Lompat ke isi

Banjir lumpur panas Sidoarjo: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 208: Baris 208:


[[nl:Modderstroom Sidoarjo]]
[[nl:Modderstroom Sidoarjo]]
[[en:Sidoarjo]]
[[en:Sidoarjo#Mud flow 2006]]


[[kategori:Jawa Timur]]
[[kategori:Jawa Timur]]

Revisi per 4 Oktober 2006 08.47

Berkas:Lumpur Sidoarjo.JPG
Desa Renokenongo dan Kedungbendo yang tergenang lumpur

Banjir Lumpur Panas Sidoarjo 2006, merupakan kasus menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak tanggal 29 Mei 2006. Semburan lumpur panas selama beberapa bulan ini menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.

Lokasi

Lokasi semburan lumpur ini berada di Porong, yakni kecamatan di bagian selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 km sebelah selatan kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Gempol (Kabupaten Pasuruan) di sebelah selatan.

Lokasi semburan hanya berjarak 150-500 meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas sebagai operator blok Brantas. Oleh karena itu, hingga saat ini, semburan lumpur panas tersebut diduga diakibatkan aktivitas pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas di sumur tersebut. Pihak Lapindo Brantas sendiri punya dua teori soal asal semburan. Pertama, semburan lumpur berhubungan dengan kegiatan pengeboran. Kedua, semburan lumpur "kebetulan" terjadi bersamaan dengan pengeboran akibat sesuatu yang belum diketahui.

Lokasi tersebut merupakan kawasan pemukiman, dan di sekitarnya merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari lokasi semburan terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), serta jalur kereta api lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi.

Perkiraan penyebab kejadian

Berkas:Lokasi-semburan-lumpur.jpg
Lokasi semburan lumpur

Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awal Maret 2006 dengan menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT Medici Citra Nusantara. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama Alton International Indonesia, Januari 2006, setelah menang tender pengeboran dari Lapindo senilai US$ 24 juta.

Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki (2590 meter) untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor (casing ) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung.

Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki (Lapindo Press Rilis ke wartawan, 15 Juni 2006). Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka “belum” memasang casing 9-5/8 inchi yang rencananya akan dipasang tepat di kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung (8500 kaki).

Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pemboran ini dengan membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan mengasumsikan zona pemboran mereka di zona Rembang dengan target pemborannya adalah formasi Kujung. Padahal mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya. Alhasil, mereka merencanakan memasang casing setelah menyentuh target yaitu batu gamping formasi Kujung yang sebenarnya tidak ada. Selama mengebor mereka tidak meng-casing lubang karena kegiatan pemboran masih berlangsung. Selama pemboran, lumpur overpressure dari formasi Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out) tetapi dapat dilawan dengan pompa lumpurnya Lapindo (Medici).

Berkas:Ubo.jpg
Underground Blowout (semburan liar bawah tanah)

Setelah kedalaman 9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping. Lapindo mengira target formasi Kujung sudah tercapai, padahal mereka hanya menyentuh formasi Klitik. Batu gamping formasi Klitik sangat porous (bolong-bolong). Akibatnya lumpur yang digunakan untuk melawan lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke lubang di batu gamping formasi Klitik) atau circulation loss sehingga Lapindo kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan.

Akibat dari habisnya lumpur Lapindo, maka lumpur formasi Pucangan berusaha menerobos ke luar (terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit sehingga dipotong. Sesuai prosedur standard, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup & segera dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick. Kemungkinan yang terjadi, fluida formasi bertekanan tinggi sudah terlanjur naik ke atas sampai ke batas antara open-hole dengan selubung di permukaan (surface casing) 13 3/8 inchi. Di kedalaman tersebut, diperkirakan kondisi geologis tanah tidak stabil & kemungkinan banyak terdapat rekahan alami (natural fissures) yang bisa sampai ke permukaan. Karena tidak dapat melanjutkan perjalanannya terus ke atas melalui lubang sumur disebabkan BOP sudah ditutup, maka fluida formasi bertekanan tadi akan berusaha mencari jalan lain yang lebih mudah yaitu melewati rekahan alami tadi & berhasil. Inilah mengapa surface blowout terjadi di berbagai tempat di sekitar area sumur, bukan di sumur itu sendiri.

