Lompat ke isi

Pemindahan agama paksa umat Islam di Spanyol: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
k perbaikan terjemahan agar lebih natural
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
kTidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 2: Baris 2:
'''Pemindahan agama paksa umat Islam di Spanyol''' diberlakukan melalui serangkaian [[edik]] yang melarang [[Islam]] di wilayah [[Kekaisaran Spanyol|Imperium Spanyol]]. Penindasan tersebut didorong oleh tiga kerajaan Spanyol pada awal abad ke-16: [[Takhta Kastilia]] pada tahun 1500–1502, disusul oleh [[Kerajaan Navarra|Navarra]] pada tahun 1515–1516, dan terakhir [[Takhta Aragon]] pada tahun 1523–1526.{{sfn|Harvey|2005|p=14}}
'''Pemindahan agama paksa umat Islam di Spanyol''' diberlakukan melalui serangkaian [[edik]] yang melarang [[Islam]] di wilayah [[Kekaisaran Spanyol|Imperium Spanyol]]. Penindasan tersebut didorong oleh tiga kerajaan Spanyol pada awal abad ke-16: [[Takhta Kastilia]] pada tahun 1500–1502, disusul oleh [[Kerajaan Navarra|Navarra]] pada tahun 1515–1516, dan terakhir [[Takhta Aragon]] pada tahun 1523–1526.{{sfn|Harvey|2005|p=14}}


Usai kerajaan-kerajaan Kristen merampungkan [[Reconquista|perebutan kembali Al-Andalus]] pada tanggal 2 Januari 1492, penduduk Muslim di Spanyol terdiri atas 500.000 hingga 600.000 orang. Pada masa itu, umat Islam yang tinggal di bawah pemerintahan [[Kristen]] diberi status "[[Mudéjar]]", yang secara sah mengizinkan praktik Islam secara terbuka. Pada tahun 1499, Uskup Agung Toledo, [[Kardinal]] [[Francisco Jiménez de Cisneros]] memulai sebuah kampanye di kota [[Granada]] untuk memaksa kepatuhan terhadap agama Kristen dengan penyiksaan dan penahanan. Kejadian tersebut memicu [[Pemberontakan Alpujarras (1499-1501)|pemberontakan Muslim]] yang kemudian berhasil dipadamkan dan digunakan untuk membenarkan pencabutan perlindungan hukum dan traktat bagi umat Islam. Upaya pemindahan agama pun dilipatgandakan sehingga pada tahun 1501, secara resmi, tidak ada lagi Muslim yang resmi menetap di Granada. Terdorong dengan keberhasilan di Granada, pada tahun 1502, [[Isabella I dari Kastilia|Ratu Isabella]] dari Kastila mengeluarkan sebuah edik yang melarang Islam di seluruh Kastila. Dengan [[penaklukan Navarra oleh Spanyol|aneksasi Navarra]] pada tahun 1515, semakin banyak Muslim yang dipaksa menganut keyakinan Kristen lewat edik Kastila. Kerajaan terakhir yang memaksakan pemindahan agama adalah Takhta Aragon. Sebelumnya, para rajanya bersumpah untuk memberikan perlindungan kebebasan beragama untuk umat Muslim di kerajaannya dalam sumpah penobatan mereka. Pada awal 1520-an, pemberontakan anti-Islam yang dikenal sebagai [[Pemberontakan Persaudaraan]] terjadi, dan umat Islam di wilayah pemberontak dipaksa berpindah agama. Ketika pasukan Takhta Aragon yang dibantu oleh umat Islam, berhasil meredam pemberontakan tersebut, Raja Charles I (lebih dikenal sebagai Charles V dari [[Kekaisaran Romawi Suci]]) memerintahkan agar pemindahan agama secara paksa diberlakukan. Sehingga "orang-orang yang pindah agama" tersebut kini resmi menjadi Kristen. Peristiwa tersebut menempatkan orang-orang yang pindah agama di bawah yurisdiksi [[Inkuisisi Spanyol]]. Pada tahun 1524, Charles mengirim petisi kepada Paus [[Klemens VII]] untuk melepaskan raja dari sumpahnya untuk melindungi kebebasan beragama umat Islam. Hal tersebut memberikannya otoritas untuk secara resmi menindak penduduk Muslim yang tersisa. Pada akhir 1525, ia mengeluarkan edik perpindahan agama resmi bahwa Islam tidak lagi secara resmi ada di seluruh Spanyol.
Usai kerajaan-kerajaan Kristen merampungkan [[Reconquista|perebutan kembali Al-Andalus]] pada tanggal 2 Januari 1492, penduduk Muslim di Spanyol terdiri atas 500.000 hingga 600.000 orang. Pada masa itu, umat Islam yang tinggal di bawah pemerintahan [[Kristen]] diberi status "[[Mudéjar]]", yang secara sah mengizinkan praktik Islam secara terbuka. Pada tahun 1499, Uskup Agung Toledo, [[Kardinal]] [[Francisco Jiménez de Cisneros]] memulai sebuah kampanye di kota [[Granada]] untuk memaksa kepatuhan terhadap agama Kristen dengan penyiksaan dan penahanan. Kejadian tersebut memicu [[Pemberontakan Alpujarras (1499-1501)|pemberontakan Muslim]] yang kemudian berhasil dipadamkan dan digunakan untuk membenarkan pencabutan perlindungan hukum dan traktat bagi umat Islam. Upaya pemindahan agama pun dilipatgandakan sehingga pada tahun 1501, secara resmi, tidak ada lagi Muslim yang resmi menetap di Granada. Terdorong dengan keberhasilan di Granada, pada tahun 1502, [[Isabella I dari Kastilia|Ratu Isabella]] dari Kastila mengeluarkan sebuah edik yang melarang Islam di seluruh Kastila. Dengan [[penaklukan Navarra oleh Spanyol|aneksasi Navarra]] pada tahun 1515, semakin banyak Muslim yang dipaksa menganut keyakinan Kristen lewat edik Kastila. Kerajaan terakhir yang memaksakan pemindahan agama adalah Takhta Aragon. Sebelumnya, para rajanya bersumpah untuk memberikan perlindungan kebebasan beragama untuk umat Muslim di kerajaannya dalam sumpah penahbisan mereka. Pada awal 1520-an, pemberontakan anti-Islam yang dikenal sebagai [[Pemberontakan Persaudaraan]] terjadi, dan umat Islam di wilayah pemberontak dipaksa berpindah agama. Ketika pasukan Takhta Aragon yang dibantu oleh umat Islam, berhasil meredam pemberontakan tersebut, Raja Charles I (lebih dikenal sebagai Charles V dari [[Kekaisaran Romawi Suci]]) memerintahkan agar pemindahan agama secara paksa diberlakukan. Sehingga "orang-orang yang pindah agama" tersebut kini resmi menjadi Kristen. Peristiwa tersebut menempatkan orang-orang yang pindah agama di bawah yurisdiksi [[Inkuisisi Spanyol]]. Pada tahun 1524, Charles mengirim petisi kepada Paus [[Klemens VII]] untuk melepaskan raja dari sumpahnya untuk melindungi kebebasan beragama umat Islam. Hal tersebut memberikannya otoritas untuk secara resmi menindak penduduk Muslim yang tersisa. Pada akhir 1525, ia mengeluarkan edik perpindahan agama resmi bahwa Islam tidak lagi secara resmi ada di seluruh Spanyol.


Meskipun menganut agama Kristen secara terbuka diwajibkan oleh edik kerajaan dan dipaksakan oleh Inkuisisi Spanyol, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa sebagian besar orang yang dipaksa pindah agama (disebut sebagai "[[Morisco]]") diam-diam tetap mempertahankan agama Islam. Pada kehidupan sehari-hari, [[Syariah|hukum Islam]] tradisional tidak lagi dapat dilaksanakan tanpa penindasan oleh [[Inkuisisi]]. Akibatnya, [[fatwa Oran]] dikeluarkan untuk menyatakan perlunya pelonggaran syariat, dan juga merinci cara-cara yang dapat dilakukan oleh umat Islam. Fatwa tersebut menjadi dasar untuk [[kripto-Islam]] yang dipraktikkan oleh Morisco sampai [[Pengusiran Morisco|pengusiran mereka pada 1609–1614]]. Beberapa umat Islam, yang kebanyakan berada di dekat pesisir, berimigrasi sebagai respons terhadap pemindahan agama tersebut. Namun, pembatasan yang diberlakukan oleh otoritas mengenai imigrasi dalam artian meninggalkan Spanyol, bukanlah opsi bagi sebagian besar umat Islam. Pemberontakan juga timbul di beberapa daerah, terutama di daerah-daerah yang memiliki daerah pegunungan yang defensif, tetapi semuanya tidak berhasil. Pada akhirnya, edik-edik tersebut menciptakan sebuah masyarakat dengan Muslim taat yang diam-diam enggan murtad (berpindah agama) berdampingan dengan para murtadin yang menjadi penganut Kristen yang taat, sampai terjadinya pengusiran.
Meskipun menganut agama Kristen secara terbuka diwajibkan oleh edik kerajaan dan dipaksakan oleh Inkuisisi Spanyol, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa sebagian besar orang yang dipaksa pindah agama (disebut sebagai "[[Morisco]]") diam-diam tetap mempertahankan agama Islam. Pada kehidupan sehari-hari, [[Syariah|hukum Islam]] tradisional tidak lagi dapat dilaksanakan tanpa penindasan oleh [[Inkuisisi]]. Akibatnya, [[fatwa Oran]] dikeluarkan untuk menyatakan perlunya pelonggaran syariat, dan juga merinci cara-cara yang dapat dilakukan oleh umat Islam. Fatwa tersebut menjadi dasar untuk [[kripto-Islam]] yang dipraktikkan oleh Morisco sampai [[Pengusiran Morisco|pengusiran mereka pada 1609–1614]]. Beberapa umat Islam, yang kebanyakan berada di dekat pesisir, berimigrasi sebagai respons terhadap pemindahan agama tersebut. Namun, pembatasan yang diberlakukan oleh otoritas mengenai imigrasi dalam artian meninggalkan Spanyol, bukanlah opsi bagi sebagian besar umat Islam. Pemberontakan juga timbul di beberapa daerah, terutama di daerah-daerah yang memiliki daerah pegunungan yang defensif, tetapi semuanya tidak berhasil. Pada akhirnya, edik-edik tersebut menciptakan sebuah masyarakat dengan Muslim taat yang diam-diam enggan murtad (berpindah agama) berdampingan dengan para murtadin yang menjadi penganut Kristen yang taat, sampai terjadinya pengusiran.

Revisi per 4 Februari 2024 03.17

Penganut Baru Uskup Besar Ximenez Dari Orang Moor, Granada, 1500 karya Edwin Long (1829–1891), menggambarkan pembaptisan massal umat Islam

Pemindahan agama paksa umat Islam di Spanyol diberlakukan melalui serangkaian edik yang melarang Islam di wilayah Imperium Spanyol. Penindasan tersebut didorong oleh tiga kerajaan Spanyol pada awal abad ke-16: Takhta Kastilia pada tahun 1500–1502, disusul oleh Navarra pada tahun 1515–1516, dan terakhir Takhta Aragon pada tahun 1523–1526.[1]

Usai kerajaan-kerajaan Kristen merampungkan perebutan kembali Al-Andalus pada tanggal 2 Januari 1492, penduduk Muslim di Spanyol terdiri atas 500.000 hingga 600.000 orang. Pada masa itu, umat Islam yang tinggal di bawah pemerintahan Kristen diberi status "Mudéjar", yang secara sah mengizinkan praktik Islam secara terbuka. Pada tahun 1499, Uskup Agung Toledo, Kardinal Francisco Jiménez de Cisneros memulai sebuah kampanye di kota Granada untuk memaksa kepatuhan terhadap agama Kristen dengan penyiksaan dan penahanan. Kejadian tersebut memicu pemberontakan Muslim yang kemudian berhasil dipadamkan dan digunakan untuk membenarkan pencabutan perlindungan hukum dan traktat bagi umat Islam. Upaya pemindahan agama pun dilipatgandakan sehingga pada tahun 1501, secara resmi, tidak ada lagi Muslim yang resmi menetap di Granada. Terdorong dengan keberhasilan di Granada, pada tahun 1502, Ratu Isabella dari Kastila mengeluarkan sebuah edik yang melarang Islam di seluruh Kastila. Dengan aneksasi Navarra pada tahun 1515, semakin banyak Muslim yang dipaksa menganut keyakinan Kristen lewat edik Kastila. Kerajaan terakhir yang memaksakan pemindahan agama adalah Takhta Aragon. Sebelumnya, para rajanya bersumpah untuk memberikan perlindungan kebebasan beragama untuk umat Muslim di kerajaannya dalam sumpah penahbisan mereka. Pada awal 1520-an, pemberontakan anti-Islam yang dikenal sebagai Pemberontakan Persaudaraan terjadi, dan umat Islam di wilayah pemberontak dipaksa berpindah agama. Ketika pasukan Takhta Aragon yang dibantu oleh umat Islam, berhasil meredam pemberontakan tersebut, Raja Charles I (lebih dikenal sebagai Charles V dari Kekaisaran Romawi Suci) memerintahkan agar pemindahan agama secara paksa diberlakukan. Sehingga "orang-orang yang pindah agama" tersebut kini resmi menjadi Kristen. Peristiwa tersebut menempatkan orang-orang yang pindah agama di bawah yurisdiksi Inkuisisi Spanyol. Pada tahun 1524, Charles mengirim petisi kepada Paus Klemens VII untuk melepaskan raja dari sumpahnya untuk melindungi kebebasan beragama umat Islam. Hal tersebut memberikannya otoritas untuk secara resmi menindak penduduk Muslim yang tersisa. Pada akhir 1525, ia mengeluarkan edik perpindahan agama resmi bahwa Islam tidak lagi secara resmi ada di seluruh Spanyol.

Meskipun menganut agama Kristen secara terbuka diwajibkan oleh edik kerajaan dan dipaksakan oleh Inkuisisi Spanyol, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa sebagian besar orang yang dipaksa pindah agama (disebut sebagai "Morisco") diam-diam tetap mempertahankan agama Islam. Pada kehidupan sehari-hari, hukum Islam tradisional tidak lagi dapat dilaksanakan tanpa penindasan oleh Inkuisisi. Akibatnya, fatwa Oran dikeluarkan untuk menyatakan perlunya pelonggaran syariat, dan juga merinci cara-cara yang dapat dilakukan oleh umat Islam. Fatwa tersebut menjadi dasar untuk kripto-Islam yang dipraktikkan oleh Morisco sampai pengusiran mereka pada 1609–1614. Beberapa umat Islam, yang kebanyakan berada di dekat pesisir, berimigrasi sebagai respons terhadap pemindahan agama tersebut. Namun, pembatasan yang diberlakukan oleh otoritas mengenai imigrasi dalam artian meninggalkan Spanyol, bukanlah opsi bagi sebagian besar umat Islam. Pemberontakan juga timbul di beberapa daerah, terutama di daerah-daerah yang memiliki daerah pegunungan yang defensif, tetapi semuanya tidak berhasil. Pada akhirnya, edik-edik tersebut menciptakan sebuah masyarakat dengan Muslim taat yang diam-diam enggan murtad (berpindah agama) berdampingan dengan para murtadin yang menjadi penganut Kristen yang taat, sampai terjadinya pengusiran.

Latar belakang

Granada Menyerah karya Francisco Pradilla Ortiz (1848–1921), menggambarkan Granada menyerah, kerajaan pimpinan Muslim terakhir di Jazirah Iberia, pada tahun 1492.

Islam telah datang di Semenanjung Iberia sejak penaklukan Hispania oleh Umayyah pada abad kedelapan. Pada awal abad kedua belas, penduduk Muslim di Semenanjung Iberia – yang disebut "Al-Andalus" oleh Muslim – diperkirakan berjumlah setidaknya 5.5 juta; yang terdiri dari orang Arab, orang Berber, dan penduduk asli yang menjadi mualaf.[2] Di beberapa abad berikutnya, kala umat Kristen terdorong dari utara dalam proses yang disebut reconquista, penduduk Muslim menurun.[3] Pada akhir abad kelima belas, Reconquista berpuncak pada kejatuhan Granada, dengan penduduk Muslim di Spanyol berkisar antara 500.000 dan 600.000 dari seluruh penduduk Spanyol yang berpenduduk 7 sampai 8 juta.[2] Sekitar separuh Muslim tinggal di bekas Keamiran Granada, negara Muslim independen terakhir di Jazirah Iberia, yang telah dianeksasi oleh Takhta Kastilia.[2] Sekitar 20.000 Muslim tinggal di wilayah Kastilia lainnya, dan kebanyakan sisanya tinggal di wilayah Takhta Aragon.[4] Para Muslim yang tinggal di bawah kekuasaan Kristen disebut sebagai Mudéjar.

Pada tahun-tahun awal usai penaklukan Granada, Muslim di Granada dan wilayah lainnya masih menikmati kebebasan beragama.[1] Hak tersebut dijamin dalam berbagai alat hukum, yang meliputi traktat, piagam, kapitulasi, dan sumpah penahbisan.[1] Contohnya, Traktat Granada (1491) menjamin toleransi agama terhadap Muslim di wilyah penaklukan Granada.[5] Raja-raja Aragon, termasuk Raja Ferdinand II dan Charles V, bersumpah untuk melindungi kebebasan beragama Muslim dalam sumpah pelantikan mereka.[6][7]

Tiga bulan usai penaklukan Granada, pada 1492, Dekrit Alhambra memerintahkan seluruh Yahudi di Spanyol untuk diusir atau berpindah agama. Ini menandai permulaan serangkaian kebijakan baru.[8] Pada 1497, tetangga barat Spanyol yakni Portugal mengusir penduduk Yahudi dan Muslim. sesuai dengan arahan kardinal Spanyol Cisneros sebagai balasan untuk kontrak pernikahan kerajaan.[9] Tak seperti Yahudi, Muslim Portugis diijinkan untuk berpindah ke wilayah Spanyol, dan kebanyakan Muslim Portugis melakukannya.[10]

