Lompat ke isi

Teruo Nakamura: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tjmoel (bicara | kontrib)
k ..
TjBot (bicara | kontrib)
k bot kosmetik perubahan
Baris 42: Baris 42:


{{lifetime|1919|1979|}}
{{lifetime|1919|1979|}}

[[Kategori:Tokoh Republik Cina menurut pekerjaan]]
[[Kategori:Tokoh Republik Cina menurut pekerjaan]]
[[Kategori:Teater Pasifik Perang Dunia II]]
[[Kategori:Teater Pasifik Perang Dunia II]]

Revisi per 19 September 2010 10.42

Teruo Nakamura
PengabdianJepang Kekaisaran Jepang
Dinas/cabang Angkatan Darat Kekaisaran Jepang
Lama dinas1943–1974
PangkatPrajurit
KesatuanUnit Sukarelawan Takasago ke-4 高砂義勇隊
Perang/pertempuranPertempuran Morotai

Prajurit Teruo Nakamura (中村輝夫, Nakamura Teruo) adalah prajurit Angkatan Darat Kekaisaran Jepang kelahiran Taiwan yang bertempur demi Jepang di dalam Perang Dunia II dan baru menyerah pada tahun 1974.

Kemungkinan dalam bahasa asli sukunya, namanya adalah Attun Palalin. Media Taiwan menyebutnya dengan nama Lee Guang-Hui 李光輝, sebuah nama yang baru ia ketahui setelah ia direpatriasi pada tahun 1975.

Dinas militer

Nakamura berasal dari penduduk asli Taiwan, kemungkinan suku Amis, dari Taiwan yang saat itu menjadi koloni Jepang. Lahir pada tahun 1919, ia terkena wajib militer dan dimasukkan ke dalam sebuah Unit Sukarela Takasago dari Angkatan Darat Kekaisaran Jepang pada bulan November 1943. Ia ditempatkan di Pulau Morotai di Indonesia tak lama sebelum pulau tersebut ditaklukkan oleh Sekutu pada bulan September 1944 dalam Pertempuran Morotai. Ia dinyatakan tewas pada bulan Maret 1945.

Setelah pulau itu direbut, kelihatannya Nakamura tinggal bersama sejumlah prajurit Jepang lain yang tidak mau menyerah di pulau tersebut hingga dekade 1950-an, walau juga beberapa kali hidup sendirian selama jangka waktu cukup lama. Pada tahun 1956, ia kelihatannya berkeputusan untuk tak mengikatkan diri lagi dengan para prajurit lain yang tak mau menyerah di pulau tersebut, dan mulai membangun sebuah kamp kecil miliknya sendiri, yang terdiri dari sebuah pondok kecil di dalam ladang berpagar seluas 20 kali 30 meter. Ketika ditanyakan alasannya meninggalkan para prajurit yang lain, Nakamura mengklaim mereka mencoba membunuh dirinya; tapi, klaim ini disangkal oleh tiga prajurit lain dari kelompoknya, yang telah ditemukan pada dekade 1950-an.

Penemuan dan repatriasi

Pada pertengahan tahun 1974, penduduk setempat melaporkan tentang terlihatnya seseorang di hutan pegunungan Galoka, Morotai. Pada bulan November 1974, Kedutaan Jepang untuk Indonesia di Jakarta meminta bantuan pemerintah Indonesia untuk mengorganisasi sebuah misi pencarian, yang kemudian dilakukan oleh TNI-AU. Tim pencari tersebut beranggotakan 11 orang, dan dipimpin oleh Lettu Supardi AS dari KODAU XII/Morotai, dan mereka dengan cerdik berhasil mengamankan Nakamura pada tanggal 18 Desember 1974. Ia kemudian diterbangkan ke Jakarta ditemani KASAU waktu itu, Marsekal Saleh Basarah, lalu ditempatkan di Rumah Sakit Pelni, Jakarta, untuk beristirahat. Berita penemuannya diumumkan di Jepang pada tanggal 27 Desember 1974.[1] Nakamura memutuskan untuk direpatriasi langsung ke Taiwan, tanpa singgah di Jepang, dan meninggal di sana karena kanker paru-paru lima tahun kemudian, di tahun 1979.

Repatriasi dan persepsi publik Jepang atas Nakamura waktu itu sangat berbeda dari yang dialami serdadu yang terus bertahan sebelumnya, seperti Hiroo Onoda, yang baru ditemukan hanya beberapa bulan sebelumnya. Salah satu alasannya adalah pertanyaan soal kewarganegaraan Nakamura. Ia lahir di Taiwan, secara etnis berasal dari suku Amis, dan secara legal tak punya negara asal; pertanyaan soal kewarganegaraan dianggap penting oleh publik Jepang pada waktu itu. Selain itu, walaupun Kedutaan Jepang menawarkan untuk merepatriasinya, muncul pula masalah diplomatis tentang bagaimana memperlakukan dirinya jika seandainya ia lebih suka kembali ke Taiwan. Pada saat ia diamankan, ia tak bisa berbahasa Jepang ataupun bahasa Cina. Kedua, jika Onoda adalah seorang perwira, pangkat Nakamura yang hanya Prajurit dan statusnya sebagai wamil dari sebuah koloni Jepang tak menggugah imajinasi publik, dan kemungkinan justru membangkitkan pertanyaan soal peran kolonialisme Jepang selama perang. Satu isu sensitif lain adalah soal uang rapel dari tunjangan prajurit atas namanya. Sebagai prajurit kena wajib militer, Nakamura tak berhak menerima berbagai tunjangan setelah sebuah perubahan atas undang-undang tentang pensiun di tahun 1953, sehingga ia hanya menerima jumlah minimal sebesar ¥68,000 (US$227.59 pada saat itu).[2] Ini menimbulkan kegemparan yang cukup besar di kalangan pers, sehingga memotivasi pemerintah untuk mendonasikan jumlah yang lebih besar, kira-kira menyamai yang telah diberikan kepada Onoda. Ini pada gilirannya menghasilkan sejumlah pertanyaan di antara para serdadu asal Taiwan yang sempat bertahan tapi menyerah lebih dulu, dan memicu perdebatan publik yang cukup luas seputar perbedaan perlakuan oleh pemerintah atas para prajurit yang bertahan asal Jepang dengan yang berasal dari Taiwan.

Referensi

  1. ^ "Hari Terakhir di Morotai" Tempo. 10 Januari 1975.
  2. ^ "The Last Last Soldier?" Time. January 13, 1975.
  • Trefalt, Beatrice, Japanese Army Stragglers and Memories of the War in Japan, 1950-1975, London: Routledge 2003, pp. 160ff. (chapter partially online) :ISBN 0-415-31218-3

Pranala luar