Lompat ke isi

Pendudukan Gedung DPR/MPR: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
TjBot (bicara | kontrib)
k bot kosmetik perubahan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 75: Baris 75:
[[Kategori:Gerakan mahasiswa]]
[[Kategori:Gerakan mahasiswa]]
[[Kategori:Sejarah Indonesia]]
[[Kategori:Sejarah Indonesia]]

Pengantar Redaksi: tulisan ini adalah tulisan pertama dari seri tulisan Mengenang Mei 1998 yang dimuat Jakartabeat.net mulai hari ini. Tulisan Adian Napitupulu ini sendiri terbagi dalam dua tulisan.




Oleh Adian Napitupulu, mantan aktivis Forum Kota


Huh! Kalau mengingat-ingat bagaimana gagasan menduduki DPR/MPR, kadang kesal dan gemas. Jika saja hal itu dilakukan lebih terencana, tentu aku boleh berharap ada sesuatu yang lebih yang bisa kami lakukan. Hmm, mungkin saja kemudian sejarah tidak terjadi seperti hari ini. Tapi, sudahlah. Tak usah disesali.

Memang tidak bisa dipungkiri, ide menduduki gedung DPR/MPR yang aku tawarkan ke teman-teman Forum Kota (Forkot) tak mudah disetujui. Bagiku, perdebatan terhadap ide-ide tentu sah-sah saja. Cuma, yang menyebalkan adalah ide ditolak dan disanggah tanpa alasan yang jelas selain ketakutan, seperti selalu ditebarkan Syafik (aktivis Forkot lain) saat itu, “Elu mau terjadi Tiananmen?” Lebih menyebalkan lagi ketika penolakan itu tidak diikuti tawaran lain yang lebih realistis dan efektif.

Padahal, aku berpikir sangat simpel saat itu. Pertama, menuju akhir Desember 1997, gerakan terus membesar dan semakin massif di berbagai kota. Sementara para elite politik tampak sangat plin-plan. Sebagai contoh, ketika aksi besar di UGM dan ada bendera Bintang Kejora berkibar, Gus Dur bilang aksi mahasiswa sudah tidak murni dan sebaiknya dihentikan. Huh! Memangnya perangkat organisasi aksi terdiri dari tentara yang terorganisir, berdisiplin, dan taat komando. Gus Dur seharusnya tahu bahwa aksi-aksi itu digalang komite-komite yang sangat cair, rentan konflik, dan bertujuan awal untuk memperbesar barisan perlawanan meski dengan konsekuensi kontrol terhadap massa cair yang jadi peserta menjadi sangat lemah. Dalam proses pembesaran gerakan, hal itu bisa dimaklumi apalagi dengan minimnya pengalaman aksi massa dalam jumlah besar karena depolitisasi kampus yang terjadi 32 tahun di bawah rezim Soeharto.

Nah, bayangkan, bagaimana kemudian kami harus jungkir-balik untuk terus menyusun, mengkonsolidasi kampus, massa, dan aksi-aksi sementara para elit sesuka-sukanya berbicara dan tidak mau tahu bahwa pernyataan-pernyataan itu sangat membuat kami harus semakin jungkir-balik dan terpaksa berakrobat sebisa mungkin agar pernyataan-pernyataan itu tidak memporakporandakan barisan yang sedang digalang.

Kedua, aku berpikir bahwa antara Januari 1998 sampai April 1998, posisi Soeharto sedang menuju puncak kritis: ada tekanan internasional, ada kesulitan ekonomi, konflik di elite yang berkepanjangan ,dan gerakan aksi massa yang terus bergulir membesar. Kendati demikian, kami tidak bisa menganggap remeh Soeharto dan think tank-nya. Mereka punya pengalaman 32 tahun mengelola dan merekayasa keadaan. Mereka punya organisasi, mereka punya kontrol kuat terhadap media, mereka punya uang tak terhingga. Jadi kalau tidak segera dirumuskan pukulan-pukulan bernilai strategis, mungkin dalam beberapa bulan kemudian keadaan akan kembali mampu dikontrol oleh Soeharto. Wah, kalau itu terjadi, mau lari ke mana kami? Aktivitas gerakan sudah sangat terang-terangan.

Bagi para mahasiswa yang baru ikut-ikutan aksi pada 1997, tentu gampang untuk lari bersembunyi atau menyangkal ketika ditangkap dan di interogasi. Elite politik juga tentu dengan mudah didiamkan karena memang watak mereka yang cenderung pragmatis dan oportunis. Tapi, tidak demikian bagi aku yang sejak 1992 sudah menggalang aksi buruh di PT Total Group di Marunda dan terlibat banyak demonstrasi, rapat-rapat anti -Soeharto, tragedi berdarah 27 Juli, dan banyak lagi.

Begitu juga dengan beberapa kawan lain yang punya sejarah perlawanan cukup panjang. Tentu tidak ada pilihan selain melawan sampai habis-habisan karena sudah tidak mungkin lagi bersembunyi, lari atau menyangkal. Nah, kalau keadaan kemudian dapat dikontrol lagi oleh Soeharto, jangan anggap remeh. Ingat, Soeharto pernah membantai sekitar dua juta manusia di 1965. Jadi, tentu bukan hal berat jika kemudian untuk tumbal kekuasaannya, ia membantai lagi 2.000 atau 3.000 mahasiswa. Lalu jika ketakutan itu terjadi, bagaimana rasa bersalahku pada kawan-kawan, orangtua mereka, dan pada sejarah. Jika itu terjadi, mungkin aku tidak akan pernah memaafkan diriku.

Kami yakin bahwa sikap plin-plan itu mendominasi para elite karena dua hal. Pertama mereka juga bagian dari Orde Baru. Kedua, mereka tidak percaya kekuatan mahasiswa bisa membesar dan berujung pada jatuhnya Soeharto. Pada akhirnya, jika kekuatan itu sudah bergerak, mau tidak mau, para elite plin-plan itu juga akan berubah sikap atau mereka akan diposisikan secara tegas oleh para mahasiswa sebagai bagian Orde Baru. Kami sadar, jika aksi kami hanya puluhan atau ratusan, para elite itu akan tetap mendukung Soeharto. Jika jumlah kami sudah ribuan orang, elite-elite itu akan memilih diam. Nah, kalau aksi kami sudah mencapai belasan dan puluhan ribu orang, para elite itu akan bergabung. Terakhir jika massa sudah melampaui 100.000 orang, tanpa ada yang meminta, para elite itu akan menempatkan diri seolah-olah sebagai pemimpin kami.


Memilih Mati dalam Perlawanan


Bagaimana pun sikap para elite itu, mau tidak mau kami harus merumuskan sesuatu. Mungkin itu bukan yang paling benar, tapi daripada berjalan dalam kebingungan, sesuatu mesti dirumuskan. Dalam satu rapat Forkot, aku mengatakan, “Kita harus menduduki DPR/MPR dan berikutnya Istana!”

Sebagian simpul tercengang, sebagian bertanya, “Kenapa DPR/MPR?”

Aku jelaskan bahwa kultur politik dominan di Indonesia adalah kultur yang penuh simbol-simbol. Raja disimbolkan dengan keris, tombak atau senjata pusaka lain hingga perebutan kekuasaan selalu diawali dengan perebutan simbol-simbol itu. Nah, DPR/MPR adalah simbol kedaulatan rakyat, sedangkan Istana adalah simbol kekuasaaan. Jadi kalau simbol itu bisa direbut lalu diduduki, legitimasi Soeharto melalui Pemilu 1997 bisa hancur, setidaknya berkurang. Jika DPR/MPR sudah diduduki, berikutnya harus mampu merebut simbol kekuasaan, simbol puncak sang raja dan itu adalah Istana Negara!

Semua argumentasi itu sudah aku sampaikan berkali-kali sampai bibirku pegal-pegal, tapi selalu ditolak beberapa kawan. Aku tanya pada mereka yang menolak, “Oke, apa tawaran elu?”

Mereka akan menjawab, “Ya, kita pikirkan.”

Lho, memangnya kita siapa? Memangnya kita punya kekuatan untuk mengatakan pada keadaan, “Keadaan, tolong tunggu. Jangan normal dulu, kami belum bisa rumuskan langkah, masih mikir, nih!” Atau, siapa yang sanggup dari kita untuk mengatakan pada rakyat dengan muka tegak, “Rakyat, sabar ya, bertahanlah dalam kelaparan kalian untuk beberapa waktu, karena kami di sini sedang bingung dan terus-menerus rapat entah sampai kapan.” Kalau tiba-tiba Amerika melakukan intervensi ekonomi melalui dolar atau apapun karena investasi mereka terganggu ketika keadaan terus berlarut-larut, lalu keadaan kembali mampu dikontrol Soeharto, apa yang bisa kami buat?! Hmm, paling-paling saling menyalahkan lalu kabur berpencaran.

Perdebatan tentang ide itu mendominasi hampir tiap rapat forum. Aku tegas bilang bahwa yang terbaik adalah 19 Mei! Kenapa 19 Mei? Aku juga tidak bisa jawab. Tanggal itu muncul ketika kawan-kawan mendesak menanyakan, “Memangnya, menurut elu, kapan pendudukan itu?” Daripada tidak punya jawaban, aku jawab saja dengan percaya diri dan tegas: 19 Mei! He..he..he..

