Benteng De Kock: Perbedaan antara revisi
k Bot: Penggantian teks otomatis (-nasehat +nasihat) |
k Bot: Penggantian teks otomatis (-dirubah +diubah) |
||
Baris 44: | Baris 44: | ||
Karena makin kuatnya determinasi kekuasaan Belanda di Indonesia dan termasuk di Bukittinggi ternyata ikut memberi pengaruh pada perubahan dan arah kebijakan pemerintah Belanda terhadap kebun bunga. Hal ini dapat dilihat dengan diberikannya hak bagi pengembangan taman bunga pada pihak yang tertarik untuk memperbaikinya. Drh. J. Heck seorang dokter hewan di kota Bukittinggi, Groeneveld seorang Asisten Resident Van Agam yang merangkap sebagai Voortter-Gemeente-Raad Fort De Kock, J.H Schalling merupakan sekretaris Van de Geemente-Raad Fort De Kock, Edwar Jacoboan seorang hartawan berkebangsaan Belanda. Mereka berusaha menjadikan kebun bunga (strom park) yang dikembangkan sejak tahun 1900 untuk dijadikan kebun binatang . |
Karena makin kuatnya determinasi kekuasaan Belanda di Indonesia dan termasuk di Bukittinggi ternyata ikut memberi pengaruh pada perubahan dan arah kebijakan pemerintah Belanda terhadap kebun bunga. Hal ini dapat dilihat dengan diberikannya hak bagi pengembangan taman bunga pada pihak yang tertarik untuk memperbaikinya. Drh. J. Heck seorang dokter hewan di kota Bukittinggi, Groeneveld seorang Asisten Resident Van Agam yang merangkap sebagai Voortter-Gemeente-Raad Fort De Kock, J.H Schalling merupakan sekretaris Van de Geemente-Raad Fort De Kock, Edwar Jacoboan seorang hartawan berkebangsaan Belanda. Mereka berusaha menjadikan kebun bunga (strom park) yang dikembangkan sejak tahun 1900 untuk dijadikan kebun binatang . |
||
Sebuah hal menarik yang pernah terjadi di Indonesia adalah dengan didatangkannya arsitek Belanda ke Indonesia pada tahun 1900-an, mereka bekerja di kotamadya (gemente) di seluruh Indonesia . Sebagai pola umum pada kota yang dikembangkan oleh para arsitek Belanda, mereka berusaha membuat sebuah taman kota dan tempat bersantai di daerah kotamadya yang dikembangkan . Nampaknya kebijakan dan usaha permbaharuan oleh para arsitek Belanda ini juga terjadi di Bukittinggi sehingga pemerintah Hindia Belanda memberi peluang agar kebun bunga dikembangkan menjadi kebun binatang sekaligus sebuah area taman kota untuk sarana rekreasi dan bersantai. |
Sebuah hal menarik yang pernah terjadi di Indonesia adalah dengan didatangkannya arsitek Belanda ke Indonesia pada tahun 1900-an, mereka bekerja di kotamadya (gemente) di seluruh Indonesia . Sebagai pola umum pada kota yang dikembangkan oleh para arsitek Belanda, mereka berusaha membuat sebuah taman kota dan tempat bersantai di daerah kotamadya yang dikembangkan . Nampaknya kebijakan dan usaha permbaharuan oleh para arsitek Belanda ini juga terjadi di Bukittinggi sehingga pemerintah Hindia Belanda memberi peluang agar kebun bunga dikembangkan menjadi kebun binatang sekaligus sebuah area taman kota untuk sarana rekreasi dan bersantai. |
||
Karena berbagai dukungan itu, maka tanggal 3 Juli 1929 kebun bunga (strom park) |
Karena berbagai dukungan itu, maka tanggal 3 Juli 1929 kebun bunga (strom park) diubah dan dikembangkan menjadi kebun binatang yang dinamai “Fort De Kocksche Dieren Park” atau Kebun Binatang Bukittinggi, sejak itulah dibangun kandang-kandang yang bagus (dimasa itu) dan permanen untuk penempatan hewan-hewan koleksi kebun binatang . Pada tahap awal pembangunan kebun binatang ini dibuatlah kandang-kandang binatang koleksi dengan bentuk persegi sebelas. Tiap sudut ditarik batas ketengah pohon beringin yang merupakan pusatnya. Pada bulan Juli1929 itu, Kebun Binatang Bukittinggi diisi dengan hewan koleksi sederhana seperti: burung, kelinci, ayam hutan, dan kuaw. Karena makin banyaknya jenis koleksi hewan burung yang terdapat di kebun binatang, maka A.Murad Sutan Batuah, seorang kepercayaan Belanda di kebun binatang memperbaiki kandang-kandang burung agar lebih baik dan aman dari gangguan tikus. Kemudian dilanjutkan dengan pembatasan area Bukit Malambuang dengan kawat berduri sehingga anak nagari yang biasa bermain disana menjadi terhalang dan tak dapat lagi menggunakan lokasi ini sebagai tempat bermain . Untuk perkembangan selanjutnya dibuat pula kandang rusa, kandang kasuari, kandang kambing hutan, kandang singa, dari terali besi bekas penjara militer Belanda di Lubuk Basung . |
