Lompat ke isi

Kuk Norman: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 34: Baris 34:
|}<!--
|}<!--


Victorian Protestants sometimes linked the idea of the "Norman Yoke" with [[anti-Catholicism]], with claims that the English [[Anglo-Saxon]] Church was freer of Papal influence than the Norman one.<ref name="dgp">Paz, Dennis G. ''Popular Anti-Catholicism in Mid-Victorian England'', Stanford, [[Stanford University Press]], 1992. {{ISBN|9780804719841}} (pgs. 2,3,64).</ref> They cited events such as [[Pope Alexander II]] supporting [[William the Conqueror]] and the homages of various [[Plantagenet]] kings to the [[Papacy]] as proof of this idea.<ref name="dgp" /> This linking of "Anglo-Saxon" [[English nationalism]] and anti-Catholicism influenced [[Charles Kingsley]]'s novel [[Hereward the Wake (novel)|''Hereward the Wake'']] (1866), which, like ''Ivanhoe'', helped popularize the image of a romantic Anglo-Saxon England destroyed by the Normans.<ref name="dgp" /><ref>Simmons, Clare A., ''Reversing the Conquest: Saxons and Normans in Nineteenth-Century British literature'' New Brunswick : [[Rutgers University Press]], 1990. (p. 15) {{ISBN|9780813515557}}</ref> On the other hand, [[Thomas Carlyle]] rejected the idea of the "Norman Yoke"; in his ''[[History of Friedrich II. of Prussia, Called Frederick the Great|History of Friedrich II of Prussia]]'' (1858) Carlyle portrayed the Norman conquest as beneficial because it had helped unify England.<ref>"Without the Normans, Thomas Carlyle demanded, what would it (England) have been? 'A gluttonous race of Jutes and Angles capable of no grand combinations, lumbering about in pot-bellied equanimity; not dreaming of heroic toil and silence and endurance such as leads to the high places of the Universe'." McKie, David ''McKie's Gazetteer: A Local History of Britain''. Atlantic Books, {{ISBN|184354654X}} (p. 246).</ref>
Umat Protestan pada masa pemerintahan Ratu Victoria kadang-kadang mengait-ngaitkan gagasan "kuk Norman" dengan [[anti-Katolik|Antikatolisisme]]. Mereka mengklaim bahwa jemaat Kristen Inggris [[Anglo-Saxon|Angli-Saksen]] lebih bebas dari pengaruh Sri Paus ketimbang jemaat Kristen bangsa Norman.<ref name="dgp">Paz, Dennis G. ''Popular Anti-Catholicism in Mid-Victorian England'', Stanford, [[Stanford University Press]], 1992. {{ISBN|9780804719841}} (hlmn. 2,3,64).</ref> Sebagai buktinya, mereka mengungkit peristiwa-peristiwa seperti [[Paus Aleksander II]] mendukung [[William sang Penakluk|William Penakluk]] dan raja-raja kula[[wangsa Plantagenet]] bersembah bakti kepada [[paus (Gereja Katolik)|Sri Paus]].<ref name="dgp" /> Pengait-ngaitan [[nasionalisme Inggris]] "Angli-Saksen" dengan Antikatolisisme memengaruhi penulisan novel [[Charles Kingsley]] yang berjudul ''[[Hereward the Wake]]'' (terbit tahun 1866). Seperti novel ''Ivanhoe'', ''Hereward the Wake'' turut mempopulerkan gambaran tentang negara Inggris Angli-Saksen yang aman dan makmur diporakporandakan oleh bangsa Norman.<ref name="dgp" /><ref>Simmons, Clare A., ''Reversing the Conquest: Saxons and Normans in Nineteenth-Century British literature'' New Brunswick : [[Rutgers University Press]], 1990. (hlm. 15) {{ISBN|9780813515557}}</ref> Di lain pihak, [[Thomas Carlyle]] justru menafikan gagasan "kuk Norman". Di dalam bukunya, ''[[History of Friedrich II. of Prussia, Called Frederick the Great|History of Friedrich II of Prussia]]'' (terbit tahun 1858), Carlyle menggambarkan penaklukan bangsa Norman sebagai peristiwa yang berfaedah, karena bersumbangsih terhadap penyatuan Inggris.<ref>"Tanpa bangsa Norman, tegas Thomas Carlyle, bakal jadi apa negeri (Inggris) ini? 'Sekumpulan kabilah Juti dan Angli yang tamak, tidak mampu melahirkan kesatuan yang besar, mondar mandir lumbering about in pot-bellied equanimity; not dreaming of heroic toil and silence and endurance such as leads to the high places of the Universe'." McKie, David ''McKie's Gazetteer: A Local History of Britain''. Atlantic Books, {{ISBN|184354654X}} (p. 246).</ref>


