Lompat ke isi

Tuan Guru Haji Ahmad: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Marissa Lavigna (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: menghilangkan bagian [ * ] Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Marissa Lavigna (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 45: Baris 45:
* A. Hamid Ahmad<ref name=":0" />
* A. Hamid Ahmad<ref name=":0" />
* Hasan Ahmad<ref name=":0" />
* Hasan Ahmad<ref name=":0" />

== Kematian dan peninggalan ==
Tuan Guru Haji Ahmad meninggal dunia di [[Kabupaten Bengkalis]] pada tahun 1949 didalam usia 64 tahun,<ref name=":0" /> jenazahnya kemudian dimakamkan di Desa Pangkalan Batang, Kecamatan Bengkalis.

Pada tanggal 23 Oktober 2017, nama Tuan Guru Haji Ahmad diabadikan sebagai nama Gedung Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Bengkalis, yang sebelumnya sudah didirikan pada tanggal 11 Februari 2013.


== Referensi ==
== Referensi ==

Revisi per 28 Juni 2022 05.16

Tuan Guru Haji Ahmad (1885 – 1949) adalah seorang ulama berkebangsaan Indonesia asal Bangkinang.[1] Ia merupakan salah satu tokoh yang mengembangkan sistem pendidikan agama Islam di Kota Bengkalis.[1]

Tuan Guru Haji Ahmad
Lahir1885 (1885)
Bangkinang, Hindia Belanda
Meninggal1949 (umur 63–64)
Kota Bengkalis, Riau, Indonesia
KebangsaanIndonesia
Pekerjaan
  • Ulama
  • guru
  • pedagang
Suami/istri
Rohimah
(m. 1899)

Khadijah
Anak20
KerabatZakaria bin Muhammad Amin (menantu)

Biografi

Tuan Guru Haji Ahmad dilahirkan pada tahun 1885, di sebuah desa bernama Kuok yang berada di Kecamatan Bangkinang, Hindia Belanda, sebagai putra tunggal dari Muhammad Ali.[1] Ayahnya merupakan seorang pedagang buah-buahan. Selama masa kecilnya, Ahmad menghabiskan waktunya dengan ikut berdagang bersama ayahnya.[1]

Pada tahun 1900, Ahmad datang ke Kota Bengkalis, untuk berdagang bersama beberapa orang temannya. Mereka menjual berbagai macam komoditas diantaranya buah-buahan, palawija, serta berbagai sayuran hasil perkebunan lainnya.[1] Aktivitas perdagangan ini berlangsung hingga tahun 1914, sebelum Ahmad memutuskan untuk pindah ke Kedah, Malaya Britania, guna menempuh pendidikan di salah satu pesantren yang berada disana.[1]

Setelah menyelesaikan pendidikannya di salah satu pesantren yang berada di Kedah selama tujuh tahun, Ahmad kemudian berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki.[1] Selama masa perjalanannya, ia singgah ke beberapa negara untuk mencari biaya tambahan dan persediaan bahan makanannya. Setelah menunaikan ibadah haji, Ahmad kemudian memutuskan untuk tinggal di Mekah, selama tiga tahun, untuk belajar ilmu agama Islam dengan para ulama disana.[1]

Sepulangnya dari Mekah, ia memutuskan untuk menetap di Perak, Malaya Britania, selama kurang lebih sepuluh tahun.[1] Selama tinggal di Perak, Ahmad berdakwah dengan berkeliling ke berbagai tempat, guna menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk setempat.[1]

Pada tahun 1934, Ahmad pulang kembali ke Bengkalis dan mendirikan sekolah agama yang menggunakan sistem pembelajaran Halaqoh, di daerah Masjid Raya Parit Bangkong.[1] Selama berdirinya, sekolah tersebut berhasil mengajarkan berbagai macam ilmu dalam ajaran Islam kepada penduduk setempat, seperti Ilmu tafsir, Ilmu fikih, Ilmu tauhid, Nahwu shorof, Tarikh Islam, dan sebagainya.[1]

Pada tahun 1937, Ahmad bersama Zakaria bin Muhammad Amin mendirikan sebuah pesantren bernama Al-Khairiyah di daerah Parit Bangkong, Bengkalis.[1] Pesantren tersebut merupakan pesantren pertama yang didirikan di Kabupaten Bengkalis, Ahmad beserta beberapa orang muridnya kemudian mengajar di pesantren tersebut, aktivitas belajar mengajar itu berlangsung hingga tahun 1943, ketika penjajahan Jepang masuk ke Daerah Bengkalis, hingga kemudian terpaksa membuat Pesantren Al-Khairiyah ditutup untuk sementara waktu.[1] Setelah penutupan paksa terhadap Pesantren Al-Khairiyah, Ahmad kemudian kembali berdakwah menyebarkan agama Islam kepada penduduk Bengkalis.[1] Selama berdakwah, ia juga mendirikan sebuah masjid di daerah Desa Pangkalan Batang, yang diberi nama Masjid Al-Muttaqin.[1]