Volume lumpur

Volume lumpur diperkirakan sekitar 5.000 meter kubik per hari. Bahkan pernah mencapai 50 ribu meter kubik per hari. Ini kurang-lebih sama dengan muatan penuh 690 truk peti kemas berukuran besar. Jika stamina semburan lumpur Banjar Panji-1 terus bertahan pada kisaran 50 ribu itu, pada 31 Oktober, jumlah lumpur akan mencapai 7,1 juta meter kubik. Pada pergantian tahun, volumenya bakal menembus angka 10 juta meter kubik. Ini dua kali lebih banyak dari volume kubah lava di puncak Merapi saat letusan.

7 September 2006 terjadi letupan lumpur baru terjadi di Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Kondisi ini membuat warga panik, tim pemantau gas berbahaya kesulitan mendeteksi letupan tersebut karena cukup jauh dari tanggul. Lumpur baru itu meluap di dekat kandang sapi milik seorang warga sejak. Letupan semakin besar karena tak segera ditangani. Pihak PT Lapindo Brantas yang segera dihubungi warga tak mampu berbuat banyak dan belum bisa memastikan apakah kejadian ini efek dari pusat semburan di lokasi sumur eksplorasi Banjar Panji I.

Hasil uji lumpur

Beberapa hasil pengujian

Parameter

Hasil uji maks

Baku Mutu
(PP Nomor 18/1999)

Arsen

0,045 Mg/L

5 Mg/L

Barium

1,066 Mg/L

100 Mg/L

Boron

5,097 Mg/L

500 Mg/L

Timbal

0,05 Mg/L

5 Mg/L

Raksa

0,004 Mg/L

0,2 Mg/L

Sianida Bebas

0,02 Mg/L

20 Mg/L

Trichlorophenol

0,017 Mg/L

2 Mg/L (2,4,6 Trichlorophenol)
400 Mg/L (2,4,4 Trichlorophenol)

Berdasarkan pengujian toksikologis di 3 laboratorium terakreditasi (Sucofindo, Corelab dan Bogorlab) diperoleh kesimpulan ternyata lumpur Sidoarjo tidak termasuk limbah B3 seperti Arsen, Barium, Boron, Timbal, Raksa, Sianida Bebas dan sebagainya yang tergolong anorganik. Sedangkan untuk bahan organik seperti Trichlorophenol, Chlordane, Chlorobenzene, Chloroform dan sebagainya, hasil pengujian juga menunjukkan semua parameter bahan kimia itu berada di bawah baku mutu.[1]

Hasil pengujian LC50 terhadap larva udang windu (Penaeus monodon) maupun organisme akuatik lainnya (Daphnia carinata) menunjukkan bahwa lumpur tersebut tidak berbahaya dan tidak beracun bagi biota akuatik. LC50 adalah pengujian konsentrasi bahan pencemar yang dapat menyebabkan 50 persen hewan uji mati. Hasil pengujian membuktikan lumpur tersebut memiliki nilai LC50 antara 56.623,93 sampai 70.631,75 ppm Suspended Particulate Phase (SPP) terhadap larva udang windu dan di atas 1.000.000 ppm SPP terhadap Daphnia carinata. Sementara berdasarkan standar EDP-BPPKA Pertamina, lumpur dikatakan beracun bila nilai LC50-nya sama atau kurang dari 30.000 mg/L SPP.

Di beberapa negara, pengujian semacam ini memang diperlukan untuk membuang lumpur bekas pengeboran (used drilling mud) ke dalam laut. Jika nilai LC50 lebih besar dari 30.000 Mg/L SPP, lumpur dapat dibuang ke perairan.

Dampak

Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.

