Lompat ke isi

Pranata mangsa: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Kembangraps (bicara | kontrib)
Kembangraps (bicara | kontrib)
tidak perlu miring, sudah diserap ke dalam BI
Baris 1: Baris 1:
'''''Pranata mangsa''''' ([[bahasa Jawa]], berarti "aturan musim") adalah semacam [[penanggalan]] yang dikaitkan dengan kegiatan usaha [[pertanian]], khususnya untuk kepentingan [[agronomi|bercocok tanam]] atau [[nelayan|penangkapan ikan]]. Pranata mangsa berbasis peredaran matahari dan berumur 365 hari (atau 366 hari) dan memuat berbagai aspek fenologi yang dimanfaatkan sebagai "pertanda" bagi petani untuk memulai atau menghentikan suatu kegiatan usaha tani. Meskipun pranata mangsa dalam tradisi Jawa diformalkan, penanggalan seperti ini juga dikenal oleh suku-suku lainnya di [[Indonesia]], seperti [[suku Sunda]] dan [[suku Bali]] (dikenal sebagai '''Kerta Masa'''). Beberapa tradisi [[Eropa]] mengenal pula penanggalan pertanian yang serupa, seperti misalnya pada [[etnik Jerman]] yang mengenal ''[[Bauernkalendar]]'' atau "penanggalan untuk petani".
'''Pranata mangsa''' ([[bahasa Jawa]], berarti "aturan musim") adalah semacam [[penanggalan]] yang dikaitkan dengan kegiatan usaha [[pertanian]], khususnya untuk kepentingan [[agronomi|bercocok tanam]] atau [[nelayan|penangkapan ikan]]. Pranata mangsa berbasis peredaran matahari dan berumur 365 hari (atau 366 hari) dan memuat berbagai aspek fenologi yang dimanfaatkan sebagai "pertanda" bagi petani untuk memulai atau menghentikan suatu kegiatan usaha tani. Meskipun pranata mangsa dalam tradisi Jawa diformalkan, penanggalan seperti ini juga dikenal oleh suku-suku lainnya di [[Indonesia]], seperti [[suku Sunda]] dan [[suku Bali]] (dikenal sebagai '''Kerta Masa'''). Beberapa tradisi [[Eropa]] mengenal pula penanggalan pertanian yang serupa, seperti misalnya pada [[etnik Jerman]] yang mengenal ''[[Bauernkalendar]]'' atau "penanggalan untuk petani".


== Penanggalan versi Jawa ==
== Penanggalan versi Jawa ==

Revisi per 26 Juni 2010 14.50

Pranata mangsa (bahasa Jawa, berarti "aturan musim") adalah semacam penanggalan yang dikaitkan dengan kegiatan usaha pertanian, khususnya untuk kepentingan bercocok tanam atau penangkapan ikan. Pranata mangsa berbasis peredaran matahari dan berumur 365 hari (atau 366 hari) dan memuat berbagai aspek fenologi yang dimanfaatkan sebagai "pertanda" bagi petani untuk memulai atau menghentikan suatu kegiatan usaha tani. Meskipun pranata mangsa dalam tradisi Jawa diformalkan, penanggalan seperti ini juga dikenal oleh suku-suku lainnya di Indonesia, seperti suku Sunda dan suku Bali (dikenal sebagai Kerta Masa). Beberapa tradisi Eropa mengenal pula penanggalan pertanian yang serupa, seperti misalnya pada etnik Jerman yang mengenal Bauernkalendar atau "penanggalan untuk petani".

Penanggalan versi Jawa

Iklim yang berlaku di Pulau Jawa menurut pemahaman ini dibagi menjadi empat musim (mangsa) utama, yaitu musim hujan atau dalam bahasa Jawa disebut rendheng (baca [rəndhəŋ ]), pancaroba akhir musim hujan atau marèng (IPA:[marɛŋ]), musim kemarau atau ketigå, dan musim pancaroba menjelang hujan atau labuh. Musim-musim ini terutama dikaitkan dengan perilaku hewan serta tumbuhan (fenologi) dan dalam praktek amat berkaitan dengan kultur agraris. Petani, umpamanya, menggunakan pedoman pranata mangsa untuk menentukan awal masa tanam; atau nelayan menggunakannya sebagai pedoman untuk melakukan penangkapan ikan.

