Lompat ke isi

Pranata mangsa: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Kembangraps (bicara | kontrib)
Kembangraps (bicara | kontrib)
Baris 8: Baris 8:
Pranata mangsa dalam versi [[Kasunanan Surakarta|Kasunanan]] (sebagaimana dipertelakan pada bagian ini) berlaku untuk wilayah di antara [[Gunung Merapi]] dan [[Gunung Lawu]]<ref name=Daldjoeni1984>Daldjoeni N. 1984. Pranatamangsa, the javanese agricultural calendar – Its bioclimatological and sociocultural function in developing rural life. [http://www.springerlink.com/content/vru6945817245389/ ''The Environmentalist'' 4:15–18] DOI:10.1007/BF01907286.</ref>. Setahun menurut penanggalan ini dibagi menjadi empat musim (''mangsa'') utama, yaitu [[musim kemarau]] atau ''ketigå'' (88 hari), musim pancaroba menjelang hujan atau ''labuh'' (95 hari), [[musim hujan]] atau dalam [[bahasa Jawa]] disebut ''rendheng'' (baca [r[[ə]]nd<sup>h</sup>ə[[ŋ]] ], 95 hari) , dan [[pancaroba]] akhir musim hujan atau ''marèng'' ([[IPA]]:[marɛŋ], 86 hari) .
Pranata mangsa dalam versi [[Kasunanan Surakarta|Kasunanan]] (sebagaimana dipertelakan pada bagian ini) berlaku untuk wilayah di antara [[Gunung Merapi]] dan [[Gunung Lawu]]<ref name=Daldjoeni1984>Daldjoeni N. 1984. Pranatamangsa, the javanese agricultural calendar – Its bioclimatological and sociocultural function in developing rural life. [http://www.springerlink.com/content/vru6945817245389/ ''The Environmentalist'' 4:15–18] DOI:10.1007/BF01907286.</ref>. Setahun menurut penanggalan ini dibagi menjadi empat musim (''mangsa'') utama, yaitu [[musim kemarau]] atau ''ketigå'' (88 hari), musim pancaroba menjelang hujan atau ''labuh'' (95 hari), [[musim hujan]] atau dalam [[bahasa Jawa]] disebut ''rendheng'' (baca [r[[ə]]nd<sup>h</sup>ə[[ŋ]] ], 95 hari) , dan [[pancaroba]] akhir musim hujan atau ''marèng'' ([[IPA]]:[marɛŋ], 86 hari) .


Musim dapat dikaitkan pula dengan perilaku [[hewan]], perkembangan [[tumbuhan]], situasi alam sekitar, dan dalam praktek amat berkaitan dengan kultur [[pertanian|agraris]]. Berdasarkan ciri-ciri ini setahun juga dapat dibagi menjadi empat musim utama dan dua musim "kecil": ''terang'' ("langit cerah", 82 hari), ''semplah'' ("penderitaan", 99 hari) dengan mangsa kecil ''paceklik'' pada 23 hari pertama, ''udan'' ("musim hujan", 86 hari), dan ''pangarep-arep'' ("penuh harap", 98/99 hari) dengan mangsa kecil ''panen'' pada 23 hari terakhir<ref name=Daldjoeni1984/><ref>[http://blog.rawins.com/2009/12/pranata-salah-mangsa.html Pranata salah mangsa]. Artikel pada blog Rawins. 14 Desember 2009</ref>.
Musim dapat dikaitkan pula dengan perilaku [[hewan]], perkembangan [[tumbuhan]], situasi alam sekitar, dan dalam praktek amat berkaitan dengan kultur [[pertanian|agraris]]. Berdasarkan ciri-ciri ini setahun juga dapat dibagi menjadi empat musim utama dan dua musim "kecil": ''terang'' ("langit cerah", 82 hari), ''semplah'' ("penderitaan", 99 hari) dengan mangsa kecil ''paceklik'' pada 23 hari pertama, ''udan'' ("musim hujan", 86 hari), dan ''pangarep-arep'' ("penuh harap", 98/99 hari) dengan mangsa kecil ''panèn'' pada 23 hari terakhir<ref name=Daldjoeni1984/><ref>[http://blog.rawins.com/2009/12/pranata-salah-mangsa.html Pranata salah mangsa]. Artikel pada blog Rawins. 14 Desember 2009</ref>.
Dalam pembagian yang lebih rinci, setahun dibagi menjadi 12 musim (''mangsa'') yang rentang waktunya lebih singkat namun dengan jangka waktu bervariasi. Tabel berikut ini menunjukkan pembagian formal menurut versi Kasunanan. Perlu diingat bahwa tuntunan ini berlaku di saat penanaman [[padi]] sawah hanya dimungkinkan sekali dalam setahun, diikuti oleh [[palawija]] atau padi gogo, dan kemudian lahan bera (tidak ditanam).
Dalam pembagian yang lebih rinci, setahun dibagi menjadi 12 musim (''mangsa'') yang rentang waktunya lebih singkat namun dengan jangka waktu bervariasi. Tabel berikut ini menunjukkan pembagian formal menurut versi Kasunanan. Perlu diingat bahwa tuntunan ini berlaku di saat penanaman [[padi]] sawah hanya dimungkinkan sekali dalam setahun, diikuti oleh [[palawija]] atau padi gogo, dan kemudian lahan bera (tidak ditanam).

Revisi per 27 Juni 2010 09.26

Pranata mangsa (bahasa Jawa pranåtåmångså, berarti "ketentuan musim") adalah semacam penanggalan yang dikaitkan dengan kegiatan usaha pertanian, khususnya untuk kepentingan bercocok tanam atau penangkapan ikan. Pranata mangsa berbasis peredaran matahari dan siklusnya (setahun) berumur 365 hari (atau 366 hari) serta memuat berbagai aspek fenologi dan gejala alam lainnya yang dimanfaatkan sebagai pedoman dalam kegiatan usaha tani maupun persiapan diri menghadapi bencana (kekeringan, wabah penyakit, serangan pengganggu tanaman, atau banjir) yang mungkin timbul pada waktu-waktu tertentu.

Penanggalan seperti ini juga dikenal oleh suku-suku bangsa lainnya di Indonesia, seperti etnik Sunda dan etnik Bali (di Bali dikenal sebagai Kerta Masa). Beberapa tradisi Eropa mengenal pula penanggalan pertanian yang serupa, seperti misalnya pada etnik Jerman yang mengenal Bauernkalendar atau "penanggalan untuk petani".

Deskripsi

Pranata mangsa dalam versi pengetahuan yang dipegang petani atau nelayan diwariskan secara oral (dari mulut ke mulut). Selain itu, ia bersifat lokal dan temporal (dibatasi oleh tempat dan waktu) sehingga suatu perincian yang dibuat untuk suatu tempat tidak sepenuhnya berlaku untuk tempat lain. Petani, umpamanya, menggunakan pedoman pranata mangsa untuk menentukan awal masa tanam. Nelayan menggunakannya sebagai pedoman untuk melaut atau memprediksi jenis tangkapan[1][2]. Selain itu, pada beberapa bagian, sejumlah keadaan yang dideskripsikan dalam pranata mangsa pada masa kini kurang dapat dipercaya seiring dengan perkembangan teknologi.

Pranata mangsa dalam versi Kasunanan (sebagaimana dipertelakan pada bagian ini) berlaku untuk wilayah di antara Gunung Merapi dan Gunung Lawu[3]. Setahun menurut penanggalan ini dibagi menjadi empat musim (mangsa) utama, yaitu musim kemarau atau ketigå (88 hari), musim pancaroba menjelang hujan atau labuh (95 hari), musim hujan atau dalam bahasa Jawa disebut rendheng (baca [rəndhəŋ ], 95 hari) , dan pancaroba akhir musim hujan atau marèng (IPA:[marɛŋ], 86 hari) .

Musim dapat dikaitkan pula dengan perilaku hewan, perkembangan tumbuhan, situasi alam sekitar, dan dalam praktek amat berkaitan dengan kultur agraris. Berdasarkan ciri-ciri ini setahun juga dapat dibagi menjadi empat musim utama dan dua musim "kecil": terang ("langit cerah", 82 hari), semplah ("penderitaan", 99 hari) dengan mangsa kecil paceklik pada 23 hari pertama, udan ("musim hujan", 86 hari), dan pangarep-arep ("penuh harap", 98/99 hari) dengan mangsa kecil panèn pada 23 hari terakhir[3][4].

Dalam pembagian yang lebih rinci, setahun dibagi menjadi 12 musim (mangsa) yang rentang waktunya lebih singkat namun dengan jangka waktu bervariasi. Tabel berikut ini menunjukkan pembagian formal menurut versi Kasunanan. Perlu diingat bahwa tuntunan ini berlaku di saat penanaman padi sawah hanya dimungkinkan sekali dalam setahun, diikuti oleh palawija atau padi gogo, dan kemudian lahan bera (tidak ditanam).