According to historian [[Marjorie Chibnall]],
According to historian [[Marjorie Chibnall]],

Revisi per 26 Juli 2024 02.43

Orang Norman (atas) dan orang Angli-Saksen (bawah), ilustrasi buku Geschichte des Kostüms (terbit tahun 1905) yang ditulis Adolf Rosenberg dan Eduard Heyck

Kuk Norman adalah istilah yang mengacu kepada aspek-aspek zalim dari feodalisme di Inggris, yang erat dikait-kaitkan dengan kewajiban-kewajiban yang dibebankan William Penakluk, Raja Inggris pertama dari bangsa Norman, dan anak buahnya, maupun anak-cucu mereka. Istilah ini digunakan di dalam wacana-wacana nasionalisme dan demokrasi di Inggris sejak pertengahan abad ke-17.

Sejarah

Petawarikh Abad Pertengahan, Orderikus Vitalis, menulis di dalam risalahnya, Sejarah Gerejawi, bahwa orang Norman memikulkan kuk ke atas pundak orang Inggris: "Maka orang Inggris pun menjerit lantaran hilang kemerdekaannya, dan tak jemu-jemu mencari daya upaya untuk menghempaskan kuk yang sedemikian tak tertanggungkan dan asing bagi mereka."[1] Risalahnya yang ditulis lebih belakangan, tentang masa pemerintahan Raja Henry I dan keadaan negeri Inggris lima puluh tahun sesudah ditaklukkan bangsa Norman, menyajikan pandangan yang lebih positif mengenai situasi negeri Inggrisː "Raja Henry memerintah negeri ... dengan adil dan bijaksana melewati untung maupun malang. ... Ia berlaku santun dan bermurah hati kepada para pembesar. Ia menolong rakyat jelata dengan mengundangkan hukum-hukum yang adil, serta melindungi mereka dari pungutan yang semena-mena dan para penyamun."[2] Istilah "kuk Norman" yang bermuatan budaya ini pertama kali muncul di dalam sebuah karya tulis apokrip yang diterbitkan pada tahun 1642 di tengah-tengah kecamuk Perang Saudara Inggris dengan judul Cermin Hakim-Hakim, terjemahan dari Mireur a justices, sekumpulan fabel politik, kehakiman, dan budi pekerti yang ditulis pada abad ke-13 dalam bahasa Prancis Norman-Inggris, kendati diduga baru dikumpulkan dan disunting pada awal abad ke-14 oleh Andrew Horn, seorang sarjana kenamaan di bidang ilmu hukum.[3] Meskipun sudah bukan rahasia lagi bagi orang-orang yang hidup pada abad ke-14 bahwa buku itu adalah sebuah karya fiksi, ketika diterbitkan pada tahun 1642, Cermin Hakim-Hakim disajikan dan diterima sebagai fakta sejarah.

Para kritikus pengusung gagasan kuk Norman sering kali mengedepankan Raja Alfred Agung atau Raja Edward Pengaku Iman sebagai pencerminan keadilan. Dalam konteks semacam ini, Magna Carta dipandang sebagai ikhtiar untuk memulihkan hak-hak yang dinikmati bangsa Inggris sebelum ditaklukkan bangsa Norman, sekalipun hanya untuk tuan-tuan tanah. Ketika memperbaiki tatanan kehakiman Inggris, Sir Edward Coke suka mengeluarkan pernyataan bahwa asas-asas hukum adat Inggris melampaui ingatan maupun catatan awal mana pun dan mendahului penaklukan bangsa Norman, sekalipun dia tidak menggunakan frasa "kuk Norman".