Proses pemindahan agama

Pada pertengahan akhir abad kelima belas, Spanyol terbagi antara dua kerajaan: Takhta Kastilia dan Takhta Aragon yang memiliki luas lebih kecil. Perkawinan antara Raja Ferdinand II dari Aragon dan Ratu Isabella I dari Kastilia menyatukan dua takhta tersebut, dan kemudian cucu mereka Charles kelak mewarisi kedua takhta tersebut (sebagai Charles I dari Spanyol, namun lebih dikenal sebagai Charles V, sesuai nomor regnalnya sebagai Kaisar Romawi Suci). Disamping penyatuan tersebut, wilayah dua takhta tersebut memiliki fungsi yang sangat berbeda, dengan hukum berlawanan, prioritas kekuasaan, dan perlakuan terhadap umat Islam.[11] Terdapat juga umat Islam yang tinggal di Kerajaan Navarra, yang awalnya independen namun dianeksasi oleh Kastilia pada 1515.[12] Pemindahan agama paksa beragam dalam linimasa oleh badan pemerintahan: tindakan tersebut diberlakukan oleh Takhta Kastilia pada 1500–1502, di Navarra pada 1515–1516, dan oleh Takhta Aragon pada 1523–1526.[1]

Di Takhta Kastilia

Kerajaan Granada

Kerajaan Granada (merah) dalam Takhta Kastilia (batas hitam)

Upaya awal memaksa pemindahan agama umat Islam Spanyol dimulai oleh Kardinal Cisneros, uskup agung Toledo, yang datang ke Granada pada musim gugur 1499.[13] Berseberangan dengan uskup agung Granada sendiri Hernando de Talavera, yang memiliki hubungan bersahabat dengan penduduk Muslim dan menyerukan kesepakatan damai terhadap pemindahan agama,[14] Cisneros mengadopsi tindakan yang keras dan otoritarian.[14] Ia mengirim umat Islam yang tak kooperatif, khususnya bangsawan, ke penjara di tempat mereka diperlakukan buruk (termasuk laporan penyiksaan) sampai mereka berpindah agama.[15][16] Cisneros menghiraukan peringatan dari dewannya bahwa metode-metode tersebut dapat melanggar Traktat Granada, yang menjamin kebebasan beragama Muslim.[15] Meskipun demikian, ia memuluskan upayanya. Pada bulan Desember, ia menulis kepada Paus Aleksander VI bahwa ia memindahkan agama 3.000 Muslim dalam satu hari.[15]

Pemindahan agama paksa berujung pada serangkaian pemberontakan, yang awalnya timbul di kota Granada. Pemberontakan tersebut ditimbulkan oleh pembunuhan orang yang membawa wanita Muslim untuk diinterograsi di wilayah Muslim Granada. Peristiwa tersebut berakhir dengan negosiasi. Setelah itu, umat Islam mengerahkan senjata mereka dan menghampiri orang-orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut.[17] Kemudian, Cisneros mendorong Raja Ferdinand dan Ratu Isabella agar, lewat upaya pemberontakan, mencabut hak Muslim dalam traktat, dan kini harus menerima pemindahan agama.[17][18] Para penguasa mengirim Cisneros kembali ke Granada untuk memimpin kampanye pemindahan agama yang baru.[17][18] Muslim di kota tersebut dipaksa berpindah agama dalam jumlah besar – 60.000 menurut Sri Paus, dalam sebuah surat kepada Cisneros pada Maret 1500.[18] Cisneros mendeklarasikan pada Januari 1500 bahwa "tidak ada orang di kota tersebut yang bukan orang Kristen."[17]

Meskipun kota Granada kini berada di bawah kekuasaan Kristen, pemberontakan menyebar ke wilayah sekitar. Pemimpin pemberontakan kabur ke pegunungan Alpujarra pada Januari 1500. Khawatir mereka juga akan dipaksa berpindah agama, penduduk disana dengan cepat menyatakan pemberontakan.[19] Namun, usai serangkaian kampanye pada 1500–1501 kala 80.000 pasukan Kristen dikerahkan dan Raja Ferdinand sendiri mengarahkan beberapa operasi, pemberontakan tersebut dikalahkan.[20][19] Syarat para pemberontak yang kalah dan menyerah umumnya mengharuskan mereka untuk menerima pembaptisan.[19][21] Pada 1501, tidak ada lagi satupun Muslim yang tak berpindah agama yang bertahan di Granada.[22]

Belahan Kastilia lainnya

Tak seperti Muslim Granada, yang berada di bawah kekuasaan Muslim sampai 1492, Muslim di belahan Kastilia lain tinggal di bawah kekuasaan Kristen dari generasi ke generasi.[23] Usai pemindahan agama di Granada, Isabella memutuskan untuk mengeluarkan dekrit pemindahan agama atau pengusiran terhadap Muslim.[24] Kastilia melarang Islam dalam legislasi tertanggal Juli 1501 di Granada, namun ini tak diberlakukan langsung.[22] Proklamasi tersebut dinyatakan pada 12 Februari 1502, di Sevilla (disebut "tanggal kunci" legislasi tersebut oleh sejarawan L. P. Harvey), dan kemudian secara lokal di kota lainnya.[22] Edik tersebut berdampak pada "seluruh kerajaan dan wilayah kekuasaan Kastilia dan Leon".[22] Menurut edik tersebut, seluruh laki-laki Muslim berusia 14 tahun atau lebih, atau perempuan berusia 12 tahun atau lebih, harus berpindah agama atau meninggalkan Kastilia pada akhir April 1502.[25] Baik Muslim kelahiran Kastilia dan imigran ditujukan pada dekrit tersebut, namun para budak dikecualikan dalam rangka menghormati hak para pemilik mereka .[22] Edik tersebut membenarkan keputusan dengan menyatakan bahwa usai pemindahan agama sukses di Granada, umat Islam di belahan Kastilia lain akan menjadi batu sandungan, bahkan meskipun para Muslim tersebut diketahui bersikap damai. Edik tersebut juga menyatakan bahwa keputusan tersebut dibutuhkan untuk melindungi orang-orang yang menerima pemindahan agama dari pengaruh Muslim yang belum berpindah agama.[22]

