Lompat ke isi

Sumpah Palapa: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Miminsastra (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Surijeal (bicara | kontrib)
Informasi baru yang diberikan sangat spesifik, tapi rujukan yang diberi sangat sedikit dan tidak spesifik, juga tidak ada nomor halaman untuk pemastian.
Tag: Pengembalian manual
Baris 5: Baris 5:


== Isi sumpah ==
== Isi sumpah ==
Sumpah Palapa ini ditemukan pada teks [[Sastra Jawa Pertengahan|Jawa Pertengahan]] ''[[Pararaton]]'', yang berbunyi:<ref name=":0">{{Cite book|last=Purwanto|first=Heri|year=2023|title=Pararaton: Biografi Para Raja Singhasari–Majapahit|location=Tangerang Selatan|publisher=Javanica|isbn=978-623-98438-4-7}}</ref>{{Rp|363}}
Sumpah Palapa ini ditemukan pada teks [[Sastra Jawa Pertengahan|Jawa Pertengahan]] ''[[Pararaton]]'', yang berbunyi:<ref name=":0" />{{Rp|363}}


{{cquote2|Sira Gajah Madapatih amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa".}}
{{cquote2|Sira Gajah Madapatih amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa".}}
Baris 32: Baris 32:


== Selesai ==
== Selesai ==
Kerajaan Sunda menjadi bawahan Majapahit setelah [[pertempuran Bubat]] tahun 1357. Kerajaan Sunda akhirnya merdeka pada tahun yang tidak diketahui.<ref>{{Cite book|last=Hall|first=D.G.E.|year=1981|title=A History of South-East Asia|location=London|publisher=The Macmillan Press Ltd|isbn=978-1-349-16521-6|edition=4th|page=100}}</ref> Penaklukan Sunda oleh Majapahit berarti Gajah Mada akhirnya memenuhi sumpah Palapa-nya:<ref name=":1">{{Cite book|last=Nugroho|first=Irawan Djoko|year=2011|title=Majapahit Peradaban Maritim|publisher=Suluh Nuswantara Bakti|isbn=978-602-9346-00-8|page=214}}</ref><blockquote>... ''Tunggalan padompo pasunda. Samangkana sira Gajah Mada mukti palapa, sawelas tahun amangkubhumi''. (Peristiwa Dompo bersamaan dengan peristiwa Sunda. Saat itulah Gajah Mada ''amukti palapa'', [setelah] sebelas tahun menjadi mangkubumi.)<ref name=":0">{{Cite book|last=Purwanto|first=Heri|year=2023|title=Pararaton: Biografi Para Raja Singhasari–Majapahit|location=Tangerang Selatan|publisher=Javanica|isbn=978-623-98438-4-7}}</ref>{{Rp|384}}</blockquote>
Sumpah Palapa diikrarkan oleh Gajah Mada ketika ia dilantik sebagai Patih kerajaan Majapahit pada tahun 1331 M. Intisari sumpah tersebut adalah bahwa Gajah Mada bersumpah untuk tidak akan makan palapa (semacam jenis rempah-rempah yang manis), tidak juga bersenang-senang atau beristirahat sebelum seluruh Nusantara bersatu di bawah kekuasaan Majapahit.

Upaya terakhirnya yaitu dengan upaya penyatuan, melalui perkawinan antara Raja Hayam Wuruk dengan putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari kerajaan Sunda.

Namun upaya tersebut gagal dan ditandai dengan tragedi Bubat. Tragedi tersebut yaitu peristiwa tewasnya rombongan pengantin Sunda akibat pengkhianatan oleh Gajah Mada sebagai Patih Majapahit dan pasukannya yang terjadi pada 1357 M di Bubat.

Tragedi ini menewaskan Raja Sunda bersama putrinya, Dyah Pitaloka Citraresmi. Peristiwa ini disebutkan dalam naskah kuno seperti Kidung Sunda, Kidung Sundayana, Carita Parahyangan, dan Serat Keraton. Tragedi inilah yang menandai kegagalan Gajah Mada dalam memenuhi Sumpah Palapa yang diikrarkannya.

Sumpah Palapa sebagaimana juga Perang Bubat disinggung di dalam salah satu '''pupuh Pararaton''', tarikh Jawa dari abad ke-15. Jati diri penulisnya tidak diketahui.

Pararaton disusun dalam bentuk catatan peristiwa yang terjadi sekitar tahun 1474–1486, sementara bagian sastrawinya disusun sebagai uraian sejarah antara tahun 1500–1613. Naskah ini pertama kali dipublikasikan pada tahun 1896 oleh J.L.A. Brandes, seorang filolog Belanda, lengkap dengan terjemahan, keterangan, dan ulasan.

Beberapa sejarawan mempertanyakan keaslian Pararaton, serta berpendapat bahwa Kidung Sunda hanyalah sebuah novel fiksi kuno dan Perang Bubat tidak pernah terjadi.