Dalam salah satu Forum Forkot di sebuah kampus di Rawamangun, kembali perdebatan itu berulang. Aku dan beberapa kawan tetap bertahan dengan ide menduduki DPR/MPR. Mungkin karena gayaku yang slengean, jugul, dan kata banyak orang selalu mau menang sendiri, sebagian kawan-kawan yang memang menolak ide itu semakin kesal. Raymond, mahasiswa ISTN , tidak bisa mengontrol kekesalannya. Ia berdiri dan dengan gemas mencekik leherku sambil berkata “Lu gila, ya!”

Aku kaget. Sambil cengar-cengir, aku berkata, “Mond, kita tidak punya pilihan, melawan kita mati, diam juga mati. Aku memilih mati dalam perlawanan, lebih terhormat! Elu pilih apa?”

Sikap Raymond itu membuat kawan-kawanku dari UKI bereaksi keras. Wah, hampir saja dua kampus berkelahi. Aku tahu apa yang dilakukan Raymond tidak sungguh-sungguh..he..he.. Aku sudah mengenal dia selama bertahun-tahun, tapi kawan-kawanku tidak tahu itu.

Pertemuan berikut di kampus UKI Cawang disepakati untuk membuat Tim 11 untuk membahas ide pendudukan DPR/MPR. Tim lalu diminta oleh Forum membuat rapat tersendiri di lantai atas gedung Fakultas Teknik UKI. Perdebatan berlangsung dari siang sampai magrib, dan hasilnya terpaksa di-voting, 6:4, enam menolak, empat setuju, satu abstain. Huh, ide aku kalah! Beberapa kawan coba menghibur aku, “Sabar, Yan, nanti kita perjuangkan lagi.”

Aksi-aksi mahasiswa terus berlanjut, aku dan beberapa kawan dari kampus-kampus yang sepakat ide pendudukan DPR/MPR terus bergerilya menyosialisasikan dan meyakinkan ide itu. Ah, mudah-mudahan saja situasi ke depan memudahkan untuk kami meyakinkan kawan-kawan yang menolak. Rapat-rapat berikutnya sudah hampir tidak pernah membicarakan ide itu sampai ketika terjadi aksi serentak di 6 titik di Jakarta pada 2 Mei 1998.

Aksi di kampus IKIP Jakarta menjadi aksi terbesar dengan korban terbanyak, peringkat kedua dipegang kampus ABA-ABI. Represifnya aparat dan banyaknya korban membuat konstelasi forum dalam pertentangan ide pendudukan DPR/MPR sangat terasa. Kampus IKIP, dengan Abdullah sebagai simpul, yang semula menolak ide itu kemudian berubah drastis, berbalik mendukung walau tidak ada pernyataan tegas melalui Forum. Tetapi pernyataan-pernyataannya dalam Forum Forkot semakin progresif. Begitu juga Lutfi sebagai simpul ABA-ABI. Sebelumnya mereka setengah setuju, setengah menolak, sekarang semua setuju.

Ide itu semakin diterima ketika pada hari-hari berikutnya represifitas aparat terhadap gerakan mahasiswa semakin meningkat. Walaupun persetujuan terhadap ide itu tidak pernah disepakati dalam forum tapi aura persetujuan sangat terasa (bersambung ke bagian 2)


Link ke tulisan Adian Napitupul bagian 2:

http://www.jakartabeat.net/humaniora/kanal-musik/politika/334-mei-98-merebut-rumah-rakyat-bagian-2.html

Link ke tulisan pengantar edisi khusus Mengenang Mei 1998:

http://www.jakartabeat.net/humaniora/kanal-musik/politika/333-berbagi-kenangan-tentang-mei-1998.html


Sejarah Bekerja dengan Cara Tidak Terduga


Ketika terjadi penembakan mahasiswa di Universitas Trisakti, lalu terjadi kerusuhan di berbagai wilayah Jakarta, aku dan kawan-kawan yang seide semakin gencar menyosialisasikan dari simpul ke simpul. Persetujuan melalui Forum tetap tidak mungkin dilakukan karena akan memicu eksistensi simpul-simpul yang sejak awal menolak keras. Tapi, aku sangat yakin, keadaan beberapa hari ke depan akan berpihak pada ide itu.

Pada 15 atau 16 Mei, ada Rapat Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) di IKIP Rawamangun yang mengangkat Henry Basel menjadi koordinator FKSMJ. Dalam pertemuan itu mereka juga membahas ide pendudukan DPR/MPR yang konon akan dilakukan Forkot pada 19 Mei. Rupanya kawan-kawan FKSMJ tidak tahu bahwa ide itu sudah ditolak Forum Forkot. Hasil Rapat FKSMJ saat itu salah satunya memutuskan untuk mengirim delegasi ke DPR/MPR satu hari sebelum 19 Mei. Informasi ini disampaikan oleh simpul Universitas Mpu Tantular, Raya dan kawan-kawan, beberapa jam setelah rapat FKSMJ selesai.


Ops… ini baru seru! Sejarah bekerja dengan cara tidak terduga! Berbekal informasi itu, aku sebagai simpul UKI dan kebetulan Posko Forkot berada di kampus UKI Cawang, mengundang simpul kampus-kampus lain untuk segera membuat pertemuan malam itu juga. Saat itu, dalam pikiran para simpul Forkot, memang ada rivalitas tak terlihat antara FKSMJ dan Forkot. Jadi ketika informasi itu disampaikan di Forum Forkot, disepakati untuk ke DPR juga pada tanggal yang sama tapi datang lebih pagi. Kampus-kampus yang semula menolak ide menduduki DPR/MPR pada saat itu setuju untuk datang ke DPR tapi tetap tidak ada pembicaraan untuk menduduki.

Hasil gerilya ide dan didukung situasi yang memacu semangat dan kemarahan para simpul menunjukkan bahwa ide pendudukan DPR/MPR diterima tapi tidak perlu melalui kesepakatan untuk menghindari perdebatan, apalagi situasi di luar memaksa kami bergerak lebih cepat dan mengurangi diskusi-diskusi. Berikutnya disepakati setiap kampus mengirimkan minimal 10 orang pelopor yang paling nekat ke Gedung DPR/MPR pada 18 Mei pukul 09.00. Ada catatan, jika sampai pukul 11.00 kondisi kondusif untuk mobilisasi lebih besar, setiap kampus harus segera memobilisasi massa masing-masing.

Pada 17 Mei malam, aku dan kawan-kawan berdiskusi kecil untuk coba menghitung segala kemungkinan esok hari. Rapat internal KM UKI menyepakati tidak ada pembatasan mobilisasi dari basis UKI untuk datang ke DPR/MPR pada 18 Mei. Dari UKI, kami hitung, besok pagi sudah siap minimal 70 orang untuk jadi pelopor. Wah, deg..deg..syurrr, nih...

Detik-detik menegangkan terjadi juga. Pagi itu, sekitar pukul 08.45 WIB, aku sampai di depan gerbang DPR/MPR dengan beberapa kawan. Di pinggir jalan tampak kawan-kawan dari berbagai kampus dalam kelompok-kelompok kecil yang terpisah-pisah seperti orang-orang yang menunggu angkutan. Kalau dilihat sepintas memang seperti tidak ada apa-apa, tetapi jika diperhatikan wajah mereka satu per satu, tidak bisa dipungkiri bahwa kami semua tegang. Bagaimana tidak! Jakarta saat itu benar-benar seperti lapangan tempat gelar pasukan. Di mana-mana ada tentara berseragam dan bersenjata lengkap. Sebagian bahkan tidak menampakkan tanda pangkat, kesatuan, nama, dan atribut-atribut yang dapat diidentifikasi karena tertutup mantel ponco bercorak loreng kecokelatan.

Sekitar pukul 09.00, perangkat aksi segera mengumpulkan kelompok-kelompok kecil itu menjadi sebuah kerumunan besar, sekitar 800-an mahasiswa. Beberapa mahasiswa kemudian membuka tas dan mengambil jaket almamater serta mengenakannya. Mobil yang melintas serta-merta melambatkan laju, membuka kaca, dan melambaikan tangan sembari berteriak “Hidup Mahasiswa!” Supir bis, truk, dan taksi menyampaikan dukungan dengan membunyikan klakson. Kondektur dan penumpang bis mengacungkan jempol atau sekadar melambaikan tangan. Ah, rasanya bangga sekali ketika melihat dukungan rakyat yang luar biasa.

Semakin siang, kerumunan semakin membesar. Sekitar pukul 12.00 WIB, jumlah massa sudah mencapai sekitar 3000-an orang dan terlihat akan semakin bertambah banyak, karena setiap bis yang melintas bisa dipastikan berhenti dan menurunkan 4 atau 5 mahasiswa yang segera bergabung. Barisan semakin besar dari menit ke menit. Luar biasa, dari perkiraan awal sekitar 600 orang, ternyata kini membengkak menjadi ribuan orang. Para simpul kampus terus sibuk berkomunikasi dengan basis-basisnya untuk terus memobilisasi massa. Massa terlihat semakin ramai karena puluhan bahkan mungkin ratusan wartawan dalam dan luar negeri juga berada di sekitar kerumunan massa.