Di atas kertas, edik tersebut memerintahkan pengusiran alih-alih pemindahan agama paksa, namun perintah tersebut melarang nyaris seluruh perpindahan tempat yang memungkinkan. Pada kenyataannya, otoritas Kastilia lebih memilih Muslim untuk berpindah agama kemtimbang berimigrasi.[26] Tetangga barat Kastilia, Portugal, telah melarang Muslim sejak 1497.[27] Perintah tersebut jelas-jelas melarang perpindahan ke wilayah tetangga lainnya, seperti Kerajaan-Kerajaan Aragon dan Valencia, Kepangeranan Catalonia, dan Kerajaan Navarre.[22] Dari tempat tujuan seberang laut yang memungkinkan, Afrika Utara dan wilayah Kekaisaran Utsmaniyah juga dilarang.[22] Edik tersebut mengijinkan perjalanan ke Mesir, yang kala itu dikuasai oleh Kesultanan Mamluk, namun hanya ada sedikit kapal yang berlayar antara Kastilia dan Mesir pada masa itu.[28] Perintah tersebut menyatakan Biscay di negara Basque sebagai satu-satunya pelabuhan tempat Muslim dapat pergi, yang menandakan bahwa orang-orang dari selatan (seperti Andalusia) akan pergi dari seluruh rentang jazirah tersebut.[25] Edik tersebut juga dinyatakan bahwa akhir April 1502 sebagai batas tanggal akhir. Setelah itu, Islam akan dilarang dan Muslim yang berlabuh akan dihukum berat .[28] Edik berikutnya dikeluarkan pada 17 September 1502, melarang Muslim yang baru murtad untuk meninggalkan Kastilia dalam dua tahun berikutnya.[25]

Sejarawan L.P. Harvey menulis bahwa dengan edik ini, "dalam gaya penjelasan semacam itu, pada catatan pendek semacam itu", keberadaan Muslim di bawah status Mudéjar telah berakhir.[28] Tak seperti di Granada, hanya ada sedikit catatan peristiwa yang masih ada seperti pembaptisan massal, atau bagaimana pemindahan agama tersebut dilakukan.[28] Terdapat catatan perayaan Kristen menyusul pemindahan agama tersebut, seperti "perayaan bersama yang meriah" yang melibatkan adu banteng di Ávila.[28]

Di Navarra

Wilayah Navarra di selatan Pyrenees (merah) dianeksasi oleh Kastilia pada 1515, sehingga memperluas pelarangan Islam oleh Kastilia disana.

Ratu Navarra Katarina de Foix (m. 1483–1517) dan suaminya Yohanes III tak memiliki kepentingan dalam mendorong pengusiran atau pemindahan agama paksa.[12] Kala Inkuisisi Spanyol datang ke Navarra pada akhir abad kelima belas dan mulai ditujukan kepada Muslim lokal, istana kerajaan Navarra memperingatkannya untuk dihentikan.[12]

Namun, pada 1512, Navarra diinvasi oleh Kastilia dan Aragon.[12] Pasukan Spanyol pimpinan Raja Ferdinand dengan cepat merebut bagian Iberia dari kerajaan tersebut, termasuk ibukota Pamplona. Pada 1513, ia diproklamasikan menjadi Raja.[12] Pada 1515, Navarra resmi dianeksasi oleh Takhta Kastilia sebagai salah satu kerajaannya.[12] Dengan penaklukan tersebut, edik pemindahan agama tahun 1501–02 diberlakukan di Navarra, dan Inkuisisi ditugaskan untuk memberlakukannya.[12] Namun, tak seperti di Kastilia, sedikit Muslim yang nampak menerima pemindahan agama.[12] Sejarawan Brian A. Catlos berpendapat bahwa kurangnya catatan pembaptisan dan tingkat penjualan lahan yang tinggi oleh Muslim pada 1516 menandakan bahwa kebanyakan dari mereka telah meninggalkan Navarra untuk kabur melalui Takhta Aragon ke Afrika Utara (Takhta Aragon kala itu belum bergesekan dengan Muslim).[12] Beberapa orang juga bertahan pada masa perintah tersebut. Contohnya, pada 1520, terdapat 200 Muslim di Tudela yang kekayaannya terdaftar dalam catatan pendaftaran.[12]

Di Takhta Aragon

Takhta Aragon di Spanyol

Disamping menaungi pemindahan agama Muslim di wilayah Kastilia pimpinan istrinya, Ferdinand II tak meluaskan pemindahan agama pada warga Aragon.[29] Raja-raja Aragon, termasuk Ferdinand, diwajibkan untuk menyatakan sumpah pelantikan untuk tak memaksa memindahkan agama warga Muslim mereka.[6] Ia mengulang sumpahnya dalam Cortes (majelis kewilayahan) pada 1510. Sepanjang hidupnya, ia tak ingin melanggarnya.[30] Ferdinand wafat pada 1516, dan digantikan oleh cucunya Charles V, yang juga menyatakan sumpah yang sama pada pelantikannya.[30]

gelombang pertama pemindahan agama di takhta Aragon terjadi pada Pemberontakan Persaudaraan. Pemberontakan yang menimbulkan sentimen anti-Muslim timbul di kalangan warga Kristen Valencia pada awal 1520-an,[31] dan orang-orang yang aktif didalamnya memaksa Muslim untuk menjadi Kristen di wilayah yang dikuasai oleh mereka.[32] Muslim masuk Takhta tersebut dalam meredam pemberontakan, memainkan peran penting dalam banyak pertempuran.[32] Usai pemberontakan dipadamkan, Muslim menganggap pemindahan agama yang dipaksakan oleh para pemberontak tidaklah sah dan kembali ke kepercayaan mereka.[33] Kemudian, Raja Charles I (juga dikenal sebagai Charles V dari Kekaisaran Romawi Suci) memulai penyelidikan untuk menentukan pengesahan dari pemindahan agama tersebut.[34] Komisi tersebut ditugaskan untuk penyelidikan tersebut yang mulai dikerjakan pada November 1524.[35] Charles benar-benar menjunjung pemindahan agama tersebut, menempatkan orang-orang yang dipaksa pindah agama di bawah otoritas Inkuisisi.[34] Para pendukung keputusan tersebut berpendapat bahwa Muslim memiliki pilihan kala dikonfrontasi oleh para pemberontak: mereka dapat memilih menolak dan mati, namun kala menolaknya, menandakan bahwa pemindahan agama tersebut timbul dari kehendak bebas dan seharusnya masih berlaku.[32]