  • Lumpur menggenangi desa-desa di Kecamatan Porong dan sekitarnya hingga setinggi 6 meter, yang membuat dievakuasinya warga setempat untuk diungsikan serta rusaknya areal pertanian. Luapan lumpur ini juga menggenangi sarana pendidikan dan Markas Koramil Porong. Hingga bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa.
  • Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur hingga Agustus 2006 antara lain: lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring; lahan padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon; serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang.
  • Pabrik-pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini.
  • Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon)
  • Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak 1.683 unit. Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480, Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15 unit.
  • Dilakukannya sistem buka-tutup ruas jalan tol Surabaya-Gempol yang tergenang, menyebabkan kemacetan luar biasa di jalur non-tol, dan dialihkannya ke jalur alternatif via Gempol-Mojosari-Sidoarjo.
  • Kerusakan lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi, termasuk areal persawahan
  • Pihak Lapindo melalui Imam P. Agustino, Gene-ral Manager PT Lapindo Brantas, mengaku telah menyisihkan US$ 70 juta (sekitar Rp 665 miliar) untuk dana darurat penanggulangan lumpur.

Penutupan ruas jalan tol ini juga menyebabkan terganggunya jalur transportasi Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi serta kota-kota lain di bagian timur pulau Jawa. Ini berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.

Upaya penanggulangan

Sejumlah upaya telah dilakukan untuk menanggulangi luapan lumpur, diantaranya dengan membuat tanggul untuk membendung area genangan lumpur. Namun demikian, lumpur terus menyembur setiap harinya, sehingga sewaktu-waktu tanggul dapat jebol, yang mengancam tergenanginya lumpur pada permukiman di dekat tanggul. Jika dalam tiga bulan bencana tidak tertangani, adalah membuat waduk dengan beton pada lahan seluas 342 hektar, dengan mengungsikan 12.000 warga. Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan, untuk menampung lumpur sampai Desember 2006, mereka menyiapkan 150 hektare waduk baru. Juga ada cadangan 342 hektare lagi yang sanggup memenuhi kebutuhan hingga Juni 2007. Akhir Oktober, diperkirakan volume lumpur sudah mencapai 7 juta m3.

Badan Meteorologi dan Geofisika meramal musim hujan bakal datang dua bulanan lagi. Jika perkira-an itu tepat, waduk terancam kelebihan daya tampung. Lumpur pun meluap ke segala arah, mengotori sekitarnya.

Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS) memperkirakan, musim hujan bisa membuat tanggul jebol, waduk-waduk lumpur meluber, jalan tol terendam, dan lumpur diperkirakan mulai melibas rel kereta. Ini adalah bahaya yang bakal terjadi dalam hitungan jangka pendek.

Sudah ada tiga tim ahli yang dibentuk untuk memadamkan lumpur berikut menanggulangi dampaknya. Mereka bekerja secara paralel. Tiap tim terdiri dari perwakilan Lapindo, pemerintah, dan sejumlah ahli dari beberapa universitas terkemuka. Di antaranya, para pakar dari ITS, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Gadjah Mada. Tim Satu, yang menangani penanggulangan lumpur, berkutat dengan skenario pemadaman. Tujuan jangka pendeknya adalah memadamkan lumpur dan mencari penyelesaian cepat untuk jutaan kubik lumpur yang telah terhampar di atas tanah.

Skenario penghentian semburan lumpur

Skenario pertama, menghentikan luapan lumpur dengan menggunakan snubbing unit pada sumur Banjar Panji-1. Snubbing unit adalah suatu sistem peralatan bertenaga hidrolik yg umumnya digunakan utk pekerjaan well-intervention & workover (melakukan suatu pekerjaan ke dalam sumur yg sudah ada). Snubbing unit ini digunakan untuk mencapai rangkaian mata bor seberat 25 ton dan panjang 400 meter yang tertinggal pada pemboran awal. Diharapkan bila mata bor tersebut ditemukan maka ia dapat didorong masuk ke dasar sumur (9297 kaki) dan kemudian sumur ditutup dengan menyuntikan semen dan lumpur berat. Akan tetapi skenario ini gagal total. Rangkaian mata bor tersebut berhasil ditemukan di kedalaman 2991 kaki tetapi snubbing unit gagal mendorongnya ke dalam dasar sumur.

