Wartawan: Perbedaan antara revisi
Baris 13: | Baris 13: | ||
Di Indonesia wartawan merupakan profesi unik. Sebagaimana di negara-negara maju, di Indonesia wartawan (terutama dari media mainstream) punya kekuatan cukup besar untuk memengaruhi opini publik. Bedanya, jika di negara maju wartawan bisa benar-benar independen, di sini belum terlepas dari belitan adu kepentingan antara idealisme dan urusan perut. Ini mewabah tidak hanya di kalangan wartawan gurem (bergaji ratusan ribu) namun juga wartawan borju (begaji di atas dua juta perak sebulan). |
Di Indonesia wartawan merupakan profesi unik. Sebagaimana di negara-negara maju, di Indonesia wartawan (terutama dari media mainstream) punya kekuatan cukup besar untuk memengaruhi opini publik. Bedanya, jika di negara maju wartawan bisa benar-benar independen, di sini belum terlepas dari belitan adu kepentingan antara idealisme dan urusan perut. Ini mewabah tidak hanya di kalangan wartawan gurem (bergaji ratusan ribu) namun juga wartawan borju (begaji di atas dua juta perak sebulan). |
||
Meski berbeda penghasilan dan kesejahteraan, rata-rata wartawan di Indonesia berlagak |
Meski berbeda penghasilan dan kesejahteraan, rata-rata wartawan di Indonesia berlagak angkuh, sok pintar, tidak paham persoalan secara detil, dan sangat fanatik terhadap adagium "bad news is good news". Tak heran, dunia ini mudah disusupi tren semacam infotainment (media penyebar gosip yang meniru cara kerja wartawan). |
||
Wartawan Indonesia juga kebanyakan mengaku anti disuap, namun dalam kesempatan lain |
Wartawan Indonesia juga kebanyakan mengaku anti disuap, namun dalam kesempatan lain cenderung mudah menerima hadiah, serta suka "menginjak kaki" narasumber. Mirip profesi lain yang punya pengaruh, wartawan juga rata-rata memiliki gaya hidup yang tidak masuk akal Misalnya, seorang wartawan media besar dengan gaji maksimal lima juta perak sebulan biasanya punya rumah di perumahan cukup mahal, dengan memiliki satu mobil seharga di atas Rp100juta. Mirip seorang Kasatserse di Polres yang gajinya juga tidak jauh berbeda namun bisa beli mobil dan rumah cukup bagus. Buat yang mengandalkan gaji dan tidak punya penghasilan sampingan mudah ditebak dari mana biaya tsb harus ditambahkan. |
||
Dari segi profesionalisme, wartawan di Indonesia juga agak bebal dalam perbaikan mutu jurnalis. Boleh dibilang, jumlah media bisa saja banyak, namun sajian berita tidak akan jauh berbeda. Maklum, rata-rata wartawan dan bahkan redaktur di sini tidak berani melawan arus kuat (mainstream), dalam penyajian beritanya. Koran boleh beda, isi bahkan "angle" pemberitaan dijamin sama. |
Dari segi profesionalisme, wartawan di Indonesia juga agak bebal dalam perbaikan mutu jurnalis. Boleh dibilang, jumlah media bisa saja banyak, namun sajian berita tidak akan jauh berbeda. Maklum, rata-rata wartawan dan bahkan redaktur di sini tidak berani melawan arus kuat (mainstream), dalam penyajian beritanya. Koran boleh beda, isi bahkan "angle" pemberitaan dijamin sama. |
Revisi per 28 April 2009 05.39
Wartawan atau jurnalis adalah seorang yang melakukan jurnalisme, yaitu orang yang secara teratur menuliskan berita (berupa laporan) dan tulisannya dikirimkan/ dimuat di media massa secara teratur. Laporan ini lalu dapat dipublikasi dalam media massa, seperti koran, televisi, radio, majalah, film dokumentasi, dan internet. Wartawan mencari sumber mereka untuk ditulis dalam laporannya; dan mereka diharapkan untuk menulis laporan yang paling objektif dan tidak memiliki pandangan dari sudut tertentu untuk melayani masyarakat.
Istilah jurnalis
Istilah jurnalis dan wartawan di Indonesia
Istilah jurnalis baru muncul di Indonesia setelah masuknya pengaruh ilmu komunikasi yang cenderung berkiblat ke Amerika Serikat. Istilah ini kemudian berimbas pada penamaan seputar posisi-posisi kewartawanan. Misalnya, "redaktur" menjadi "editor."