||
Dalam mendatangkan koleksi-koleksi hewan baru pihak pengelola kebun binatang dibantu pula oleh Groeneveld yang merupakan Asisten Resident Agam dan merangkap Voorzitter Gemeente-Raad Fort De Kock dapat dengan mudah mendatangkan satwa-satwa yang di butuhkan dan ditemukan dari sekitar kawasan Agam dan Bukittinggi . Tentu dapat kita bayangkan bagaimana keadaan alam dan satwa liar dimasa itu tentu jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Lingkungan yang masih asri, perburuan yang masih kurang, tentu membuat koleksi kebun binatang dapat dilengkapi dengan mudah. Dan sebuah budaya orang-orang Belanda dimasa penjajahan yang mendukung pengembangan kebun binatang adalah kebiasaan berburu hewan-hewan liar di daerah-daerah perbukitan yang hasil buruannya diserahkan pada pihak pengelola kebun binatang . |
Dalam mendatangkan koleksi-koleksi hewan baru pihak pengelola kebun binatang dibantu pula oleh Groeneveld yang merupakan Asisten Resident Agam dan merangkap Voorzitter Gemeente-Raad Fort De Kock dapat dengan mudah mendatangkan satwa-satwa yang di butuhkan dan ditemukan dari sekitar kawasan Agam dan Bukittinggi . Tentu dapat kita bayangkan bagaimana keadaan alam dan satwa liar dimasa itu tentu jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Lingkungan yang masih asri, perburuan yang masih kurang, tentu membuat koleksi kebun binatang dapat dilengkapi dengan mudah. Dan sebuah budaya orang-orang Belanda dimasa penjajahan yang mendukung pengembangan kebun binatang adalah kebiasaan berburu hewan-hewan liar di daerah-daerah perbukitan yang hasil buruannya diserahkan pada pihak pengelola kebun binatang . |
||
Dibidang kepemimpinan dan pengelolaan Kebun Binatang Bukittinggi ternyata Belanda tidak main-main, ia memilih dan mempercayakan kepemimpinannya pada A.Murad St. Batuah, seorang pribumi yang dinilai memiliki profesionalisme dan integritas yang tinggi bagi pengembangan kebun binatang tersebut. Ia dipercaya dari tahun 1929-1932. Sebagai pemimpin pertama kebun binatang ia dinilai cukup berhasil. Setiap kegiatan dan usahanya dilaporkan pada Drh,J. Heck, Groeneveld, J.H. Schalling, Edwar Jacoboan yang bertindak sebagai tim pengontrol dan penilai keberhasilan institusi ini. |
Dibidang kepemimpinan dan pengelolaan Kebun Binatang Bukittinggi ternyata Belanda tidak main-main, ia memilih dan mempercayakan kepemimpinannya pada A.Murad St. Batuah, seorang pribumi yang dinilai memiliki profesionalisme dan integritas yang tinggi bagi pengembangan kebun binatang tersebut. Ia dipercaya dari tahun 1929-1932. Sebagai pemimpin pertama kebun binatang ia dinilai cukup berhasil. Setiap kegiatan dan usahanya dilaporkan pada Drh,J. Heck, Groeneveld, J.H. Schalling, Edwar Jacoboan yang bertindak sebagai tim pengontrol dan penilai keberhasilan institusi ini. |
Revisi per 7 Februari 2011 13.46
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Fort de Kock adalah benteng peninggalan Belanda yang berdiri di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia. Fort de Kock juga nama lama Bukittinggi.
Benteng ini dibangun semasa Perang Paderi pada tahun 1825 oleh Kapt. Bauer di atas Bukit Jirek dan awalnya dinamai Sterrenschans. Kemudian, namanya diubah menjadi Fort de Kock, menurut Hendrik Merkus de Kock, tokoh militer Belanda.
Di tahun-tahun selanjutnya, di sekitar benteng ini tumbuh sebuah kota yang juga bernama Fort de Kock, kini Bukittinggi.
Keadaan sekarang
Hingga saat ini, Benteng Fort de Kock masih ada sebagai bangunan bercat putih-hijau setinggi 20 m. Benteng Fort de Kock dilengkapi dengan meriam kecil di keempat sudutnya. Kawasan sekitar benteng sudah dipugar oleh pemerintah daerah menjadi sebuah taman dengan banyak pepohonan rindang dan mainan anak-anak.
