Lompat ke isi

Ki Ageng Sela: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Arrifyussufjr (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: menambah tag nowiki VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
→‎Awal kehidupan: perbaikan salah pengetikan, merapikan.
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 26: Baris 26:
Bondan Kejawan dikabarkan menikah dengan Nyai Roro Nawangsih putri dari [[Legenda Jaka Tarub|Ki Ageng Tarub]]. Hal ini memang karena menurut riwayat, Bondan Kejawan di besarkan oleh Ki Ageng Tarub, lalu dinikahkan dengan putrinya, punya anak sulung Ki Getas Pandawa.(belum ada riwqyat sah siapa akhirnya istri Ki Getas Pandawa) dan anaknya kedua Ki Ageng Wonosobo.
Bondan Kejawan dikabarkan menikah dengan Nyai Roro Nawangsih putri dari [[Legenda Jaka Tarub|Ki Ageng Tarub]]. Hal ini memang karena menurut riwayat, Bondan Kejawan di besarkan oleh Ki Ageng Tarub, lalu dinikahkan dengan putrinya, punya anak sulung Ki Getas Pandawa.(belum ada riwqyat sah siapa akhirnya istri Ki Getas Pandawa) dan anaknya kedua Ki Ageng Wonosobo.


Ki Ageng Selaw hidup di masa Kerajaan Demak. Tepatnya pada masa kekuasaan Sultan Trenggana, awal abad ke-16. Dia lahir sekitar akhir abad-15 atau awal abad ke-16.
Ki Ageng Sela hidup di masa Kerajaan Demak. Tepatnya pada masa kekuasaan Sultan Trenggana, awal abad ke-16. Dia lahir sekitar akhir abad-15 atau awal abad ke-16.


Ki Ageng Sela pernah ditolak menjadi anggota prajurit tamtama Kerajaan Demak. Karena dalam ujian mengalahkan banteng, dia memalingkan kepalanya, ketika akibat pukulannya, darah yang menyembur dari kepala banteng, mengenai matanya. Karena memalingkan kepalanya itu, dia dipandang tidak tahan melihat darah, dan karena itu tidak memenuhi syarat. Penolakan itu membuat Ki Ageng Sela kecewa. Bila cita-cita ini tidak dapat tercapai olehnya sendiri, maka dia mengharapkan keturunannya nanti menjadi seorang pemimpin yang pemberani.
Ki Ageng Sela pernah ditolak menjadi anggota prajurit tamtama Kerajaan Demak. Karena dalam ujian mengalahkan banteng, dia memalingkan kepalanya, ketika akibat pukulannya, darah yang menyembur dari kepala banteng, mengenai matanya. Karena memalingkan kepalanya itu, dia dipandang tidak tahan melihat darah, dan karena itu tidak memenuhi syarat. Penolakan itu membuat Ki Ageng Sela kecewa. Bila cita-cita ini tidak dapat tercapai olehnya sendiri, maka dia mengharapkan keturunannya nanti menjadi seorang pemimpin yang pemberani.
Baris 34: Baris 34:
Setelah dewasa, KA Sela menikah denganNyai Roro Bicak (putri Ki Ageng Ngerang 1), dan memiliki putra 9, nomer 7 adalah KA Ngenis. ki Ageng Ngenis ini kemudian memiliki anak Ki Bagus Kacung (Ki Ageng Pemanahan) yang akhirnya melahirkan Sutowijoyo ([[Senapati dari Mataram|Panembahan Senopat]]<nowiki/>i)
Setelah dewasa, KA Sela menikah denganNyai Roro Bicak (putri Ki Ageng Ngerang 1), dan memiliki putra 9, nomer 7 adalah KA Ngenis. ki Ageng Ngenis ini kemudian memiliki anak Ki Bagus Kacung (Ki Ageng Pemanahan) yang akhirnya melahirkan Sutowijoyo ([[Senapati dari Mataram|Panembahan Senopat]]<nowiki/>i)


Nama Sela berkaitan dengan keberadaan bukit/gunung berapi, dan merupakan sumber banyak garam dan api abadi yang terdapat dari wilayah Grobogan. Di desa tersebut juga Ki Ageng Sela meninggal dan dimakamkan.
Nama Sela berkaitan dengan keberadaan bukit/gunung berapi, dan merupakan sumber banyak garam dan api abadi yang terdapat dari wilayah Grobogan. Di desa tersebut juga Ki Ageng Sela meninggal dan dimakamkan.


