Lompat ke isi

Tradisi malam satu suro: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Alexdaiva86 (bicara | kontrib)
Macam-Macam Perayaan Tradisi Malam Satu Suro/Sura
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 17: Baris 17:
Simbolisme dalam Tradisi Malam Satu Suro juga sangat kentara.
Simbolisme dalam Tradisi Malam Satu Suro juga sangat kentara.


Berikut ini adalah beberapa simbol yang sering dikaitkan dengan tradisi ini:


Makna pesan mengenai tradisi perayaan budaya malam satu Suro antara lain adalah:
1.Air Suro


1. Sebagai sarana untuk memperkuat hubungan silaturahmi.
Air Suro dipercaya memiliki kekuatan magis dan mampu membersihkan diri dari dosa-dosa. Masyarakat Jawa mengambil Air Suro dari mata air yang dianggap keramat pada malam 1 Muharram. Air ini kemudian digunakan untuk mandi dan minum sebagai bentuk penyucian diri.


2. Mengucapkan rasa syukur atas nikmat-nikmat yang diberikan oleh Allah SWT, yang melimpahkan rahmat, karunia, dan rezeki kepada semua umat serta saling menghormati satu sama lain.
2. Sesaji


3. Mengingat dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Sesaji merupakan persembahan berupa makanan, bunga, dan dupa yang disiapkan sebagai penghormatan kepada roh-roh nenek moyang.
Sesaji biasanya ditempatkan di tempat-tempat suci atau di depan altar keluarga. Simbolisme Sesaji adalah ekspresi rasa syukur, penghormatan, dan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam spiritual.


3. Kendi Mlathi

Kendi Mlathi adalah wadah berisi air yang diletakkan di depan rumah pada malam Satu Suro. Kendi ini diyakini dapat menyerap energi positif dan menolak energi negatif. Simbolisme Kendi Mlathi adalah perlindungan dari kejahatan dan membawa keberuntungan bagi penghuni rumah.

4.Sesembahan Tuyul

Di beberapa daerah, terdapat tradisi melepas tuyul pada malam Satu Suro. Tuyul adalah makhluk halus yang dipercaya dapat membantu mencari harta dan kekayaan. Melepas tuyul memiliki simbolisme sebagai usaha untuk mendapatkan keberuntungan dan rejeki yang melimpah.
Selain simbol-simbol di atas, terdapat pula simbolisme dalam bentuk tarian, musik, dan berbagai ritual yang dilakukan dalam tradisi ini. Simbol-simbol tersebut memberikan identitas budaya dan spiritualitas yang dalam bagi masyarakat Jawa, serta mencerminkan kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Penting untuk diingat bahwa makna dan simbolisme dalam Tradisi Malam Satu Suro dapat bervariasi tergantung pada interpretasi dan keyakinan masyarakat yang melaksanakannya. Melalui tradisi ini, masyarakat Jawa menghormati leluhur, berdoa untuk berkah dan perlindungan, serta menghidupkan nilai-nilai spiritual dan moral
Penting untuk diingat bahwa makna dan simbolisme dalam Tradisi Malam Satu Suro dapat bervariasi tergantung pada interpretasi dan keyakinan masyarakat yang melaksanakannya. Melalui tradisi ini, masyarakat Jawa menghormati leluhur, berdoa untuk berkah dan perlindungan, serta menghidupkan nilai-nilai spiritual dan moral



Revisi per 23 Mei 2023 01.35

Tradisi Malam Satu Suro/Sura adalah salah satu tradisi di bulan keramat berdasarkan kepercayaan masyarakat Pulau Jawa.[1] Tradisi ini menjadi sebuah hal yang bersifat turun temurun dari dahulu kala yang kemudian terus dilestarikan dari generasi ke generasi. Tradisi ini memiliki berbagai macam ritual yang berbeda di setiap tempat. Tujuan dari pelaksanaan ritual atau upacara ini adalah untuk meminta keselamatan serta ilham dari Yang Maha Kuasa agar tidak melakukan hal-hal buruk selama berlangsungnya bulan keramat tersebut sebagaimana Masyarakat Jawa merasa bahwa bulan tersebut merupakan waktu yang suci untuk memperbaiki diri tentang berbagai hal yakni tentang ungkapan syukur kepada Yang Maha Kuasa, evaluasi atas segala dosa sepanjang satu tahun yang sudah terlewati.