Gagasan kuk Norman mencitrakan kaum bangsawan dan tuan-tuan tanah Inggris sebagai keturunan bangsa asing yang datang merenggut dan merusak zaman kegemilangan bangsa Angli-Saksen. Fikrah semacam ini sangat kuat gaungnya di kalangan masyarakat yang lebih miskin di Ingris. Whereas Coke, John Pym, Lucy Hutchinson, dan Sir Henry Vane memandang hak-hak Magna Carta lebih sebagai hak-hak golongan pemilik harta benda, pada masa krisis konstitusional yang berlarut-larut pada abad ke-17 di Inggris dan Skotlandia, argumen-argumen tersebut juga diutarakan dengan cara yang lebih radikal. Para pengemuka argumen-argumen yang lebih radikal mencakup tokoh-tokoh seperti Francis Trigge, John Hare, John Lilburne, John Warr, dan Gerrard Winstanley dari Kaum Penggali yang radikal. Gerrard Winstanley bahkan menyerukan penghapusan hak kesulungan dan penggarapan tanah bersama-sama. "Seraya menyaksikan rakyat jelata Inggris atas kemauan dan upaya bersama sudah mengusir Charles, yakni orang Norman yang selama ini menindas kita, maka dengan kemenangan ini sudah kita bebaskan diri kita dari pasungan kuk Norman", demikian tulis Winstanley atas nama Kaum Penggali di dalam risalah The New Law of Righteousness pada bulan Desember 1649. Di dalam selebaran bertajuk The True Levellers Standard Advanced, Winstanley mengemukakan sebagai berikut:

Waham hebat apa yang di dalamnya kamu berkubang, wahai orang-orang yang berkuasa di Inggrisǃ Sampai-sampai kendati kamu berlagak menghempaskan kuk Norman itu, serta kuasa Babel, dan sudah berjanji untuk mengentaskan rakyat Inggris yang meratap tangis menjadi bangsa merdeka; masih saja kamu junjung kuk Norman itu, juga tirani perbudakan, dan mengungkung rakyat dengan belenggu, setakat yang diperbuat si Haram Jadah Penakluk itu sendiri beserta angkatan perangnya.

Kembali diminati

Minat terhadap gagasan kuk Norman kembali mencuat pada abad ke-18. Gagasan ini muncul di dalam berbagai karya tulis semisal Historical Essay on the English Constitution (terbit tahun 1771) dan risalah John Cartwright yang berjudul Take Your Choice (terbit tahun 1777), serta diangkat di dalam debat Thomas Paine lawan Edmund Burke. Thomas Jefferson juga mengusung gagasan ini.[4]

Pada abad ke-19, gagasan kuk Norman kehilangan semua signifikansi historis yang pernah dimilikinya dan tidak lagi menjadi "gelagat buruk" di dalam debat politik, tetapi masih memiliki kebergunaan sejarah-populernya, yakni memunculkan bayangan zaman kegemilangan Inggris di dalam benak orang. Di dalam novelnya, Ivanhoe (terbit tahun 1819), Sir Walter Scott membuat tokoh Wamba melisankan "peribahasa Saksen" berikut ini (Bab xxvii):

Norman saw on English oak.
On English neck a Norman yoke;
Norman spoon to English dish,
And England ruled as Normans wish;
Blithe world in England never will be more,
Till England's rid of all the four.

Gergaji Norman di balok Inggris.
kuk kayu Norman di tengkuk Inggris;
Sendok si Norman di piring Inggris,
Kuasa Norman di bumi Inggris;
Inggris nan riang tiada lagi,
Sampai merdeka Inggris kembali.

Baca juga

Kutipan

  1. ^ (BBC) Mike Ibeji, "The Conquest and its Aftermath"
  2. ^ Marjorie Chibnall, ed., The Ecclesiastical History of Orderic Vitalis, Oxford, 1969–1980, jld. 5, hlm. 294–297.
  3. ^ "... karya tulis apokrip Cermin Hakim-Hakim, yang, terutama lewat pengaruh Coke, sudah lama dihargai sebagai sumber pustaka yang penting di bidang hukum" (Cambridge History of English and American Literature, jld. VIII, bagian xiii.8). Cermin Hakim-Hakim diterbitkan ulang oleh Perhimpunan Selden, jld. 7, tahun 1893, disunting oleh W. J. Whittaker; buku ini adalah salah satu sumber pustaka bahasa Prancis hukum Norman-Inggris yang dipakai dalam penyusunan Kamus Bahasa Norman-Inggris, dengan menggunakan naskah dari pertiga pertama abad keempat belas di Kolese Corpus Christi, Cambridge. Mireur a justices menyajikan anekdot kelalaian Raja Alfred yang mengakibatkan hangusnya seloyang kue bolu.
  4. ^ Colbourn, H. Trevor (1958). "Thomas Jefferson's Use of the Past". The William and Mary Quarterly. 15 (1): 56–70. doi:10.2307/1918708. ISSN 0043-5597. JSTOR 1918708. 

Rujukan

Templat:Nasionalisme Inggris