Skenario kedua dilakukan dengan cara melakukan pengeboran miring (sidetracking) menghindari mata bor yang tertinggal tersebut. Pengeboran dilakukan dengan menggunakan rig milik PT Pertamina (persero). Skenario kedua ini juga gagal karena telah ditemukan terjadinya kerusakan selubung di beberapa kedalaman antara 1.060-1.500 kaki, serta terjadinya pergerakan lateral di lokasi pemboran BJP-1. Kondisi itu mempersulit pelaksanaan sidetracking. Selain itu muncul gelembung-gelembung gas bumi di lokasi pemboran yang dikhawatirkan membahayakan keselamatan pekerja, ketinggian tanggul di sekitar lokasi pemboran telah lebih dari 15 meter dari permukaan tanah sehingga tidak layak untuk ditinggikan lagi. Karena itu, Lapindo Brantas melaksanakan penutupan secara permanen sumur BJP-1.

Skenario ketiga, pada tahap ini, pemadaman lumpur dilakukan dengan terlebih dulu membuat tiga sumur baru (relief well). Tiga lokasi tersebut antara lain: Pertama, sekitar 500 meter barat daya Sumur Banjar Panji-1. Kedua, sekitar 500 meter barat barat laut sumur Banjar Panji 1. Ketiga, sekitar utara timur laut dari Sumur Banjar Panji-1. Sampai saat ini skenario ini masih dijalankan.

Ketiga skenario beranjak dari hipotesis bahwa lumpur berasal dari retakan di dinding sumur Banjar Panji-1. Padahal ada hipotesis lain, bahwa yang terjadi adalah fenomena gunung lumpur (mud volcano), seperti di Bledug Kuwu di Purwodadi, Jawa Tengah. Sampai sekarang, Bledug Kuwu terus memuntahkan lumpur cair hingga membentuk rawa.

Rudi Rubiandini, anggota Tim Pertama, mengatakan bahwa gunung lumpur hanya bisa dilawan dengan mengoperasikan empat atau lima relief well sekaligus. Semua sumur dipakai untuk mengepung retakan-retakan tempat keluarnya lumpur. Kendalanya pekerjaan ini mahal dan memakan waktu. Contohnya, sebuah rig (anjungan pengeboran) berikut ongkos operasionalnya membutuhkan Rp 95 miliar. Biaya bisa membengkak karena kontraktor dan rental alat pengeboran biasanya memasang tarif lebih mahal di wilayah berbahaya. Paling tidak kelima sumur akan membutuhkan Rp 475 miliar. Saat ini pun sulit mendapatkan rig yang menganggur di tengah melambungnya harga minyak.

Rovicky Dwi Putrohari, seorang geolog independen, menulis bahwa di lokasi sumur Porong-1, tujuh kilometer sebelah timur Banjar Panji-1, terlihat tanda-tanda geologi yang menunjukkan luapan lumpur pada zaman dulu, demikian analisanya. Rovicky mencatat sebuah hal yang mencemaskan: semburan lumpur di Porong-1 baru berhenti dalam rentang waktu puluhan hingga ratusan tahun.

Dialirkan ke laut

Jika tanggul waduk diperkirakan sudah kelebihan beban dan tetap tidak tertangani, maka lumpur dialirkan ke laut (Selat Madura), dengan terlebih dahulu membangun sistem dewatering dan water treatment plant.

Pihak Lapindo menyarankan lumpur dibuang ke laut langsung, lewat Sungai Porong. Alasan mereka, ketimbang menunggu pipa pembuangan selesai disiapkan, lebih baik meminjam sungai untuk mengalirkan lumpur, misalnya selama tiga bulan.

Usulan ini disetujui, dengan sejumlah catatan, oleh Bupati Sidoarjo. Bahkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah mengisyaratkan lampu hijau pada opsi ini sebagai skenario terakhir, yakni memprioritaskan penyelamatan manusia, infrastruktur jalan tol, serta jalan kereta dan lingkungan.

Dampak lumpur itu bakal memperburuk kerusakan ekosistem Sungai Porong. Ketika masuk ke laut, lumpur otomatis mencemari Selat Madura dan sekitarnya. Areal tambak seluas 1.600 hektare di pesisir Sidoarjo akan terpengaruh.