Demi merukunkan beragam kajian ini, penting untuk dipahami bahwa Nagarakretagama adalah sebuah pujasastra.[ii] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto memaparkan di dalam Sejarah Nasional Indonesia II bahwa "peristiwa ini tampaknya sengaja dikesampingkan Prapanca dalam Nagarakretagama, karena tidak berkontribusi bagi kegemilangan Majapahit bahkan dapat dianggap sebagai kegagalan politis Gajah Mada untuk menundukkan orang Sunda."

Menurut tradisi, wafatnya Dyah Pitaloka ditangisi oleh Hayam Wuruk dan seluruh penduduk kerajaan Sunda yang telah kehilangan sebagian besar anggota keluarga kerajaannya.

Kemudian, raja Hayam Wuruk menikah dengan Paduka Sori, sepupunya sendiri. Perbuatan Pitaloka dan keberanian ayahnya dipuja sebagai tindakan mulia kehormatan, keberanian dan martabat dalam tradisi Sunda. Ayahnya, Prabu Maharaja Linggabuana Wisesa dipuja oleh orang Sunda sebagai Prabu Wangi (Sunda: raja dengan aroma yang menyenangkan) karena tindakan heroiknya untuk mempertahankan kehormatannya melawan Majapahit.

Keturunannya, yang kemudian menjadi raja Sunda, disebut Siliwangi (Sunda: penerus Wangi).

Upaya Penaklukan Sunda oleh Majapahit berarti kegagalan Gajah Mada akhirnya memenuhi sumpah Palapa-nya:<ref name=":1">{{Cite book|last=Nugroho|first=Irawan Djoko|year=2011|title=Majapahit Peradaban Maritim|publisher=Suluh Nuswantara Bakti|isbn=978-602-9346-00-8|page=214}}</ref>


== Lihat pula ==
== Lihat pula ==

Revisi per 1 Januari 2024 06.43

Relief di Monas, menggambarkan Gajah Mada menyerukan Sumpah Palapa.

Sumpah Palapa adalah suatu pernyataan/sumpah yang dikemukakan oleh Gajah Mada pada upacara pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit, tahun 1258 Saka (1336 M).[1]

Isi sumpah

Sumpah Palapa ini ditemukan pada teks Jawa Pertengahan Pararaton, yang berbunyi:[2]:363

Sira Gajah Madapatih amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa".

Terjemahannya:

[Akhirnya] Gajah Mada menjadi patih mangkubumi, [tetapi] tidak ingin amukti palapa. Gajah Mada [bersumpah], "Jika sudah takluk Nusantara, [maka] aku amukti palapa. Jika [sudah] takluk Gurun, Seram, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, barulah aku amukti palapa".

Dari isi naskah ini dapat diketahui bahwa pada masa diangkatnya Gajah Mada, sebagian wilayah Nusantara yang disebutkan pada sumpahnya belum dikuasai Majapahit.

Arti nama-nama tempat

Berikut arti nama-nama tempat yang dimaksud dalam Sumpah Palapa:[3]

Arti amukti palapa

Petrus Josephus Zoetmulder memaknai amukti palapa sebagai "menikmati suatu keadaan dimana segalanya bisa diambil", atau secara sederhana "menikmati kesenangan"; sedangkan menurut Slamet Muljana bermakna "menikmati istirahat".[2]:364

Selesai

Kerajaan Sunda menjadi bawahan Majapahit setelah pertempuran Bubat tahun 1357. Kerajaan Sunda akhirnya merdeka pada tahun yang tidak diketahui.[4] Penaklukan Sunda oleh Majapahit berarti Gajah Mada akhirnya memenuhi sumpah Palapa-nya:[5]

... Tunggalan padompo pasunda. Samangkana sira Gajah Mada mukti palapa, sawelas tahun amangkubhumi. (Peristiwa Dompo bersamaan dengan peristiwa Sunda. Saat itulah Gajah Mada amukti palapa, [setelah] sebelas tahun menjadi mangkubumi.)[2]:384

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Sita W. Dewi (9 April 2013). "Tracing the glory of Majapahit". The Jakarta Post. Diakses tanggal 5 February 2015. 
  2. ^ a b c Purwanto, Heri (2023). Pararaton: Biografi Para Raja Singhasari–Majapahit. Tangerang Selatan: Javanica. ISBN 978-623-98438-4-7. 
  3. ^ "Bakamla Akan Kunjungi Titik Maritim yang Terucap di Sumpah Palapa Patih Gajah Mada". Badan Keamanan Laut Republik Indonesia. 26 Mei 2015. Diakses tanggal 26 Maret 2020. 
  4. ^ Hall, D.G.E. (1981). A History of South-East Asia (edisi ke-4th). London: The Macmillan Press Ltd. hlm. 100. ISBN 978-1-349-16521-6. 
  5. ^ Nugroho, Irawan Djoko (2011). Majapahit Peradaban Maritim. Suluh Nuswantara Bakti. hlm. 214. ISBN 978-602-9346-00-8.