Pada saat yang sama, Charles berniat untuk melepaskan dirinya dari sumpah yang dinyatakan olehnya untuk melindungi Muslim.[36] Ia menulis kepada Paus Klemens VII pada 1523 dan lagi pada 1524 untuk dispensasi tersebut.[36] Klemens awalnya menolak permintaan tersebut, namun sebuah catatan kepausan singkat yang dikeluarkan pada Mei 1524 membebaskan Charles dari sumpah tersebut dan meniadakannya dari seluruh sumpah palsu yang dapat timbul kala melanggarnya.[37] Sri Paus juga memerintahkan Inkuisisi untuk menekan para oposisi pada pemindahan agama mendatang.[37]

Pada 25 November 1525, Charles mengeluarkan sebuah edik yang memerintahkan pengusiran atau pemindahan agama Muslim yang tersisa di Takhta Aragon Aragon.[32][38] Mirip dengan kasus di Kastilia, bahkan melalui opsi pengasingan yang tertera di atas kertas, pada prateknya nyaris tak memungkinkan.[34][39][40] Dalam rangka meninggalkan kerajaan tersebut, Muslim harus mendapatkan dokumentasi dari Siete Aguas di perbatasan barat Aragon, kemudian melakukan perjalanan darat di sepanjang Kastilia untuk mencapai laut dari A Coruña di pantai barat laut.[34] Edik tersebut direncanakan berakhir pada 31 Desember di Kerajaan Valencia, dan 26 Januari 1526, di Aragon dan Catalonia.[34] Orang yang gagal datang pada waktunya akan dijadikan budak.[34] Edik berikutnya berkata bahwa orang yang tak pergi pada 8 Desember akan diwajibkan untuk dibaptis.[34][41] Muslim juga diperintahkan untuk "menyimak tanpa menjawab" ajaran-ajaran Kristen.[41]

Sejumlah kecil Muslim berniat untuk kabur ke Prancis dan dari sana menuju Afrika Utara Muslim.[41] Beberapa orang memberontak melawan perintah tersebut – contohnya, sebuah pemberontakan pecah di Serra d'Espadà.[42] Pasukan takhta meredam pemberontakan tersebut dalam sebuah kampanye yang meliputi pembunuhan 5.000 Muslim.[42] Setelah kekalahan dalam pemberontakan, seluruh Takhta Aragon kini berpindah ke agama Kristen.[43][38] Masjid-masjid dihancurkan, nama panggilan dan marga diubah, dan praktek agama Islam dipendam.[44]

Reaksi Muslim

Kripto-Islam

Sebuah potongan dari karya-karya Pemuda dari Arévalo, seorang penulis kripto-Muslim pada abad keenam belas.

Bagi orang-orang yang tak dapat berimigrasi, pemindahan agama adalah satu-satunya pilihan agar selamat.[45] Namun, orang-orang yang dipaksa berpindah agama beserta keturunan mereka (dikenal sebagai "Morisco") terus menerapkan Islam secara diam-diam.[45] Menurut Harvey, "bukti berlebihan, tumpang tindih" menyatakan bahwa kebanyakan orang yang dipaksa berpindah agama menjadi Muslim rahasia.[46] Bukti sejarah seperti tulisan-tulisan Muslim dan catatan-catatan Inkuisisi menyertai keyakinan agama yang masih ada dari para Muslim.[46][47] Generasi-generasi Morisco lahir dan wafat dalam iklim keagamaan tersebut.[48] Namun, orang yang baru berpindah agama juga ditekan untuk menerapkan Kekristenan, seperti menghadiri Misa atau menyantap makanan dan minuman yang dilarang dalam Islam.[45][49] Keadaan tersebut berujung pada bentuk Islam non-tradisional yang menjadi tujuan internal seseorang (niyya), alih-alih penerapan ritual dan hukum terbuka, menjadi sifat pasti dari keyakinan seseorang.[48] Perpaduan atau praktek keagamaan tak pasti muncul dalam banyak catatan Morisco:[50] contohnya, karya-karya penulis Morisco Pemuda dari Arévalo dari 1530-an menyebut bahwa kripto-Muslim memakai ibadah Kristen sebagai pengganti ritual Islam biasa.[51] Ia juga menulis soal praktek salat jama'ah rahasia,[52] mengumpulkan para umat dalam rangka melakukan ziarah ke Makkah (walaupun tak jelas apakah perjalanan tersebut benar-benar tercapai),[52] dan keputusan dan harapan di kalangan Muslim rahasia untuk kembali ke praktek Islam sepenuhnya dapat memungkinkan.[53]

Fatwa Oran

Fatwa Oran adalah sebuah fatwa (wacana hukum Islam) dikeluarkan pada 1504 untuk menyampaikan perpindahan agama paksa tahun 1501–1502 di Kastilia.[54] Fakta tersebut dikeluarkan oleh ulama Maliki Afrika Utara Ahmad ibn Abi Jum'ah dan menjelaskan pelonggaran kewajiban-kewajiban syariat (hukum Islam), mengijinkan Muslim untuk menyesuaikan diri dengan Kristen dan melakukan tindakan yang biasanya dilarang ketika diperlukan untuk bertahan hidup.[55] Fatwa tersebut meliputi arahan-arahan pelonggaran untuk melakukan salat, zakat, dan wudu. Fatwa tersebut juga membujuk umat Islam soal bertindak kala diminta untuk melanggar hukum Islam, seperti beribadah layaknya Kristen, melakukan penistaan, atau menyantap babi dan khamar.[56] Fatwa tersebut memberikan kelonggaran luas di kalangan Muslim yang murtad dan keturunan mereka, dan salah satu terjemahan Aljamiado yang masih ada tertanggal 1564, 60 tahun usai fatwa asli dikeluarkan.[57] Harvey menyebutnya "dokumen teologi penting" untuk kejian Islam Spanyol usai pemindahan agama paksa sampai Pengusiran Morisco, sebuah deskripsi yang diulang oleh cendekiawan kajian Islam Devin Stewart.[54][55]