Pada saat Aliansi Jurnalis Independen berdiri, terjadi kesadaran tentang istilah jurnalis ini. Menurut aliansi ini, jurnalis adalah profesi atau penamaan seseorang yang pekerjaannya berhubungan dengan isi media massa. Jurnalis meliputi juga kolumnis, penulis lepas, fotografer, dan desain grafis editorial. Akan tetapi pada kenyataan referensi penggunaannya, istilah jurnalis lebih mengacu pada definisi wartawan.
Sementara itu wartawan, dalam pendefinisian Persatuan Wartawan Indonesia, hubungannya dengan kegiatan tulis menulis yang di antaranya mencari data (riset, liputan, verifikasi) untuk melengkapi laporannya. Wartawan dituntut untuk objektif, hal ini berbeda dengan penulis kolom yang bisa mengemukakan subjektivitasnya.
Di Indonesia wartawan merupakan profesi unik. Sebagaimana di negara-negara maju, di Indonesia wartawan (terutama dari media mainstream) punya kekuatan cukup besar untuk memengaruhi opini publik. Bedanya, jika di negara maju wartawan bisa benar-benar independen, di sini belum terlepas dari belitan adu kepentingan antara idealisme dan urusan perut. Ini mewabah tidak hanya di kalangan wartawan gurem (bergaji ratusan ribu) namun juga wartawan borju (begaji di atas dua juta perak sebulan).
Meski berbeda penghasilan dan kesejahteraan, rata-rata wartawan di Indonesia berlagak angkuh, sok pintar, tidak paham persoalan secara detil, dan sangat fanatik terhadap adagium "bad news is good news". Tak heran, dunia ini mudah disusupi tren semacam infotainment (media penyebar gosip yang meniru cara kerja wartawan).
Wartawan Indonesia juga kebanyakan mengaku anti disuap, namun dalam kesempatan lain cenderung mudah menerima hadiah, serta suka "menginjak kaki" narasumber. Mirip profesi lain yang punya pengaruh, wartawan juga rata-rata memiliki gaya hidup yang tidak masuk akal Misalnya, seorang wartawan media besar dengan gaji maksimal lima juta perak sebulan biasanya punya rumah di perumahan cukup mahal, dengan memiliki satu mobil seharga di atas Rp100juta. Mirip seorang Kasatserse di Polres yang gajinya juga tidak jauh berbeda namun bisa beli mobil dan rumah cukup bagus. Buat yang mengandalkan gaji dan tidak punya penghasilan sampingan mudah ditebak dari mana biaya tsb harus ditambahkan.
Dari segi profesionalisme, wartawan di Indonesia juga agak bebal dalam perbaikan mutu jurnalis. Boleh dibilang, jumlah media bisa saja banyak, namun sajian berita tidak akan jauh berbeda. Maklum, rata-rata wartawan dan bahkan redaktur di sini tidak berani melawan arus kuat (mainstream), dalam penyajian beritanya. Koran boleh beda, isi bahkan "angle" pemberitaan dijamin sama.
Kalau ingin melihat ke mana orientasi ekononomi dan politik wartawan simak saja sajian berita di masa pemilihan umum (pemilu). Biasanya kentara beberapa media getol memberitakan Partai Politik atau Calon Presiden anu dan itu, namun nyaris tidak pernah menyinggung yang lain. Padahal, kalau dipikir, yang mereka tulis juga besar dan terkenal karena publikasi dan iklan saja, bukan karena berprestasi.
Diperkirakan, kondisi dunia kewartawanan di Indonesia dalam sepuluh tahun ke depan tidak akan beranjak jauh dari keadaan seperti sekarang. Apalagi, regenerasi di dunia ini tampaknya berjalan mulus. Wartawan bodrex semakin banyak. Wartawan yang nyambi menjadi event organizer juga terus ada. Wartawan yang "injak kaki" tidak ada matinya, yang tua pensiun atau mati, yang muda sigap menggantikannya. Wartawan dari media beroplah besar dengan pendapatan iklan belasan miliar rupiah sebulan namun betah dengan kedunguan juga tetap banyak...
Asal dan ruang lingkup istilah jurnalis
Dalam awal abad ke-19, jurnalis berarti seseorang yang menulis untuk jurnal, seperti Charles Dickens pada awal karirnya. Dalam abad terakhir ini artinya telah menjadi seorang penulis untuk koran dan juga majalah.
Banyak orang mengira jurnalis sama dengan reporter, seseorang yang mengumpulkan informasi dan menciptakan laporan, atau cerita. Tetapi, hal ini tidak benar karena dia tidak meliputi tipe jurnalis lainnya, seperti kolumnis, penulis utama, fotografer, dan desain editorial.
Tanpa memandang jenis media, istilah jurnalis membawa konotasi atau harapan keprofesionalisme dalam membuat laporan, dengan pertimbangan kebenaran dan etika.
Lihat pula
Pranala luar
- (Inggris) Federasi Jurnalis Internasional