Lompat ke isi

Geger Cilegon 1888: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Erik Anggara (bicara | kontrib)
←Membuat halaman berisi ''''Geger Cilegon''' adalah peristiwa perlawanan bersenjata rakyat Banten terhadap kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda yang terjadi pada tanggal 9 Juli 1888. == Latar...'
 
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
'''Geger Cilegon''' adalah peristiwa perlawanan bersenjata rakyat Banten terhadap kekuasaan pemerintah [[Hindia-Belanda]] yang terjadi pada tanggal 9 Juli 1888.
'''Geger Cilegon''' adalah peristiwa perlawanan bersenjata rakyat [[Banten]] terhadap kekuasaan pemerintah [[Hindia-Belanda]] yang terjadi pada tanggal [[9 Juli]] [[1888]].


== Latar belakang ==
== Latar belakang ==
Perlawanan yang dikobarkan Ki Wasyid bersama para tokoh Banten dalam Geger Cilegon dilatarbelakangi kesewenang-wenangan Belanda yang saat itu merupakan peralihan terhadap kependudukan VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) di Banten. Kebencian masyarakat makin memuncak saat masyarakat tertekan dengan dua musibah yakni dampak meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda (23 Agustus 1883) yang menimbulkan gelombang laut yang menghancurkan Anyer, Merak, Caringin, Sirih, Pasauran, Tajur, dan Carita. Selain itu musibah kelaparan, penyakit sampar (pes), penyakit binatang ternak (kuku kerbau) membuat penderitaan rakyat menjadi-jadi.
Perlawanan yang dikobarkan Ki Wasyid bersama para tokoh Banten dalam Geger Cilegon dilatarbelakangi kesewenang-wenangan Belanda yang saat itu merupakan peralihan terhadap kependudukan [[VOC]] (Verenigde Oostindische Compagnie) di Banten. Kebencian masyarakat makin memuncak saat masyarakat tertekan dengan dua musibah yakni dampak meletusnya [[Gunung Krakatau]] di [[Selat Sunda]] ([[23 Agustus]] [[1883]]) yang menimbulkan gelombang laut yang menghancurkan [[Anyer]], [[Merak, Sukamulya, Tangerang|Merak]], [[Caringin, Labuan, Pandeglang|Caringin]], Sirih, [[Pasauran]], Tajur, dan [[Carita, Carita, Pandeglang|Carita]]. Selain itu musibah kelaparan, penyakit sampar (pes), penyakit binatang ternak (kuku kerbau) membuat penderitaan rakyat menjadi-jadi.


Di tengah kemelut ini, kebijakan pemerintah Belanda yang mengharuskan masyarakat membunuh kerbau karena takut tertular penyakit membuat warga makin terpukul. Belum lagi, penghinaan Belanda terhadap aktivitas keagamaan menambah rentetan alasan dilakukan perlawanan bersenjata. Di lain pihak, tekanan hidup yang makin terdesak membuat warga banyak lari ke klenik (tahayul).
Di tengah kemelut ini, kebijakan pemerintah Belanda yang mengharuskan masyarakat membunuh kerbau karena takut tertular penyakit membuat warga makin terpukul. Belum lagi, penghinaan Belanda terhadap aktivitas keagamaan menambah rentetan alasan dilakukan perlawanan bersenjata. Di lain pihak, tekanan hidup yang makin terdesak membuat warga banyak lari ke klenik (tahayul).


Tersebutlah di Desa Lebak Kelapa, terdapat pohon kepuh besar yang dianggap keramat, dapat memusnahkan bencana dan meluluskan yang diminta asal memberikan sesajen bagi jin, penunggu pohon. Berkali-kali Ki Wasyid mengingatkan penduduk bahwa meminta selain kepada Allah termasuk syirik. Namun fatwa Ki Wasyid tidak diindahkan. Melihat keadaan ini, Ki Wasyid dengan beberapa murid menebang pohon berhala pada malam hari. Inilah yang membawa Ki Wasyid ke depan pengadilan kolonial pada 18 November 1887. Ia dipersalahkan melanggar hak orang lain sehingga dikenakan denda 7,50 gulden.<ref>Hamka, 1982:144</ref>
Tersebutlah di desa Lebak Kelapa, terdapat pohon kepuh besar yang dianggap keramat, dapat memusnahkan bencana dan meluluskan yang diminta asal memberikan sesajen bagi jin, penunggu pohon. Berkali-kali Ki Wasyid mengingatkan penduduk bahwa meminta selain kepada [[Allah]] termasuk [[syirik]]. Namun fatwa Ki Wasyid tidak diindahkan. Melihat keadaan ini, Ki Wasyid dengan beberapa murid menebang pohon berhala pada malam hari. Inilah yang membawa Ki Wasyid ke depan pengadilan [[kolonial]] pada [[18 November]] [[1887]]. Ia dipersalahkan melanggar hak orang lain sehingga dikenakan denda 7,50 [[gulden]].<ref>Hamka, 1982:144</ref>


Hukuman yang dijatuhkan kepada Ki Wasyid menyinggung rasa keagamaan dan rasa harga diri muridnya. Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan adalah dirobohkan menara musola di Jombang Tengah atas perintah Asisten Residen Goebels. Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan azan setiap waktu salat, mengganggu ketenangan ksrena suaranya yang keras apalagi waktu azan salat subuh.
Hukuman yang dijatuhkan kepada Ki Wasyid menyinggung rasa keagamaan dan rasa harga diri muridnya. Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan adalah dirobohkan [[menara]] [[Musala|musala]] di Jombang Tengah atas perintah Asisten Residen Goebels. Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan [[azan]] setiap waktu [[salat]], mengganggu ketenangan ksrena suaranya yang keras apalagi waktu azan [[Subuh|salat subuh]].

Asisten Residen menginstruksikan kepada Patih agar dibuat surat edaran yang melarang salawat, tarhim dan azan dengan suara keras. Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi, politik dan budaya yang dipaksakan pemerintah kolonial Belanda berbaur dengan penderitaan rakyat.
Asisten Residen menginstruksikan kepada Patih agar dibuat surat edaran yang melarang [[Shalawat|salawat]], tarhim dan [[azan]] dengan suara keras. Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem [[ekonomi]], [[politik]] dan [[budaya]] yang dipaksakan pemerintah kolonial [[Hindia-Belanda|Belanda]] berbaur dengan penderitaan rakyat.


== Perlawanan ==
== Perlawanan ==
Perlawanan besar pun dilakukan. Keterlibatan sejumlah ulama dan jawara dalam Geger Cilegon membuat rakyat bangkit melawan Belanda. Sayangnya, insiden ini dapat dipadamkan Belanda karena serdadu Belanda yang dipimpin Letnan I Bartlemy sudah terlatih. Meski api perlawanan dapat dipadamkan, namun sebelumnya terjadi pertempuran hebat.
Perlawanan besarpun dilakukan. Keterlibatan sejumlah [[ulama]] dan jawara dalam Geger Cilegon membuat rakyat bangkit melawan [[Hindia-Belanda|Belanda]]. Sayangnya, insiden ini dapat dipadamkan Belanda karena serdadu Belanda yang dipimpin Letnan I Bartlemy sudah terlatih. Meski api perlawanan dapat dipadamkan, namun sebelumnya terjadi pertempuran hebat.


Ki Wasyid yang dianggap pemimpin pemberontakan dihukum gantung, sedangkan yang lain dihukum buang. Haji Abdurahman dan Haji Akib dibuang ke Banda, Haji Haris dibuang ke Bukit Tinggi, Haji Arsyad Thawil dibuang ke Gorontalo, Haji Arsyad Qashir dibuang ke Buton, Haji Ismail dibuang ke Flores, dan banyak lagi yang dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Manado, Ambon, dan Saparua. Semua pimpinan pemberontakan yang dibuang sebanyak 94 orang.
Ki Wasyid yang dianggap pemimpin pemberontakan dihukum gantung, sedangkan yang lain dihukum buang. Haji Abdurahman dan Haji Akib dibuang ke [[Banda, Maluku Tengah|Banda]], Haji Haris dibuang ke [[Bukittinggi]], Haji Arsyad Thawil dibuang ke [[Gorontalo]], Haji Arsyad Qashir dibuang ke [[Kabupaten Buton|Buton]], Haji Ismail dibuang ke [[Flores (disambiguasi)|Flores]], dan banyak lagi yang dibuang ke [[Tondano]], [[Ternate]], [[Kupang]], [[Manado]], [[Ambon]], dan [[Saparua]]. Semua pimpinan pemberontakan yang dibuang sebanyak 94 orang.


== Catatan kaki ==
== Catatan kaki ==
Baris 23: Baris 24:
* [http://kabar-banten.com/news/detail/777 Kabar Banten - Satu Abad Geger Cilegon]
* [http://kabar-banten.com/news/detail/777 Kabar Banten - Satu Abad Geger Cilegon]


[[Kategori:Indonesia dalam tahun 1888]]
[[Kategori:1888]]
[[Kategori:Sejarah Banten]]
[[Kategori:Sejarah Banten]]
[[Kategori:Hindia-Belanda]]
[[Kategori:Sejarah Nusantara]]
[[Kategori:Perang melibatkan Belanda]]
[[Kategori:Perang melibatkan Indonesia]]

Revisi per 27 Agustus 2011 14.10

Geger Cilegon adalah peristiwa perlawanan bersenjata rakyat Banten terhadap kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda yang terjadi pada tanggal 9 Juli 1888.

Latar belakang

Perlawanan yang dikobarkan Ki Wasyid bersama para tokoh Banten dalam Geger Cilegon dilatarbelakangi kesewenang-wenangan Belanda yang saat itu merupakan peralihan terhadap kependudukan VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) di Banten. Kebencian masyarakat makin memuncak saat masyarakat tertekan dengan dua musibah yakni dampak meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda (23 Agustus 1883) yang menimbulkan gelombang laut yang menghancurkan Anyer, Merak, Caringin, Sirih, Pasauran, Tajur, dan Carita. Selain itu musibah kelaparan, penyakit sampar (pes), penyakit binatang ternak (kuku kerbau) membuat penderitaan rakyat menjadi-jadi.

Di tengah kemelut ini, kebijakan pemerintah Belanda yang mengharuskan masyarakat membunuh kerbau karena takut tertular penyakit membuat warga makin terpukul. Belum lagi, penghinaan Belanda terhadap aktivitas keagamaan menambah rentetan alasan dilakukan perlawanan bersenjata. Di lain pihak, tekanan hidup yang makin terdesak membuat warga banyak lari ke klenik (tahayul).

Tersebutlah di desa Lebak Kelapa, terdapat pohon kepuh besar yang dianggap keramat, dapat memusnahkan bencana dan meluluskan yang diminta asal memberikan sesajen bagi jin, penunggu pohon. Berkali-kali Ki Wasyid mengingatkan penduduk bahwa meminta selain kepada Allah termasuk syirik. Namun fatwa Ki Wasyid tidak diindahkan. Melihat keadaan ini, Ki Wasyid dengan beberapa murid menebang pohon berhala pada malam hari. Inilah yang membawa Ki Wasyid ke depan pengadilan kolonial pada 18 November 1887. Ia dipersalahkan melanggar hak orang lain sehingga dikenakan denda 7,50 gulden.[1]

Hukuman yang dijatuhkan kepada Ki Wasyid menyinggung rasa keagamaan dan rasa harga diri muridnya. Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan adalah dirobohkan menara musala di Jombang Tengah atas perintah Asisten Residen Goebels. Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan azan setiap waktu salat, mengganggu ketenangan ksrena suaranya yang keras apalagi waktu azan salat subuh.

Asisten Residen menginstruksikan kepada Patih agar dibuat surat edaran yang melarang salawat, tarhim dan azan dengan suara keras. Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi, politik dan budaya yang dipaksakan pemerintah kolonial Belanda berbaur dengan penderitaan rakyat.

Perlawanan

Perlawanan besarpun dilakukan. Keterlibatan sejumlah ulama dan jawara dalam Geger Cilegon membuat rakyat bangkit melawan Belanda. Sayangnya, insiden ini dapat dipadamkan Belanda karena serdadu Belanda yang dipimpin Letnan I Bartlemy sudah terlatih. Meski api perlawanan dapat dipadamkan, namun sebelumnya terjadi pertempuran hebat.

Ki Wasyid yang dianggap pemimpin pemberontakan dihukum gantung, sedangkan yang lain dihukum buang. Haji Abdurahman dan Haji Akib dibuang ke Banda, Haji Haris dibuang ke Bukittinggi, Haji Arsyad Thawil dibuang ke Gorontalo, Haji Arsyad Qashir dibuang ke Buton, Haji Ismail dibuang ke Flores, dan banyak lagi yang dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Manado, Ambon, dan Saparua. Semua pimpinan pemberontakan yang dibuang sebanyak 94 orang.

Catatan kaki

  1. ^ Hamka, 1982:144

Pranala luar