ a b "Archie Comic Reveals Jughead Is Asexual". Vulture. February 8, 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal December 7, 2017. Diakses tanggal December 14, 2017. 
  114. ^ "Cole Sprouse Is Bummed That RIVERDALE's Jughead Isn't Asexual | Nerdist". Nerdist. 2017-01-27. Diarsipkan dari versi asli tanggal June 26, 2018. Diakses tanggal 2018-09-09. 
  115. ^ Revanche, Jonno. "'Riverdale's' Asexual Erasure Can Be More Harmful Than You Think". Teen Vogue. Diarsipkan dari versi asli tanggal March 4, 2021. Diakses tanggal 2018-09-09. 
  116. ^ a b Clark-Flory, Tracy (January 31, 2012). ""House" gets asexuality wrong". Salon. Diarsipkan dari versi asli tanggal September 21, 2017. Diakses tanggal September 8, 2017. 
  117. ^ "US right attacks SpongeBob video". 2005-01-20. Diarsipkan dari versi asli tanggal March 23, 2007. Diakses tanggal 2019-11-25. 
  118. ^ "The long and speculative history of gay characters on children's TV shows". The Telegraph. 2016-01-28. ISSN 0307-1235. Diarsipkan dari versi asliPerlu langganan berbayar tanggal January 11, 2022. Diakses tanggal 2019-11-25. 
  119. ^ "Camp cartoon star 'is not gay'". 2002-10-09. Diarsipkan dari versi asli tanggal March 29, 2019. Diakses tanggal 2019-11-25. 
  120. ^ "SpongeBob Asexual, Not Gay: Creator". People. Diarsipkan dari versi asli tanggal February 25, 2021. Diakses tanggal 2019-11-25. 
  121. ^ "SpongeBob is asexual, says creator". Asexual Visibility and Education Network. Diarsipkan dari versi asli tanggal July 26, 2020. Diakses tanggal 2019-11-25. 
  122. ^ Writers: Jay Lender, William Reiss, David Fain (March 8, 2001). "Pressure". SpongeBob SquarePants. Season 2. Episode 32a. Nickelodeon.
  123. ^ Kliegman, Julie. "Todd's Asexuality on 'BoJack' Isn't a Perfect Depiction, But It's Made Me Feel Understood". Bustle. Diarsipkan dari versi asli tanggal February 26, 2021. Diakses tanggal 2019-04-30. 

Further reading

Templat:Asexuality topics