Alternatif yang sudah dikaji lembaga seperti Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya, dengan memisahkan air dari endapan lumpur lalu membuang air ke laut. Lumpur itu mengandung 70 persen air, sisanya bahan endapan. Kalau air bisa dibuang ke laut, tentu danau penampungan tak perlu diperlebar, dan tekanan pada tanggul bisa dikurangi.

Banyak pihak menolak rencana pembuangan ke laut ini, diantaranya Walhi [2] dan ITS [3]. Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI, 5 September 2006, menyatakan luapan lumpur Lapindo mengakibatkan produksi tambak pada lahan seluas 989 hektar di dua kecamatan mengalami kegagalan panen. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) memperkirakan kerugian akibat luapan lumpur pada budidaya tambak di kecamatan Tanggulangin dan Porong Sidoarjo, Jawa Timur, mencapai Rp10,9 miliar per tahun. Dan rencana pembuangan lumpur yang dilakukan dengan cara mengalirkannya ke laut melalui Sungai Porong, bisa mengakibatkan dampak yang semakin meluas yakni sebagian besar tambak di sepanjang pesisir Sidoarjo dan daerah kabupaten lain di sekitarnya, karena lumpur yang sampai di pantai akan terbawa aliran transpor sedimen sepanjang pantai. [4]

Sejak 8 September, Lapindo mulai membuang air lumpur yang menggenangi persawahan di sekitar Kelurahan Mindi, Kecamatan Porong, dan Desa Pejarakan, Kecamatan Jabon, ke Sungai Porong. Bahkan pembuangan air lumpur dilakukan di dua tempat sekaligus. Bupati Sidoarjo Win Hendrarso sudah memerintahkan Dinas Lingkungan Hidup agar segera menghentikan aktivitas Lapindo itu, karena mencemari sungai (tanpa proses water treatment) dan melanggar hukum karena belum mendapatkan izin dari KLH. Pembuangan air lumpur ke sungai, dilakukan diam-diam oleh Lapindo dan di luar pantauan pihak pemerintah daerah. Lapindo berdalih bahwa air yang dibuang ke Sungai Porong bukanlah air lumpur, melainkan air sawah. [5]

Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur

Pada 9 September 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani surat keputusan pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo. Dalam surat itu disebutkan, tim dibentuk untuk menyelamatkan penduduk di sekitar lokasi bencana, menjaga infrastruktur dasar, dan menyelesaikan masalah semburan lumpur dengan risiko lingkungan paling kecil. Tim dipimpin Basuki Hadi Muljono, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum, dengan tim pengarah sejumlah menteri, diberi mandat selama enam bulan. Seluruh biaya untuk pelaksanaan tugas tim nasional ini dibebankan pada PT Lapindo Brantas.

Tim nasional ini harus menyelesaikan peningkatan ketinggian tanggul sebelum musim hujan tiba. Usaha ini dilakukan dengan memanfaatkan program Tentara Nasional Indonesia Manunggal Masuk Desa, semacam program kerja bakti yang dilakukan tentara. Tim juga mulai mengebor sumur penyelamat untuk mencari sumber lumpur dan kemudian menghentikannya. Pengeboran ini diperkirakan memakan waktu 90 hari, dengan tingkat keberhasilan hanya 10 persen.

Penahanan tersangka

Dalam kasus ini, Polda Jawa Timur telah menetapkan 9 tersangka, termasuk General Manager dan 2 Manajer Pengeboran Lapindo Brantas, 5 tersangka dari kontraktor pengeboran PT Medici Citra Nusa, serta Vice President DSS PT Energy Mega Persada.

Kritik

Pemerintah dianggap tidak serius menangani kasus luapan lumpur panas ini. Masyarakat adalah korban yang paling dirugikan, di mana mereka harus mengungsi dan kehilangan mata pencaharian tanpa adanya kompensasi yang layak. Sementara, Pemerintah tetap menuntut seluruh resiko dan kerugian akibat banjir lumpur ini ditanggung sepenuhnya oleh Lapindo Brantas.

Aktivis lingkungan hidup juga mengecam penanganan kasus banjir lumpur ini. [6] [7]

Pranala luar

Lihat pula