Lompat ke isi

Akonipuk: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Envapid (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Envapid (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 4: Baris 4:


== Nilai-Nilai ==
== Nilai-Nilai ==
Seperti halnya tradisi dan adat istiadat lainnya, akonipuk juga memiliki makna tersendiri bagi masyarakat [[Suku Dani]] dan [[Suku Hubula]] di [[Lembah Baliem]], [[Papua]]. Nilai-nilai yang terkadung dalam akonipuk yang paling utama adalah [[spiritualitas]] dan [[religiusitas]], hal ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat setempat yang masih menganut ajaran [[animisme]].<ref name=":0" />
Seperti halnya tradisi dan adat istiadat lainnya, akonipuk juga memiliki makna tersendiri bagi masyarakat [[suku Dani]] (disebut juga suku Hubula) di [[Lembah Baliem]], [[Papua pegunungan]]. Nilai-nilai yang terkadung dalam akonipuk yang paling utama adalah [[spiritualitas]] dan [[religiusitas]], hal ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat setempat yang masih menganut ajaran [[animisme]].<ref name=":0" />


Selain nilai religius, akonipuk juga memiliki nilai [[sejarah]], hal ini berkaitan dengan sosok yang dijadikan mumi. Bagi masyarakat suku-suku yang ada di Lembah Baliem, mereka yang pantas untuk dimumifikasi adalah para tokoh, seperti [[kepala suku]], [[panglima perang]], [[pemimpin spiritual]] dan orang-orang yang dianggap penting lainnya oleh komunitas.<ref name=":0" /><ref name=":1" /> Bahkan karena sangat berpengaruh tokoh-tokoh yang dimumifikasi dianggap sebagai penguasa Lembah Baliem oleh masyarakat setempat, setiap suku memiliki tokohnya masing-masing yang dijadikan akonipuk.<ref name=":0" /><ref name=":1" />
Selain nilai religius, akonipuk juga memiliki nilai [[sejarah]], hal ini berkaitan dengan sosok yang dijadikan mumi. Bagi masyarakat suku-suku yang ada di Lembah Baliem, mereka yang pantas untuk dimumifikasi adalah para tokoh, seperti [[kepala suku]], [[panglima perang]], [[pemimpin spiritual]] dan orang-orang yang dianggap penting lainnya oleh komunitas.<ref name=":0" /><ref name=":1" /> Bahkan karena sangat berpengaruh tokoh-tokoh yang dimumifikasi dianggap sebagai penguasa Lembah Baliem oleh masyarakat setempat, setiap suku memiliki tokohnya masing-masing yang dijadikan akonipuk.<ref name=":0" /><ref name=":1" />

Revisi per 14 Februari 2023 16.05

Akonipuk adalah tradisi pengawetan jenazah oleh masyarakat Papua, baik orang Papua yang ada di Indonesia ataupun yang ada di Papua Nugini. Untuk yang berada di Indonesia, akonipuk biasanya dilakukan oleh Suku Dani yang mendiami kawasan Lembah Baliem. Dalam Bahasa Hubula, akonipuk berarti mumifikasi (sederhanya bisa disebut mumi saja), atau proses mengeringkan jasad manusia yang telah meninggal. Namun yang membedakan mumifikasi di Papua dengan mumifikasi dari belahan dunia lainnya adalah prosesnya yang menggunakan teknik pengasapan, sementara mumifikasi pada umumnya - salah satunya seperti di Mesir - lebih banyak menggunakan balsem.[1][2][3]

Di Indonesia, mumi terdapat di dua wilayah, yakni Mumi Kaki More di NTT dan Mumi Suku Hubula di Papua.

Nilai-Nilai

Seperti halnya tradisi dan adat istiadat lainnya, akonipuk juga memiliki makna tersendiri bagi masyarakat suku Dani (disebut juga suku Hubula) di Lembah Baliem, Papua pegunungan. Nilai-nilai yang terkadung dalam akonipuk yang paling utama adalah spiritualitas dan religiusitas, hal ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat setempat yang masih menganut ajaran animisme.[1]

Selain nilai religius, akonipuk juga memiliki nilai sejarah, hal ini berkaitan dengan sosok yang dijadikan mumi. Bagi masyarakat suku-suku yang ada di Lembah Baliem, mereka yang pantas untuk dimumifikasi adalah para tokoh, seperti kepala suku, panglima perang, pemimpin spiritual dan orang-orang yang dianggap penting lainnya oleh komunitas.[1][3] Bahkan karena sangat berpengaruh tokoh-tokoh yang dimumifikasi dianggap sebagai penguasa Lembah Baliem oleh masyarakat setempat, setiap suku memiliki tokohnya masing-masing yang dijadikan akonipuk.[1][3]

Lalu juga ada nilai-nilai sosial yang terkandung dalam akonipuk, yakni untuk menjaga hubungan antar-suku di Lembah Baliem. Hal ini dikarenakan pada semasa hidupnya, kebanyakan dari para tokoh-tokoh yang dijadikan akonipuk memiliki hubungan atau relasi yang baik dengan tokoh lainnya, sehingga hal ini dapat menjadi perekat bagi setiap suku untuk tetap berdampingan meski sang tokoh telah wafat. Oleh karena itu, biasanya saat proses akonipuk dilaksanakan, yang hadir bukan saja hanya dari satu suku tetapi juga perwakilan dari suku-suku lainnya.[1]

Tujuan lainnya dari akonipuk adalah untuk menjaga "keabadian" sang tokoh, atau dalam hal ini secara fisik sang tokoh tidak hilang karena ia meninggal. Keberadaan mumi-mumi akonipuk juga dipercaya oleh masyarakat Lembah Baliem dapat menjaga desa dan keharmonisan alam.[1][2]

Proses Akonipuk

Karena akonipuk memiliki banyak nilai-nilai yang penting bagi masyarakat di Lembah Baliem, maka prosesnya pun dilakukan dengan sakral dan tidak sembarangan. Alat dan bahan yang digunakan dalam proses pengawetan biasanya antara lain; sage (tombak berukuran kecil), pisau tulang, dan kayu akasia. Setelah semua alat dan bahan terkumpul, proses akonipuk pun siap dilakukan.[1]

Proses akonipuk harus dilakukan oleh pria dewasa, sementara wanita dan anak-anak tidak diperbolehkan masuk ke tempat prosesi. Jenazah tokoh yang akan di akonipuk kemudian dibawa ke dalam honai laki-laki, lalu diikat ke kayu dalam posisi berjongkok, hal ini guna memudahkan proses keluarnya cairan dari dalam tubuh jenazah. Selanjutnya, setelah diikat ke kayu dalam posisi berjongkok, jenazah akan diletakan diatas bara api dan masuk dalam proses pengasapan. Prosesi akonipuk ini sendiri bisa memakan waktu hingga tiga bulan hingga jenazah benar-benar kering, dan selama prosesi semua pria yang terlibat didalamnya tidak boleh mencuci diri atau mandi.[1][2]

Setelah prosesi selesai, mumi yang telah kering kemudian biasanya dibawa ke sebuah tempat yang tinggi dan menghadap ke pemukiman,[2] atau biasanya juga disimpan dalam honai namun masih harus sering dikeluarkan untuk dijemur dan diolesi dengan minyak babi setiap dua atau tiga hari sekali setiap pagi.[1][2]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i Direktorat Jenderal Kebudayaan, Buku Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia Tahun 2018, (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2018) hal. 336-337
  2. ^ a b c d e "Menelusuri Pembuatan Mumi di Papua Nugini - Semua Halaman - Nationalgeographic.grid.id". nationalgeographic.grid.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-21. Diakses tanggal 2019-03-21. 
  3. ^ a b c Welle (www.dw.com), Deutsche. "Mumi di Suku Dani Papua | DW | 10.03.2017". DW.COM. Diakses tanggal 2019-03-21.