Apostasi dalam Islam: Perbedaan antara revisi
Tidak ada ringkasan suntingan |
k Suntingan 219.95.190.238 (Bicara) dikembalikan ke versi terakhir oleh Meursault2004 |
||
Baris 1: | Baris 1: | ||
⚫ | '''Kemurtadan dalam Islam''' didefinisikan oleh kaum [[Muslimin]] sebagai keadaan yang memperlihatkan ketidaksetiaan terhadap [[Islam]] oleh tiap Muslim yang telah sebelumnya berserah pada teologi Islam. Termasuk dalam hal ini ialah tindakan meninggalkan Islam dan sejumlah tindakan pemfitnahan terhadap Islam. Konsep inilah yang membedakan dengan sistem keagamaan lainnya. |
||
⚫ | |||
Hal ini disebabkan karena Islam juga merupakan institusi yang tidak memisahkan urusannya dengan urusan politik. Pada masa awal penyebarannya di [[Madinah]], orang yang murtad dianggap sebagai desertir atau yang membelot kepada institusi politik lain (dalam hal ini orang-orang [[Makkah]]), karena antara dua negara tersebut sedang berada dalam kondisi [[perang]] dan orang yang bergabung dalam Islam sendiri diikat dengan sumpah atau bay'at. |
Hal ini disebabkan karena Islam juga merupakan institusi yang tidak memisahkan urusannya dengan urusan politik. Pada masa awal penyebarannya di [[Madinah]], orang yang murtad dianggap sebagai desertir atau yang membelot kepada institusi politik lain (dalam hal ini orang-orang [[Makkah]]), karena antara dua negara tersebut sedang berada dalam kondisi [[perang]] dan orang yang bergabung dalam Islam sendiri diikat dengan sumpah atau bay'at. |
Revisi per 6 Agustus 2006 08.02
Kemurtadan dalam Islam didefinisikan oleh kaum Muslimin sebagai keadaan yang memperlihatkan ketidaksetiaan terhadap Islam oleh tiap Muslim yang telah sebelumnya berserah pada teologi Islam. Termasuk dalam hal ini ialah tindakan meninggalkan Islam dan sejumlah tindakan pemfitnahan terhadap Islam. Konsep inilah yang membedakan dengan sistem keagamaan lainnya.
Hal ini disebabkan karena Islam juga merupakan institusi yang tidak memisahkan urusannya dengan urusan politik. Pada masa awal penyebarannya di Madinah, orang yang murtad dianggap sebagai desertir atau yang membelot kepada institusi politik lain (dalam hal ini orang-orang Makkah), karena antara dua negara tersebut sedang berada dalam kondisi perang dan orang yang bergabung dalam Islam sendiri diikat dengan sumpah atau bay'at.
Di masa Khilafah Islam, kemurtadan dianggap sebagai pengkhianatan, dan karena itu diperlakukan sebagai pelanggaran hukum yang dikenakan hukuman mati (hudud). Hukuman mati (hudud) dilaksanakan di bawah otoritas kholifah apabila setelah tiga hari ia diminta kembali pada Islam gagal. Walau mungkin sarjana modern mengeluarkan pendapat mereka sendiri dalam kasus tertentu, kini tiada otoritas pusat yang sanggup memperkenalkan dan membawa acara kerja resmi terhadap orang murtadin yang menolak atau berbicara dengan tegas menantang Islam sebab tiada lagi Khilafah Islam. Tokoh kontemporer yang paling menonjol yang dikutuk sebagai murtadin oleh sarjana individual kemungkinan ialah Salman Rushdie.