Benteng yang berada di kawasan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan Bukit Tinggi ini berada di lokasi yang sama dengan Kebun Binatang Bukit Tinggi dan Museum Rumah Adat Baanjuang. Kawasan benteng terletak di bukit sebelah kiri pintu masuk sedangkan kawasan kebun binatang dan museum berbentuk rumah gadang tersebut berada di bukit sebelah kanan. Keduanya dihubungkan oleh Jembatan Limpapeh yang di bawahnya adalah jalan raya dalam kota Bukit Tinggi. Kawasan ini hanya terletak 1 km dari pusat kota Bukit Tinggi di kawasan Jam Gadang, tepatnya di terusan jalan Tuanku nan Renceh.
http://keretaunto.blogspot.com/
KEBUN BINATANG BUKITTINGGI DALAM LINTAS SEJARAH
(1900-1949)
oleh: Irwan Setiawan*
A. Pendahuluan Bukittinggi adalah salah satu kota yang diakui memiliki peran dan pengaruh dalam perjalanan sejarah Indonesia. Penulisan sejarah kota ini telah diusahakan oleh berbagai peneliti yang membahas aktifitas sosial ekonomi, politik. Sebagai bagian daerah darek di Sumatera Barat, kota ini mulai meliki nilai lebih dan diutamakan sejak Belanda mulai aktif menekan pihak Paderi dimasa berkecamuknya Perang Paderi 1821-1837. Dan pada tahun 1888, Belanda mengusahakan perluasan kota ini, yang mencapai 75% dari daerah Kanagarian Kurai Limo Jorong.
Sebuah keunikan yang jarang dikaji dan ditulis seiring dengan perjalanan sejarah Kota Bukittinggi adalah sejarah objek wisata kebun binatang Bukittinggi, yang bila dilakukan penelitian lebih lanjut dapat dilihat bahwa munculnya kebun binatang tertua kedua di Indonesia itu berkaitan erat dengan sejarah penguasan kota ini oleh Pemerintahan Kolonial Belanda. Penguasaan daerah Bukittinggi oleh Belanda diikuti dengan usaha membuat dan menyediakan berbagai sarana bagi para penguasa Belanda yang ada di kota ini. Untuk melepas lelah dan bersantai setelah bekerja, maka Pemerintah Kolonial Belanda membuat sebuah taman, kebun bunga yang mereka kembangkan hingga menjadi sebuah kebun binatang. Untuk melihat perkembangan institusi kebun binatang Bukittinggi ini dilakukanlah penelitian sejarah yang juga memanfaatkan alat bedah dari teori manajemen. George R. Terry dalam buku “Principles Of Management” menyatakan bahwa demi keefektifan kerja, dan kemajuan sebuah lembaga harus memiliki fungsi-fungsi manajemen sebagai berikut: 1. Perencanaan (Planning). Mengandung pengertian sebagai proses kegiatan, usaha, pekerjaan untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan secara berkoordinasi dan terarah dalam melaksanakan sesuatu . Mereka menentukan garis besar untuk dapat memulai usaha. 2. Pengorganisasian (Organizing). Dalam proses pengorganisasian ini diadakanlah penggolongan dengan tugas sendiri-sendiri. Masing-masing mendapat kekuasaan yang diberikan kepadanya, dari pihak yang berkedudukan lebih tinggi . 3. Penggerakan (Actuating). Adalah proses untuk menggerakkan seseorang untuk bereaksi (bekerja) dan untuk melaksanakan suatu kegiatan secara fisik maka diambillah tindakan yang bersifat: kepemimpinan, perintah, instruksi, communication (hubung menghubungi), dan nasihat. 4. Pengawasan (Controlling). Adalah proses untuk mengecek apa yang telah dilakukan, guna memastikan apakah pekerjaan orang-orangnya berjalan dengan memuaskan dan menuju kearah yang diharapkan . Jadi dalam melihat perkembangan Kebun Binatang Bukittinggi, disini peneliti juga ikut melihat perkembangan pola manajeman, sehingga bisa dilihat bagaimana cara pengelolaan yang baik demi mencapai kemajuan yang optimal. B. Berkuasanya Pemerintahan Kolonial Belanda di Bukittinggi. Bangsa Belanda pertama kali mendarat di Padang tahun 1818. Mereka berusaha mendapatkan kedudukan di daerah Sumatera Barat dengan jalan melibatkan diri dalam konflik yang terjadi antara kelompok adat dan kelompok agama. Bahkan Belanda ikut aktif membantu kelompok adat menekan kelompok agama dalam Perang Paderi 1821-1837 . Belanda melakukan usaha penekanan kelompok agama di sekitar Agam, Pasaman yang ditindak lanjuti dengan pembuatan perjanjian persahabatan dengan Penghulu Kurai Lomo Jorong yang berisi: adanya kerjasama dan usaha bersama kelompok adat (yang diwakili penghulu) dengan Belanda dalam menekan kelompok agama. Kesepakatan ini dibuat tahun 