Setelah aktivitas belajar mengajar di Kota Bengkalis terhenti setelah pendudukan Jepang,[1] banyak tokoh-tokoh pemuka agama yang kemudian meninggal karena dibunuh oleh Tentara Jepang, yang pada saat itu melarang adanya perkumpulan dan kegiatan yang berhubungan dengan keagamaan.[1] Ahmad yang pada waktu itu merasa khawatir terhadap keselamatan keluarganya, kemudian mengajak keluarganya untuk pindah kembali ke Perak.[1] Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Ahmad kembali ke Bengkalis dan melanjutkan aktivitas berdakwahnya seperti biasa, Pesantren Al-Khairiyah yang sebelumnya ditutup kemudian dibuka kembali.[1]

Kehidupan pribadi

Ahmad menikah dengan seorang wanita bernama Rohimah yang merupakan putri dari Haji Sani, pada tahun 1899. Dari pernikahannya ini mereka dikaruniai 15 orang anak yaitu:

  • Mariah Ahmad (1 Februari 1900 – 25 Desember 1955), yang menikah dengan Zakaria bin Muhammad Amin (2 Maret 1913 – 1 Januari 2006) pada tahun 1933, dan memiliki tujuh orang anak yaitu:
  1. Nashruddin Zakaria (10 April 1934 – 1 Januari 1999), yang menikah dengan Nursiah (31 Desember 1942 – 27 Juli 2020), dan memiliki tiga orang anak yaitu: Syamsidar (1962 – 16 Agustus 2021), Yusraini (lahir 1968), dan Hendrizon (lahir 17 Juli 1979).[1]
  2. Aminah Zakaria (17 September 1938 – 15 Juli 2011), yang menikah dengan Rustam (?–1993) dan memiliki dua orang anak yaitu: Rudi Haryanto (6 Oktober 1972 – 14 April 2016), dan Aprizami (1969 – 1988).[1]
  3. Zaharah Zakaria (1 Februari 1942 – 29 Oktober 2007), yang menikah dengan Muhammad Yaqub dan memiliki tiga orang anak yaitu: Sri Mei Linda Andika (lahir 6 Mei 1967), Sri Afrianti (lahir 23 April 1969), dan Wiwik Siti Aisyah (lahir 23 Agustus 1973).[1]
  4. Ulfah Zakaria (lahir 14 April), yang menikah dengan Diponegoro Dilapanga (?–26 September 2011) dan memiliki tiga orang anak yaitu: Sutianingsih (lahir 1973), Siti Mariam (lahir 27 Januari 1982), dan Yusuf Aqil.[1]
  5. Azra'ie Zakaria (31 Juli 1947 – 18 Juli 2019), yang menikah dengan Athiah Muhayat (lahir 4 April 1959) pada tanggal 1 Desember 1983, dan memiliki tiga orang anak yaitu: Maya Fadlilah Azra'ie (lahir 3 Mei 1986), Ilham Zurriyati Azra'ie, dan Adri Imaduddin (lahir 4 November 1990).[1]
  6. Hanim Zakaria (lahir 11 September 1950), yang menikah dengan Mochtar dan memiliki dua orang anak yaitu: Tirta Mahdalena Mochtar (lahir 26 Maret 1985), dan Desy Ananda (lahir 2 Desember 1986).[1]
  7. Syakrani Zakaria (lahir 23 November 1952), yang menikah dengan Rosnetti (lahir 28 September 1959 dan memiliki empat orang anak yaitu: Yudhi Andross (lahir 19 Maret 1983), Elfikrie Andross (lahir 27 April 1986), Trio Andross (lahir 3 Agustus 1989), dan Putri Rossya Ardelia Hasanah (lahir 9 Desember 1999).[1]

Lalu selama mengajar di Kota Bengkalis, Ahmad menikah untuk yang kedua kalinya dengan seorang wanita bernama Khadijah yang merupakan putri dari Haji Sulaiman. Dari pernikahannya ini mereka dikaruniai lima orang anak yaitu:

  • A. Hamid Ahmad[1]
  • Hasan Ahmad[1]

Kematian dan peninggalan

Tuan Guru Haji Ahmad meninggal dunia di Kabupaten Bengkalis pada tahun 1949 didalam usia 64 tahun,[1] jenazahnya kemudian dimakamkan di Desa Pangkalan Batang, Kecamatan Bengkalis.

Pada tanggal 23 Oktober 2017, nama Tuan Guru Haji Ahmad diabadikan sebagai nama Gedung Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Bengkalis, yang sebelumnya sudah didirikan pada tanggal 11 Februari 2013.

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad Saputra, Amrizal, Wira Sugiarto, Suyendri, Zulfan Ikhram, Khairil Anwar, M. Karya Mukhsin, Risman Hambali, Khoiri, Marzuli Ridwan Al-bantany, Zuriat Abdillah, Dede Satriani, Wan M. Fariq, Suwarto, Adi Sutrisno, Ahmad Fadhli (2020-10-15). PROFIL ULAMA KARISMATIK DI KABUPATEN BENGKALIS: MENELADANI SOSOK DAN PERJUANGAN. CV. DOTPLUS Publisher. ISBN 978-623-94659-3-3.