Imigrasi

Muslim yang berimigrasi menyusul edik di Aragon diwajibkan untuk mengambil dokumentasi di Siete Aguas di tenggara dan kemudian berjalan melalui rute darat menuju A Coruña di barat laut Kastilia. Karena itu, metode menonjol tersebut amat sulit untuk dilaksanakan pada tanggal akhir yang diberlakukan. Pada akhirnya, umat Islam dari Aragon menerima pemindahan agama paksa.[34][39]

Posisi menonjol para cendekiawan Islam menyatakan bahwa Muslim tak dapat bertahan di sebuah wilayah yang penguasanya membuat pengamalan keagamaan yang sebenarnya menjadi tak memungkinkan.[58] Sehingga, Muslim wajib hijrah kala mereka mereka dapat melakukannya.[57] Bahkan sebelum pemindahan agama paksa sistematis, para pemuka agama berpendapat bahwa umat Islam di wilayah Kristen akan menjadi bahan tekanan langsung dan tidak langsung, dan menyebut imigrasi sebagai cara untuk melindungi agama dari pengikisan.[23] Ahmad al-Wansharis, ulama Afrika Utara pada zaman itu sekaligus otoritas utama umat Islam Spanyol,[59] menulis pada 1491 bahwa berimigrasi dari wilayah Kristen ke Muslim wajib dilakukan dalam nyaris setiap keadaan.[23] Selain itu, ia menyatakan bahwa umat Islam yang bertahan akan mendapatkan hukuman berat dan memperkirakan bahwa mereka akan sementara masuk ke dalam neraka setelah kematian.[60]

Namun, kebijakan otoritas Kristen umumnya menghalangi imigrasi semacam itu.[61] Kemudian, pilihan ini hanya diterapkan bagi kalangan orang kaya yang tinggal di dekat pesisir selatan, dan bahkan kemudian dengan kesulitan besar.[61] Contohnya, di Sierra Bermeja, Granada pada 1501, pilihan pengasingan ditawarkan sebagai alternatif dari pemindahan agama hanya untuk orang-orang yang membayar sepuluh dobla emas, yang kebanyakan warganya tak mampu memberikannya.[62][63] Pada tahun yang sama, para penduduk desa Turre dan Teresa dekat Sierra Cabrera di Almeria berjuang melawan militan Kristen dengan bantuan dari para penyelamat Afrika Utara mereka di Mojácar kala meninggalkan wilayah tersebut.[64] Warga Turre kalah dan rencana pelarian berganti menjadi pembantaian. Warga Teresa hengkang namun harta benda mereka, selain barang-barang yang dapat dimuatkan dalam perahu-perahu kecil mereka, ditinggalkan dan dirampas.[45]

Kala edik pemindahan agama di Kastilia secara tersurat diijinkan untuk berimigrasi, edik tersebut secara tersirat melarang nyaris seluruh tempat tujuan yang tersedia bagi penduduk Muslim Kastilia, dan akibatnya "nampak seluruh" Muslim menerima pemindahan agama.[28] Di Aragon, Muslim yang berharap untuk pergi diwajibkan pergi ke Kastilia, melakukan perjalanan darat di sepanjang Kastilia melalui Madrid dan Valladolid, dan akhirnya bergerak melewati laut di pantai barat laut, semuanya pada tanggal akhir.[34] Cendekiawan kajian keagamaan Brian A. Catlos berkata bahwa imigrasi "bukanlah pilihan yang disediakan".[39] Sejarawan Spanyol L. P. Harvey menyebut rute yang diwajibkan tersebut "tak masuk akal" dan "sangat sulit dicapai" karena pilihan pengasingan "pada prateknya, nyaris tidak ada",[34] dan sejarawan Sefardi Maurice Kriegel sepakat, berujar bahwa "pada prakteknya, mereka tak mungkin smeninggalkan jazirah tersebut".[40] Selain itu, sejumlah kecil Muslim kabur ke Prancis, dan dari sana menuju Afrika Utara.[41]

Pemberontakan bersenjata

Kampanye pemindahan agama Kardinal Cisneros di Granada memicu Pemberontakan Alpujarras (1499–1501).[65][66] Pemberontakan tersebut berakhir dengan kemenangan royalis, dan para pemberontak yang kalah kemudian diwajibkan untuk pindah agama.[19][21]

Usai edik pemindahan agama di Aragon, Muslim juga angkat senjata, khususnya di tempat dengan wilayah pegunungan.[67] Pemberontakan bersenjata pertama terjadi di Benaguasil oleh Muslim dari kota dan wilayah sekitar.[68] Serangan royalis awal digagalkan, namun kota tersebut menyerah pada Maret 1526 usai dikepung selama lima pekan, mengakibatkan pembaptisan para pemberontak.[69] Pemberontakan yang lebih serius berkembang di Sierra de Espadan. Pemimpin pemberontak menyebut dirinya sebagai "Selim Almanzo", yang diambil dari nama Almanzor, seorang pemimpin Muslim pada puncak kekuasaan Muslim Spanyol.[67][70] Para Muslim tertahan selama berbulan-bulan dan memukul balik banyak penyerang[71] sampai pasukan royalis, yang terdiri dari 7.000 orang dengan kontingen Jerman 3.000 prajurit, akhirnya melakukan serangan sukses pada 19 September 1526.[72] Serangan tersebut berakhir dengan pembantaian 5.000 Muslim, termasuk pria tua dan wanita.[72][67] Para penyintas pembantaian tersebut kabur ke Muela de Cortes. Beberapa diantaranya kemudian menyerah dan dibaptis, sementara yang lainnya kabur ke Afrika Utara.[73][67]

