Lompat ke isi

Pasang Surut Dinasti Mataram: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tjmoel (bicara | kontrib)
Rangga Surya (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
{{gabung ke|Kesultanan Mataram}}

'''Pasang surut dinasti Mataran''' adalah benang merah yang mencermati gejolak antar waris tahta terutama pada perebutan tahta III yang pada akhirnya melahirkan dinasti dinasti yang baru sebagai kelanjutan dari dinasti Mataram. Tampilnya dinasti baru sebagai kelanjutan dengan para cikal bakal mencatatkan sejarah tersendiri sebagai suatu strategi bangsa Indonesia di wilayah jawa menghadapi hegemoni kekuasaan Belanda sekaligus benteng budaya dengan corak dasar sama (Jawa) tetapi mengembangkan dengan gaya/style berbeda
'''Pasang surut dinasti Mataran''' adalah benang merah yang mencermati gejolak antar waris tahta terutama pada perebutan tahta III yang pada akhirnya melahirkan dinasti dinasti yang baru sebagai kelanjutan dari dinasti Mataram. Tampilnya dinasti baru sebagai kelanjutan dengan para cikal bakal mencatatkan sejarah tersendiri sebagai suatu strategi bangsa Indonesia di wilayah jawa menghadapi hegemoni kekuasaan Belanda sekaligus benteng budaya dengan corak dasar sama (Jawa) tetapi mengembangkan dengan gaya/style berbeda


Baris 219: Baris 217:
* Wikipwdia ; http://wiki-indonesia.club/wiki/Warisan_Tradisi_Mataram
* Wikipwdia ; http://wiki-indonesia.club/wiki/Warisan_Tradisi_Mataram


[[Kategori:Kesultanan Mataram]]
[[Kategori:Mangkunegaran]]
[[Kategori:Mangkunegaran]]

Revisi per 24 Maret 2011 21.23

Pasang surut dinasti Mataran adalah benang merah yang mencermati gejolak antar waris tahta terutama pada perebutan tahta III yang pada akhirnya melahirkan dinasti dinasti yang baru sebagai kelanjutan dari dinasti Mataram. Tampilnya dinasti baru sebagai kelanjutan dengan para cikal bakal mencatatkan sejarah tersendiri sebagai suatu strategi bangsa Indonesia di wilayah jawa menghadapi hegemoni kekuasaan Belanda sekaligus benteng budaya dengan corak dasar sama (Jawa) tetapi mengembangkan dengan gaya/style berbeda

Perebutan Kekuasaan di Mataram

Menelusur perebutan kekuasaan di Mataram menjadi sangat unik ketika dua kubu yang semula bermusuhan dan berhadapan di kemudian hari bergandeng tangan dengan segala romantisme waktu.Antara kekuasaan dan kebudayaan yang didalamnya memuat unsur unsur religi dalam kekausaan Mataram disatukan dan penguasa tampil sebagai personifikasi yang diagungkan dan dijunjung tinggi.

1. Sultan Agung

Sultan Agung tampil sebagai penguasa Mataram menggantikan adiknya RM.Martapura yang hanya sebentar duduk di kursi tahta Mataram.Selanjutnya tampil RM.Rangsang menempati tempat yang ditinggalkan oleh adiknya.Ceritera babad mengisahkan dengan begitu romantismenya dan menutup kesan telah terjadi penggeseran tampuk kekuasaan. RM. Martapura menjadi raja Mataram bukan sekadar basa basi karena pesan raja sebelumnya adalah hukum yang tidak boleh dilanggar.

2. Sunan Amral dan Pangeran Puger

Pemberontakan Trunajaya yang kemudian menguras harta benda dan penduduk Mataram telah menimbulkan konflik antar kakak dan adik yaitu Sunan Amral dan Pangeran Puger.Konflik antara kakak dan adik menghasilkan dua penguasa Mataram sebagai raja dengan dua keraton.Sunan Amral tampil sebagai penguasa Mataram di Kartasura sedang pangeran Puger tampil sebagai penguasa Mataram di Keraton Plered. Antara Sunan Amral dengan Pangeran Puger kemudian dicapai kata sepakat dan Pangeran Puger mengakhiri Mataram yang di Plered sebagai raja.Mataram berhasil disatukan dengan Sunan Amral sebagai Raja Mataram.

3. Sunan Mas Dengan Pangeran Puger

Sunan Amral digantikan oleh putra mahkota yang tampil sebagai Sunan Mas menggantikan ayahnya sebagai penguasa.Konflik pada masa ini terjadi antara Pangeran Puger dan Sunan Mas.Pangeran Puger dengan bantuan militer Belanda menyerbu keraton dan berhasil mengusir Sunan mas dari kursi kekuasaan. Pangeran Puger kemudian berkuasa dngan gelar Sunan Pakubuwono I.

