Adipati Malayakusuma: Perbedaan antara revisi
Adhiyan216 (bicara | kontrib) |
Adhiyan216 (bicara | kontrib) |
||
Baris 39: | Baris 39: | ||
== Akhir Hidup Malayakusuma == |
== Akhir Hidup Malayakusuma == |
||
Pada bulan November tahun 1768, Letnan Gondelag berhasil menangkap Adipati Malayakusuma. Ia ditangkap di Blitar tepatnya di daerah Lodalem. Tanpa perlawanan berarti Adipati Malayakusuma dan pasukannya meletakkan senjata. Mereka kemudian digiring ke Surabaya. |
Pada bulan November tahun 1768, Letnan Gondelag berhasil menangkap Adipati Malayakusuma. Ia ditangkap di Blitar tepatnya di daerah Lodalem. Tanpa perlawanan berarti Adipati Malayakusuma dan pasukannya meletakkan senjata. Mereka kemudian digiring ke Surabaya. Di tengah perjalanan, Adipati Malayakusuma melawan dan sempat membunuh Kopral Smit Van Stam. Seorang punakawan asal Surabaya kemudian menikamnya. Adipati Malayakusuma kemudian gugur sementara jasadnya dibuang ke laut. |
||
Pada tahun 1778, Gubernur VOC menerima laporan tentang keberadaan mantan Adipati Malang yaitu Malayakusuma. Malayakusuma diberitakan masih hidup dan tinggal di Pegunungan Tengger. Ia juga dikabarkan dilindungi oleh seorang pandita terkemuka bernama Amongdharma. Mereka dikabarkan hidup di pertapaan Selarawa ([[Situs Selogending]]). Mata-mata yang diutus untuk mencari tahu kebenaran informasi itu bahkan dilarang mendekati pertapaan itu oleh penguasa Pasuruan yaitu Adipati Nitiadiningrat. |
|||
Dikemudian hari diketahui bahwa orang yang disebut sebagai Malayakusuma itu adalah Pangeran Serang. Diceritakan bahwa tokoh ini menggalang kekuatan untuk memerangi orang-orang Eropa di Pasuruan. |
|||
== Lokasi Makam == |
|||
Lokasi makan Adipati Malayakusuma tidak pernah ditemukan. Paling tidak ada tiga dugaan lokasi makan penguasa Kota Malang itu. Dugaan pertama adalah di pantai Balekambang. Pantai ini konon menjadi tempat perkelahian antara Malayakusuma dengan Kopral Smit Van Stam. Makamnya sendiri kemungkinan sudah hilang karena tidak ditandai dan jarang diziarahi. |
|||
Dugaan kedua adalah Tengger. Tempat ini sesuai dengan adanya laporan tentang keberadaan Malayakusuma yang terendus oleh mata-mata Belanda. Untuk lokasi makam kemungkinan berada di sekitar Situs Selogending. |
|||
Dugaan ketiga adalah di sekitar Balaikota Malang. Dugaan ini muncul ditunjang keberadaan makam misterius di pinggir Sungai Brantas tepatnya di Kelurahan Kauman, Kecamatan Klojen. Keberadaan makam di depan Taman Rekreasi Kota (Tarekot) sekaligus menjadi kunci asal-usul nama Malayakusuma. Malayakusuma kemungkinan bukan nama asli tetapi sebuah sebutan yang mengingatkan orang Jawa pada Sunan Kalijaga atau Syekh Malaya. |
|||
== Anak Keturunan == |
== Anak Keturunan == |
||
Adipati Malayakusuma |
Adipati Malayakusuma mempunyai dua anak laki-laki yaitu Mas Panji Tejokusumo dan Mas Panji Kusumowijoyo. Mas Panji Tejokusumo memimpin pemberontakan pada tahun 1813 sehingga ditangkap dan menjalani hukum buang ke Rembang. Memiliki beberapa keturunan seperti Sumo di Ningrat, Sumo di Projo dan Sumo di Wiryo dsb. Mas Panji Kusumowijoyo terlahir dari ibu yang lain (putri Pandita Tengger Amongdharma) yang menurunkan para pemangku adat Situs Selogending termasuk pendiri Pura Mandara Giri Semeru Agung yaitu Resi Sardjo Atmo Suryo Kusumo. |
||
== Referensi == |
== Referensi == |
Revisi per 24 Februari 2024 08.43
Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampil] di bagian kanan.