Latar Belakang dan Sejarah

Tradisi Malam Satu Suro selalu dilaksanakan tepat pada tanggal satu Muharram atau tahun baru Islam (sebutan Arab) ada pula sebutan lainnya yakni satu Suro atau tahun baru Jawa (sebutan Jawa). Jauh sebelum zaman berkembang, pola pengkalenderan ini tidak sama dengan kalender Masehi pada umumnya. Masyarakat Jawa seringkali menyambut tradisi ini dengan suasana atau nuansa yang sakral dan hikmat yang kemudian beberapa tokoh penting seperti pemerintah pun tergabung didalamnya. Tradisi ini berangkat dari pemahaman masyarakat Jawa sebagai makhluk ciptaan Yang Maha Kuasa, yang mengemban tanggung jawab untuk menyembah Sang Pencipta.[2] Tradisi ini hanya diketahui oleh Masyarakat Jawa semata, sebab dalam bertumbuhnya tradisi ini, merekalah yang membangun arti, makna, serta simbol-simbol yang berlaku sehingga hal tersebutlah yang menjadikan Tradisi Malam Satu Suro merupakan upacara adat yang menjadi budaya turun temurun Masyarakat Jawa.

Tradisi ini bermula dari penggabungan antara Kalender Saka dengan Kalender Hijriah menjadi Kalender Jawa oleh Sultan Agung di zaman pemerintahannya yakni pada tahun 1613-1645 M.[2] Berbicara tentang pemaknaan tradisi ini, kata Suro berasal dari bahasa arab yakni ‘asyura' yang berarti kesepuluh (tanggal 10 Muharram). Dalam kepercayaan agama Islam, bulan Suro telah dipahami sebagai bulan suci yang dianggap sakral oleh mayoritas masyarakat beragama Islam khususnya di pulau Jawa. Tanggal 10 Muharram memiliki arti yang sangat penting menurut masyarakat Jawa yang menganut Agama Islam. Kata asyura dalam pengucapan lidah orang Jawa berubah menjadi “Suro” yang membuat kata tersebut masuk dalam khazanah Islam-Jawa asli yang kemudian diartikan sebagai nama bulan pertama dalam kalender Jawa.[3] Menurut aliran kepercayaan Islam-Jawa, Kata “Suro” memiliki makna penting yakni 10 hari pertama bulan suro merupakan waktu yang paling keramat. Masyarakat Islam-Jawa memandang “kekeramatan” pada bulan suro itu sendiri disebabkan oleh faktor dari budaya keraton dan bukan dari “kesangaran” bulan Suro itu sendiri.

Mitos dan Kepercayaan

Tradisi Malam Satu Suro tentunya tidak terlepas dari mitos-mitos dan kepercayaan yang beredar di masyarakat. Misalnya salah satu mitos dan kepercayaan yang beredar pada upacara Malam Satu Suro ialah mencari jalan keselamatan secara spiritual, dengan harapan jiwanya selamat dan memasuki alam transenden sesuai dengan yang diharapkan. Harapan sebagai manusia untuk hidup dalam ketenangan, ketentraman bahkan damai sejahtera ini, dipercayai bahwa Sang Pencipta dapat memberikannya di malam tersebut.[2] Itulah sebabnya masyarakat Jawa menganggap, bahwa dengan melakukan tradisi ritual ini, berkat Ilahi tercurah secara khusus mengenai keselamatan selagi hidup maupun setelah kematian. Walaupun begitu mitos dan kepercayaan yang muncul di masyarakat pun berbeda beda di setiap daerah.

Seperti perayaan Malam Satu Suro di Labuhan dilaksanakan untuk memohon perlindungan dan bantuan dari Tuhan dan para penguasa laut agar para nelayan selamat dan mendapatkan banyak ikan saat melaut. Ada pun Malam Satu Suro yang dilaksanakan di Cirebon memiliki tujuan untuk mengenang Maheso Suro yang mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada masyarakat di pesisir pantai selatan.[1]

Makna dan Simbolisme

  Tradisi Malam Satu Suro adalah perayaan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur[4], pada tanggal 1 Muharram menurut penanggalan Jawa. Tradisi ini memiliki nilai spiritual dan kebudayaan yang penting serta mengandung makna dan simbolisme yang kaya.
  Malam Satu Suro memiliki makna sebagai awal tahun dalam penanggalan Jawa dan dianggap sebagai malam yang sarat dengan energi magis dan spiritual oleh masyarakat Jawa. Dipercaya bahwa pada malam ini, pintu-pintu alam gaib terbuka lebar, dan roh-roh nenek moyang turun ke dunia untuk memberikan berkah dan perlindungan.

Simbolisme dalam Tradisi Malam Satu Suro juga sangat kentara.


 Makna pesan mengenai tradisi perayaan budaya malam satu Suro antara lain adalah:

1. Sebagai sarana untuk memperkuat hubungan silaturahmi.

2. Mengucapkan rasa syukur atas nikmat-nikmat yang diberikan oleh Allah SWT, yang melimpahkan rahmat, karunia, dan rezeki kepada semua umat serta saling menghormati satu sama lain.

3. Mengingat dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

  Penting untuk diingat bahwa makna dan simbolisme dalam Tradisi Malam Satu Suro dapat bervariasi tergantung pada interpretasi dan keyakinan masyarakat yang melaksanakannya. Melalui tradisi ini, masyarakat Jawa menghormati leluhur, berdoa untuk berkah dan perlindungan, serta menghidupkan nilai-nilai spiritual dan moral

Macam-Macam Perayaan Tradisi Malam Satu Suro/Sura

Tradisi malam satu suro/sura dilaksanakan sebagai bentuk permohonan akan keselamatan atas diri mereka. Tradisi malam satu suro memiliki beberapa macam yang terbagi dari beberapa daerah di Indonesia dengan berbagai tradisi yang berbeda.[5]

Berikut ini merupakan macam-macam perayaan tradisi Malam Satu Suro di berbagai daerah di Indonesia :

  • Satu Sura di Solo (Kirab Pusaka Keraton)

Perayaan Satu Sura di Solo menggelar ritual Jamas dan Kirab Pusaka Keraton, ikut serta salam acara kirab tersebut beberapa ekor kebo bule yang dijuluki Kebo Kyai Slamet. Acara kirab ini dimulai dari keraton Solo pada jam 12 malam dan mengelilingi beberapa protokol di kota Solo diiringi punggawa istana dan para pasukan istana.

  • Satu Sura di Cirebon (Babad Cirebon dan pencucian benda pusaka)

Malam satu sura di Cirebon diperingati oleh Keraton Kanoman dengan menggelar pembacaan Babad Cirebon (Sejarah Cirebon). Peringatan malam satu sura dilanjutkan dengan ziarah ke makam Sunan Gunung Jati di Desa Astana, kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon.

  • Satu Sura di Bantul (Ritual Samas)

Ritual Samas ini bertujuan untuk mengenang Maheso Suro yang dipercaya telah mendatangkan kemakmuran warga di pesisir pantai selatan.

  • Malam satu sura di Magetan (Ledug Suro)

Ledug Suro diperingati dengan upacara Andum Berkah Bolu Rahayu, yang diyakini oleh masyarakat Kabupaten Magetan bahwa memakan bolu rahayu yang sudah diberikan doa-doa tersebut bisa digunakan sebagai obat, pelaris, dan lainnya.

  • Upacara Labuhan

Upacara dengan melakukan persembahan-persembahan kepada penguasa lautan supaya para nelayan selamat mencari ikan dan memperoleh ikan yang banyak dengan tujuan memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa.[5]


Referensi

  1. ^ a b MULYANI, M. (2023). TRADISI MALAM SATU SURO DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL KEAGAMAAN MASYARAKAT (Studi di Desa Kubuliku Jaya Kecamatan Batu Ketulis Kabupaten Lampung Barat) (Doctoral dissertation, UIN RADEN INTAN LAMPUNG).
  2. ^ a b c Triastanti, D., & Objantoro, E. (2021). Memanfaatkan Tradisi Malam Satu Suro Untuk Mengomunikasikan Injil. Jurnal Teologi Praktika, 2(1), 56-66.
  3. ^ Aryanti, R., & Zafi, A. A. (2020). Tradisi Satu Suro Di Tanah Jawa Dalam Perspektif Hukum Islam. AL IMAN: Jurnal Keislaman Dan Kemasyarakatan, 4(2), 342-361.
  4. ^ Siburian, A. L. M., & Malau, W. (2018). Tradisi Ritual Bulan Suro pada Masyarakat Jawa di Desa Sambirejo Timur Percut Sei Tuan. Gondang: Jurnal Seni Dan Budaya, 2(1), 28-35.
  5. ^ a b Mulyani (2023). "Tradisi Malam Satu Suro Dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Sosial Keagamaan Masyarakat". Skripsi. Bandar Lampung : Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.