Sekitar pukul 13.00 WIB aku melakukan lobi dengan tentara yang pangkatnya paling tinggi di lapangan—seingatku, namanya Bambang. Negosiasi berjalan alot. Tentara tetap tidak mengijinkan kami masuk. Orasi dari tengah-tengah massa juga terus dilakukan bergantian dengan orator dari berbagai kampus. Setelah negosiasi sepertinya tidak menunjukkan titik temu, aku mulai bersikap lebih nekat. Aku berkata pada Bambang, “Begini, Pak, massa akan terus bertambah setiap detik. Bapak punya tiga pilihan. Pertama, membiarkan massa tetap berada di luar gedung dan tidak akan mampu mengontrol luapan yang terus bertambah. Kedua, membubarkan massa dengan paksa dan itu akan berujung pada benturan bahkan mungkin kerusuhan. Ketiga, membuka pintu gerbang dan membiarkan massa masuk.”

Bambang kemudian minta waktu lima menit untuk menyampaikan permintaan kami ke komandannya. Lima menit kemudian ia menghampiriku dan menyampaikan bahwa massa mahasiswa bisa masuk tapi gerbang hanya akan dibuka selebar satu meter. Gerbang dibuka..he he..cuma satu meter. Aku kemudian mengambil posisi menyeleksi massa yang masuk. Setelah sekitar dua atau tiga kampus masuk, di tengah-tengah massa ada puluhan orang yang mengikat pangkal lengan atas dengan kain segitiga. Wah, apa-apaan itu? Dari mana mereka? Kami tidak punya kesepakatan mengunakan atribut atau simbol-simbol, terkecuali jaket almamater. Kekhawatiranku terhadap infiltrasi semakin tinggi ketika jumlah massa yang mengenakan atribut segitiga di lengan kanan semakin besar, mungkin berjumlah 100 sampai 200 orang. Akhirnya, aku meminta perangkat aksi untuk menahan massa dengan atribut itu agar tidak masuk. Tidak lama kemudian salah seorang mahasiswa menghampiri aku dan membawa beberapa kain segitiga itu. Dan, di kain tersebut tertulis “KAMMI.” Oh, ternyata mereka dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia.

Tidak berapa lama kemudian beberapa mahasiswa dari KAMMI menghampiriku dan melakukan negosiasi agar mereka juga boleh masuk ke gedung DPR. Setelah berdebat cukup lama, akhirnya diambil dua kesepakatan. Pertama, semua mahasiswa KAMMI melepaskan dan mengumpulkan atribut kain segitiga itu dan menyerahkan kepada para teknis lapangan (teklap) Forkot. Kedua, seluruh mahasiswa KAMMI yang masuk harus ikut dalam komando perangkat aksi Forkot.

Situasi begitu tegang. Barisan harus disolidkan, jangan sampai ada agenda tersembunyi yang berbeda dari barisan massa. Jangan sampai ada manuver-manuver yang membahayakan massa. Ribuan massa mulai masuk ke halaman gedung DPR/MPR. Di antara aliran massa itu ada sekitar 60 mahasiswa berjaket kuning yang memisahkan diri dari barisan dan membuat iring-iringan tersendiri dan berjalan ke arah gedung DPR/MPR. Apa yang sering dikatakan para aktivis senior bahwa UI selalu saja menjadi kolaborator elite sepertinya memang benar. Memang kalau kita coba bedah sejarah, mulai dari 1966, 1974, dan seterusnya, gerakan mahasiswa UI tidak pernah menjadi gerakan mahasiswa independen. UI selalu menjadi “kaki” dari elite yang bertikai.

Melihat manuver mahasiswa UI yang menumpang masuk DPR via barisan Forkot dan memisahkan diri setelah berhasil masuk, sebagian kawan dari beberapa kampus antara lain Atmajaya, ISTN, IKIP, IAIN, dan UKI terlihat emosi lalu mengejar mahasiswa-mahasiswa UI itu. Dalam hitungan 3–5 menit terjadi saling kejar dan sempat terlontar beberapa botol air mineral ke arah mahasiswa UI. Mahasiswa UI kemudian berhamburan secepatnya ke arah gedung DPR/MPR. Aksi kejar-mengejar berhenti setelah para teklap menghadang massa yang mengejar dan meminta agar kembali ke barisan.


Spanduk Naik, Senjata Dikokang

Massa berhasil dirapatkan kembali dalam barisan yang solid dengan teklap yang berpegangan tangan mengelilingi barisan. Massa kemudian berhenti di samping depan-bawah undakan tangga gedung kubah. Orasi dan lagu serta puisi terus dibawakan bergantian.

Lalu, beberapa mahasiswa terlihat keluar dari barisan dan menaikkan spanduk bertuliskan: “TURUNKAN SOEHARTO - BUBARKAN DPR/MPR.” Beberapa detik setelah spanduk itu naik dan tulisannya terlihat jelas, ratusan aparat militer bersenjata lengkap yang mengepung massa serentak mengokang senjata. Bunyi kokangan senjata serentak itu membuat suasana hening seketika. Ratusan senjata terkokang itu kemudian diarahkan ke massa. Hampir bersamaan, puluhan wartawan yang berada di sekitar barisan terlihat berlarian ke arah tangga--sepertinya mereka juga tidak mau menjadi korban ketika ada random shooting dari tentara.

Teklap di sekeliling barisan segera berpegangan tangan, sementara sebagian massa memilih tiarap, sebagian lagi tetap berdiri. Tapi, luar biasa, tidak satu pun massa yang lari dari barisan. Aku seperti bisa mendengar dengan jelas detak jantungku sendiri. Salah seorang aktivis Forkot, Iwan Sumule, kemudian menghampiri aku dan berbisik, “Yan, magazinnya peluru tajam. Bagaimana menurut elu?”


Aku menjawab, “Dari mana elu tahu?”


Masih setengah berbisik, Iwan bilang, “Di magazinnya ada strip merah.”


Untuk beberapa saat aku terdiam, kemudian aku berujar kepada Iwan, “Kalau ini takdir, ayo kita jalani!”


Setelah itu aku berjalan berkeliling massa sambil berorasi “Jangan takut kawan-kawan, apa yang kita lakukan adalah benar. Kalau untuk republik, untuk rakyat, kita harus mati, itu akan menjadi kematian yang terindah!” Aku mengucapkan itu sambil berkeliling dan berebutan suara dengan komando di depan yang terus memimpin dinamisasi massa agar tidak terjebak dalam ketakutan.

Sementara itu, tim lobi bernegosiasi dengan pihak tentara. Setelah melakukan negosiasi yang cukup alot akhirnya disepakati bahwa tentara akan menurunkan senjata setelah kawan-kawan menurunkan spanduk yang terbentang di atas jejeran tiang bendera. Dalam beberapa menit kemudian ketika spanduk diturunkan dan diikuti tentara yang menurunkan senjata, aku mendengar ratusan desahan nafas lega…

Para simpul kemudian berkumpul di tangga gedung kubah untuk melakukan konfrensi pers. Saat konferensi pers sedang berlangsung, kembali para wartawan berlarian ke arah gedung DPR/MPR. Aku minta kawan-kawan untuk segera cari tahu ada apa. Seketika aku langsung berpikir, “Jangan-jangan…” Tidak sampai dua menit, kawan-kawan mengabari aku dan mengatakan bahwa Amien Rais akan keluar dari gedung DPR/MPR dan menemui mahasiswa. Tidak lama kemudian, seseorang yang mengaku utusan Amien Rais menemui kami dan menyampaikan pesan bahwa Amien Rais mau berorasi di depan massa. Aku segera berembuk dengan kawan-kawan simpul dan kami semua sepakat untuk menolak Amien Rais berorasi di depan massa. Kesepakatan itu kami sampaikan pada sang utusan.

Sebelum pergi kembali ke gedung, utusan Amien Rais sempat bertanya dalam kebingungan, “Lho memangnya mahasiswa yang di dalam dan yang di luar itu berbeda, ya?” Beberapa kawan simpul coba menjelaskan bahwa dari Forkot tidak ada yang ke dalam gedung DPR/MPR. Masih dengan wajah bingung, utusan Amien Rais kemudian bergegas kembali ke gedung DPR/MPR. Berikutnya kawan-kawan simpul kembali berbaur dalam barisan.

Beberapa menit setelah utusan Amien Rais pergi, aku mendengar suara riuh dari arah gedung DPR/MPR yang diikuti dengan beberapa wartawan yang berlari-lari ke arah gedung. Tidak beberapa lama kemudian tampak puluhan orang berjaket kuning yang bercampur wartawan berkerumun sembari berjalan… ternyata di tengah-tengah wartawan itu ada Amien Rais. Amien Rais kemudian keluar dari kerumunan dan menghadap ke barisan massa Forkot sambil mengangkat kedua tangannya. Massa serentak melihat ke arah Amien Rais dan saling bisik, “Itu siapa?”, “Dia mau apa?”

Lalu, Amien Rais naik ke atap mobil Toyota Kijang. Di atas mobil itu, Amien Rais sambil menghadap ke barisan Forkot, kembali mengangkat kedua tangannya. Saat itu puluhan kilatan lampu kamera terlihat menyala bergantian. Entah komando dari mana, puluhan mahasiswa Forkot keluar dari barisan dan berlarian ke arah Amien Rais, tidak berapa lama kemudian, beberapa botol air mineral terlihat berterbangan ke arah Amien Rais. Tidak sampai dua menit kemudian Amien Rais sudah turun dan kembali ke dalam gedung DPR/MPR sebelum sempat berbicara sepatah kata pun.

