Pranata mangsa: Perbedaan antara revisi
Kembangraps (bicara | kontrib) |
Kembangraps (bicara | kontrib) |
||
Baris 4: | Baris 4: | ||
== Pembagian == |
== Pembagian == |
||
[[Iklim]] yang berlaku di [[Pulau Jawa]] menurut pemahaman ini dibagi menjadi empat musim (''mangsa'') utama, yaitu [[musim hujan]] atau dalam [[bahasa Jawa]] disebut '' |
[[Iklim]] yang berlaku di [[Pulau Jawa]] menurut pemahaman ini dibagi menjadi empat musim (''mangsa'') utama, yaitu [[musim hujan]] atau dalam [[bahasa Jawa]] disebut ''rendheng'' (baca [r[[ə]]nd<sup>h</sup>ə[[ŋ]] ]), [[pancaroba]] akhir musim hujan atau ''marèng'' ([[IPA]]:[marɛŋ]), [[musim kemarau]] atau ''ketigå'', dan musim pancaroba menjelang hujan atau ''labuh''. Musim-musim ini terutama dikaitkan dengan perilaku hewan serta tumbuhan ([[fenologi]]) dan dalam praktek amat berkaitan dengan kultur [[pertanian|agraris]]. Petani, umpamanya, menggunakan pedoman pranata mangsa untuk menentukan awal masa tanam; atau nelayan menggunakannya sebagai pedoman untuk melakukan penangkapan ikan. |
||
Empat musim utama tersebut dibagi lagi menjadi 12 musim (''mangsa'') yang rentang waktunya lebih singkat namun dengan jangka waktu bervariasi, yaitu (dalam [[bahasa]] Jawa): |
Empat musim utama tersebut dibagi lagi menjadi 12 musim (''mangsa'') yang rentang waktunya lebih singkat namun dengan jangka waktu bervariasi, yaitu (dalam [[bahasa]] Jawa): |
Revisi per 6 Oktober 2009 14.56
Pranata mangsa (bahasa Jawa, berarti "penentuan musim") adalah semacam penanggalan yang berkaitan dengan musim menurut pemahaman suku Jawa, khususnya dari kalangan petani dan nelayan. Pemahaman yang mirip seperti ini juga dikenal oleh suku-suku lainnya di Indonesia, seperti suku Sunda dan suku Bali (dikenal sebagai Kerta Masa), atau di beberapa tradisi Eropa, seperti pada bangsa Jerman (dikenal sebagai Bauernkalendar, atau "penanggalan untuk petani").
Pranata mangsa diperkenalkan pada masa Pakubuwono VII dan mulai dipakai sejak 22 Juni 1856, dimaksudkan sebagai pedoman bagi para petani pada masa itu.[1] Perlu disadari bahwa penanaman padi pada masa ini hanya berlangsung sekali setahun, diikuti oleh palawija dan atau padi gogo.
Pembagian
Iklim yang berlaku di Pulau Jawa menurut pemahaman ini dibagi menjadi empat musim (mangsa) utama, yaitu musim hujan atau dalam bahasa Jawa disebut rendheng (baca [rəndhəŋ ]), pancaroba akhir musim hujan atau marèng (IPA:[marɛŋ]), musim kemarau atau ketigå, dan musim pancaroba menjelang hujan atau labuh. Musim-musim ini terutama dikaitkan dengan perilaku hewan serta tumbuhan (fenologi) dan dalam praktek amat berkaitan dengan kultur agraris. Petani, umpamanya, menggunakan pedoman pranata mangsa untuk menentukan awal masa tanam; atau nelayan menggunakannya sebagai pedoman untuk melakukan penangkapan ikan.
Empat musim utama tersebut dibagi lagi menjadi 12 musim (mangsa) yang rentang waktunya lebih singkat namun dengan jangka waktu bervariasi, yaitu (dalam bahasa Jawa):
- Mangsa kasa atau mangsa kartiko (mulai 22 Juni, lama 41 hari)
- Mangsa karo atau mangsa puso (2 Agustus, 23 hari)
- Mangsa katelu (25 Agustus, 24 hari)
- Mangsa kapat (19 September, 25 hari)
- Mangsa kalima (14 Oktober, 27 hari)
- Mangsa kanem (10 November, 43 hari)
- Mangsa kapitu (23 Desember, 43 hari)
- Mangsa kawolu (4 Februari, 26/27 hari)
- Mangsa kasanga (1 Maret, 25 hari)
- Mangsa kasepuluh (26 Maret, 24 hari)
- Mangsa desta (19 April, 23 hari)
- Mangsa sada (12 Mei, 41 hari)
Catatan kaki
- ^ Yuwono S. Pranoto Mongso, Aliran Musim asli Jawa.