No. Mangsa Mangsa utama Rentang waktu Candra Penciri Tuntunan
(bagi petani)[5]
1 Kasa
(Kartika)
Ketiga - Terang 22 Juni – 1 Ags
(41 hari)
Sesotya murca ing embanan ("Intan jatuh dari wadahnya" > daun-daun berjatuhan) Daun-daun berguguran, kayu mengering; belalang masuk ke dalam tanah Saatnya membakar jerami; mulai menanam palawija
2 Karo
(Pusa)
Ketiga - Paceklik 2 Ags – 24 Ags
(23 hari)
Bantala rengka ("bumi merekah") Tanah mengering dan retak-retak, pohon randu dan mangga mulai berbunga
3 Katelu
(Manggasri)
Ketiga - Semplah 25 Ags – 18 Sept
(24 hari)
Suta manut ing bapa ("anak menurut bapaknya") Tanaman merambat menaiki lanjaran, rebung bambu bermunculan Palawija mulai dipanen
4 Kapat
(Sitra)
Labuh - Semplah 19 Sept – 13 Okt
(25 hari)
Waspa kumembeng jroning kalbu ("Air mata menggenang dalam kalbu" > mata air mulai menggenang) Mata air mulai terisi; kapuk randu mulai berbuah, burung-burung kecil mulai bersarang dan bertelur Panen palawija; saat menggarap lahan untuk padi gaga
5 Kalima
(Manggakala)
Labuh - Semplah 14 Okt – 9 Nov
(27 hari)
Pancuran mas sumawur ing jagad ("Pancuran emas menyirami dunia") Mulai ada hujan besar, pohon asam jawa mulai menumbuhkan daun muda, ulat mulai bermunculan, laron keluar dari liang, lempuyang dan temu kunci mulai bertunas Selokan sawah diperbaiki dan membuat tempat mengalir air di pinggir sawah, mulai menyebar padi gaga
6 Kanem
(Naya)
Labuh - Udan 10 Nov – 22 Des
(43 hari)
Rasa mulya kasuciyan Buah-buahan (durian, rambutan, manggis, dan lain-lainnya) mulai bermunculan, belibis mulai kelihatan di tempat-tempat berair Para petani menyebar benih padi di pembenihan
7 Kapitu
(Palguna)
Rendheng - Udan 23 Des – 3 Feb
(43 hari)
Wisa kéntir ing maruta ("Racun hanyut bersama angin" > banyak penyakit) Banyak hujan, banyak sungai yang banjir Saat memindahkan bibit padi ke sawah
8 Kawolu
(Wisaka)
Rendheng - Pangarep-arep 4 Feb – 28/29 Feb
(26/27 hari)
Anjrah jroning kayun ("Keluarnya isi hati" > musim kucing kawin) Musim kucing kawin; padi menghijau; uret mulai bermunculan di permukaan
9 Kasanga
(Jita)
Rendheng - Pangarep-arep 1 Mar – 25 Mar
(25 hari)
Wedharing wacana mulya ("Munculnya suara-suara mulia" > Beberapa hewan mulai bersuara untuk memikat lawan jenis) Padi berbunga; jangkrik mulai muncul; tonggeret dan gangsir mulai bersuara, banjir sisa masih mungkin muncul, bunga glagah berguguran
10 Kasepuluh
(Srawana)
Marèng - Pangarep-arep 26 Mar – 18 Apr
(24 hari)
Gedhong mineb jroning kalbu ("Gedung terperangkap dalam kalbu" > Masanya banyak hewan bunting) Padi mulai menguning, banyak hewan bunting, burung-burung kecil mulai menetas telurnya
11 Desta
(Padrawana)
Marèng - Panèn 19 Apr – 11 Mei
(23 hari)
Sesotya sinarawèdi ("Intan yang bersinar mulia") Burung-burung memberi makan anaknya, buah kapuk randu merekah Saat panen génjah (panen untuk tanaman berumur pendek)
12 Sada
(Asuji)
Marèng - Terang 12 Mei – 21 Juni
(41 hari)
Tirta sah saking sasana ("Air meninggalkan rumahnya" > jarang berkeringat karena udara dingin dan kering) Suhu menurun dan terasa dingin (bediding) Saatnya menanam palawija: kedelai, nila, kapas, dan saatnya menggarap tegalan untuk menanam jagung

Sejarah

Bentuk formal pranata mangsa diperkenalkan pada masa Sunan Pakubuwana VII (raja Surakarta) dan mulai dipakai sejak 22 Juni 1856, dimaksudkan sebagai pedoman bagi para petani pada masa itu.[6][7] Perlu disadari bahwa penanaman padi pada waktu itu hanya berlangsung sekali setahun, diikuti oleh palawija atau padi gogo. Selain itu, pranata mangsa pada masa itu dimaksudkan sebagai petunjuk bagi pihak-pihak terkait untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana alam, mengingat teknologi prakiraan cuaca belum dikenal. Pranata mangsa dalam bentuk yang masih "mentah" hingga kini masih diterapkan oleh sekelompok orang, berupa kumpulan pengetahuan yang tidak dituliskan dan lebih merupakan pengamatan terhadap gejala-gejala alam[1].