Setelah kericuhan itu reda, aku mencoba bicara dengan beberapa simpul kampus yang mahasiswanya tadi berlarian ke arah Amien Rais. Beberapa simpul menggerutu, “Enak aja, memangnya Amien Rais itu siapa?” Ada juga yang mengatakan, “Dia juga kadernya Soeharto.” Ada juga simpul yang mengatakan, “Kita yang terancam nyawa, mahasiswa UI yang negoisiasi!” Beberapa simpul yang juga masih emosional mengatakan, “Kita yang mengumpulkan kawan-kawan, kok Amien yang mau untung!”

Aku tidak berkomentar apa-apa tapi aku sangat mengerti emosi kawan-kawan. Perjalanan panjang dan keras yang dibayang-bayangi saat menggalang kampus demi kampus berbulan-bulan dan bentrokan berkali-kali di Universitas Sahid, ABA-ABI, dan IKIP yang memakan korban ratusan mahasiswa terluka tentu membuat kawan-kawan seperti singa lapar yang gampang marah. Sensitif dan emosional.

Seluruh teklap bekerja keras dan sungguh-sungguh. Massa sangat tertib dan bersemangat. Orasi diikuti dengan tekun, yel-yel diteriakkan serentak, lagu dinyanyikan dengan keras dan berbarengan. Harus diakui, situasi represif dan aksi yang intensif dengan bentrokan yang berkali-kali membuat para teklap menjadi ekstraketat dan waspada terhadap segala kemungkinan. Beberapa tokoh melalui utusan utusan masing-masing meminta waktu untuk mengisi orasi. Tapi tidak satu pun yang diterima. Kekesalan kawan-kawan selama ini pada para elite yang plin-plan dan cari aman membuat kawan-kawan sangat alergi ketika ada elite politik coba “mendekat.”

Bisa dipahami memang. Kawan-kawan merasa sendirian, tidak ada dukungan yang jelas dari para elite politik. Rata-rata simpati datang dari para dosen, alumni, para aktivis senior, serta segelintir ilmuwan. Tentu situasi itu berbeda jauh dengan gerakan 1966 yang didukung penuh militer, khususnya Angkatan Darat. Bahkan, menurut banyak literatur, dukungan itu tidak hanya berupa pernyataan politik tapi mulai dari penggunaan truk-truk tentara, perlindungan, makanan, uang, dan sebagainya. Bandingkan dengan aksi 1998: sampai kami masuk ke DPR di hari itu, tidak ada satu gelas air mineral yang diberikan pada kami. ****


Link ke tulisan Adian Napitupulu bagian 1:

http://www.jakartabeat.net/humaniora/kanal-musik/politika/332-mei-98-merebut-rumah-rakyat-bagian-1.html

Revisi per 24 Februari 2011 14.00

Berkas:Gedung DPR mei 1998.jpg
Gedung DPR/MPR RI diduduki oleh mahasiswa pada Mei 1998.

Pendudukan Gedung DPR/MPR RI adalah peristiwa monumental dalam proses pelengseran Soeharto dari tampuk kekuasaan Presiden dan tuntutan reformasi. Dalam peristiwa ini, ribuan mahasiswa dari berbagai kampus bergabung menduduki gedung DPR/MPR untuk mendesak Soeharto mundur.

Pada tanggal 21 Mei 1998, setelah berhari-hari para mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR, dan setelah kurang lebih 32 tahun berkuasa, Soeharto mengumumkan berhenti dari jabatan presiden.

Latar Belakang

Setelah peristiwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998, seluruh lapisan masyarakat Indonesia berduka dan marah. Akibatnya, tragedi ini diikuti dengan peristiwa anarkis di Ibukota dan di beberapa kota lainnya pada tanggal 1314 Mei 1998, yang menimbulkan banyak korban baik jiwa maupun material.

Semua peristiwa tersebut makin meyakinkan mahasiswa untuk menguatkan tuntutan pengunduran Soeharto dari kursi kepresidenan. Pilihan aksi yang kemudian dipilih oleh kebanyakan kelompok massa mahasiswa untuk mendorong turunnya Soeharto mengerucut pada aksi pendudukan gedung DPR/MPR.

Senin, 18 Mei 1998

Proses pendudukan gedung DPR/MPR RI dimulai dengan komitmen dari kontingen para ketua lembaga formal kemahasiswaan Jakarta yang tergabung di Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) untuk bermalam di gedung DPR/MPR RI sampai pimpinan dewan memastikan pengunduran diri Soeharto dari kursi kepresidenan RI.

Terdiri dari lebih kurang 50 orang ketua lembaga kemahasiswaan, kontingen ini menunjuk Henri Basel (Ketua Senat Mahasiswa IKIP Jakarta) sebagai koordinator aksi dan Heru Cokro (Sekretaris Jenderal Badan Perwakilan Mahasiwa UI) sebagai koordinator lapangan.

Pada sore hari tanggal 18 Mei 1998, kontingen berhasil menemui pimpinan dewan bersama komponen-komponen aksi lain, dan mendapatkan pernyataan dari ketua DPR/MPR RI saat itu, Harmoko, yang menyerukan pengunduran diri Soeharto. Pernyataan ini disambut positif oleh para anggota kontingen tapi bagaimanapun, ketika komponen-komponen aksi lain memutuskan untuk sementara pulang, kontigen memutuskan untuk bermalam sampai Soeharto benar-benar mundur dari kepresidenan sekaligus mempersiapkan kedatangan massa mahasiswa dari kampus masing-masing keesokan harinya.

Menduga proses aksi dan tuntutan akan berjalan lancar setelah seruan dari Harmoko, malah terjadi sedikit kepanikan pada para anggota kontingen ketika pada malam harinya Jenderal Wiranto (Menhankam dan Pangab saat itu) menyatakan bahwa seruan Harmoko tidak konstitusional. Kepanikan ini makin menjadi-jadi ketika di saat-saat berikutnya kontingen terus menerus mendapat informasi bahwa gedung DPR/MPR RI akan diserbu dan dikosongkan tentara. Sempat terjadi perbedaan pendapat di antara anggota kontingen, antara memutuskan pulang atau tetap bermalam, walau kemudian komitmen akhir seluruh kontingen adalah tetap bermalam, apapun yang terjadi.

Selasa, 19 Mei 1998

Mulai pagi, secara bergelombang, berdatangan ribuan massa mahasiswa dari kampus-kampus yang para ketuanya telah terlebih dahulu bermalam di gedung DPR/MPR RI di hari sebelumnya. Sampai saat itu, sebagai koordinator lapangan yang ditunjuk, Heru Cokro bertugas untuk mengkoordinir seluruh massa yang hadir dari masing-masing kampus agar sesuai arahan kolektif dari kontingen FKSMJ dan koordinator aksi (Henri Basel).

Tapi dalam prosesnya, ternyata banyak massa mahasiswa yang berdatangan bukan merupakan konstituen dari FKSMJ. Massa ini juga menolak beraksi di bawah bendera dan arahan kolektif FKSMJ, yang akhirnya berujung pada kecurigaan antar kelompok massa, kekacauan koordinasi dan praktis tidak adanya kerjasama aksi antara satu kelompok dengan kelompok massa lainnya di lapangan.

Kekacauan pun bertambah parah bersamaan dengan kedatangan massa dari Pemuda Pancasila (PP) yang dipimpin oleh Yapto dan Yorrys Raweyai, yang diasumsikan akan menolak usaha penuntutan pengunduran diri Soeharto. Tidak adanya koordinasi di antara kelompok massa mahasiswa dan besarnya kecurigaan antar kelompok, nyaris saja mengakibatkan bentrokan tidak perlu di antara kedua kelompok massa tersebut.

Dalam usaha menghindari konflik, Heru berhasil menemui Yapto dan kemudian melakukan rapat darurat dengan koordinator lapangan massa PP, yang akhirnya menyepakati garis batas massa kelompok PP serta sebuah komitmen untuk menghindari bentrokan. Massa PP tetap pada garis batas yang ditentukan sampai kepulangan mereka.

Kekacauan luar biasa yang terjadi di lapangan coba dikelola dengan rapat koordinasi lapangan secara rally (semua koordinator massa yang teridentifikasi harus hadir setiap 1 jam di tempat yang ditentukan), sampai akhirnya bisa diselesaikan dengan penyusunan mekanisme aksi yang unik dimana seluruh kelompok massa (FKSMJ ataupun non FKSMJ) dikelola dalam struktur operasi aksi tanpa berafiliasi pada kelompok tertentu, dimana struktur ini kemudian menunjuk Heru Cokro sebagai Koordinator Jenderal. Di lain sisi, arahan dan kebijakan kolektif para ketua lembaga di FKSMJ tetap akan diakomodasi lewat Heru, tapi tetap dengan persetujuan anggota struktur operasi aksi yang baru (yang berasal dari koordinator-koordinator aksi dari masing-masing kelompok massa).

Menjelang Maghrib, setelah struktur aksi yang baru berhasil mengontrol instalasi Car Call (satu-satunya alat komunikasi yang mampu mencapai semua orang di gedung DPR/MPR RI) yang sebelumnya dikuasai bergantian oleh kelompok-kelompok massa yang ada, Heru berhasil memimpin massa dari semua kelompok massa untuk bersama-sama melakukan Yell Reformasi, dimana untuk pertama kalinya seluruh kelompok massa akhirnya terikat dalam sebuah aksi secara bersama-sama, yang berlanjut sampai akhir aksi.