Orang taat yang berpindah agama

Beberapa orang yang berpindah agama menjadi pengikuti yang taat dalam keyakinan Kristen mereka. Cisneros berujar bahwa beberapa orang yang pindah agama memilih mati sebagai martir kala dituntut untuk menarik diri oleh para pemberontak Muslim di Granada.[74] Orang yang berpindah agama bernama Pedro de Mercado asal desa Ronda enggan ikut pemberontakan di Granada. Akibatnya, para pemberontak membakar rumahnya dan menculik para anggota keluarganya, termasuk istri dan putrinya.[74] takhta kemudian membayarkannya ganti rugi atas kehilangannya.[74]

Pada 1502, seluruh komunitas Muslim Teruel (bagian dari Aragon yang berbatasan dengan Kastilia) berpindah agama secara massal ke agama Kristen, bahkan meskipun edik tahun 1502 untuk Muslim Kastilia tak diberlakukan kepada mereka.[75] Harvey menyatakan bahwa mereka ditekan oleh warga Kastilia di sepanjang perbatasan, namun sejarawan Trevor Dadson berpendapat bahwa perpindahan agama tersebut tidaklah dipaksakan, namun disebabkan oleh kontak selama berabad-abad dengan tetangga kristen mereka dan keinginan untuk status setara dengan umat Kristen.[76]

Kutipan

  1. ^ a b c d Harvey 2005, hlm. 14.
  2. ^ a b c Carr 2009, hlm. 40.
  3. ^ Harvey 1992, hlm. 9.
  4. ^ Carr 2009, hlm. 40–41.
  5. ^ Carr 2009, hlm. 52.
  6. ^ a b Harvey 2005, hlm. 85–86.
  7. ^ Carr 2009, hlm. 81.
  8. ^ Harvey 1992, hlm. 325.
  9. ^ Harvey 2005, hlm. 15–16.
  10. ^ Harvey 2005, hlm. 20.
  11. ^ Harvey 2005, hlm. 257.
  12. ^ a b c d e f g h i j Catlos 2014, hlm. 220.
  13. ^ Carr 2009, hlm. 57.
  14. ^ a b Harvey 2005, hlm. 27.
  15. ^ a b c Carr 2009, hlm. 58.
  16. ^ Coleman 2003, hlm. 6.
  17. ^ a b c d Carr 2009, hlm. 60.
  18. ^ a b c Harvey 2005, hlm. 31.
  19. ^ a b c d Carr 2009, hlm. 63.
  20. ^ Harvey 2005, hlm. 36.
  21. ^ a b Harvey 2005, hlm. 45.
  22. ^ a b c d e f g h Harvey 2005, hlm. 57.
  23. ^ a b c Harvey 2005, hlm. 56.
  24. ^ Edwards 2014, hlm. 99.
  25. ^ a b c Edwards 2014, hlm. 100.
  26. ^ Harvey 2005, hlm. 56–57.
  27. ^ Harvey 2005, hlm. 15.
  28. ^ a b c d e f Harvey 2005, hlm. 58.
  29. ^ Harvey 2005, hlm. 29.
  30. ^ a b Harvey 2005, hlm. 86.
  31. ^ Harvey 2005, hlm. 92.
  32. ^ a b c d Harvey 2005, hlm. 93.
  33. ^ Lea 1901, hlm. 71.
  34. ^ a b c d e f g h i j Harvey 2005, hlm. 94.
  35. ^ Lea 1901, hlm. 75.
  36. ^ a b Lea 1901, hlm. 83.
  37. ^ a b Lea 1901, hlm. 84.
  38. ^ a b Catlos 2014, hlm. 226.
  39. ^ a b c Catlos 2014, hlm. 227.
  40. ^ a b Harvey 2005, hlm. 99.
  41. ^ a b c d Lea 1901, hlm. 87.
  42. ^ a b Harvey 2005, hlm. 99–100.
  43. ^ Harvey 2005, hlm. 101.
  44. ^ Catlos 2014, hlm. 226–227.
  45. ^ a b c d Harvey 2005, hlm. 49.
  46. ^ a b Harvey 2006.
  47. ^ Harvey 2005, hlm. 102,256.
  48. ^ a b Rosa-Rodríguez 2010, hlm. 153.
  49. ^ Harvey 2005, hlm. 52.
  50. ^ Rosa-Rodríguez 2010, hlm. 153–154.
  51. ^ Harvey 2005, hlm. 185.
  52. ^ a b Harvey 2005, hlm. 181.
  53. ^ Harvey 2005, hlm. 182.
  54. ^ a b Harvey 2005, hlm. 60.
  55. ^ a b Stewart 2007, hlm. 266.
  56. ^ Harvey 2005, hlm. 61–62.
  57. ^ a b Harvey 2005, hlm. 64.
  58. ^ Harvey 2005, hlm. 63–64.
  59. ^ Stewart 2007, hlm. 298.
  60. ^ Hendrickson 2009, hlm. 25.
  61. ^ a b Harvey 2005, hlm. 48.
  62. ^ Carr 2009, hlm. 65.
  63. ^ Lea 1901, hlm. 40.
  64. ^ Harvey 2005, hlm. 48–49.
  65. ^ Lea 1901, hlm. 33.
  66. ^ Carr 2009, hlm. 59.
  67. ^ a b c d Harvey 2005, hlm. 100.
  68. ^ Lea 1901, hlm. 91.
  69. ^ Lea 1901, hlm. 91–92.
  70. ^ Lea 1901, hlm. 92.
  71. ^ Lea 1901, hlm. 93–94.
  72. ^ a b Lea 1901, hlm. 94.
  73. ^ Lea 1901, hlm. 95.
  74. ^ a b c Carr 2009, hlm. 64.
  75. ^ Harvey 2005, hlm. 82.
  76. ^ Dadson 2006.

Daftar pustaka