|
Adipati Malayakusuma | |
---|---|
Berkas:Mly.jpg | |
Adipati Malang ke-1 | |
Berkuasa | 1751 - 1768 |
Kelahiran | Lumajang |
Kematian | Pegunungan Tengger |
Keturunan | Tejo Kusumo |
Wangsa | Malaya Kusuma |
Dinasti | Malaya Kusuma |
Ayah | Tumenggung Kartonegoro |
Malayakusuma adalah seorang Adipati yang berkuasa di Kota Malang sejak tahun 1751 hingga 1768. Ayahnya adalah Tumenggung Kartonegoro yang menjabat sebagai Bupati Lumajang. Bersama keturunan Untung Suropati lainnya, Adipati Malayakusuma berperang melawan VOC yang hendak menguasai Jawa Timur secara total. Adipati Malayakusuma sempat tertangkap di Malang Selatan namun berhasil meloloskan diri dan bersembunyi di Pegunungan Tengger. Ia kemudian berlindung kepada seorang pandita bernama Amongdharma.
Malayakusuma mempunyai beberapa anak salah satunya adalah Mas Panji Tedjo Kusumo.Raden Panji Tejo Kusumo mendalangi pemogokan dan membuat kerusuhan di Pasuruan sehingga ditangkap dan dibuang ke Rembang. Salah satu anak keturunannya yaitu Soemo di Wiryo ditugaskan menjadi pembantu patih di Malang dan dimakamkan di pemakaman umum Desa Senduro.
Latar Belakang
Pada tahun 1686, Untung Suropati berhasil menjadi seorang adipati di Pasuruan. Anak keturunannya kemudian diangkat menjadi bupati-bupati bawahan di daerah Lumajang, Malang hingga Ngantang. Setelah Untung Suropati wafat, anaknya yang bernama Wironegoro menggantikan posisinya sebagai seorang Adipati.
Sebagaimana ayahnya, Adipati Wiranegara juga merupakan seorang pemimpin yang berjiwa merdeka. Alih-alih bekerja-sama dengan VOC, Wiranegara mengembangkan Kota Pasuruan menjadi Kadipaten yang disegani dan makmur. Kapal-kapal niaga bersandar sehingga membuat perekonomian Kota Pasuruan menjadi maju. Kemajuan ini tentu membuat wilayah-wilayah bawahannya seperti Malang menjadi maju. Islam juga berkembang pesat karena Adipati Wiranegara adalah adipati kedua yang beragama Islam. Melihat perkembangan Kadipaten Pasuruan yang berkembang pesat maka VOC mencari cara untuk menaklukkannya.
Dalam menjalankan tugas pemerintahan, Adipati Wironegoro dibantu oleh seorang patih bernama Kiai Ngabei Wongsonegoro. Karena dihasut oleh VOC, Kiai Ngabei Wongsonegoro kemudian memberontak. Ia menggalang kekuatan untuk menjatuhkan Adipati Wironegoro. Karena Patih Wongsonegoro mempunyai pengikut yang banyak maka ia berhasil mengalahkan Adipati Wironegoro. Penguasa Pasuruan yang telah kalah itu kemudian mengungsi ke Malang. Ia kemudian dilindungi oleh Tumenggung Malayakusuma yang saat itu menjadi bupati bawahan Pasuruan.
Pada tahun 1751, Adipati Wironegoro wafat sehingga jabatan Adipati kemudian diteruskan oleh keponakannya yaitu Malayakusuma.