Malam harinya, dalam rapat koordinasi struktur, terdengar kabar bahwa besok akan ada demonstrasi akbar di Lapangan Monas yang dipimpin oleh Amien Rais. Rapat pun memanas dengan desakan agar seluruh massa segera menggabungkan diri dengan demonstrasi tersebut. Tapi perdebatan pun berhasil diakhiri dengan komitmen untuk tetap di gedung DPR/MPR RI dengan argumen bila terjadi apa-apa dengan rencana demonstrasi yang relatif riskan tersebut, akumulasi massa di gedung DPR/MPR RI bisa menjadi pertahanan terakhir dalam menjaga momentum reformasi ini. Rapat koordinasi ini pun berhasil menyepakati mekanisme dan kontribusi masing-masing kelompok massa dalam langkah pengamanan aksi dan prosedur pengungsian massa bila terjadi penyerbuan.

Rapat pun menyepakati sebuah langkah keras untuk melakukan prosesi sidang rakyat yang diformat seolah-olah sebagai parlemen alternatif, dengan menggunakan ruang sidang paripurna DPR/MPR RI sebagai tempat sidang.

Mulanya, ruang sidang paripurna diusulkan untuk didobrak tanpa persetujuan sekretariat atau pimpinan DPR/MPR RI. Tapi kemudian, dengan niat menghindarkan aksi dari citra anarkis, rapat koordinasi menyepakati bahwa usaha penggunaan ruang sidang paripurna akan dimulai dengan koordinasi damai antara koordinator jenderal dengan sekretariat DPR/MPR RI. Dan bila ditolak, baru kemudian dilakukan usaha pendobrakan secara paksa terhadap ruang sidang.

Bagaimanapun, malam tanggal 19 Mei 1998 berakhir tenang, walau sempat terjadi sedikit kekacauan ketika mendadak ada teriakan penyerbuan (menandakan tentara menyerbu) yang sempat menggegerkan seluruh massa yang ada di gedung DPR/MPR RI (massa sempat berlari tunggang-langgang kesana kemari), sebelum akhirnya ditenangkan dengan penjelasan bahwa teriakan tersebut merupakan informasi yang salah.

Rabu, 20 Mei 1998

Sebagaimana amanat rapat di malam sebelumnya, Heru bersama Ahmad (salah satu tim aksi) pun menemui personil sekretariat DPR/MPR RI. Tidak berani memutuskan untuk memberi ijin penggunaan ruang sidang paripurna, personil sekretariat ini pun mengantarkan Heru dan tim untuk menemui Syarwan Hamid, Wakil Ketua DPR/MPR RI saat itu. Ketika mendengar rencana prosesi itu, Syarwan Hamid hanya berkomentar bahwa sebaiknya prosesi itu ditunda karena hari itu (20 Mei 1998), Soeharto akan segera mengumumkan pengunduran dirinya.

Kaget mendengar berita tersebut, akhirnya diputuskan bahwa untuk sementara waktu prosesi ditunda sambil menunggu kebenaran informasi tersebut.

Pada tanggal 20 Mei tersebut, aksi berjalan meriah. Banyak tokoh nasional yang hadir di gedung DPR/MPR RI dan bergiliran memberikan orasi ke massa. Kesemarakan ini pun makin besar, apalagi setelah dipastikan, demonstrasi di lapangan Monas dibatalkan.

Di saat yang sama, koordinasi kembali kacau. Sebagai contoh, sekelompok mahasiswa tanpa koordinasi merobek-robek kertas (disinyalemen kertas tersebut arsip sekretariat DPR/MPR RI) dan melemparkannya ke arah massa. Sementara, di lain sisi, ratusan mahasiswa mulai duduk-duduk dan berdiri di atas kubah gedung paripurna DPR/MPR RI. Beberapa wartawan sempat memperingatkan stuktur kubah yang rapuh, dan rapat koordinasi pun sebetulnya sempat memutuskan untuk melarang mahasiswa menaiki kubah tersebut. Tapi, setelah mencoba memperingatkan mahasiswa-mahasiswa yang ada di atas kubah tanpa hasil, akhirnya diputuskan membiarkan penggunaan kubah dengan menunjuk penanggung jawab yang menjaga kemungkinan terburuk. Puncak kekacauan, adalah perebutan diri koordinator jenderal di antara kelompok-kelompok massa yang hadir kemudian.

Di lain sisi, sampai sore tetap tidak ada tanda-tanda bahwa Soeharto akan mengundurkan diri dari jabatan presiden. Akibatnya, rapat koordinasi mempertanyakan kebenaran informasi yang diterima oleh Heru, apalagi untuk alasan itu rencana prosesi sidang rakyat ditunda. Akhirnya diputuskan untuk menunggu sampai besok, bila belum ada tanda-tanda pengunduran diri Soeharto, maka prosesi sidang rakyat dan penggunaan ruang sidang paripurna akan dilaksanakan, dengan cara damai atau paksa.

Malam harinya, suasana kembali tenang. Selain sempat diidentifikasi sekelompok prajurit nontentara jaga DPR/MPR RI mengendap-endap dan seorang perwira di kawal 2 prajurit membangunkan para tentara jaga (termasuk komandan pengamanan gedung DPR/MPR RI yang tampak tergopoh-gopoh segera melapor pada perwira ini), pada umumnya malam bisa berjalan tenang.

Kamis, 21 Mei 1998

Pagi itu, kelihatannya beberapa kelompok massa ada yang sudah pulang, sehingga massa di gedung DPR/MPR RI relatif lebih sedikit. Penanggung jawab yang ditunjuk untuk mempersiapkan prosesi sidang rakyat tampak mulai mengumpulkan orang untuk persiapan, sebelum kemudian beberapa wartawan tergopoh-gopoh mengabarkan bahwa akan ada pengumuman penting dari istana negara.

Akhirnya, pagi itu Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya. Sesuai komitmen awal FKSMJ saat memulai aksi, maka pengunduran diri Soeharto adalah tanda berakhirnya aksi. Oleh karenanya, beberapa saat setelah pengumuman pengunduran diri Soeharto, Heru pun mengumumkan berakhirnya aksi pendudukan gedung DPR/MPR RI sekaligus mengumumkan bahwa aksi pendudukan berubah menjadi pesta rakyat.

Setelah pengumuman pengakhiran aksi, terjadi perdebatan di antara struktur operasi yang dibuat untuk mengawal proses pendudukan ini. Umumnya anggota struktur merasa bahwa aksi seharusnya belum berakhir, dengan argumen Habibie pengganti Soeharto belum jelas komitmen reformasinya. Di ujung perdebatan, Heru menegaskan tidak akan bergabung dalam aksi lanjutan dan mempersilahkan rapat memilih koordinator jenderal baru. Akhirnya, rapat memilih Ahmad dari Universitas Padjadjaran (Unpad) untuk menjadi koordinator jenderal dan mengubah struktur operasi menjadi sebuah kelompok massa resmi.

Malamnya, massa yang tergabung dengan FKSMJ sebagian besar memutuskan pulang.

Referensi

Pengantar Redaksi: tulisan ini adalah tulisan pertama dari seri tulisan Mengenang Mei 1998 yang dimuat Jakartabeat.net mulai hari ini. Tulisan Adian Napitupulu ini sendiri terbagi dalam dua tulisan.




Oleh Adian Napitupulu, mantan aktivis Forum Kota


Huh! Kalau mengingat-ingat bagaimana gagasan menduduki DPR/MPR, kadang kesal dan gemas. Jika saja hal itu dilakukan lebih terencana, tentu aku boleh berharap ada sesuatu yang lebih yang bisa kami lakukan. Hmm, mungkin saja kemudian sejarah tidak terjadi seperti hari ini. Tapi, sudahlah. Tak usah disesali.

Memang tidak bisa dipungkiri, ide menduduki gedung DPR/MPR yang aku tawarkan ke teman-teman Forum Kota (Forkot) tak mudah disetujui. Bagiku, perdebatan terhadap ide-ide tentu sah-sah saja. Cuma, yang menyebalkan adalah ide ditolak dan disanggah tanpa alasan yang jelas selain ketakutan, seperti selalu ditebarkan Syafik (aktivis Forkot lain) saat itu, “Elu mau terjadi Tiananmen?” Lebih menyebalkan lagi ketika penolakan itu tidak diikuti tawaran lain yang lebih realistis dan efektif.

Padahal, aku berpikir sangat simpel saat itu. Pertama, menuju akhir Desember 1997, gerakan terus membesar dan semakin massif di berbagai kota. Sementara para elite politik tampak sangat plin-plan. Sebagai contoh, ketika aksi besar di UGM dan ada bendera Bintang Kejora berkibar, Gus Dur bilang aksi mahasiswa sudah tidak murni dan sebaiknya dihentikan. Huh! Memangnya perangkat organisasi aksi terdiri dari tentara yang terorganisir, berdisiplin, dan taat komando. Gus Dur seharusnya tahu bahwa aksi-aksi itu digalang komite-komite yang sangat cair, rentan konflik, dan bertujuan awal untuk memperbesar barisan perlawanan meski dengan konsekuensi kontrol terhadap massa cair yang jadi peserta menjadi sangat lemah. Dalam proses pembesaran gerakan, hal itu bisa dimaklumi apalagi dengan minimnya pengalaman aksi massa dalam jumlah besar karena depolitisasi kampus yang terjadi 32 tahun di bawah rezim Soeharto.