== Menaklukkan petir ==
== Menaklukkan petir ==

Revisi per 29 Agustus 2022 02.41

Ki Ageng
Sela
ꦯꦺꦭ
Makam Ki Ageng Sela di Grobogan
LahirBagus Songgom
Tempat tinggalSela
Nama lainKyai Abdurrahman
ZamanDemak
PendahuluKi Getas Pandawa
PenggantiKi Ageng Enis
Suami/istriNyai Bicak (Nyai Ageng Sela)
Orang tua

Ki Ageng Sela atau Kiyai Ngabdurahman adalah tokoh spiritual dari Sela yang hidup di masa Kerajaan Demak. Ia dikenal dengan kesaktiannya sebagai tokoh yang mampu menaklukkan petir.

Awal kehidupan

Ki Ageng Sela memiliki nama kecil Bagus Songgom, keturunan Ki Getas Pandawa. Ki Getas Pandawa adalah anak dari Bondan Kejawan (Lembu Peteng) putra dari Brawijaya 5 yang dibuang ke daerah Jipang (sebelah utara Sukowati).

Bondan Kejawan dikabarkan menikah dengan Nyai Roro Nawangsih putri dari Ki Ageng Tarub. Hal ini memang karena menurut riwayat, Bondan Kejawan di besarkan oleh Ki Ageng Tarub, lalu dinikahkan dengan putrinya, punya anak sulung Ki Getas Pandawa.(belum ada riwqyat sah siapa akhirnya istri Ki Getas Pandawa) dan anaknya kedua Ki Ageng Wonosobo.

Ki Ageng Sela hidup di masa Kerajaan Demak. Tepatnya pada masa kekuasaan Sultan Trenggana, awal abad ke-16. Dia lahir sekitar akhir abad-15 atau awal abad ke-16.

Ki Ageng Sela pernah ditolak menjadi anggota prajurit tamtama Kerajaan Demak. Karena dalam ujian mengalahkan banteng, dia memalingkan kepalanya, ketika akibat pukulannya, darah yang menyembur dari kepala banteng, mengenai matanya. Karena memalingkan kepalanya itu, dia dipandang tidak tahan melihat darah, dan karena itu tidak memenuhi syarat. Penolakan itu membuat Ki Ageng Sela kecewa. Bila cita-cita ini tidak dapat tercapai olehnya sendiri, maka dia mengharapkan keturunannya nanti menjadi seorang pemimpin yang pemberani.

Ki Ageng Sela bertempat tinggal di sebuah desa di sebelah timur Tawangharjo, Kabupaten Grobogan. Ia hidup berprofesi sebagai petani yang gemar memperdalam ilmu agama dan tumbuh sebagai seorang yang religius. Di kemudian hari ia benar-benar menjadi orang yang berpengaruh. Desa tempatnya tinggal bernama desa Sela.

Setelah dewasa, KA Sela menikah denganNyai Roro Bicak (putri Ki Ageng Ngerang 1), dan memiliki putra 9, nomer 7 adalah KA Ngenis. ki Ageng Ngenis ini kemudian memiliki anak Ki Bagus Kacung (Ki Ageng Pemanahan) yang akhirnya melahirkan Sutowijoyo (Panembahan Senopati)

Nama Sela berkaitan dengan keberadaan bukit/gunung berapi, dan merupakan sumber banyak garam dan api abadi yang terdapat dari wilayah Grobogan. Di desa tersebut juga Ki Ageng Sela meninggal dan dimakamkan.