1820, dan hasil perjanjian ini ditindak lanjuti dengan pemberian izin oleh Penghulu Kurai Lomo Jorong pada Belanda untuk mendirikan benteng di daerah ini dalam tahun 1825/1826. Saat itu Kapten Bauer mendirikan Benteng Sterreschant yang kemudian lebih dikenal dengan Benteng Fort De Kock di Bukit Jirek . Benteng inilah yang menjadi cikal bakal penguasaan dan perluasan kekuasan Belanda di Bukittinggi, Agam dan Pasaman. Penguasaan Belanda berlanjut ke Bukit Sarang Gagak, Bukit Tambun Tulang, Bukit Cubadak Bungkuak, dan Bukit Malambung yang merupakan areal pengembangan Kebun Binatang Bukitinggi . Didaerah-daerah penguasaan Belanda itulah didirikan beberapa kantor, rumah pemerintah sipil, rumah rapat, kompleks kuburan, pasar, sarana dan prasarana transportasi, sekolah serta sarana rekreasi . Untuk memperkuat kedudukan Belanda mereka memanfaatkan pemimpin-pemimpin tradisional Minangkabau. Untuk daerah Bukittinggi, Agam yang disebut dengan Staats Gementee Fort De Kock dikepalai oleh seorang Controleur yang dijabat oleh orang Belanda. Mereka memiliki hubungan yang dekat dengan masyarakat terutama pemimpin-pemimpin adat di nagari-nagari Agam, Bukittinggi. Masyarakat menyebutnya dengan “Tuanku Kumentur” (Tuanku Kumandua), ia sangat ditakuti, berhak mengeluarkan instruksi-instruksi yang harus dijalankan rakyat, mengeluarkan hukum bagi pelanggar B. Kebun Bunga (Strom Park) sampai Kebun Binatang Bukittinggi (Fort De Kocksche Dieren Park). Bukit Malambuang adalah salah satu bukit yang terdapat di kawasan Bukittinggi, dengan posisi yang bersebelahan dengan Bukit Jirek (Benteng Fort De Kock) dan Bukit Kubangan Kabau (Pasar Atas sekarang). Berdasarkan Meetderief Nomor 78 Register No 353 tanggal 30 Agustus 1933 Bukit Malambung memiliki luas 33.620 M 2, dengan ketinggian 924 M diatas permukaan laut dengan iklim pegunungan (sub tropis) bersuhu 18-22 °C. Di puncak bukit ini terdapat dataran yang sering dipakai anak nagari untuk melakukan pertandingan adu perkutut, manaikkan layang-layang (melambungkan layang-layang), dan berbagai permainan lain. Sedangkan dibagian lereng lainnya terdapat area pemakaman penduduk di sekitar kawasan Bukit Malambuang . Karena panorama bukit yang begitu indah, maka disore hari anak nagari dan masyarakat Bukittinggi sering bersantai dan melepas lelah di area puncak bukit ini. Dari sana mereka dapat menikmati panorama Gunung Merapi, Gunung Singgalang, Gunung Sago, Gunung Pasaman, dan Ngarai Sianok . Bukit malambuang juga dijadikan sebagai tempat mengembalakan kambing, sapi dan domba milik orang-orang keling (keturunan India) . Sejak diberikannya kekuasaan atas tanah di Bukit Jirek oleh Penghulu Kurai Limo Jorong pada Belanda, apalagi setelah keluarnya Surat Keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda No. 1 Tahun 1888, yang berisi tentang perluasan penguasaan Belanda di Bukittinggi secara otomatis mereka telah memiliki hak dalam pengelolaan beberapa bukit di daerah Bukittinggi. Perluasan kekuasaan Belanda ini diistilahkan masyarakat dengan “tajua nagari ka Bulando” . Karena ketertarikan atas keindahan panorama di Bukit Malambuang serta telah adanya kekuatan hukum yang dimiliki Belanda, maka Controleur Belanda di Bukittinggi yang bernama Gravenzanden melakukan pengembangan bukit ini dengan menjadikannya kebun bunga “strom park”. Atas perintahnya semak-semak di Bukit Malambuang dibersihkan, dilanjutkan dengan pemindahan kuburan masyarakat yang terdapat di area ini. Setelah itu ditanamlah berbagai jenis pohon, bunga, pembuatan taman-taman, bangku-bangku sebagai tempat bersantai. Bahkan di tengah-tengah tanah lapang di puncak bukit dibuatlah sebuah lapangan tenis yang dinamai Lapangan Tenis Baan . Pekerjaan untuk pembersihan area bukit, terpaksa memindahkan kuburan masyarakat. Untuk itu diberikanlah ganti rugi untuk pihak keluarga sebanyak 5-20 gulden . Setelah dilakukannya perubahan dan perbaikan ini, ternyata kebun bunga lebih diperuntukkan bagi para penguasa Belanda di Bukittinggi . Karena area kebun bunga hanya dijadikan sebagai tempat beristirahat, melepas lelah disore hari maka taman ini tidak memiliki pengelola secara resmi. Penamaan kebun bunga ini masih akrab dengan masyarakat