Lompat ke isi

Tradisi malam satu suro: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Vasco06 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 2: Baris 2:


== Latar Belakang dan Sejarah ==
== Latar Belakang dan Sejarah ==
Tradisi Malam Satu Suro selalu dilaksanakan tepat pada tanggal satu ''Muharram'' atau tahun baru Islam (sebutan Arab) ada pula sebutan lainnya yakni satu Suro atau tahun baru Jawa (sebutan Jawa). Jauh sebelum zaman berkembang, pola pengkalenderan ini tidak sama dengan kalender Masehi pada umumnya. Masyarakat Jawa seringkali menyambut tradisi ini dengan suasana atau nuansa yang sakral dan hikmat yang kemudian beberapa tokoh penting seperti pemerintah pun tergabung didalamnya. Tradisi ini berangkat dari pemahaman masyarakat Jawa sebagai makhluk ciptaan Yang Maha Kuasa, yang mengemban tanggung jawab untuk menyembah Sang Pencipta. Tradisi ini hanya diketahui oleh Masyarakat Jawa semata, sebab dalam bertumbuhnya tradisi ini, merekalah yang membangun arti, makna, serta simbol-simbol yang berlaku sehingga hal tersebutlah yang menjadikan Tradisi Malam Satu Suro merupakan upacara adat yang menjadi budaya turun temurun Masyarakat Jawa.

Tradisi ini bermula dari penggabungan antara kalender Saka dengan Kalender Hijriah menjadi Kalender Jawa oleh Sultan Agung di zaman pemerintahannya yakni pada tahun 1613-1645 M. Berbicara tentang pemaknaan tradisi ini, kata Suro berasal dari bahasa arab yakni ‘asyura yang berarti kesepuluh (tanggal 10 Muharram). Dalam kepercayaan agama Islam, bulan Suro telah dipahami sebagai bulan suci yang dianggap sakral oleh mayoritas masyarakat beragama Islam khususnya di pulau Jawa. Tanggal 10 Muharram memiliki arti yang sangat penting menurut masyarakat Jawa yang menganut Agama Islam. Kata ''asyura'' dalam pengucapan lidah orang Jawa berubah menjadi “''Suro''” yang membuat kata tersebut masuk dalam khazanah Islam-Jawa asli yang kemudian diartikan sebagai nama bulan pertama dalam kalender Jawa. Menurut aliran kepercayaan Islam-Jawa, Kata “''Suro''” memiliki makna penting yakni 10 hari pertama bulan suro merupakan waktu yang paling keramat. Masyarakat Islam-Jawa memandang “''kekeramatan''” pada bulan suro itu sendiri disebabkan oleh faktor dari budaya keraton dan bukan dari “''kesangaran''” bulan Suro itu sendiri.

Revisi per 22 Mei 2023 12.13

Tradisi Malam Satu Suro/Sura adalah salah satu tradisi di bulan keramat berdasarkan kepercayaan masyarakat Pulau Jawa. Tradisi ini menjadi sebuah hal yang bersifat turun temurun dari dahulu kala yang kemudian terus dilestarikan dari generasi ke generasi. Tradisi ini memiliki berbagai macam ritual yang berbeda di setiap tempat. Tujuan dari pelaksanaan ritual atau upacara ini adalah untuk meminta keselamatan serta ilham dari Yang Maha Kuasa agar tidak melakukan hal-hal buruk selama berlangsungnya bulan keramat tersebut sebagaimana Masyarakat Jawa merasa bahwa bulan tersebut merupakan waktu yang suci untuk memperbaiki diri tentang berbagai hal yakni tentang ungkapan syukur kepada Yang Maha Kuasa, evaluasi atas segala dosa sepanjang satu tahun yang sudah terlewati.

Latar Belakang dan Sejarah

Tradisi Malam Satu Suro selalu dilaksanakan tepat pada tanggal satu Muharram atau tahun baru Islam (sebutan Arab) ada pula sebutan lainnya yakni satu Suro atau tahun baru Jawa (sebutan Jawa). Jauh sebelum zaman berkembang, pola pengkalenderan ini tidak sama dengan kalender Masehi pada umumnya. Masyarakat Jawa seringkali menyambut tradisi ini dengan suasana atau nuansa yang sakral dan hikmat yang kemudian beberapa tokoh penting seperti pemerintah pun tergabung didalamnya. Tradisi ini berangkat dari pemahaman masyarakat Jawa sebagai makhluk ciptaan Yang Maha Kuasa, yang mengemban tanggung jawab untuk menyembah Sang Pencipta. Tradisi ini hanya diketahui oleh Masyarakat Jawa semata, sebab dalam bertumbuhnya tradisi ini, merekalah yang membangun arti, makna, serta simbol-simbol yang berlaku sehingga hal tersebutlah yang menjadikan Tradisi Malam Satu Suro merupakan upacara adat yang menjadi budaya turun temurun Masyarakat Jawa.

Tradisi ini bermula dari penggabungan antara kalender Saka dengan Kalender Hijriah menjadi Kalender Jawa oleh Sultan Agung di zaman pemerintahannya yakni pada tahun 1613-1645 M. Berbicara tentang pemaknaan tradisi ini, kata Suro berasal dari bahasa arab yakni ‘asyura yang berarti kesepuluh (tanggal 10 Muharram). Dalam kepercayaan agama Islam, bulan Suro telah dipahami sebagai bulan suci yang dianggap sakral oleh mayoritas masyarakat beragama Islam khususnya di pulau Jawa. Tanggal 10 Muharram memiliki arti yang sangat penting menurut masyarakat Jawa yang menganut Agama Islam. Kata asyura dalam pengucapan lidah orang Jawa berubah menjadi “Suro” yang membuat kata tersebut masuk dalam khazanah Islam-Jawa asli yang kemudian diartikan sebagai nama bulan pertama dalam kalender Jawa. Menurut aliran kepercayaan Islam-Jawa, Kata “Suro” memiliki makna penting yakni 10 hari pertama bulan suro merupakan waktu yang paling keramat. Masyarakat Islam-Jawa memandang “kekeramatan” pada bulan suro itu sendiri disebabkan oleh faktor dari budaya keraton dan bukan dari “kesangaran” bulan Suro itu sendiri.