Menaklukkan petir

Ki Ageng Sela dikenal sebagai sang penakluk petir. Kisah tersebut bermula saat Ki Ageng Sela membuka ladang. Kemudian tiba-tiba langit menjadi mendung dan mulai turun hujan, seketika itu datang petir dan kilat yang menyambar-nyambar, sehingga mengganggu kegiatan pertaniannya. Terganggu dengan hal tersebut, Ki Ageng Sela menantang petir yang berusaha mengganggunya untuk menampakkan wujudnya.[1]

Tak lama kemudian petir tersebut berubah menjadi naga dan berubah wujud berkali-kali menjadi makhluk mengerikan. Ki Ageng Sela yang merasa kesal karena dirinya diganggu oleh makhluk tersebut maka terjadi perkelahian antara keduanya diiringi petir yang menggelegar. Pada akhirnya, Ki Ageng Sela berhasil mengalahkan makhluk tersebut dan mengikatnya di sebuah pohon Gandri dan makhluk tersebut berubah menjadi kakek tua.[2]

Ki Ageng Sela pun membawa kakek tua yang terus berubah-ubah wujud tersebut ke Demak untuk dilaporkan kepada sultan. Di Demak, datanglah seorang nenek yang menyiramkan air ke tubuh kakek tersebut. Lalu, suara petir menggelegar, mendadak kakek dan nenek tersebut menghilang.[3]

Kisah tersebutlah yang membuat Ki Ageng Sela dikenal luas sebagai sang penakluk petir. Kisah Ki Ageng Sela menaklukkan petir diabadikan dalam ukiran pada lawang bledheg atau pintu Masjid Agung Demak. Sampai sekarang, pintu tersebut masih dapat disaksikan. Ukiran pada daun pintu tersebut memperhatikan motif tumbuh-tumbuhan, suluran, jambangan, mahkota mirip stupa, tumpal, camara dan dua kepala naga yang menyemburkan api.[4]

Papali Ki Ageng Sela

Ki Ageng Sela merupakan tokoh yang memiliki pengaruh besar pada masyarakat. Ia memiliki suatu ajaran yang diikuti oleh masyarakat secara luas pada masanya. Ajaran itu adalah ajaran tentang filsafat hidup dan keagamaan. Sebagaimana tradisi pengajaran di tanah Jawa para santri Ki Ageng Sela mencatat dan menuliskan ajaran-ajaran yang disampaikan olehnya. Tulisan-tulisan selanjutnya menjadi pemikiran utama Ki Ageng Sela yang dikemudian hari dikenal dengan sebutan Papali Ki Ageng Sela.

Papali adalah larangan atau nasihat seorang guru kepada muridnya terkait dengan hal-hal yang dianjurkan untuk dijauhi. Nasihat lisan tersebut ditulis dan dikumpulkan oleh murid-muridnya menggunakan bahasa Jawa dalam bentuk tembang macapat. Papali Ki Ageng Sela tersebut mengajarkan tentang kesusilaan, kebatinan, dan keagamaan. Dalam merumuskan ajarannya Ki Ageng Sela menggunakan pendekatan filsafat Jawa seperti yang pernah diterapkan oleh para wali sebelumnya.

Isi papali

Papali Ki Ageng Sela ini dituturkan oleh sesepuh di desa Sela yaitu Ki Pariwara mengatakan; hendaknya pesan ini dihargai karena akan membawa berkah bagi yang melaksanakan. Dan juga akan membuat selamat serta segar bugar. Kalau istilah zaman sekarang, sehat sejahtera, jauh dari segala kesulitan.

Terjemahan:

Referensi

Kutipan

  1. ^ Abdul Rakhim, dkk (2019)
  2. ^ Abdul Rakhim, dkk (2019)
  3. ^ Abdul Rakhim, dkk (2019)
  4. ^ Abdul Rakhim, dkk (2019)

Bacaan lanjutan

  • Babad Tanah Jawi. 2007. (terj.). Yogyakarta: Narasi
  • Abdul Rakhim, dkk. 2019. Ki Ageng Selo Sang Penakluk Petir. Grobogan: Hanum Publisher
  • H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu