Lompat ke isi

Patih Udara: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
ArgaAkhmada37 (bicara | kontrib)
k Koreksi kecil
ArgaAkhmada37 (bicara | kontrib)
Sedikit koreksi kecil
Baris 29: Baris 29:
Menurut keterangan [[Babad Tanah Jawi]], Patih Udara merupakan anak dari Patih Wahan, dan semula menjabat sebagai seorang [[adipati]] di [[Kediri]].<ref name=Olthof>W.L. Olthof, ''Babad Tanah Djawi'', 1941, teks bahasa Jawa, hlm. 17-18.</ref> Wahan adalah patih yang mendampingi raja [[Dyah Ranawijaya|Girindrawardhana Dyah Ranawijaya]] di awal masa pemerintahannya.<ref>OJO,XCI, baris ke-2.</ref> Kemudian pada tahun 1498, Patih Wahan digantikan oleh Patih Udara mendampingi Ranawijaya sebagai ''apatih amangkubhumi'' (perdana menteri) hingga masa akhir Majapahit.
Menurut keterangan [[Babad Tanah Jawi]], Patih Udara merupakan anak dari Patih Wahan, dan semula menjabat sebagai seorang [[adipati]] di [[Kediri]].<ref name=Olthof>W.L. Olthof, ''Babad Tanah Djawi'', 1941, teks bahasa Jawa, hlm. 17-18.</ref> Wahan adalah patih yang mendampingi raja [[Dyah Ranawijaya|Girindrawardhana Dyah Ranawijaya]] di awal masa pemerintahannya.<ref>OJO,XCI, baris ke-2.</ref> Kemudian pada tahun 1498, Patih Wahan digantikan oleh Patih Udara mendampingi Ranawijaya sebagai ''apatih amangkubhumi'' (perdana menteri) hingga masa akhir Majapahit.


Seorang penjelajah Portugis bernama [[Tomé Pires]], mencatat kesaksian dan informasi yang dia dapatkan selama melakukan perjalanan ke penjuru Asia termasuk ke Jawa, antara tahun [[1512]]-[[1515]]. Pires dalam catatannya yang disebut ''[[Suma Oriental]],'' menyebutkan bahwa raja pada saat itu, ''Batara Vojyaya'' (Batara Wijaya atau Brawijaya, identik dengan [[Dyah Raṇawijaya|Dyah Ranawijaya]]), sudah tidak memiliki pengaruh dan hanya merupakan pemimpin simbolis saja. Sedangkan pemerintahan efektif dipegang oleh Patih Udara, yang disebut dengan gelarnya yaitu ''Guste Pate'' (atau Gusti Patih) atau ''Pate Andura. Guste Pate'' menurut Pires disebut memiliki kekuasaan yang dominan dalam pemerintahan dan merupakan penguasa ''de facto'' Majapahit. Meskipun secara formal, Udara hanya menjabat sebagai patih (''viso rey'') dan panglima perang, dia sangat disegani sehingga dianggap hampir seperti raja. Udara juga mengukuhkan kekuasaan melalui hubungan kekerabatan. Udara menikah dengan putri dari penguasa Blambangan yaitu ''Pate Pimtor'' (Menak Pentor), menikahkan putrinya dengan ''Batara Vojyaya'', dan menempatkan putranya ''Pate Sepetat'' (Menak Sapetak) sebagai penguasa ''Gamda'' (Pasuruan). Udara menjadi pemimpin tertinggi yang menggalang perlawanan sisa-sisa Majapahit terhadap penguasa-penguasa Islam di pesisir utara Jawa, terutama [[Kesultanan Demak|Demak]].<ref>Armando Cortesao, ''The Suma Oriental of Tomé Pires'', I, 1944</ref>
Seorang penjelajah Portugis bernama [[Tomé Pires]], mencatat kesaksian dan informasi yang dia dapatkan selama melakukan perjalanan ke penjuru Asia termasuk ke Jawa, antara tahun [[1512]]-[[1515]]. Pires dalam catatannya yang disebut ''[[Suma Oriental]],'' menyebutkan bahwa raja pada saat itu, ''Batara Vojyaya'' (Batara Wijaya atau Brawijaya, identik dengan [[Dyah Raṇawijaya|Dyah Ranawijaya]]), sudah tidak memiliki pengaruh dan hanya merupakan pemimpin simbolis saja. Sedangkan pemerintahan efektif dipegang oleh Patih Udara, yang disebut dengan gelarnya yaitu ''Guste Pate'' (atau Gusti Patih) atau ''Pate Andura. Guste Pate'' menurut Pires disebut memiliki kekuasaan yang dominan dalam pemerintahan dan merupakan penguasa ''de facto'' Majapahit.<ref name=":0" />
Meskipun secara formal, Udara hanya menjabat sebagai patih (''viso rey'') dan panglima perang, dia sangat disegani sehingga dianggap hampir seperti raja. Udara juga mengukuhkan kekuasaan melalui hubungan kekerabatan. Udara menikah dengan putri dari penguasa Blambangan yaitu ''Pate Pimtor'' (Menak Pentor), menikahkan putrinya dengan ''Batara Vojyaya'', dan menempatkan putranya ''Pate Sepetat'' (Menak Sapetak) sebagai penguasa ''Gamda'' (Pasuruan). Udara menjadi pemimpin tertinggi yang menggalang perlawanan sisa-sisa Majapahit terhadap penguasa-penguasa Islam di pesisir utara Jawa, terutama [[Kesultanan Demak|Demak]].<ref name=":0">Armando Cortesao, ''The Suma Oriental of Tomé Pires'', I, 1944</ref>


Secara umum, masa akhir Majapahit hingga keruntuhannya belum dapat dirangkai secara pasti, termasuk detail masa kekuasaan Batara Wijaya, serta Patih Udara sebagai pemegang kekuasaan. Sebelum masa yang dicatat [[Tomé Pires]] yaitu antara tahun 1512-1515, penguasa terakhir yang dicatat menghasilkan sumber primer adalah [[Dyah Raṇawijaya|Dyah Ranawijaya]] yang mengeluarkan Prasasti Jiwu I bertarikh 1486, dengan isinya adalah anugerah raja kepada pendukungnya dalam perang saudara melawan [[Kertabhumi|Bhre Kertabhumi]]. Berita dari [[Dinasti Ming]] tahun 1498 juga menyebutkan masih adanya hubungan diplomatik antara Cina dan Jawa (Majapahit).<ref>Groeneveldt, ''Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources'', 1960, hlm. 36.</ref> Penjelajah Portugis lain yaitu [[Duarte Barbosa]] pada tahun 1518 menyebutkan adanya seorang "raja kafir" yang masih berkuasa di pedalaman Jawa yang namanya disebut sebagai 'Pateudra'.<ref>{{Cite book|last=Barbossa|first=Duarte|date=1921|title=Book of Duarte Barbossa vol.II|location=London|publisher=Redford Press|pages=190|url-status=live}}</ref>
Secara umum, masa akhir Majapahit hingga keruntuhannya belum dapat dirangkai secara pasti, termasuk detail masa kekuasaan Batara Wijaya, serta Patih Udara sebagai pemegang kekuasaan. Sebelum masa yang dicatat [[Tomé Pires]] yaitu antara tahun 1512-1515, penguasa terakhir yang dicatat menghasilkan sumber primer adalah [[Dyah Raṇawijaya|Dyah Ranawijaya]] yang mengeluarkan Prasasti Jiwu I bertarikh 1486, dengan isinya adalah anugerah raja kepada pendukungnya dalam perang saudara melawan [[Kertabhumi|Bhre Kertabhumi]]. Berita dari [[Dinasti Ming]] tahun 1498 juga menyebutkan masih adanya hubungan diplomatik antara Cina dan Jawa (Majapahit).<ref>Groeneveldt, ''Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources'', 1960, hlm. 36.</ref> Penjelajah Portugis lain yaitu [[Duarte Barbosa]] pada tahun 1518 menyebutkan adanya seorang "raja kafir" yang masih berkuasa di pedalaman Jawa yang namanya disebut sebagai 'Pateudra'.<ref>{{Cite book|last=Barbossa|first=Duarte|date=1921|title=Book of Duarte Barbossa vol.II|location=London|publisher=Redford Press|pages=190|url-status=live}}</ref>

Revisi per 4 September 2023 10.27

Udara
Indonesia Patih Majapahit
Masa jabatan
1498–1527
Sebelum
Pendahulu
Wahan
Pengganti
Petahana
Sebelum
Penguasa monarkiGirindrawardhana
Informasi pribadi
AnakMenak Sapetak
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Patih Udara atau Andura adalah seorang Patih atau Perdana Menteri (apatih amangkubhumi) kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.[1] Udara menurut catatan Portugis diketahui sebagai seorang pemegang kekuasaan terakhir sisa-sisa kerajaan Majapahit pada tahun 1498-1518,[2] sebelum akhirnya ditaklukkan oleh Kesultanan Demak pada tahun 1527.

Sejarah

Menurut keterangan Babad Tanah Jawi, Patih Udara merupakan anak dari Patih Wahan, dan semula menjabat sebagai seorang adipati di Kediri.[1] Wahan adalah patih yang mendampingi raja Girindrawardhana Dyah Ranawijaya di awal masa pemerintahannya.[3] Kemudian pada tahun 1498, Patih Wahan digantikan oleh Patih Udara mendampingi Ranawijaya sebagai apatih amangkubhumi (perdana menteri) hingga masa akhir Majapahit.

Seorang penjelajah Portugis bernama Tomé Pires, mencatat kesaksian dan informasi yang dia dapatkan selama melakukan perjalanan ke penjuru Asia termasuk ke Jawa, antara tahun 1512-1515. Pires dalam catatannya yang disebut Suma Oriental, menyebutkan bahwa raja pada saat itu, Batara Vojyaya (Batara Wijaya atau Brawijaya, identik dengan Dyah Ranawijaya), sudah tidak memiliki pengaruh dan hanya merupakan pemimpin simbolis saja. Sedangkan pemerintahan efektif dipegang oleh Patih Udara, yang disebut dengan gelarnya yaitu Guste Pate (atau Gusti Patih) atau Pate Andura. Guste Pate menurut Pires disebut memiliki kekuasaan yang dominan dalam pemerintahan dan merupakan penguasa de facto Majapahit.[4]

Meskipun secara formal, Udara hanya menjabat sebagai patih (viso rey) dan panglima perang, dia sangat disegani sehingga dianggap hampir seperti raja. Udara juga mengukuhkan kekuasaan melalui hubungan kekerabatan. Udara menikah dengan putri dari penguasa Blambangan yaitu Pate Pimtor (Menak Pentor), menikahkan putrinya dengan Batara Vojyaya, dan menempatkan putranya Pate Sepetat (Menak Sapetak) sebagai penguasa Gamda (Pasuruan). Udara menjadi pemimpin tertinggi yang menggalang perlawanan sisa-sisa Majapahit terhadap penguasa-penguasa Islam di pesisir utara Jawa, terutama Demak.[4]

Secara umum, masa akhir Majapahit hingga keruntuhannya belum dapat dirangkai secara pasti, termasuk detail masa kekuasaan Batara Wijaya, serta Patih Udara sebagai pemegang kekuasaan. Sebelum masa yang dicatat Tomé Pires yaitu antara tahun 1512-1515, penguasa terakhir yang dicatat menghasilkan sumber primer adalah Dyah Ranawijaya yang mengeluarkan Prasasti Jiwu I bertarikh 1486, dengan isinya adalah anugerah raja kepada pendukungnya dalam perang saudara melawan Bhre Kertabhumi. Berita dari Dinasti Ming tahun 1498 juga menyebutkan masih adanya hubungan diplomatik antara Cina dan Jawa (Majapahit).[5] Penjelajah Portugis lain yaitu Duarte Barbosa pada tahun 1518 menyebutkan adanya seorang "raja kafir" yang masih berkuasa di pedalaman Jawa yang namanya disebut sebagai 'Pateudra'.[6]

Legenda dan fiksi

Dalam lakon wayang klithik Jawa Timur serta dalam naskah Serat Langendriya Episode Damarwulan Ngarit (no. kat. D.166) dan Serat Lampahan Damarwulan Ngarit (no. kat. G.162) koleksi Perpustakaan Reksapustaka, Pura Mangkunegaran, Surakarta, tokoh Patih Udara disebutkan sebagai ayah dari Damar Wulan. Ia adalah bekas patih Majapahit yang mengudurkan diri, yang posisinya digantikan oleh adiknya yaitu Patih Lohgender.[7]

Pada cerita fiksi Nagasasra Sabuk Inten karya pengarang S.H. Mintardja, terdapat tokoh raja terakhir Majapahit bernama Hudhara yang bergelar Brawijaya VII, yang disebutkan memberikan izin kepada Raden Patah untuk memindahkan pusat kerajaan Majapahit ke Demak.[8]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b W.L. Olthof, Babad Tanah Djawi, 1941, teks bahasa Jawa, hlm. 17-18.
  2. ^ G.P. Rouffaer, "Wanneer is Madjapahit gevallen?", BKI, 50, 1899, hlm. 144; H.J. de Graaf en Th. G. Th. Pigeaud, De Eerste Moslimse Vorstendommen op Java, 1974, hlm. 47.
  3. ^ OJO,XCI, baris ke-2.
  4. ^ a b Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tomé Pires, I, 1944
  5. ^ Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, 1960, hlm. 36.
  6. ^ Barbossa, Duarte (1921). Book of Duarte Barbossa vol.II. London: Redford Press. hlm. 190. 
  7. ^ Romania (2009). "Serat Langendriya Episode Damarwulan Ngarit (Suatu Tinjauan Filologis)" (PDF). Skripsi. Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Diakses tanggal 28 Juni.  [pranala nonaktif permanen]
  8. ^ Februana, Ngarto (2007). "Sepak Terjang Para Pendekar". Tempo. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-03-04. Diakses tanggal 16 Juni. 
Didahului oleh:
Girindrawardhana
Penguasa Majapahit
1499-1518
Diteruskan oleh:
-