Perang Melawan VOC
Pasukan VOC yang tidak ingin anak keturunan Untung Suropati menguasai Jawa Timur kemudian melakukan serangkaian penaklukan mulai tahun 1762. Berbagai ekspedisi penaklukan dikerahkan untuk menguasai Malang. VOC juga merekrut pasukan bayaran dari kalangan pribumi. Pasukan pribumi itu dikerahkan karena jumlah pasukan eropa tidak memadai. Awalnya Adipati Malayakusuma tidak berniat untuk berperang. Ia mengirimkan duta perdamaian untuk merundingkan jalan terbaik bagi penyelesaian konflik agar tidak meluas. Ia juga menyanggupi permintaan VOC untuk memenuhi kebutuhan kompeni. Tetapi karena VOC memang berniat untuk mengalahkan keturunan Suropati maka proposal perdamaian itu ditolak. Perang akhirnya tidak bisa dihindarkan.
Untuk mempertahankan Kota Malang, Adipati Malayakusuma dibantu oleh adiknya yaitu Tirtanegara. Tirtanegara membawahi pasukan kavaleri yang mempunyai persenjataan modern. Pasukan inti Tirtanegara berjumlah 800 orang yang semuanya dilengkapi dengan kuda perang pilihan. Pasukan kavaleri ini konon menjadi momok tersendiri bagi pasukan VOC. Malayakusuma sendiri membawahi pasukan penjaga kota sebanyak 1500 pasukan inti. Ia juga memperkuat pasukan infanteri dengan 200 pasukan kavaleri.
Dalam mempertahankan Kota Malang Adipati Malayakusuma juga dibantu oleh Prabujaka. Pangeran asal Mataram ini mempunyai ribuan (kurang lebih 2000 prajurit) pasukan yang beberapa diantaranya dipimpin oleh anaknya yaitu Raden Mas. Prabujaka sendiri adalah saudara ipar Malayakusuma. Ia dijuluki sebagai Pangeran Singosari atau Susuhunan Malang. Ia menjadi target utama penaklukan VOC karena dianggap memberontak terhadap Mataram. Prabujaka sendiri awalnya bertempur di pihak Mataram tetapi karena melihat campur tangan VOC yang begitu besar maka ia membelot dan mengajak pasukannya mempertahankan Kota Malang. Ia bahkan menikah dengan saudari Malayakusuma dan menurunkan anak yang mempunyai garis keturunan dari Tumenggung Kartonegoro.
Perang besar terjadi di kaki gunung Gunung Mandaraka (Arjuno) pada tahun 1767. Pasukan VOC yang dipimpin oleh Kapten Tropponegro dihadang oleh 800 pasukan kavaleri yang dipimpin oleh Tirtanegara. Pasukan VOC kocar-kacir menghadapi serangan kilat itu. Kartawijaya yang mempimpin pasukan Surabaya bahkan dilaporkan terluka parah atas serangan Tirtanegara itu. Ia bahkan kehilangan 200 prajurit dan banyak dari amunisinya yang dirampas oleh pasukan Tirtanegara. Karena VOC kalah telak maka serbuan atas Kota Malang ditangguhkan sampai permintaan tambahan pasukan disetujui. Untuk sementara Kota Malang aman dari gangguan VOC.
Setelah pertempuran besar di Gunung Mandaraka, Adipati Malayakusuma memutuskan untuk mengosongkan Kota Malang. Ia kemudian membagi pasukannya menjadi beberapa batalyon. Batalyon-batalyon itu kemudian diperintahnya untuk melakukan perang gerilya. Ia juga memerintahkan untuk membumihanguskan Kota Malang dan merusak akses jalan. Malayakusuma kemudian memimpin 500 pasukan kavaleri dan bergegas meninggalkan Kota Malang. Ia memilih selatan Gunung Semeru sebagai markas perang gerilyanya. Kebetulan di tempat itu telah berkumpul sisa-sisa pasukan Lumajang yang dipimpin oleh Tumenggung Kartayuda.
Akhir Hidup Malayakusuma
Pada bulan November tahun 1768, Letnan Gondelag berhasil menangkap Adipati Malayakusuma. Ia ditangkap di Blitar tepatnya di daerah Lodalem. Tanpa perlawanan berarti Adipati Malayakusuma dan pasukannya meletakkan senjata. Mereka kemudian digiring ke Surabaya. Di tengah perjalanan, Adipati Malayakusuma melawan dan sempat membunuh Kopral Smit Van Stam. Seorang punakawan asal Surabaya kemudian menikamnya. Adipati Malayakusuma kemudian gugur sementara jasadnya dibuang ke laut.
Pada tahun 1778, Gubernur VOC menerima laporan tentang keberadaan mantan Adipati Malang yaitu Malayakusuma. Malayakusuma diberitakan masih hidup dan tinggal di Pegunungan Tengger. Ia juga dikabarkan dilindungi oleh seorang pandita terkemuka bernama Amongdharma. Mereka dikabarkan hidup di pertapaan Selarawa (Situs Selogending). Mata-mata yang diutus untuk mencari tahu kebenaran informasi itu bahkan dilarang mendekati pertapaan itu oleh penguasa Pasuruan yaitu Adipati Nitiadiningrat.
Dikemudian hari diketahui bahwa orang yang disebut sebagai Malayakusuma itu adalah Pangeran Serang. Diceritakan bahwa tokoh ini menggalang kekuatan untuk memerangi orang-orang Eropa di Pasuruan.
Lokasi Makam
Lokasi makan Adipati Malayakusuma tidak pernah ditemukan. Paling tidak ada tiga dugaan lokasi makan penguasa Kota Malang itu. Dugaan pertama adalah di pantai Balekambang. Pantai ini konon menjadi tempat perkelahian antara Malayakusuma dengan Kopral Smit Van Stam. Makamnya sendiri kemungkinan sudah hilang karena tidak ditandai dan jarang diziarahi.
Dugaan kedua adalah Tengger. Tempat ini sesuai dengan adanya laporan tentang keberadaan Malayakusuma yang terendus oleh mata-mata Belanda. Untuk lokasi makam kemungkinan berada di sekitar Situs Selogending.
Dugaan ketiga adalah di sekitar Balaikota Malang. Dugaan ini muncul ditunjang keberadaan makam misterius di pinggir Sungai Brantas tepatnya di Kelurahan Kauman, Kecamatan Klojen. Keberadaan makam di depan Taman Rekreasi Kota (Tarekot) sekaligus menjadi kunci asal-usul nama Malayakusuma. Malayakusuma kemungkinan bukan nama asli tetapi sebuah sebutan yang mengingatkan orang Jawa pada Sunan Kalijaga atau Syekh Malaya.
Anak Keturunan
Adipati Malayakusuma mempunyai dua anak laki-laki yaitu Mas Panji Tejokusumo dan Mas Panji Kusumowijoyo. Mas Panji Tejokusumo memimpin pemberontakan pada tahun 1813 sehingga ditangkap dan menjalani hukum buang ke Rembang. Memiliki beberapa keturunan seperti Sumo di Ningrat, Sumo di Projo dan Sumo di Wiryo dsb. Mas Panji Kusumowijoyo terlahir dari ibu yang lain (putri Pandita Tengger Amongdharma) yang menurunkan para pemangku adat Situs Selogending termasuk pendiri Pura Mandara Giri Semeru Agung yaitu Resi Sardjo Atmo Suryo Kusumo.
Referensi
- Margana, Sri (2007). "Java's Last Frontier : The struggle for hegemony of Blambangan, c. 1763-1813". The Leiden University Scholarly Repository.
- Lantini, Endah Susi dan Tim Penulis (1996). Refleksi Nilai-Nilai Budaya Jawa Dalam Serat Suryaraja. Jakarta. Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Artikel ini tidak memiliki kategori atau memiliki terlalu sedikit kategori. Bantulah dengan menambahi kategori yang sesuai. Lihat artikel yang sejenis untuk menentukan apa kategori yang sesuai. Tolong bantu Wikipedia untuk menambahkan kategori. Tag ini diberikan pada Februari 2024. |