4. Pangeran Arya Mangkunegara Dengan Pangeran Balitar

Pola perebutan kekuasaan terulang kembali selewat Pakubuwono I. Putra Mahkota Mangkunegara yang menjadi penguasa menggantikan ayahnya tidak mempergunakan gelar Pakubuwono melainkan gelar pendahulu ayahnya dan untuk dirinya Pangeran Mangkunegara setelah menjadi raja Mataram bergelar Sunan Amangkurat IV.

Dalam konflik antara Pangeran Mangkunegara dengan Pangeran Balitar, Belanda sekali lagi berpihak yang diramalkan memiliki peluang untuk menang yaitu Mangkunegara.

5. Sunan Pakubuwono II dengan Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura

Semula Sunan Amangkurat IV menyiapkan putera sulungnya menjadi putra mahkota menggantikan dirinya.RM. Suro sebagai putera tertua Sunan diwisuda sebagai sebagai putra mahkota dengan gelar yang sama seperti Amangkurat IV yaitu gelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara.

Sepeninggal Sunan, kedudukan putra mahkota bergeser dari Mangkunegara kepada adiknya Pangeran Adipati Anom yang kemudian setelah menjadi raja bergelar Sunan Pakubuwono II.Meski tergeser dari kedudukan calon raja, Pangeran Mangkunegara tetap menjalankan tugas tugasnya di Mataram tetapi keberadaan sang pangeran menjadikan sang adik tidak begitu nyaman dalam menjalankan pemerintahannya.Alhasil Pangeran Mangkunegara kartasura dibuang ke Ceylon.

6. Pakubuwono II Dengan Amangkurat V

Pakubuwono II tidak pernah sepi dari tantangan dan setelah mendepak kakaknya, Pakubuwono II yang peragu ini digulingkan dari kursi kasunanan oleh pemberontakan yang didukung oleh orang Cina dan Jawa yang dikenal sebagai geger pacina. Pemberontakan yang berhasil ini kemudian mengangkat cucu Sunan Mas sebagai raja Mataram dengan gelar Sunan Amangkurat V.

Pakubuwono II yang terusir dari singgasana kerajaan mencari bantuan Belanda dan Pangeran Cakraningrat dari Madura untuk mengusir para agresor yang berhasil.Satuan gabungan Belanda-Mataram-Madura berhasil mendepak Amangkurat V dari singgasana dan terus melakukan pengejaran dan penangkapan. Penangkapan Sunan berakhir dengan keputusan pembuangan Amangkurat V ke Ceylon.

7. Pakubuwono II Dengan Raden Mas Said

Keberhasilan penangkapan Amangkurat V oleh satuan Belanda-Mataram-Madura tidak diikuti dengan keberhasilan menangkap panglima perang Amangkurat V yaitu Pangeran Prangwadana, yang tidak lain adalah Raden Mas Said putera Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura.

Mas Said yang tidak tertangkap memperkuat barisan di Sukowati sampai kemudian ada sayembara perang penumpasan pemberontakan.Pangeran Mangkubumi adik Pakubuwono II menyanggupi maju dalam sayembara dan pasukan pemberontak dapat terusir dari Sukowati tanpa penangkapan Mas Said. Tidak tertangkapnya Mas Said oleh Pangeran Mangkubumi menjadi kecurigaan yang berujung pada bergabungnya sang pangeran kepada pemberontak.

Sekembalinya Pakubuwono II dari tempat pengungsian, Sunan memindahkan keraton dari Kartsura ke desa Sala dan membangun keraton yang baru. Sala adalah tempat atau ibukota Kraton Mataram sedangkan Giyanti, Salatiga dan Magelang adalah tempat yang menyisakan catatan catatan sejarah Mataram. Perhelatan kekuasaan Mataram meninggalkan jejak jejak nya di tempat tempat termaksud; Solo, Giyanti (Sragen), Salatiga dan Magelang.

Belanda Merebut Kekuasaan Mataram

Melalui usulan dan perjanjian yang ditanda tangani oleh Sunan Paku Buwono II akhirnya Belanda mendapatkan kewenangan dan kendali kekuasaan atas Kerajaan Mataram. Belanda mendapatkan itu semua dari Sunan yang sedang terbaring dalam ranjangnya pada saat saat yang terakhir. Dengan Kewenangan itu Belanda memberi izin dan mengangkat putra Paku Buwono II sebagai Paku Buwono III.

Mataram Dibagi

Kemenangan Belanda merebut Mataram bukan berarti tanpa perlawanan. Penentangan terhadap otoritas dan kehadirannya di Mataram mengundang persekutuan baru yang melancarkan agresi penyerangan kepada Belanda. Persekutuan antara Mangkubumi dan Mas Said menentang pengangkatan itu tak bisa dihindari dan defacto Mataram terpecah kedalam dua kekuatan yang saling berhadapan. Sebagai Sunan tandingan Mas Said menjadikan mertuanya Mangkubumi sebagai penguasa tandingan di Mataram sedangkan dirinya menempatkan diri sebagai patih dan panglima perang.

Persekutuan yang merupakan kekuatan besar yang hampir saja mencapai kemenangan akhir secara tiba tiba pecah menjadi dua kelompok mengikuti pemimpinnya; Mas Said dan Mangkubumi. Perpecahan persekutuan ini juga membawa akibat terbelahnya Mataram kedalam beberapa Dinasti atau Wangsa.

Perpecahan yang membawa pada pembelahan kerajaan Mataram di Jawa bukan pengetahuan baru lagi karena dari jaman sebelumnya pembelahan pembelahan terjadi untuk siasat yang menunggu waktu yang pada saatnya pula yang tepat disatukan kembali dengan tenggelamnya yang lain dan muncul satu kekuatan yang eksistensial. Perpecahan Mataram juga bisa dimengerti sebagai suatu cara untuk menyelamatkan "suatu species" yang terancam punah dengan membentuk suatu habitat yang baru.

Perpecahan yang membelah Mataram membawa konsekuensi di rumus ulang kembali konsep konsep kekuasaan di Jawa dalam kekuasaan sistem kerajaan.

Perundingan I Pembagian Mataram

Perundingan di Giyanti sering disebut sebagai Perjanjian Giyanti yang merupakan suatu kebutuhan untuk mengakhiri permusuhan dan juga membentuk suatu persahabatan baru. Perjanjian yang ditanda tangani 13 Februari 1755 ini merupakan ekor dari perpecahan Mangkubumi dengan Mas Said. Perjanjian Giyanti ini merupakan persekutuan baru dari yang bermusuhan menjadi persahabatan untuk melenyapkan musuh bersama Mas Said. Seain itu perjanjian ini juga merupakan Proklamasi' dari Mangkubumi terhadap perpecahan yang dihadapi dengan menantunya Mas Said. Siratan dari Perjanjian Giyanti ini antara lain adalah sebagai berikut:

1. Mangkubumi tanpa persekutuan dengan Mas Said berhasil menjadi Raja meskipun hanya menjadi Raja di separuh wilayah Mataram.

2. Mangkubumi membutuhkan Belanda untuk bisa menjadi Raja sekaligus dukungan dan bantuan untuk melenyapkan pesaing utamanya Mas Said.

3. Mangkubumi bersedia mengalah kepada Belanda tetapi kepada Mas Said adalah sebaliknya.

4. Mangkubumi memberikan keyakinan kepada Mas Said bahwa tanpa persekutuan dengannya Mas Saidtidak bisa mencapai kemenangan akhir mengusir Belanda dari Mataram.

5. Mangkubumi kepada Mas Said menantu secara implisit dengan Perjanjian Giyanti menyampaikan maksud bahwa dirinya mampu mencapai level legitimasi kerajaan sebagai Sultan meskipun terikat perjanjian dengan Belanda.

6. Dengan Perjanjian Giyanti Mangkubumi melegitimasi diri sebagai penguasa kerajaan yang secara sah memiliki kewajiban menumpas pemberontak atau kekuatan kekuatan yang menentang Kerajaan.

Perundingan II Pembagian Mataram

Seperti hal nya di Giyanti, Perundingan di Salatiga sering disebut sebagai perjanjan Salatiga yang juga merupakan suatu kebutuhan untuk mengakhiri permusuhan sekaligus jembatan untuk naik dalam struktur politik Jawa. Perjanjian yang ditanda tangani 17 Maret 1757 ini memberikan siratan yang hampir serupa dengan 'Perjanjian Giyanti. Perjanjian Salatiga memberikan suatu yang tersirat dari Mas Said yang menyampaikan pesan sebagai berikut;

1. Mas Said menghidupkan kembali kartu mati Paku Buwono III dalam neraca permainan politik di Jawa. Paku Buwono III menjadi berfungsi kembali dalam percaturan politik.

2. Mas Said tanpa Belanda dan Mangkubumi berhasil menjadi Raja Muda dengan mendapatkan wilayah kekuasaan yang diambil dari wilayah Surakarta dan Yogyakarta.

3. Mas Said memberikan keyakinan kepada mertuanya Mangkubumi bahwa tanpa persekutuan dengan mertuanya dirinya masih membuktikan keunggulan dengan menggulung kekuatan gabungan sampai menewaskan Van Der Poll dan ancaman pembakaran Kraton Mangkubumi. Van der Poll adalah pahlawan perang Madura dan komandan utama pasukan gabungan.

4. Mas Said dengan merangkul Paku Buwono III kepada mertuanya Mangkubumi menyampaikan suatu kritik secara tersirat bahwa pecahnya Mataram menjadi dua bagian bukan keinginannya melainkan keinginan Mangkubumi. Belanda sampai kapan pun tidak akan mengizinkan Mangkubumi menjadi Raja di wilayah yang tunggal. Pembagian Mataram selain izin Belanda juga kesepakatan Mangkubumi.

5. Mas Said kepada mertuanya Mangkubumi secara implisit memberikan khabar bahwa terancamnya Kraton Yogyakarta yang sedang dibangun merupakan pesan bahwa Mas Said menantunya tidak layak dimusuhi karena taruhannya adalah robohnya Kraton Yogyakarta yang sedang dibangun.

6. Dengan Perjanjian Salatiga Mas Said melenyapkan stigma pemberontak bagi dirinya dan masuk dalam kancah struktur percaturan politik Jawa secara sah sebagai kekuatan yang selalu diperhitungkan.

Stabilitas Mataram Yang Dipaksakan

Riwayat Mataram akhirnya sampai pada perundingan di Magelang yang merupakan suatu muslihat untuk mengakhiri perang yang berlarut larut di Jawa. Perjanjian Giyanti dan Salatiga ternyata masih menyimpan Bara dalam sekam karena tahun 1825-1830 Jawa kembali diacak acak oleh peperangan. Dalam perjalanan waktu sampai pada perundingan di Magelang disini dapat ditelusur lintasan dari pasang surutnya wangsa atau dinasti Mataram dalam mempertahankan keberadaannya. Berakhirnya Perang Jawa ini menandai terselenggaranya suatu kawasan yang stabil di Mataram dengan penyederhanaan wilayah masing masing dinasti.

1. Dinasti Baru

Perjanjian Giyanti telah melahirkan dua dinasti baru yaitu Dinasti Pakubuwanan dan Dinasti Hamengkubuwanan sedangkan Perjanjian Salatiga telah melahirkan satu dinasti yaitu Dinasti Mangkunegaran. Dinasti Pakubuwanan memulai silsilah dari Paku Buwono I dan Dinasti Hamengkubuwanan memulai dengan silsilah Hamengku Buwono I, sedangkan Dinasti Mangkunegaran memulai dengan silsilah Mangkunegara I atau Pangeran Sambernyawa.

Tiga dinasti itu pada upacara dan acara keprotocular-an memiliki partner para Residen yang bertugas di wilayah Kerajaan masing masing.

2. Persaingan Dan Rivalitas Dinasti

Tiga dinasti yang merupakan hasil dari dua perjanjian diatas di dalam kehidupan politik dan lapangan kebudayaan untuk tahun tahun awal berdirinya dinasti sampai jaman Napoleon di jawa, ketiga nya berlomba untuk mencitrakan dan menghasilkan berbagai kreasi baru dalam lapangan politik-ekonomi-kebudayaan-keamanan secara berbeda beda.

Rivalitas antar dinasti diawalnya memang seperti apa yang menjadi pemikiran Soekarno bahwa rasa sentimen yang berlebihan membutakan keharusan untuk bersatu menuju persatuan. Dalam pada itu menjadi tepat pula bila teori darwin yang menyatakan bahwa yang unggul yang menguasai dan mengatur. Keunggulan ini dicapai melalui kekuatan dalam segala lini yang dapat mengatasi segala macam konflik.

3. Tiga Serangkai Dinasti Pendahulu

Tiga serangkai sebagai generasi pendahulu dalam dinasti itu adalah; Paku Buwono III, Hamengku Buwono I dan Mangkunegara I. Dari ketiganya Mangkunegara I adalah yang paling menyulitkan posisi Belanda dalam membuat neraca keseimbangan kekuasaan politik di Jawa. Paku Buwono III dan Hamengku Buwono I terhadap Belanda relatif lebih lunak dan bersahabat ketimbang Mangkunegara I.

Dalam masa pemerintahan Tiga SerangkaiMataram ini berbagai kejadian yang menggoyang keseimbangan selalu muncul silih berganti seiring dengan lemahnya posisi Belanda dalam kekuatan militer dan finansial. Mangkunegara I yang dalam Perjanjian Salatiga dilantik dengan upacara istimewa (Soekanto, Dr., 1952) kerap mbolos untuk tidak hadie dalam audience Kraton Kasunanan dan kalau pun hadir selalu dikawal dengan pasukan bersenjata yang berlebihan. Mangkunegara I terkena aturan harus sowan dalam audience dengan Sunan di Kraton tetapi sering bikin ulah dan akal akalan untuk menunjukan kekuatan dan independensinya.