Nah, bayangkan, bagaimana kemudian kami harus jungkir-balik untuk terus menyusun, mengkonsolidasi kampus, massa, dan aksi-aksi sementara para elit sesuka-sukanya berbicara dan tidak mau tahu bahwa pernyataan-pernyataan itu sangat membuat kami harus semakin jungkir-balik dan terpaksa berakrobat sebisa mungkin agar pernyataan-pernyataan itu tidak memporakporandakan barisan yang sedang digalang.

Kedua, aku berpikir bahwa antara Januari 1998 sampai April 1998, posisi Soeharto sedang menuju puncak kritis: ada tekanan internasional, ada kesulitan ekonomi, konflik di elite yang berkepanjangan ,dan gerakan aksi massa yang terus bergulir membesar. Kendati demikian, kami tidak bisa menganggap remeh Soeharto dan think tank-nya. Mereka punya pengalaman 32 tahun mengelola dan merekayasa keadaan. Mereka punya organisasi, mereka punya kontrol kuat terhadap media, mereka punya uang tak terhingga. Jadi kalau tidak segera dirumuskan pukulan-pukulan bernilai strategis, mungkin dalam beberapa bulan kemudian keadaan akan kembali mampu dikontrol oleh Soeharto. Wah, kalau itu terjadi, mau lari ke mana kami? Aktivitas gerakan sudah sangat terang-terangan.

Bagi para mahasiswa yang baru ikut-ikutan aksi pada 1997, tentu gampang untuk lari bersembunyi atau menyangkal ketika ditangkap dan di interogasi. Elite politik juga tentu dengan mudah didiamkan karena memang watak mereka yang cenderung pragmatis dan oportunis. Tapi, tidak demikian bagi aku yang sejak 1992 sudah menggalang aksi buruh di PT Total Group di Marunda dan terlibat banyak demonstrasi, rapat-rapat anti -Soeharto, tragedi berdarah 27 Juli, dan banyak lagi.

Begitu juga dengan beberapa kawan lain yang punya sejarah perlawanan cukup panjang. Tentu tidak ada pilihan selain melawan sampai habis-habisan karena sudah tidak mungkin lagi bersembunyi, lari atau menyangkal. Nah, kalau keadaan kemudian dapat dikontrol lagi oleh Soeharto, jangan anggap remeh. Ingat, Soeharto pernah membantai sekitar dua juta manusia di 1965. Jadi, tentu bukan hal berat jika kemudian untuk tumbal kekuasaannya, ia membantai lagi 2.000 atau 3.000 mahasiswa. Lalu jika ketakutan itu terjadi, bagaimana rasa bersalahku pada kawan-kawan, orangtua mereka, dan pada sejarah. Jika itu terjadi, mungkin aku tidak akan pernah memaafkan diriku.

Kami yakin bahwa sikap plin-plan itu mendominasi para elite karena dua hal. Pertama mereka juga bagian dari Orde Baru. Kedua, mereka tidak percaya kekuatan mahasiswa bisa membesar dan berujung pada jatuhnya Soeharto. Pada akhirnya, jika kekuatan itu sudah bergerak, mau tidak mau, para elite plin-plan itu juga akan berubah sikap atau mereka akan diposisikan secara tegas oleh para mahasiswa sebagai bagian Orde Baru. Kami sadar, jika aksi kami hanya puluhan atau ratusan, para elite itu akan tetap mendukung Soeharto. Jika jumlah kami sudah ribuan orang, elite-elite itu akan memilih diam. Nah, kalau aksi kami sudah mencapai belasan dan puluhan ribu orang, para elite itu akan bergabung. Terakhir jika massa sudah melampaui 100.000 orang, tanpa ada yang meminta, para elite itu akan menempatkan diri seolah-olah sebagai pemimpin kami.


Memilih Mati dalam Perlawanan


Bagaimana pun sikap para elite itu, mau tidak mau kami harus merumuskan sesuatu. Mungkin itu bukan yang paling benar, tapi daripada berjalan dalam kebingungan, sesuatu mesti dirumuskan. Dalam satu rapat Forkot, aku mengatakan, “Kita harus menduduki DPR/MPR dan berikutnya Istana!”

Sebagian simpul tercengang, sebagian bertanya, “Kenapa DPR/MPR?”

Aku jelaskan bahwa kultur politik dominan di Indonesia adalah kultur yang penuh simbol-simbol. Raja disimbolkan dengan keris, tombak atau senjata pusaka lain hingga perebutan kekuasaan selalu diawali dengan perebutan simbol-simbol itu. Nah, DPR/MPR adalah simbol kedaulatan rakyat, sedangkan Istana adalah simbol kekuasaaan. Jadi kalau simbol itu bisa direbut lalu diduduki, legitimasi Soeharto melalui Pemilu 1997 bisa hancur, setidaknya berkurang. Jika DPR/MPR sudah diduduki, berikutnya harus mampu merebut simbol kekuasaan, simbol puncak sang raja dan itu adalah Istana Negara!

Semua argumentasi itu sudah aku sampaikan berkali-kali sampai bibirku pegal-pegal, tapi selalu ditolak beberapa kawan. Aku tanya pada mereka yang menolak, “Oke, apa tawaran elu?”

Mereka akan menjawab, “Ya, kita pikirkan.”

Lho, memangnya kita siapa? Memangnya kita punya kekuatan untuk mengatakan pada keadaan, “Keadaan, tolong tunggu. Jangan normal dulu, kami belum bisa rumuskan langkah, masih mikir, nih!” Atau, siapa yang sanggup dari kita untuk mengatakan pada rakyat dengan muka tegak, “Rakyat, sabar ya, bertahanlah dalam kelaparan kalian untuk beberapa waktu, karena kami di sini sedang bingung dan terus-menerus rapat entah sampai kapan.” Kalau tiba-tiba Amerika melakukan intervensi ekonomi melalui dolar atau apapun karena investasi mereka terganggu ketika keadaan terus berlarut-larut, lalu keadaan kembali mampu dikontrol Soeharto, apa yang bisa kami buat?! Hmm, paling-paling saling menyalahkan lalu kabur berpencaran.

Perdebatan tentang ide itu mendominasi hampir tiap rapat forum. Aku tegas bilang bahwa yang terbaik adalah 19 Mei! Kenapa 19 Mei? Aku juga tidak bisa jawab. Tanggal itu muncul ketika kawan-kawan mendesak menanyakan, “Memangnya, menurut elu, kapan pendudukan itu?” Daripada tidak punya jawaban, aku jawab saja dengan percaya diri dan tegas: 19 Mei! He..he..he..

Dalam salah satu Forum Forkot di sebuah kampus di Rawamangun, kembali perdebatan itu berulang. Aku dan beberapa kawan tetap bertahan dengan ide menduduki DPR/MPR. Mungkin karena gayaku yang slengean, jugul, dan kata banyak orang selalu mau menang sendiri, sebagian kawan-kawan yang memang menolak ide itu semakin kesal. Raymond, mahasiswa ISTN , tidak bisa mengontrol kekesalannya. Ia berdiri dan dengan gemas mencekik leherku sambil berkata “Lu gila, ya!”

Aku kaget. Sambil cengar-cengir, aku berkata, “Mond, kita tidak punya pilihan, melawan kita mati, diam juga mati. Aku memilih mati dalam perlawanan, lebih terhormat! Elu pilih apa?”

Sikap Raymond itu membuat kawan-kawanku dari UKI bereaksi keras. Wah, hampir saja dua kampus berkelahi. Aku tahu apa yang dilakukan Raymond tidak sungguh-sungguh..he..he.. Aku sudah mengenal dia selama bertahun-tahun, tapi kawan-kawanku tidak tahu itu.

Pertemuan berikut di kampus UKI Cawang disepakati untuk membuat Tim 11 untuk membahas ide pendudukan DPR/MPR. Tim lalu diminta oleh Forum membuat rapat tersendiri di lantai atas gedung Fakultas Teknik UKI. Perdebatan berlangsung dari siang sampai magrib, dan hasilnya terpaksa di-voting, 6:4, enam menolak, empat setuju, satu abstain. Huh, ide aku kalah! Beberapa kawan coba menghibur aku, “Sabar, Yan, nanti kita perjuangkan lagi.”

Aksi-aksi mahasiswa terus berlanjut, aku dan beberapa kawan dari kampus-kampus yang sepakat ide pendudukan DPR/MPR terus bergerilya menyosialisasikan dan meyakinkan ide itu. Ah, mudah-mudahan saja situasi ke depan memudahkan untuk kami meyakinkan kawan-kawan yang menolak. Rapat-rapat berikutnya sudah hampir tidak pernah membicarakan ide itu sampai ketika terjadi aksi serentak di 6 titik di Jakarta pada 2 Mei 1998.

Aksi di kampus IKIP Jakarta menjadi aksi terbesar dengan korban terbanyak, peringkat kedua dipegang kampus ABA-ABI. Represifnya aparat dan banyaknya korban membuat konstelasi forum dalam pertentangan ide pendudukan DPR/MPR sangat terasa. Kampus IKIP, dengan Abdullah sebagai simpul, yang semula menolak ide itu kemudian berubah drastis, berbalik mendukung walau tidak ada pernyataan tegas melalui Forum. Tetapi pernyataan-pernyataannya dalam Forum Forkot semakin progresif. Begitu juga Lutfi sebagai simpul ABA-ABI. Sebelumnya mereka setengah setuju, setengah menolak, sekarang semua setuju.