Sumatera Barat sampai tahun 1980-an, masyarakat menyebutnya dengan “kabun bungo” . Karena makin kuatnya determinasi kekuasaan Belanda di Indonesia dan termasuk di Bukittinggi ternyata ikut memberi pengaruh pada perubahan dan arah kebijakan pemerintah Belanda terhadap kebun bunga. Hal ini dapat dilihat dengan diberikannya hak bagi pengembangan taman bunga pada pihak yang tertarik untuk memperbaikinya. Drh. J. Heck seorang dokter hewan di kota Bukittinggi, Groeneveld seorang Asisten Resident Van Agam yang merangkap sebagai Voortter-Gemeente-Raad Fort De Kock, J.H Schalling merupakan sekretaris Van de Geemente-Raad Fort De Kock, Edwar Jacoboan seorang hartawan berkebangsaan Belanda. Mereka berusaha menjadikan kebun bunga (strom park) yang dikembangkan sejak tahun 1900 untuk dijadikan kebun binatang . Sebuah hal menarik yang pernah terjadi di Indonesia adalah dengan didatangkannya arsitek Belanda ke Indonesia pada tahun 1900-an, mereka bekerja di kotamadya (gemente) di seluruh Indonesia . Sebagai pola umum pada kota yang dikembangkan oleh para arsitek Belanda, mereka berusaha membuat sebuah taman kota dan tempat bersantai di daerah kotamadya yang dikembangkan . Nampaknya kebijakan dan usaha permbaharuan oleh para arsitek Belanda ini juga terjadi di Bukittinggi sehingga pemerintah Hindia Belanda memberi peluang agar kebun bunga dikembangkan menjadi kebun binatang sekaligus sebuah area taman kota untuk sarana rekreasi dan bersantai. Karena berbagai dukungan itu, maka tanggal 3 Juli 1929 kebun bunga (strom park) diubah dan dikembangkan menjadi kebun binatang yang dinamai “Fort De Kocksche Dieren Park” atau Kebun Binatang Bukittinggi, sejak itulah dibangun kandang-kandang yang bagus (dimasa itu) dan permanen untuk penempatan hewan-hewan koleksi kebun binatang . Pada tahap awal pembangunan kebun binatang ini dibuatlah kandang-kandang binatang koleksi dengan bentuk persegi sebelas. Tiap sudut ditarik batas ketengah pohon beringin yang merupakan pusatnya. Pada bulan Juli1929 itu, Kebun Binatang Bukittinggi diisi dengan hewan koleksi sederhana seperti: burung, kelinci, ayam hutan, dan kuaw. Karena makin banyaknya jenis koleksi hewan burung yang terdapat di kebun binatang, maka A.Murad Sutan Batuah, seorang kepercayaan Belanda di kebun binatang memperbaiki kandang-kandang burung agar lebih baik dan aman dari gangguan tikus. Kemudian dilanjutkan dengan pembatasan area Bukit Malambuang dengan kawat berduri sehingga anak nagari yang biasa bermain disana menjadi terhalang dan tak dapat lagi menggunakan lokasi ini sebagai tempat bermain . Untuk perkembangan selanjutnya dibuat pula kandang rusa, kandang kasuari, kandang kambing hutan, kandang singa, dari terali besi bekas penjara militer Belanda di Lubuk Basung . Dalam mendatangkan koleksi-koleksi hewan baru pihak pengelola kebun binatang dibantu pula oleh Groeneveld yang merupakan Asisten Resident Agam dan merangkap Voorzitter Gemeente-Raad Fort De Kock dapat dengan mudah mendatangkan satwa-satwa yang di butuhkan dan ditemukan dari sekitar kawasan Agam dan Bukittinggi . Tentu dapat kita bayangkan bagaimana keadaan alam dan satwa liar dimasa itu tentu jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Lingkungan yang masih asri, perburuan yang masih kurang, tentu membuat koleksi kebun binatang dapat dilengkapi dengan mudah. Dan sebuah budaya orang-orang Belanda dimasa penjajahan yang mendukung pengembangan kebun binatang adalah kebiasaan berburu hewan-hewan liar di daerah-daerah perbukitan yang hasil buruannya diserahkan pada pihak pengelola kebun binatang . Dibidang kepemimpinan dan pengelolaan Kebun Binatang Bukittinggi ternyata Belanda tidak main-main, ia memilih dan mempercayakan kepemimpinannya pada A.Murad St. Batuah, seorang pribumi yang dinilai memiliki profesionalisme dan integritas yang tinggi bagi pengembangan kebun binatang tersebut. Ia dipercaya dari tahun 1929-1932. Sebagai pemimpin pertama kebun binatang ia dinilai cukup berhasil. Setiap kegiatan dan usahanya dilaporkan pada Drh,J. Heck, Groeneveld, J.H. Schalling, Edwar Jacoboan yang bertindak sebagai tim pengontrol dan penilai keberhasilan institusi ini. Setelah periode kepemimpinan A. Murad St.Batuah, beliau