Meskipun demikian, terdapat petunjuk bahwa masyarakat Jawa, khususnya yang bermukim di wilayah sekitar Gunung Merapi, Gunung Merbabu, sampai Gunung Lawu, telah mengenal prinsip-prinsip pranata mangsa jauh sebelum kedatangan pengaruh dari India.[8] Prinsip-prinsip ini berbasis peredaran matahari di langit dan peredaran rasi bintang Waluku (Orion)[9]. Di wilayah dengan tipe iklim Am menurut Koeppen ini, penduduknya menerapkan penanggalan berbasis peredaran matahari dan rasi bintang sebagai bagian dari keselarasan hidup mengikuti perubahan irama alam dalam setahun[3][10].

Kosmografi dan klimatologi

Pranata mangsa memiliki latar belakang kosmografi ("pengukuran posisi benda langit"), pengetahuan yang telah dikuasai oleh orang Austronesia sebagai pedoman untuk navigasi di laut serta berbagai kegiatan ritual kebudayaan. Karena peredaran matahari dalam setahun menyebabkan perubahan musim, pranata mangsa juga memiliki sejumlah penciri klimatologis.

Awal mangsa kasa (pertama) adalah 22 Juni, yaitu saat posisi matahari di langit berada pada Garis Balik Utara, sehingga bagi petani di wilayah di antara Merapi dan Lawu saat itu adalah saat bayangan terpanjang (empat pecak/kaki ke arah selatan). Pada saat yang sama, rasi bintang Waluku terbit pada waktu subuh (menjelang fajar). Dari sinilah keluar nama "waluku", karena kemunculan rasi Orion pada waktu subuh menjadi pertanda bagi petani untuk mengolah sawah/lahan menggunakan bajak (bahasa Jawa: waluku)[9]. Panjang rentang waktu yang berbeda-beda di antara keempat mangsa pertama (dan empat mangsa terakhir, karena simetris) ditentukan dari perubahan panjang bayangan. Mangsa pertama berakhir di saat bayangan menjadi tiga pecak, dan mangsa karo (kedua) dimulai. Demikian selanjutnya, hingga mangsa keempat berakhir di saat bayangan tepat berada di kaki, di saat posisi matahari berada pada zenit untuk kawasan yang disebutkan sebelumnya (antara Merapi dan Lawu). Pergerakan garis edar matahari ke selatan mengakibatkan pemanjangan bayangan ke utara dan mencapai maksimum sepanjang dua pecak di saat posisi matahari berada pada Garis Balik Selatan (21/22 Desember), dan menandai berakhirnya mangsa kanem (ke-6). Selanjutnya proses berulang secara simetris untuk mangsa ke-7 hingga ke-12. Mangsa ke-7 ditandai dengan terbenamnya rasi Waluku pada waktu subuh[9].

Batas-batas eksak tanggal pada versi pranata mangsa Kasunanan merupakan modifikasi kecil terhadap pranata mangsa yang sudah dikenal sebelumnya yang didasarkan pada posisi benda-benda langit.

Rujukan dan catatan tambahan

  1. ^ a b Kusuma M. Berlayar dengan Panduan Pranata Mangsa. Kompas daring. Edisi 20-01-2009. Diakses 26-06-2010.
  2. ^ Hubungan pranata mangsa dengan musim penangkapan ikan. Artikel pada laman Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi DI Yogyakarta.
  3. ^ a b c Daldjoeni N. 1984. Pranatamangsa, the javanese agricultural calendar – Its bioclimatological and sociocultural function in developing rural life. The Environmentalist 4:15–18 DOI:10.1007/BF01907286.
  4. ^ Pranata salah mangsa. Artikel pada blog Rawins. 14 Desember 2009
  5. ^ PRANOTO MONGSO ( aturan waktu musim )
  6. ^ Yuwono S. Pranoto Mongso, Aliran Musim asli Jawa.
  7. ^ Tanojo R. 1962. Primbon Djawa (Sabda Pandita Ratu). TB Pelajar. Surakarta. pp 36–45.
  8. ^ Hien HA van. 1922. De Javaansche Geestenwereld. Kolff. Batavia. pp. 310–355.
  9. ^ a b c Pranata Mangsa Masih Bisa Dibaca (Seribu Tahun Lagi)
  10. ^ Pranata mangsa kanggo nyrateni lakune alam. Solopos daring. Edisi Suplemen 25-02-2010. Diakses 26-06-2010.