Perilaku Mangkunegara I ini tak kurang merembet juga ke Yogyakarta yang secara diam diam para perwiranya masih menyimpan simpatik kepada Mangkunegara I. Di Yogyakarta serombongan perwira Belanda terluka di tusuk senjata tikam oleh Raden Rongga Prawiradirja. Insiden ini menyebabkan Sultan turun tangan untuk mendamaikannya.

Kasunanan yang tidak banyak ulah dan menyulitkan Belanda selewat Paku Buwono III terbukti menciptakan kepanikan luar biasa karena persekutuannya dengan kaum ulama yang mengancam terjadinya perang terbuka kembali. Kasunanan menjelang akhir abad 17 menjadi sumber desas desus dan intrik yang menggoyang Jawa.

4. Tiga Serangkai Dinasti Penerus

Perjalanan Mataram yang terpecah dalam tiga dinasti sudah melangkah jauh meninggalkan Giyanti/Sragen dan Salatiga dan para peintisnya telah digantikan oleh para keturunannya yang melanjutkan cita cita dan gagasan gagasannya untuk kerajaan yang menjadi bagiannya. Paku Buwono III wafat tahun 1788, Hamengku Buwono I wafat tahun 1792 dan Mangkunegara I wafat tahun 1795. Hamengku Buwono I dan Paku Buwono III dimakamkan di Astana Imogiri Yogyakarta dan Mangkunegara I dimakamkan di Astana Mangadeg Matesih Surakarta.

Dengan demikian maka pada akhir abad 17 dan awal abad 18 tiga dinasti di jawa ini selanjutnya dipegang oleh; Paku Buwono IV, Hamengku Buwono II dan Mangkunegara II.

Pada awal abad 18 (tahun 1800) VOC-Belanda dibubarkan dan diwarisi oleh pemerintah kerajaan Belanda. KetikaBelanda diserbu Napoleon dan dianeksasi kedalam wilayah Perancis maka wilayah diseberang lautan yaitu Hindia Belanda menjadi kewenangan Perancis yang mengirimkan Daendels datang ke Jawa.

Dalam waktu relatif singkat selama lebih kurang 10 tahun, di jawa telah berganti para Gubernur Jenderal di Batavia dari Perancis ke Inggris kemudian Belanda. Masa pemerintahan Daendels dan Raffles ini dapat diketahui prestasi prestasi tiga dinasti dalam pergaulan dan diplomasinya dengan pemerintaha pendudukan dalam eksistensi dan penampilannya;

a. KaSunanan Surakarta

1). Paku Buwono IV menyesuaikan dan mengadaptasi dengan situasi dan peraturan baru serta menjalin mitra dengan kekuatan politik-ekonomi pengganti VOC-Belanda.

2). Paku Buwono IV menulis dan menghasilkan karya sastra Wulangreh

3). Paku Buwono IV dnga kepiawaian dan lihay menjalankan permainan politik dan issue issue yang menyelamatkan dan untuk kepentingan kerajaannya.

b. KaSultanan Yogyakarta

1). Hamengku Buwono II terjebak kedalam konflik internal kerajaan yang melibatkan kerabat dalam sendiri. Intrik dan konflik yang tidak bisa ditanganinya menyebabkan kemerosotan eksistensi KaSultanan Yogyakarta.Dalam masa nya 'Serat Surya Raja' berhasil diselesaikan.

2). Hamengku Buwono II terhimpit oleh jaringan kelompok kelompok kepentingan dalam keraton yang sulit didamaikan dan potensi mengundang campur tangan pihak luar istana untuk memenangkan tujuan dan kepentingan masing masing kelompok yang saling bertikai/konflik.

3). Hamengku Buwono II mengalami pemakzulan sebagai Sultan dengan pemaksaan kekuatan militer yang dilakukan oleh Daendels dan Raffles. Akibat yang lebih jauh kekuasaan Kasultanan dibelah dengan munculnya Paku Alaman yang mengambil wilayah 4000 karya dari Kasultanan.

c. Mangkunegaran

1). Mangkunegara II membentuk Korps militer bersenjata pilihan dengan nama Legiun mangkunegaran

2). Mangkunegara II memperluas wilayah mangkunegaran dari 4000 karya menjadi 5000 karya serta memperbesar jumlah personil Legiun Mangkunegaran' dari 800 menjadi 1150 personil dan akhirnya 1500 personil.

3). Mangkunegara II mengadakan penyerbuan ke Yogyakarta untuk mencegah meluasnya konflik internal keluarga dan mencegah pembubaran KaSultanan Yogyakarta.

5. Dinasti Yang Penuh Konflik

Mataram adalah sebuah dinasti yang penuh dengan konflik dan pertentangan sehingga tidak mengherankan kalau sekitar keberadaan Mataram dari sejak semula berdiri sampai hari ini menjadi bahan kajian dan penulisan dari berbagai kalangan terpelajar baik dalam negeri maupun luar. Riwayat Mataram adalah riwayat mati dan hidupnya Negara Jawa dalam ketradisionalannya. Pada masa Mataram ini konsep nasionalisme belum muncul tetapi rakyat sudah diajari untuk memetakan bahwa tidak adanya persatuan dalam menghadapi lawan bersama adalah kelemahan.

Negara Kerajaan Mataram pada hakikatnya adalah monarki absolut yang kurang dapat mengimplementasikan keabsolutannya kedalam pemerintahan yang kuat. Ilmu pemerintahan dan ideologi pada masa Mataramitu belum ada dan untuk menerangkan kepada masyarakat tentang kehidupan bernegara maka sarana yang dipergunakan adalah elemen elemen kebudayaan, agama, seni pertunjukan wayang dan mitos mitos sebagai penguat legitimasi.

Ketika Belanda menjadi unsur stabilisator yang menjadikan Mataram stabil, tak kurang disini ditemui beberapa hal yang menjadikan cermatan bahwa para personil Belanda di Jawa adalah para bandit yang berkedok dermawan kepada penguasa Mataram. Peristiwa klasik yang dapat dilihat adalah peristiwa pemahkotaan Amangkurat II yang menggantikan ayahnya menjadi Raja Mataram. Kapten Tack seorang perwira Belanda medapat kehormatan untuk menyematkan Mahkota Mataram ke Amangkurat II. Mahkota yang dipakai raja baru ini sudah hilang berliannya di Mahkota karena di ambil oleh Kapten Tack.

Para petualang yang tergabung dalam korps militer Belanda memang sudah ditengarai membawa penyakit ketidak beresannya dalam kapasitas sebagai pegawai di dinas kemiliteran VOC-Belanda. Stabilitas dan ketenteraman di Jawa bagi sebagian orang Belanda yang dinas di militer sangat tidak menguntungkan posisinya karena peran dan penghasilan mereka sebagai pegawai menjadi berkurang (Soekanto, Dr.,1952). Tambahan penghasilan dan karier dalam dinas menjadi berarti ketika tenaga dan keberadaan mereka dibutuhkan dan ini hanya terjadi jika konflik yang berujung perang terbuka terjadi.

Dinasti Mataram sepanjang sejarahnya adalah dinasti penuh dengan konflik antar keluarga yang sedang memegang tampuk kekuasaan. Yogyakarta sebagai pecahan dari Mataram tidak terkecuali pula dalam hal ini. Kekerabatan di Kasultanan Yogyakarta setelah perjanjian Giyanti meningkat dengan pesat. Peningkatan ini disebabkan tingkat kelahiran di kalangan bangsawan Yogyakarta lebih tinggi dibanding dua kerabat Kraton yang lain (Lihat: Ricklefs, MC.,2002).

Meningkatnya jumlah keturunan di Yogyakarta tidak diimbangi dengan kekompakan diantara para pewaris yang mengakibatkan terjadinya banyak kesedihan pada diri Sultan (Soekanto, Dr.,1952). Konflik yang bermula diantara para pewaris Yogyakarta ini lantas sedikit banyak mengundang pihak luar untuk terseret dan campur tangan.

Konflik yang semakin panas dan tegang sudah dapat ditengarai tradisi Mataram yang lama bakal muncul kembali. Tradisi yang menyelesaikan permasalahan dengan kekuatan bersenjata adalah cara klasik yang kembali dipergunakan untuk mengakhiri suatu konflik sampai seorang yang menang mengungguli dan mengatasi yang lain.

Tahun 1825-1830 di Jawa pecah perang yang kemudian diselesaikan di Magelang. Sehabis perang yang telah memakan korban dan harta benda yang relatif besar wilayah kerajaan di jawa mengalami penyempitan dan Belanda mengontrol secara ketat sampai datangnya Jepang yang menghapus keberadaan Belanda di Nusantara ini. Asia untuk Asia. Itulah yargon dan semboyan yang diekspos pada masa itu.

Mataram Dalam Negara Moderen

Lahirnya negara moderen Republik Indonesia dengan Proklamasi 17 Agustus 1945 di jawa Tengah segara disambut serta didukung penuh oleh keempat Dinasti wangsa Mataram di Surakarta dan di Yogyakarta. Pada tanggal 1 September 1945 Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran mengeluarkan Maklumat yang isinya bahwa Kasunanan dan Mangkunegaran merupakan wilayah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan status daerah istimewa dan kepala daerah istimewa yaitu Sunan dan Adipati bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Demikian juga sehubungan dengan hal ini di Yogyakarta pada tanggal 5 September 1945 Kasultanan dan Kadipaten Paku Alaman juga mengeluarkan Maklumat yang isinya kurang lebih sama yaitu Kasultanan dan Kadipaten Paku Alaman merupakan wilayah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kepala daerah istimewa bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Dalam persoalan daerah istimewa antara Surakarta dengan Yogyakarta ditemukan beberapa perbedaan;

1. Di Surakarta Kasunanan dan Mangkunegaran masing masing berdiri sebagai daerah istimewa karena hal ini mengacu pada fakta sejarah keduanya yang di jaman pendudukan Jepang pemerintahan mengakui masing masing sebagai daerah istimewa yang dikenal dengan sebutan koochi dan kepala daerah istimewa disebut sebagai koo.Dari jaman Jepang ini kemudian dikenal adanya Surakarta Koochi dengan pembesar daerah istimewa nya adalah Surakarta koo yaitu Sunan, sedang yang satunya lagi adalah Mangkunegaran koochi dengan pembesar daerah istimewa nya adalah Mangkunegara koo.

2. Di Yogyakarta Kasultanan dan Paku Alaman secara bersama sama menggabungkan wilayahnya kedalam daerah istimewa Yogyakarta dengan Sultan sebagai pembesar daerah istimewa sedang Paku Alam sebagai wakil pembesar daerah istimewa.

3. Kelanjutan daerah istimewa di Surakarta dan Mangkunegaran kemudian mengalami hambatan karena mendapat penentangan dari kelompok yang tidak menginginkan keberadaan swapraja sehingga Kasunanan dan Mangkunegaran untuk menyelamatkan dari pertikaian disatukan dalam karesidenan.

4. Di Yogyakarta keberlanjutan daerah istimewa tidak mengalami hambatan dan Sultan Hamengku Buwono IX dengan Adipati Paku Alam yang ke VIII dalam satu paket menjadi Kepala Daerah istimewa dan wakil Kepala daerah istimewa.

5. RM.Said yang terkenal dengan gelar Pangeran Sambernyawa sebagai Founding Father dari kadipaten yang didirikannya dalam perjanjian menyatakan ketundukannya pada Kasunanan Surakarta yang dituangkan dalam perjanjian Salatiga tetapi pada realitasnya membentuk Mangkunegaran yang otonom yang pada akhirnya di jaman Mangkunegara VI lepas ikatan dengan Kasunanan. Dengan posisi yang otonom ini Jepang mengakuinya sebagai wilayah istimewa disamping wilayah istimewa Surakarta yang dipegang oleh Sunan. Di Surakarta wilayah daerah istimewa dengan melihat sejarah kedua keraton yang ada di kota ini menjadi lain karena jauh sebelum kemerdekaan Indonesia kedua keraton memiliki hubungan yang otonom sehingga tidak memungkinkan untuk mendudukan dalam satu paket untuk daerah istimewa Surakarta bahwa Sunan adalah kepala daerah istimewa dan Adipati Mangkunegara sebagai wakil kepala daerah istimewa.Mengacu pada masa Jepang disini dapat dikatakan bahwa keduanya; Sunan dan Adipati adalah para Koo yaitu para pembesar daerah istimewa.

6. Kalau di Yogyakarta antara Kasultanan dan Paku Alaman dapat melenggang dalam satu paket kepemimpinan daerah istimewa persoalannya bukan karena kompak atau tidak kompak tetapi perkembangan masyarakat dan keraton dalam perjuangan menegakkan Republik Indonesia dalam rongrongan Belanda bukan isapan jempol belaka melainkan nyata. Kasultanan dan Paku Alaman bisa mencapai kata sepakat untuk memasuki tatanan dunia baru yaitu Republik Indonesia.Dua daerah swapraja; Kasultanan dan Paku Alaman bergabung kembali menjadi utuh dan merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gabungan wilayah Kasultanan yogyakarta dengan wilayah Kadipaten Paku Alaman ini disebut sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta

7. Dengan dasar perbedaan di Surakarta dan Yogyakarta selanjutnya dalam bulan Agustus 1945 sampai tanggal 16 Juni 1946 yang namanya Daerah istimewa Surakarta sebagai bagian dari Republik Indonesia itu memang pernah ada. Daerah Istimewa ini dipimpin dan diperintah bersama. Pada Oktober 1945, berdiri gerakan Swapraja/anti monarki/anti feodal di Surakarta yang bertujuan untuk membubarkan Mangkunegaran dan Kasunanan.Motifasi dari gerakan anti monarki di Surakarta ternyata menyimpan tujuan lain dari sekadar pembubaran dua monarki di kota Bengawan itu. Dua monarki hendak dibubarkan karena gerakan anti monarki bertujuan untuk merampas tanah tanah Mangkunegaran dan Kasunanan untuk dibagi bagikan kepada rakyat. Pada tanggal 16 Juni 1946 Daerah Istimewa Surakarta diganti menjadi daerah Karesidenan. Pergantian ini dilakukan karena status Daerah Istimewa dengan gerakan anti monarki menimbulkan kerusuhan, pencullikan serta pembunuhan. Daerah Surakarta menjadi daerah dalam keadaan bahaya.Status ke dua keraton selanjutnya menjadi pusat pengembangan seni dan budaya Jawa.

8. Untuk Yogyakarta meski status sebagai daerah Istimewa goal namun mengalami kegagalan dalam menerapkan sistem pemerintahan kerajaan di wilayah Yogyakarta. Semula Sultan Hamengkubuwono IX mengangkat dan menunjuk para pejabat di lingkungan kepatihan yang berasal dari para kerabat namun karena kontrol dari pusat sebagai kebijakan Presiden Soekarno yang karena alasan alasan ideologis, maksud Sultan menjadi gagal. Kegagalan ini berlanjut ketika iklim pergantian kekuasaan dan politik terjadi tahun 1965-1966.Dengan masih mempertahankan Sultan dan Sri paduka Paku Alam sebagai kepala daerah dan wakilnya, untuk jabatan yang lain seperti Walikota dan Bupati juga posisi strategis banyak dijabat oleh kalangan militer.

9. Republik Indonesia yang berdiri 1945 memiliki "claim" bahwa wilayah negara proklamasi ini adalah bekas Hindia Belanda. Nah disinilah akar permasalahannya untuk suatu daerah yang harus disebut sebagai "Yang Istimewa". Apakah daerah swapraja adalah wilayah Hindia Belanda pada masa itu jauh sebelum Republik ini berdiri?

Kebudayaan Mataram Dalam Negara Indonesia

Negara kesatuan Rapublik Indonesia mewarisi wilayah dari Sabang sampai Merauke sebagai warisan wilayah dari kolonial Belanda. Jakarta yang semula Batavia menjadi ibukota negara dan kediaman Gubernur Jenderal menjadi Istana Presiden.Presiden Soekarno kemudian menata ulang konsep tata ruang kota mengikuti pola pola kota kerajaan dengan membangun Monumen Nasional dan tempat peribadatan umat muslim.Istana sekarang benar benar mengikuti pola lama kerajaan Jawa masa lalu; ada istana, tempat peribadatan, lapangan terbuka dan tugu atau monumen sebagai lambang yoni dalam paham Jawa masa lalu.

Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia dalam memimpin negara memadukan unsur unsur pengetahuan moderen dengan kultur nusantara dan dari berbagai kultur nusantara itu kultur dari Jawa sedikit menonjol dalam kepemimpinannya.

Soekarno merangkul para raja raja dan penguasa lokal di nusantara untuk bersama sama membangun negeri dan menjaga kultur yang telah menjadi ciri setempat kedalam integralitas kultur Indonesia.Soekarno menjadi representasi dari rakyat dan penguasa dalam menggantikan peran Belanda mengatur negeri.

Referensi

  • Soekanto, Dr., Sekitar Jogjakarta (1755-1825) dari Gianti ke Magelang, Djakarta:Mahabarat Amsterdam, 1952.
  • Lombard,Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya III (Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris), Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2005.
  • Latif, Yudi, Menyemai Karakter Bangsa, Budaya Kebangkitan Berbasis Kesasteraan, Jakarta: KOMPAS, November 2009.
  • Panitia Forum Mangunwijaya III, Negara Minus Nurani, Esai Esai Kebijakan Publik, Jakarta: KOMPAS, Februari 2009.
  • Sutrisno, Mudji, dan Putranto, Hendar.,(ed)., Hermeneutika Pascakolonial, Soal Identitas, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
  • Ricklefs, MC., Indonesia 1200-2004
  • Ricklefs, MC., Johjakarta Under Sultan Mangkubumi, 1749-1792, Sejarah pembagian Jawa, Yogyakarta:Matabangsa, 2002.
  • Wikipwdia ; http://wiki-indonesia.club/wiki/Warisan_Tradisi_Mataram