digantikan oleh Van Ommen dari tahun 1932-1933. Dimasa kepemimpinannya beliau berhasil meningkatkan jumlah koleksi kebun binatang karena adanya tenaga ahli dan ketersidiaan dana . Setelah periode kepemimpinan Van Ommen ia digantikan oleh Opstal yang merupakan seorang bekas tentara Belanda (eks KNIL) . Dimasa kepemimpinannya dari tahun 1933 ternyata kebun binatang ini mengalami masa gemilang dengan mampu melengkapi jumlah koleksi kebun binatang. Kebun Binatang Bukittinggi mampu mensuplai 150 ekor binatang koleksi khas Sumatera ke Kebun Binatang Surabaya yang telah berdiri sejak tahun 1916 dan untuk kompensasinya Kebun Binatang Surabaya mengirim koleksi binatang khas Indonesia timur ke Bukittinggi . Tahun 1934 pimpinan kebun binatang digantikan oleh Smith, 1935 dipimpin oleh Nutzman, Schap tahun 1936, dan Drh. Bernecker merupakan dokter hewan dari Belanda yang bertugas di Bukittinggi yang memimpin dari tahun 1936-1937 . Dalam periode 1931-1935 dilakukan pembangunan kandang-kandang baru yang diisi dengan harimau, beruang hitam, macan tutul, orang hutan, ular, anoa, buaya, dan banteng liar. Dari segi pengunjung diperiode ini hanyalah untuk orang Belanda . Tempat ini hanya diperuntukkkan bagi para penguasa Belanda yang ingin bersantai. Masa kepemimpinan Nutzman tahun 1935, munculah ide untuk melakukan penambahan sarana di Kebun Binatang Bukittinggi (Fort de Kocksche Dieren Park) yaitu usaha pembangunan rumah gadang baanjung di area kebun bintang. Untuk peletakan batu pertamanya dilakukan tanggal 1 Juli 1935. Rumah Gadang Baanjuang ini berukuran 36,5 x 10 M2 dengan 7 gonjong. Rumah gadang ini bertipe gajah maharam yang merupakan jenis rumah koto piliang yang memiliki anjungan di bagian kiri dan kanan. Untuk melengkapi dengan arsitektur standar minang, maka tahun 1955/1956 dilengkapi dengan pembangunan rangkiang sibayau-bayau, sitinjau lauik, dan ditambah dengan dibangunnya rumah tabuah. Sebagai fungsi utamanya rumah gadang ini dijadikan sebagai museum yang mengoleksi barang-barang sejarah dan barang budaya . Rumah gadang ini di kerjakan oleh tukang-tukang dari Panyalaian Padang Panjang, Lasi IV Angkek Candung. Kayu sebagai bahan utama didatangkan dari daerah sekita Bukittinggi, atap menggunakan ijuk yang dibawa dari Batusangkar dan Solok. Setiap ukiran memiliki nilai filosofi dan estetika Minangkabau . Untuk melengkapi prasarana maka dibangun pula sebuah restoran oleh pengusaha Cina di area kebun binatang ini pada tanggal 1 September 1935 . Tahun 1937-1938 tidak diketahui siapa pemimpin kebun binatang, barulah tahun 1938 kebun binatang ini dipimpin oleh Drh. Bernecker sampai tahun 1945. Beliau memimpin kembali kebun binatang ini untuk yang kedua kalinya. Dimasa kepemimpinan nya yaitu tahun 1941 datanglah pemimpin Kebun Binatang Surabaya Scoemacher ke Bukittinggi dan ia berkujung ke Kebun Binatang Bukittinggi. Setelah melihat keadaan Kebun Binatang Bukittinggi, Scoemacher memuji Kebun Binatang Bukittinggi “inilah kebun binatang yang terbaik dan terindah di Hindia kita”. Hal ini merupakan sebuah penghargaan yang diberikan atas kelengkapan koleksi, kebersihan dan keindahan Kebun Binatang Bukittinggi yang waktu itu telah memiliki 155 macam koleksi satwa . Kebersihan kebun binatang dilengkapi dengan adanya air bersih untuk minum dan mandi satwa yang dipelihara sehingga menghasilkan banyak keturunan. Dari segi kedudukan organisasi kebun binatang ini yang disebut dengan Dieren Park / Dieren Tuin Fort De Kocksche (Kebun Binatang Bukittinggi). Organisasi ini memiliki status sebagai bagian dari pemerintahan Staad Gemeente Fort De Kock yang memiliki 21 orang pegawai . Sehingga dari segi kedudukan dan perhatian pemerintah tentunya akan lebih optimal. Tahun 1941 pengelolaan kebun binatang Bukittinggi yang telah ditata oleh Belanda, memiliki struktur organisaasi tersendiri yang telah membagi tugas dan tanggung jawab masing-masing bagiannya. Struktur Organisasi Kebun Binatang Bukittinggi tahun 1941. Sumber: Edison, Skripsi, Taman Bundo Kanduang 1980-1993 Karena makin banyaknya masyarakat yang tertarik untuk mengunjungi kebun binatang maka mulailah dilakukan pengembangan dengan memberi kesempatan bagi masyarakat umum