Lompat ke isi

Kuda sandel: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Kulponi (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
data id saya [email protected]
Tag: menambah alamat surel di artikel Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 15: Baris 15:
Berkas:Sandalwood horse small.jpg|Kuda sandel Warna Putih
Berkas:Sandalwood horse small.jpg|Kuda sandel Warna Putih
Berkas:sdlplongko.JPG|Kuda sandel Warna Plongko (belang)
Berkas:sdlplongko.JPG|Kuda sandel Warna Plongko (belang)
</gallery> dalam catatan dan juga pemahaman oleh para penunggang kuda biasa kuda pekerja/balap bisa bertahan dalam perjalanan lebih dari 75 KM dan setelah itu fisiknya akan melemah dan harus di istirahatkan selama 30.menit dan harus diberi minum sebanyak 3,5 liter jika dia kuda pekerja bisa berjalan sejauh 50 KM dan memuat beban berkisar 65 KG dan juga harus diberi jamu telor bebek sebanyak 7-10 butir kunyit.1.ON jahe merah 1.ON Untuk menghangatkan perut/lambung dan memudahkan pencernaan dalam 3.hqri 1X dan kekuwata.nya akan stabil dan juga sehat dan sekian data id saya [email protected]
</gallery>


== Catatan kaki ==
== Catatan kaki ==

Revisi per 13 Juni 2022 13.15

Kuda poni Sumba telah lama (foto tahun 1920-an) menjadi alat transportasi.

Kuda sandel, atau lebih lengkap kuda Sandalwood pony, adalah kuda pacu asli Indonesia yang dikembangbiakkan di Pulau Sumba. Konon, kuda ini memiliki moyang kuda arab yang disilangkan dengan kuda poni lokal (grading up) untuk memperbaiki sejumlah penampilannya. Nama "sandalwood" sendiri dikaitkan dengan cendana ("sandalwood") yang pada masa lampau merupakan komoditas ekspor dari Pulau Sumba dan pulau-pulau Nusa Tenggara lainnya.

Menurut catatan J. de Roo pada tahun 1890, kuda telah menjadi komoditas perdagangan orang Sumba ke daerah lain di Nusantara paling tidak sejak 1840 melalui Waingapu yang kebanyakan dilakukan oleh bangsawan setempat.[1] Populasinya sempat menurun menjelang pertengahan abad ke-20 akibat meluasnya penyakit dan juga persaingan dari ternak sapi ongole Sumba. Pada masa kini, perbaikan mutu dan penampilan kuda sandel telah menjadi program nasional, dilakukan melalui program pemuliaan murni dan grading up dengan persilangan terhadap kuda "thoroughbred" asal Australia untuk kecepatan dan tenaga.[2]

Kuda sandel memiliki postur rendah bila dibandingkan kuda-kuda ras dari Australia atau Amerika. Tinggi punggung kuda antara 130 - 142 Cm. Banyak dipakai orang untuk kuda tarik, kuda tunggang, bahkan kuda pacu. Keistimewaannya terletak pada kaki dan kuku yang kuat dan leher besar. Ia juga memiliki daya tahan (endurance) yang istimewa. Warna rambutnya bervariasi: hitam, putih, merah, dragem, hitam maid (brownish black), bopong (krem), abu-abu (dawuk), atau juga belang (plongko).

Kuda ini sampai sekarang masih merupakan kuda yang diternakkan di Pulau Sumba dan dikirim ke pulau-pulau lain, seperti Jawa, Madura, dan Bali untuk dipergunakan sebagai kuda tarik, kuda tunggang, serta kuda pacu. Lomba pacuan kuda sandel masih bisa dinikmati di berbagai daerah di Indonesia terutama di Jawa, Madura, dan tentu saja Sumba.

Kabupaten Sumba Timur memasukkan kuda sandel pada lambang daerahnya.


dalam catatan dan juga pemahaman oleh para penunggang kuda biasa kuda pekerja/balap bisa bertahan dalam perjalanan lebih dari 75 KM dan setelah itu fisiknya akan melemah dan harus di istirahatkan selama 30.menit dan harus diberi minum sebanyak 3,5 liter jika dia kuda pekerja bisa berjalan sejauh 50 KM dan memuat beban berkisar 65 KG dan juga harus diberi jamu telor bebek sebanyak 7-10 butir kunyit.1.ON jahe merah 1.ON Untuk menghangatkan perut/lambung dan memudahkan pencernaan dalam 3.hqri 1X dan kekuwata.nya akan stabil dan juga sehat dan sekian data id saya [email protected]

Catatan kaki

  1. ^ Artikel tentang Kabupaten Sumba Timur dari arsip Kompas Online edisi 31 Mei 2002
  2. ^ Ministry of Agriculture Republic of Indonesia, "A National Policy for Management of Farm Domestic Animal Genetic Resources in Indonesia", 1997. p. 4

Lihat juga

Pranala luar