Ide itu semakin diterima ketika pada hari-hari berikutnya represifitas aparat terhadap gerakan mahasiswa semakin meningkat. Walaupun persetujuan terhadap ide itu tidak pernah disepakati dalam forum tapi aura persetujuan sangat terasa (bersambung ke bagian 2)


Link ke tulisan Adian Napitupul bagian 2:

http://www.jakartabeat.net/humaniora/kanal-musik/politika/334-mei-98-merebut-rumah-rakyat-bagian-2.html

Link ke tulisan pengantar edisi khusus Mengenang Mei 1998:

http://www.jakartabeat.net/humaniora/kanal-musik/politika/333-berbagi-kenangan-tentang-mei-1998.html


Sejarah Bekerja dengan Cara Tidak Terduga


Ketika terjadi penembakan mahasiswa di Universitas Trisakti, lalu terjadi kerusuhan di berbagai wilayah Jakarta, aku dan kawan-kawan yang seide semakin gencar menyosialisasikan dari simpul ke simpul. Persetujuan melalui Forum tetap tidak mungkin dilakukan karena akan memicu eksistensi simpul-simpul yang sejak awal menolak keras. Tapi, aku sangat yakin, keadaan beberapa hari ke depan akan berpihak pada ide itu.

Pada 15 atau 16 Mei, ada Rapat Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) di IKIP Rawamangun yang mengangkat Henry Basel menjadi koordinator FKSMJ. Dalam pertemuan itu mereka juga membahas ide pendudukan DPR/MPR yang konon akan dilakukan Forkot pada 19 Mei. Rupanya kawan-kawan FKSMJ tidak tahu bahwa ide itu sudah ditolak Forum Forkot. Hasil Rapat FKSMJ saat itu salah satunya memutuskan untuk mengirim delegasi ke DPR/MPR satu hari sebelum 19 Mei. Informasi ini disampaikan oleh simpul Universitas Mpu Tantular, Raya dan kawan-kawan, beberapa jam setelah rapat FKSMJ selesai.


Ops… ini baru seru! Sejarah bekerja dengan cara tidak terduga! Berbekal informasi itu, aku sebagai simpul UKI dan kebetulan Posko Forkot berada di kampus UKI Cawang, mengundang simpul kampus-kampus lain untuk segera membuat pertemuan malam itu juga. Saat itu, dalam pikiran para simpul Forkot, memang ada rivalitas tak terlihat antara FKSMJ dan Forkot. Jadi ketika informasi itu disampaikan di Forum Forkot, disepakati untuk ke DPR juga pada tanggal yang sama tapi datang lebih pagi. Kampus-kampus yang semula menolak ide menduduki DPR/MPR pada saat itu setuju untuk datang ke DPR tapi tetap tidak ada pembicaraan untuk menduduki.

Hasil gerilya ide dan didukung situasi yang memacu semangat dan kemarahan para simpul menunjukkan bahwa ide pendudukan DPR/MPR diterima tapi tidak perlu melalui kesepakatan untuk menghindari perdebatan, apalagi situasi di luar memaksa kami bergerak lebih cepat dan mengurangi diskusi-diskusi. Berikutnya disepakati setiap kampus mengirimkan minimal 10 orang pelopor yang paling nekat ke Gedung DPR/MPR pada 18 Mei pukul 09.00. Ada catatan, jika sampai pukul 11.00 kondisi kondusif untuk mobilisasi lebih besar, setiap kampus harus segera memobilisasi massa masing-masing.

Pada 17 Mei malam, aku dan kawan-kawan berdiskusi kecil untuk coba menghitung segala kemungkinan esok hari. Rapat internal KM UKI menyepakati tidak ada pembatasan mobilisasi dari basis UKI untuk datang ke DPR/MPR pada 18 Mei. Dari UKI, kami hitung, besok pagi sudah siap minimal 70 orang untuk jadi pelopor. Wah, deg..deg..syurrr, nih...

Detik-detik menegangkan terjadi juga. Pagi itu, sekitar pukul 08.45 WIB, aku sampai di depan gerbang DPR/MPR dengan beberapa kawan. Di pinggir jalan tampak kawan-kawan dari berbagai kampus dalam kelompok-kelompok kecil yang terpisah-pisah seperti orang-orang yang menunggu angkutan. Kalau dilihat sepintas memang seperti tidak ada apa-apa, tetapi jika diperhatikan wajah mereka satu per satu, tidak bisa dipungkiri bahwa kami semua tegang. Bagaimana tidak! Jakarta saat itu benar-benar seperti lapangan tempat gelar pasukan. Di mana-mana ada tentara berseragam dan bersenjata lengkap. Sebagian bahkan tidak menampakkan tanda pangkat, kesatuan, nama, dan atribut-atribut yang dapat diidentifikasi karena tertutup mantel ponco bercorak loreng kecokelatan.

Sekitar pukul 09.00, perangkat aksi segera mengumpulkan kelompok-kelompok kecil itu menjadi sebuah kerumunan besar, sekitar 800-an mahasiswa. Beberapa mahasiswa kemudian membuka tas dan mengambil jaket almamater serta mengenakannya. Mobil yang melintas serta-merta melambatkan laju, membuka kaca, dan melambaikan tangan sembari berteriak “Hidup Mahasiswa!” Supir bis, truk, dan taksi menyampaikan dukungan dengan membunyikan klakson. Kondektur dan penumpang bis mengacungkan jempol atau sekadar melambaikan tangan. Ah, rasanya bangga sekali ketika melihat dukungan rakyat yang luar biasa.

Semakin siang, kerumunan semakin membesar. Sekitar pukul 12.00 WIB, jumlah massa sudah mencapai sekitar 3000-an orang dan terlihat akan semakin bertambah banyak, karena setiap bis yang melintas bisa dipastikan berhenti dan menurunkan 4 atau 5 mahasiswa yang segera bergabung. Barisan semakin besar dari menit ke menit. Luar biasa, dari perkiraan awal sekitar 600 orang, ternyata kini membengkak menjadi ribuan orang. Para simpul kampus terus sibuk berkomunikasi dengan basis-basisnya untuk terus memobilisasi massa. Massa terlihat semakin ramai karena puluhan bahkan mungkin ratusan wartawan dalam dan luar negeri juga berada di sekitar kerumunan massa.

Sekitar pukul 13.00 WIB aku melakukan lobi dengan tentara yang pangkatnya paling tinggi di lapangan—seingatku, namanya Bambang. Negosiasi berjalan alot. Tentara tetap tidak mengijinkan kami masuk. Orasi dari tengah-tengah massa juga terus dilakukan bergantian dengan orator dari berbagai kampus. Setelah negosiasi sepertinya tidak menunjukkan titik temu, aku mulai bersikap lebih nekat. Aku berkata pada Bambang, “Begini, Pak, massa akan terus bertambah setiap detik. Bapak punya tiga pilihan. Pertama, membiarkan massa tetap berada di luar gedung dan tidak akan mampu mengontrol luapan yang terus bertambah. Kedua, membubarkan massa dengan paksa dan itu akan berujung pada benturan bahkan mungkin kerusuhan. Ketiga, membuka pintu gerbang dan membiarkan massa masuk.”

Bambang kemudian minta waktu lima menit untuk menyampaikan permintaan kami ke komandannya. Lima menit kemudian ia menghampiriku dan menyampaikan bahwa massa mahasiswa bisa masuk tapi gerbang hanya akan dibuka selebar satu meter. Gerbang dibuka..he he..cuma satu meter. Aku kemudian mengambil posisi menyeleksi massa yang masuk. Setelah sekitar dua atau tiga kampus masuk, di tengah-tengah massa ada puluhan orang yang mengikat pangkal lengan atas dengan kain segitiga. Wah, apa-apaan itu? Dari mana mereka? Kami tidak punya kesepakatan mengunakan atribut atau simbol-simbol, terkecuali jaket almamater. Kekhawatiranku terhadap infiltrasi semakin tinggi ketika jumlah massa yang mengenakan atribut segitiga di lengan kanan semakin besar, mungkin berjumlah 100 sampai 200 orang. Akhirnya, aku meminta perangkat aksi untuk menahan massa dengan atribut itu agar tidak masuk. Tidak lama kemudian salah seorang mahasiswa menghampiri aku dan membawa beberapa kain segitiga itu. Dan, di kain tersebut tertulis “KAMMI.” Oh, ternyata mereka dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia.

Tidak berapa lama kemudian beberapa mahasiswa dari KAMMI menghampiriku dan melakukan negosiasi agar mereka juga boleh masuk ke gedung DPR. Setelah berdebat cukup lama, akhirnya diambil dua kesepakatan. Pertama, semua mahasiswa KAMMI melepaskan dan mengumpulkan atribut kain segitiga itu dan menyerahkan kepada para teknis lapangan (teklap) Forkot. Kedua, seluruh mahasiswa KAMMI yang masuk harus ikut dalam komando perangkat aksi Forkot.