untuk bisa masuk dan melihat koleksi kebun binatang. Pada tahun 1941 diberlakukanlah karcis masuk bagi pengujung. Karcis untuk dewasa 10 sen, untuk anak-anak 5 sen ( sebagai perbandingan harga nasi bungkus waktu itu adalah 2,5 sen). Sedangkan untuk anggaran dana pemerintah Hindia Belanda untuk kebun binatang adalah 800 gulden (sebagai perbadingan harga emas waktu itu adalah, 1 emas 1,6 gulden) dan dana didukung sepenuhnya oleh Assistant Residen Agam waktu itu yaitu Burgemeester Nydam dan sekretaris walikota Fort De Kock Grvutes . Karena mahalnya harga karcis masuk pada waktu itu, maka yang mengunjungi kebun binatang hanyalah dari kelompok orang-orang menengah ke atas sedangkan bagi masyarakat biasa, umumnya hanya mengunjungi kebun binatang sekali dalam setahun yaitu saat hari raya Idul Fitri dan sebagian ada yang berkunjung saat sanak saudara pulang dari rantau dan ingin bertamasya di Bukittinggi . Film sejarah Minangkabau Zaman Belanda.Download video ini. C. Kebun Binatang Bukittinggi dimasa Pendudukan Jepang dan Diawal Kemerdekaan. Tahun 1942 Jepang telah berkuasa di Indonesia, termasuk di Kota Bukittinggi. Daerah ini diberi nama “Bukittingggi Shi Yasuko”, yang dari segi daerah kekuasaanya lebih luas dari masa pemerintahan Kolonial Belanda. Dengan mencakup daerah Kurai Limo Jorong, Ngarai Sianok, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba, Bukit Batabuah, dan beberapa daerah yang masuk dalam daerah Agam sekarang . Keadaan ini bertahan sampai tahun 1945. Dimasa kekuasaan Jepang, Bukittinggi dijadikan sebagai tempat kedudukan Komandemen Militer se Sumatera dengan komandonya yang bergelar Saiko Sikikankakka dibawah Jendral Kabaya Shi . Diawal kedatangan Jepang ke Kota Bukittinggi, tepatnya 21 Maret 1942 dengan semboyan “Asia Untuk Asia” mulai mendapat simpati sebagaian masyarakat. Namun seiring dengan penguasannya di Indonesia yang telah melakukan berbagai kekerasan, mulailah muncul pergolakan dan usaha penentangan terhadap kekuasaan Jepang, termasuk di Bukittinggi. Perlawanan terhadap Jepang di Kota Bukittinggi yang terkenal dilakukan oleh Syamsuddin dan Abbas Rahman . Terjadinya kekacauan politik di Kota Bukittinggi, berdampak buruk terhadap pengelolaan kebun binatang. Jepang sama sekali tidak memperhatikan keadaan kebun binatang, malahan mereka merusak saluran air untuk kebun binatang dan mengalihkannya untuk keperluan tentara Jepang. Banyak satwa-satwa penghuni kebun binatang yang ditembaki dan di bayonet. Sekeliling kebun binatang dibuat lobang-lobang untuk pertahanan tentara jepang di Bukittinggi . Terowongan atau lobang-lobang yang dibuat Jepang di sekitar area kebun binatang terhubung dengan Lobang Jepang yang dibuat dengan kerja paksa dan penderitaan bagi pekerjanya yang berasal dari orang-orang Sumatera Barat . Pembuatan Lobang Jepang yang dilakukan di Bukittinggi adalah usaha mengembangkan kota bawah tanah dan sebagai tempat pertahanan Jepang. Titik-titik penyebaran lobang kota bawah tanah ini menyebar di sekitar kota Bukittinggi . Sebagai pengaruh dari minimnya perhatian terhadap kebun binatang banyaklah satwa-satwa peliharaan yang mati, dibunuh, dan tak terawat, sehingga banyak kandang-kandang yang satwa yang kosong . Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, Jepang kalah dalam perang menghadapi sekutu yang berakibat pada lemahnya kekuatan Jepang di Indonesia. Hal ini dimanfaatkan sebaik mungkin oleh pemimpin-pemimpin Indonesia untuk mewujudkan kemerdekaan negeri ini. Pada tanggal 17 Agustus 1945 berkumandanglah proklamasi Indonesia yang menjadi tonggak sejarah lahirnya Indonesia merdeka. Pasca kemerdekaan Indonesia, politik tidak serta merta mengalami perubahan kearah kestabilan. Indonesia sebagai sebuah negara baru sibuk berbenah dan mempersiapkan badan-badan yang diperlukan untuk sebuah Negara merdeka. Selain itu keadaan masyarakat sat itu sangat memperihatinkan, mereka hidup menderita, tertindas, kelaparan dan nyaris tanpa pakaian . Keadaan kebun binatang sangat menghawatirkan, tanpa pengelola. Demi menjaga dan menyelematkan Kebun Binatang Bukittinggi maka ketua Komite Nasional Indonesia kota Bukittinggi yaitu: M.Z. Dt. Maharajo menunjuk A. Murad St. Batuah sebagai