Empat musim utama tersebut dibagi lagi menjadi 12 musim (mangsa) yang rentang waktunya lebih singkat namun dengan jangka waktu bervariasi, yaitu (dalam bahasa Jawa):

  1. Mangsa kasa atau mangsa kartika (mulai 22 Juni, lama 41 hari)
  2. Mangsa karo atau mangsa pusa (2 Agustus, 23 hari)
  3. Mangsa katelu atau mangsa manggasri (25 Agustus, 24 hari)
  4. Mangsa kapat atau mangsa sitra (19 September, 25 hari)
  5. Mangsa kalima atau mangsa manggakala (14 Oktober, 27 hari)
  6. Mangsa kanem atau mangsa naya (10 November, 43 hari)
  7. Mangsa kapitu atau mangsa palguna (23 Desember, 43 hari)
  8. Mangsa kawolu atau mangsa wisaka (4 Februari, 26/27 hari)
  9. Mangsa kasanga atau mangsa jita (1 Maret, 25 hari)
  10. Mangsa kasepuluh atau mangsa srawana (26 Maret, 24 hari)
  11. Mangsa desta atau mangsa padrawana (19 April, 23 hari)
  12. Mangsa sada atau mangsa asuji (12 Mei, 41 hari)

Sejarah

Bentuk formal pranata mangsa diperkenalkan pada masa Sunan Pakubuwana VII (raja Surakarta) dan mulai dipakai sejak 22 Juni 1856, dimaksudkan sebagai pedoman bagi para petani pada masa itu.[1][2] Perlu disadari bahwa penanaman padi pada waktu itu hanya berlangsung sekali setahun, diikuti oleh palawija atau padi gogo.

Meskipun demikian, terdapat petunjuk bahwa masyarakat Jawa, khususnya yang bermukim di wilayah sekitar Gunung Merapi, Gunung Merbabu, sampai Gunung Lawu, telah mengenal prinsip-prinsip pranata mangsa jauh sebelum kedatangan pengaruh dari India.[3] Prinsip-prinsip ini berbasis peredaran matahari di langit dan peredaran rasi bintang Waluku (Orion)[4]. Di wilayah dengan tipe iklim Am menurut Koeppen ini, penduduknya menerapkan penanggalan berbasis peredaran matahari dan rasi bintang sebagai bagian dari keselarasan hidup mengikuti perubahan irama alam dalam setahun[5].

Kosmografi dan klimatologi

Pranata mangsa memiliki latar belakang kosmografi ("pengukuran posisi benda langit"), pengetahuan yang telah dikuasai oleh orang Austronesia sebagai pedoman untuk navigasi di laut serta berbagai kegiatan ritual kebudayaan. Karena peredaran matahari dalam setahun menyebabkan perubahan musim, pranata mangsa juga memiliki sejumlah penciri klimatologis.

Awal mangsa kasa (pertama) adalah 22 Juni, yaitu saat posisi matahari di langit berada pada Garis Balik Utara, sehingga bagi petani di wilayah di antara Merapi dan Lawu saat itu adalah saat bayangan terpanjang (empat pecak/kaki ke arah selatan). Pada saat yang sama, rasi bintang Waluku terbit pada waktu subuh (menjelang fajar). Dari sinilah keluar nama "waluku", karena kemunculan rasi Orion pada waktu subuh menjadi pertanda bagi petani untuk mengolah sawah/lahan menggunakan bajak (bahasa Jawa: waluku)[4]. Panjang rentang waktu yang berbeda-beda di antara keempat mangsa pertama (dan empat mangsa terakhir, karena simetris) ditentukan dari perubahan panjang bayangan. Mangsa pertama berakhir di saat bayangan menjadi tiga pecak, dan mangsa karo (kedua) dimulai. Demikian selanjutnya, hingga mangsa keempat berakhir di saat bayangan tepat berada di kaki, di saat posisi matahari berada pada zenit untuk kawasan yang disebutkan sebelumnya (antara Merapi dan Lawu). Pergerakan garis edar matahari ke selatan mengakibatkan pemanjangan bayangan ke utara dan mencapai maksimum sepanjang dua pecak di saat posisi matahari berada pada Garis Balik Selatan (21/22 Desember), dan menandai berakhirnya mangsa kanem (ke-6). Selanjutnya proses berulang secara simetris untuk mangsa ke-7 hingga ke-12. Mangsa ke-7 ditandai dengan terbenamnya rasi Waluku pada waktu subuh.

Batas-batas eksak tanggal pada versi pranata mangsa Kasunanan merupakan modifikasi kecil terhadap pranata mangsa yang sudah dikenal sebelumnya yang didasarkan pada posisi benda-benda langit.

Catatan kaki

  1. ^ Yuwono S. Pranoto Mongso, Aliran Musim asli Jawa.
  2. ^ Tanojo R. 1962. Primbon Djawa (Sabda Pandita Ratu). TB Pelajar. Surakarta. pp 36–45.
  3. ^ Hien HA van. 1922. De Javaansche Geestenwereld. Kolff. Batavia. pp. 310–355.
  4. ^ a b Pranata Mangsa Masih Bisa Dibaca (Seribu Tahun Lagi)
  5. ^ Daldjoeni N. 1984. Pranatamangsa, the javanese agricultural calendar – Its bioclimatological and sociocultural function in developing rural life. The Environmentalist 4:15–18