Situasi begitu tegang. Barisan harus disolidkan, jangan sampai ada agenda tersembunyi yang berbeda dari barisan massa. Jangan sampai ada manuver-manuver yang membahayakan massa. Ribuan massa mulai masuk ke halaman gedung DPR/MPR. Di antara aliran massa itu ada sekitar 60 mahasiswa berjaket kuning yang memisahkan diri dari barisan dan membuat iring-iringan tersendiri dan berjalan ke arah gedung DPR/MPR. Apa yang sering dikatakan para aktivis senior bahwa UI selalu saja menjadi kolaborator elite sepertinya memang benar. Memang kalau kita coba bedah sejarah, mulai dari 1966, 1974, dan seterusnya, gerakan mahasiswa UI tidak pernah menjadi gerakan mahasiswa independen. UI selalu menjadi “kaki” dari elite yang bertikai.

Melihat manuver mahasiswa UI yang menumpang masuk DPR via barisan Forkot dan memisahkan diri setelah berhasil masuk, sebagian kawan dari beberapa kampus antara lain Atmajaya, ISTN, IKIP, IAIN, dan UKI terlihat emosi lalu mengejar mahasiswa-mahasiswa UI itu. Dalam hitungan 3–5 menit terjadi saling kejar dan sempat terlontar beberapa botol air mineral ke arah mahasiswa UI. Mahasiswa UI kemudian berhamburan secepatnya ke arah gedung DPR/MPR. Aksi kejar-mengejar berhenti setelah para teklap menghadang massa yang mengejar dan meminta agar kembali ke barisan.


Spanduk Naik, Senjata Dikokang

Massa berhasil dirapatkan kembali dalam barisan yang solid dengan teklap yang berpegangan tangan mengelilingi barisan. Massa kemudian berhenti di samping depan-bawah undakan tangga gedung kubah. Orasi dan lagu serta puisi terus dibawakan bergantian.

Lalu, beberapa mahasiswa terlihat keluar dari barisan dan menaikkan spanduk bertuliskan: “TURUNKAN SOEHARTO - BUBARKAN DPR/MPR.” Beberapa detik setelah spanduk itu naik dan tulisannya terlihat jelas, ratusan aparat militer bersenjata lengkap yang mengepung massa serentak mengokang senjata. Bunyi kokangan senjata serentak itu membuat suasana hening seketika. Ratusan senjata terkokang itu kemudian diarahkan ke massa. Hampir bersamaan, puluhan wartawan yang berada di sekitar barisan terlihat berlarian ke arah tangga--sepertinya mereka juga tidak mau menjadi korban ketika ada random shooting dari tentara.

Teklap di sekeliling barisan segera berpegangan tangan, sementara sebagian massa memilih tiarap, sebagian lagi tetap berdiri. Tapi, luar biasa, tidak satu pun massa yang lari dari barisan. Aku seperti bisa mendengar dengan jelas detak jantungku sendiri. Salah seorang aktivis Forkot, Iwan Sumule, kemudian menghampiri aku dan berbisik, “Yan, magazinnya peluru tajam. Bagaimana menurut elu?”


Aku menjawab, “Dari mana elu tahu?”


Masih setengah berbisik, Iwan bilang, “Di magazinnya ada strip merah.”


Untuk beberapa saat aku terdiam, kemudian aku berujar kepada Iwan, “Kalau ini takdir, ayo kita jalani!”


Setelah itu aku berjalan berkeliling massa sambil berorasi “Jangan takut kawan-kawan, apa yang kita lakukan adalah benar. Kalau untuk republik, untuk rakyat, kita harus mati, itu akan menjadi kematian yang terindah!” Aku mengucapkan itu sambil berkeliling dan berebutan suara dengan komando di depan yang terus memimpin dinamisasi massa agar tidak terjebak dalam ketakutan.

Sementara itu, tim lobi bernegosiasi dengan pihak tentara. Setelah melakukan negosiasi yang cukup alot akhirnya disepakati bahwa tentara akan menurunkan senjata setelah kawan-kawan menurunkan spanduk yang terbentang di atas jejeran tiang bendera. Dalam beberapa menit kemudian ketika spanduk diturunkan dan diikuti tentara yang menurunkan senjata, aku mendengar ratusan desahan nafas lega…

Para simpul kemudian berkumpul di tangga gedung kubah untuk melakukan konfrensi pers. Saat konferensi pers sedang berlangsung, kembali para wartawan berlarian ke arah gedung DPR/MPR. Aku minta kawan-kawan untuk segera cari tahu ada apa. Seketika aku langsung berpikir, “Jangan-jangan…” Tidak sampai dua menit, kawan-kawan mengabari aku dan mengatakan bahwa Amien Rais akan keluar dari gedung DPR/MPR dan menemui mahasiswa. Tidak lama kemudian, seseorang yang mengaku utusan Amien Rais menemui kami dan menyampaikan pesan bahwa Amien Rais mau berorasi di depan massa. Aku segera berembuk dengan kawan-kawan simpul dan kami semua sepakat untuk menolak Amien Rais berorasi di depan massa. Kesepakatan itu kami sampaikan pada sang utusan.

Sebelum pergi kembali ke gedung, utusan Amien Rais sempat bertanya dalam kebingungan, “Lho memangnya mahasiswa yang di dalam dan yang di luar itu berbeda, ya?” Beberapa kawan simpul coba menjelaskan bahwa dari Forkot tidak ada yang ke dalam gedung DPR/MPR. Masih dengan wajah bingung, utusan Amien Rais kemudian bergegas kembali ke gedung DPR/MPR. Berikutnya kawan-kawan simpul kembali berbaur dalam barisan.

Beberapa menit setelah utusan Amien Rais pergi, aku mendengar suara riuh dari arah gedung DPR/MPR yang diikuti dengan beberapa wartawan yang berlari-lari ke arah gedung. Tidak beberapa lama kemudian tampak puluhan orang berjaket kuning yang bercampur wartawan berkerumun sembari berjalan… ternyata di tengah-tengah wartawan itu ada Amien Rais. Amien Rais kemudian keluar dari kerumunan dan menghadap ke barisan massa Forkot sambil mengangkat kedua tangannya. Massa serentak melihat ke arah Amien Rais dan saling bisik, “Itu siapa?”, “Dia mau apa?”

Lalu, Amien Rais naik ke atap mobil Toyota Kijang. Di atas mobil itu, Amien Rais sambil menghadap ke barisan Forkot, kembali mengangkat kedua tangannya. Saat itu puluhan kilatan lampu kamera terlihat menyala bergantian. Entah komando dari mana, puluhan mahasiswa Forkot keluar dari barisan dan berlarian ke arah Amien Rais, tidak berapa lama kemudian, beberapa botol air mineral terlihat berterbangan ke arah Amien Rais. Tidak sampai dua menit kemudian Amien Rais sudah turun dan kembali ke dalam gedung DPR/MPR sebelum sempat berbicara sepatah kata pun.

Setelah kericuhan itu reda, aku mencoba bicara dengan beberapa simpul kampus yang mahasiswanya tadi berlarian ke arah Amien Rais. Beberapa simpul menggerutu, “Enak aja, memangnya Amien Rais itu siapa?” Ada juga yang mengatakan, “Dia juga kadernya Soeharto.” Ada juga simpul yang mengatakan, “Kita yang terancam nyawa, mahasiswa UI yang negoisiasi!” Beberapa simpul yang juga masih emosional mengatakan, “Kita yang mengumpulkan kawan-kawan, kok Amien yang mau untung!”

Aku tidak berkomentar apa-apa tapi aku sangat mengerti emosi kawan-kawan. Perjalanan panjang dan keras yang dibayang-bayangi saat menggalang kampus demi kampus berbulan-bulan dan bentrokan berkali-kali di Universitas Sahid, ABA-ABI, dan IKIP yang memakan korban ratusan mahasiswa terluka tentu membuat kawan-kawan seperti singa lapar yang gampang marah. Sensitif dan emosional.

Seluruh teklap bekerja keras dan sungguh-sungguh. Massa sangat tertib dan bersemangat. Orasi diikuti dengan tekun, yel-yel diteriakkan serentak, lagu dinyanyikan dengan keras dan berbarengan. Harus diakui, situasi represif dan aksi yang intensif dengan bentrokan yang berkali-kali membuat para teklap menjadi ekstraketat dan waspada terhadap segala kemungkinan. Beberapa tokoh melalui utusan utusan masing-masing meminta waktu untuk mengisi orasi. Tapi tidak satu pun yang diterima. Kekesalan kawan-kawan selama ini pada para elite yang plin-plan dan cari aman membuat kawan-kawan sangat alergi ketika ada elite politik coba “mendekat.”

Bisa dipahami memang. Kawan-kawan merasa sendirian, tidak ada dukungan yang jelas dari para elite politik. Rata-rata simpati datang dari para dosen, alumni, para aktivis senior, serta segelintir ilmuwan. Tentu situasi itu berbeda jauh dengan gerakan 1966 yang didukung penuh militer, khususnya Angkatan Darat. Bahkan, menurut banyak literatur, dukungan itu tidak hanya berupa pernyataan politik tapi mulai dari penggunaan truk-truk tentara, perlindungan, makanan, uang, dan sebagainya. Bandingkan dengan aksi 1998: sampai kami masuk ke DPR di hari itu, tidak ada satu gelas air mineral yang diberikan pada kami. ****


Link ke tulisan Adian Napitupulu bagian 1:

http://www.jakartabeat.net/humaniora/kanal-musik/politika/332-mei-98-merebut-rumah-rakyat-bagian-1.html