pimpinan kebun binatang . Karena keadaan yang belum aman, maka dimasa kepemimpinan A. Murad St. Batuah setelah kemerdekaan ini tidak banyak perubahan yang dapat beliau perbuat. Masa jabatan beliau dimulai tahun 1945-1949. Melihat perubahan situasi politik di Indonesia sejak kedatangan Jepang tahun 1942 sampai periode awal kemerdekaan tahun 1949 dapat disimpulkan bahwa keadaan politik, ekonomi, sosial yang tidak stabil menyebabkan pengelolan kebun binatang mengalami masalah besar bahkan nyaris ditutup karena ketiadaan pengelola. D. Penutup. Kebun Binatang Bukittinggi yang sekarang bernama Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan telah melewati masa-masa panjang. Institusi ini ikut mengiringi sejarah kota Bukittinggi. Keadaan politik, ekonomi, sosial yang stabil menyebabkan pengelolan kebun binatang dapat berkembang dengan baik, begitu juga sebaliknya, saat keadaan politik, ekonomi, sosial bermasalah maka pengelolan kebun binatang pun ikut mengalami fase penurunan. Setelah mempelajari sejarah Kebun Binatang Bukittinggi ini, maka demi kemajuan institusi ini ada beberapa hal yang dapat disimpulkan: 1. Kebun binatang seharusnya dikelola oleh orang-orang yang paham dengan binatang itu sendiri. Bahkan sedapat mungkin mereke memiliki latar belakang pendidikan dokter hewan. Dan untuk kelancaran institusi, pekerja yang dipilih adalah mereka yang memiliki loyalitas yang tinggi terhadap pekerjaanya dan mereka bekerja dengan nilai-nilai profesionalisme. 2. Pemerintah seharusnya menyediakan dana yang diperlukan oleh pengelola kebun binatang, hal ini mendukung pengembangan Kebun Binatang Bukittinggi kedepannya. Sehingga tidak ditemukan kesulitan-kesulitan dalam pengembangan institusi dari segi pendanaan. 3. Kebun binatang diberikan posisi dan kedudukan yang setara dengan dinas lainnya sehingga mendapat perhatian yang sama dari pemerintah. 4. Dalam menetapkan tarif karcis masuk kebun binatang pemerintah dan pengelola juga harus mampu melihat keadaan masyarakat, sehingga masyarakat tidak kecewa dengan pembiayaan yang memberatkan. Hal ini akan berdampak pada jumlah pengunjung, dan uang masuk dari Kebun Binatang Bukittinggi. 5. Pengelola harus mampu memberikan rasa nyaman, tenang, aman bagi pengunjung. Hal ini bisa terwujud dengan pengamanan yang baik dan penyediaaan sarana-sarana yang dibutuhkan di area kebun binatang.
Daftar Pustaka
- Amir B, 2000, “Sejarah Sumatera Barat. Fakultas Ilmu Sosial”, UNP, Padang,
- Azizah Etek, Syahril Tanjung, Yosmardin, Mursyid A.M, Nazief E.S, Reno Oktaviani,2004 “Dinamika Pemerintah Lokal Kota Bukittinggi”, Kerjasama Pemerintah Kota Bukittinggi Lembaga Pengembangan Masyarakat, Institut Ilmu Pengetahuan LPM-IIP, Bukittinggi.
Bappeda dan Badan Statistik Kota Bukittinggi, Bukittinggi dalam Angka 2002, Bukittinggi : Kerjasama Dinas Bappeda dan Badan Pusat Statistik. Badan Pemurnian Sejarah Indonesia-Minagkabau, 1978, Sejarah perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Minangkabau 1945-1950, Jakarta : BPSIM. Boestamam Iskandar, “Kesan dan Pengalaman Dikaitkan Sejarah Taman Bundo KanduangKodya Bukittinggi, Bukittinggi: Dinas Taman Bundo Kanduang, 1993. Edison, “Taman Bundo KanduangBukittinggi 1980-1993”. Skripsi, Padang: Jurusan sejarah, Universitas Andalas, 1994. Hardinoto, Paulus H Sohargo, ”Pengembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang”. Malang: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat. J. Pangklaykim dan Hazil Tanzil, Manajemen Suatru Pengatar, Jakarta. Ghalia Indonesia, 1982. Marjani Martamin, “Sejarah Revolusi Kemerdekaan 1945-1949”. Padang : Proyek investasi dan dokumentasi kebudayaan daerah. Pusat penelitian sejarah, Dep P dan K, 1979/1980.
- Syafni Arita, ”Bukittinggi Kota Wisata Suatu Kajian Historis 1984-2000”. Skripsi, Padang: Jurusan Sejarah Universitas Negeri Padang, 2001.
- Wawancara dengan Soedirman, Bukittinggi: Tanggal 5 Januari 2005.
- Wawancara dengan Soedirman, Bukittinggi: Tanggal 5 Januari 2005.
- Zul Asri, 2001, “Bukittinggi 1945-1980, Perkembangan Kota Secara Fisik dan Hubungannya dengan Kepemilikan Tanah”, Tesis, Program Pasca Sarjana Ilmu Pengetahuan Budaya, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok.