Kassian Cephas: Perbedaan antara revisi
Halaman baru: Kassian Cephas lahir tanggal 15 February 1844, beliau asli pribumi yang kemudian diangkat anak oleh pasangan Adrianus Schalk dan Eta philipina Kreeft. Nama Kassian Cephas mulai terlaca... |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 1: | Baris 1: | ||
Kassian Cephas lahir tanggal 15 February 1844, beliau asli pribumi yang kemudian diangkat anak oleh pasangan Adrianus Schalk dan Eta philipina Kreeft. Nama Kassian Cephas mulai terlacak dengan karya fotografi tertuanya buatan tahun 1875. |
Kassian Cephas lahir tanggal 15 February 1844, beliau asli pribumi yang kemudian diangkat anak oleh pasangan Adrianus Schalk dan Eta philipina Kreeft. Nama Kassian Cephas mulai terlacak dengan karya fotografi tertuanya buatan tahun 1875. |
||
Artikel |
|||
'''Kassian Cephas Hanya Membuat Foto-foto Indah''' |
|||
Oleh Nuraini Juliastuti |
|||
Nama Kassian Cephas tidak banyak dikenal orang sampai foto-foto karyanya dipamerkan di kraton mulai 11 Juni 1999 yang lalu di Bale Bang, Kraton Yogyakarta. Bahkan mungkin para mahasiswa yang kebetulan pernah mempelajari fotografi di bangku kuliah kurang begitu familiar dengan namanya. Literaratur-literatur sejarah Indonesia pun tidak pernah menyebut-nyebut namanya sebagai pribumi pertama yang berkarir sebagai fotografer profesional, atau menurut bahasa Gerrit Knaap (sejarawan Belanda yang menyusun buku "Cephas, Yogyakarta: photography in the Service of the Sultan" ) sebagai salah satu pionir modernitas. Namanya memang tidak seharum dan melekat di benak banyak orang seperti nama Wahidin Sudirohusodo atau KH. Dewantara yang sama-sama berasal dari Yogyakarta dan hidup satu jaman dengannya. |
|||
Apa yang menarik dari foto-foto karya Cephas? Dari foto-foto yang dipajang di Bale Bang dan di buku karya Knaap tampak bahwa Cephas memotret banyak hal: sultan dan keluarganya, bangunan-bangunan sekitar kraton, upacara garebeg di alun-alun, iring-iringan benda-benda untuk keperluan upacara, tari-tarian, pemandangan kota Yogya jaman itu saat jalan raya sepanjang Malioboro sampai depan Benteng Vredeberg masih sepi dan dipenuhi pohon-pohon besar di kiri-kanannya, sudut-sudut kota yang menurutnya menarik dan sebagainya. |
|||
Fotografi, tidak ada bedanya dulu dan sekarang, tetap dianggap sebagai kegiatan yang mahal. Banyak peralatan dan piranti yang harus dibeli, banyak biaya yang dibutuhkan. Maka itu orang yang menggeluti dunia fotografi tentulah bukan orang yang sembarangan. Pada jaman sekarang saja orang masih kerap memandang kagum kepada fotografer yang membawa seperangkat alat yang bermacam-macam bentuknya, lebih-lebih pada masa itu, masa menjelang ujung abad 19. Foto karya Cephas yang menggambarkan suasana rumah-rumah dan toko-toko di Jalan Ngabean (sekarang Jl. KH. Ahmad Dahlan) dengan bagus menunjukkan kekaguman masyarakat pribumi kepada fotografi. Bagian terbesar dari frame foto itu berisi rumah dan toko milik orang Belanda lengkap dengan tuan-tuan dan noni-noni Belanda yang duduk-duduk di teras rumah. Sementara orang-orang pribumi asli tampak kabur, berdiri berjubel di pojok kanan. Jalan depan rumah dan toko yang sedang dipotret tampak kosong, seakan sengaja dikosongkan untuk Cephas, si fotografer. Entah bagaimana perasaan mereka waktu itu. Mungkin kagum, heran, takjub, campur jadi satu. |
|||
Sebagai satu-satunya pribumi di masa itu yang sudah menguasai peralatan fotografi, tentulah Cephas sendiri orang yang sangat istimewa. Bayangkanlah seorang pribumi bernama Kassian Cephas di tahun menjelang ujung abad 19 menenteng peralatan kamera kemana-mana. |
|||
Satu pertanyaan yang mengganjal di kepala saya adalah kenapa foto-foto yang dibuat Cephas selalu indah? Foto-foto tari-tarian, upacara-upacara, model-model cantik, arsitektur rumah masa itu, semuanya adalah gambar suasana yang menyenangkan, enak dilihat dan tentu saja indah. Sebuah suasana yang agak bertolak belakang dengan kondisi Indonesia yang telah terjajah hampir 300 tahun. Tentu saja saja tak ada yang salah kalau seorang fotografer itu akan memotret pemandangan yang indah atau suasana menyedihkan yang kebetulan dilihatnya. Apa yang membuat Cephas mempunyai sudut pandang kamera tentang dunia yang selalu indah, itulah pertanyaannya. |
|||
Cephas lahir pada 15 Januari 1845 dari pasangan Kartodrono dan Minah. Ada juga yang mengatakan bahwa ia adalah anak angkat dari orang Belanda yang bernama Frederik Bernard Fr. Schalk. Cephas banyak menghabiskan masa kanak-kanaknya di rumah Christina Petronella Steven (siapa). Cephas mulai belajar menjadi fotografer profesional pada tahun 1860-an. Ia sempat magang pada Isidore van Kinsbergen, fotografer yang bekerja di Jawa Tengah sekitar 1863-1875. Tapi berita kematian Cephas di tahun 1912 menyebutkan bahwa ia belajar fotografi kepada seseorang yang bernama Simon Willem Camerik. |
|||
Publikasi luas foto-foto Cephas mulai pada tahun 1888 ketika ia membantu membuat foto-foto untuk buku karya Isaac Groneman, seorang dokter yang banyak membuat buku-buku tentang kebudayaan Jawa, yang berjudul: In den Kedaton te Jogjakarta. Pada buku karya Groneman yang lain: De Garebeg's te Ngajogjakarta, karya-karya foto Cephas juga ada disitu. |
|||
Dengan kamera barunya yang bisa dipakai untuk membuat "photographe instanee", Cephas mulai menjual karya-karya fotonya. Sejak itu karya-karyanya mulai dikenal dan dipakai sebagai suvenir atau oleh-oleh bagi para masyarakat elit Belanda ketika mereka akan pergi ke luar kota atau ke Eropa. Misalnya ketika JM. Pijnaker Hordijk, leaseholder and prominent freemason, akan meninggalkan Yogya, ia diberi hadiah album indah berisi kompilasi karya-karya foto Cephas dengan cover indah yang dilukis oleh Cephas sendiri dan bertuliskan "Souvenir von Jogjakarta". Album-album semacam itu yang berisi foto-foto sultan dan keluarganya juga kerap diberikan sebagai hadiah untuk pejabat pemerintahan seperti residen dan asisten residen. Keadaan seperti ini tentunya membuat Cephas dikenal luas masyarakat kelas tinggi, dan memberinya keleluasaan bergaul di lingkungan mereka. |
|||
Cephas mulai bekerja sebagai fotografer kraton pada masa kekuasaan Sultan Hamengkubuwono VII. Karena kedekatannya dengan pihak kraton maka ia bisa memotret momen-momen khusus yang hanya diadakan di kraton semisal tari-tarian untuk kepentingan buku karya Groneman. |
|||
Cephas juga membantu pemotretan untuk penelitian monumen kuno peninggalan jaman Hindu-Jawa yaitu kompleks Candi Loro Jonggrang di Prambanan yang dilakukan oleh Archaeologische Vereeniging atau Archeological Union di Yogyakarta. Proyek ini berlangsung tahun 1889-1890. Dalam bekerja, Kassian Cephas banyak dibantu Sem, anak laki-lakinya yang paling tertarik pada dunia fotografi seperti ayahnya. Kassian Cephas memotret sementara Sem menggambar profil bangunannya. |
|||
Ia juga membantu memotret untuk lembaga yang sama ketika dasar tersembunyi Candi Borobudur mulai ditemukan. Ada sekitar 300 foto yang dibuat Cephas untuk penggalian ini. Pemerintah Belanda mengalokasikan dana 9000 gulden untuk penelitian ini. Cephas dibayar 10 gulden per lembar fotonya. Cephas mengantongi 3000 gulden (sepertiga dari seluruh uang penelitian). Jumlah yang sangat besar untuk ukuran waktu itu. Bahkan tiket nonton di Bioskop Al Hambra (sekarang Bioskop Indra), bioskop termahal waktu itu, pada tahun 1946 pun hanya 5 gulden yang waktu itu setara 2-3 kilogram beras. Pada bulan Maret 1946, harga tiket Al Hambra naik jadi 10 gulden. Tapi masih tetap sedikit dibanding dengan gaji Cephas. |
|||
Cephas adalah pribumi satu-satunya yang berhasil menguasai alat peradaban modern, itu juga yang membuatnya diakui di kalangan golongan masyarakat kelas tinggi. Buktinya ia bisa menjadi anggota istimewa "Batavian Society" yang terkenal itu. Tahun 1896 ia dinominasikan menjadi anggota KITLV (Royal Institute of Linguistics and Anthropology) atas dedikasinya memotret untuk penelitian Archaeological Union. Ia benar-benar diterima menjadi anggota KITLV pada tanggal 15 Juni 1896. Ketika Raja Chulangkorn dari Thailand berkunjung ke Yogya tahun 1896, ia mendapat hadiah berupa tiga buah kancing permata. Bahkan Ratu Wilhelmina memberi penghargaan berupa medali emas Orange-nassau kepada Cephas pada tahun 1901. |
|||
Cephas sendiri sudah sejak tahun 1888 memulai prosedur untuk mendapatkan status "gelijkgesteld met europeanen" atau "equivalent to Europeans" (sama dengan orang Eropa) untuk dirinya sendiri dan anak-anak laki-lakinya: Sem dan Fares. |
|||
Dunia Kassian Cephas memang dunia yang indah bagi ukuran orang pribumi. Waktu itu penjajahan sudah berjalan hampir 300 tahun. Orang Belanda sudah menjadi seperti bagian sehari-hari bangsa Jawa, bangsanya Kassian Cephas. Dan Cephas termasuk sedikit orang yang persis berada di tengah-tengahnya. Menikmati seluruh keistimewaan pergaulan sosial dan penghargaan dari masyarakat elit Eropa di Yogyakarta. Mungkin itu sebabnya kenapa karya-karya foto Cephas berisi suasana yang menyenangkan dan indah. Bukan lantaran ia adalah fotografer sultan dan juga bukan karena ia diminta untuk membuat foto-foto seperti itu oleh pemesan fotonya. Tapi mungkin karena "world view" Kassian Cephas sendiri memang indah, dunia sehari-harinya indah dan menyenangkan, maka lensa kameranya pun hanya mampu meneropong suasana yang indah. |
|||
Versi Bahasa Inggris artikel ini dimuat di The Jakarta Post, 24 Juni 1999 dengan judul "Classic Photographer Cephas Presents Beautiful Past". |
Revisi per 6 Desember 2006 09.05
Kassian Cephas lahir tanggal 15 February 1844, beliau asli pribumi yang kemudian diangkat anak oleh pasangan Adrianus Schalk dan Eta philipina Kreeft. Nama Kassian Cephas mulai terlacak dengan karya fotografi tertuanya buatan tahun 1875.
Artikel
Kassian Cephas Hanya Membuat Foto-foto Indah Oleh Nuraini Juliastuti
Nama Kassian Cephas tidak banyak dikenal orang sampai foto-foto karyanya dipamerkan di kraton mulai 11 Juni 1999 yang lalu di Bale Bang, Kraton Yogyakarta. Bahkan mungkin para mahasiswa yang kebetulan pernah mempelajari fotografi di bangku kuliah kurang begitu familiar dengan namanya. Literaratur-literatur sejarah Indonesia pun tidak pernah menyebut-nyebut namanya sebagai pribumi pertama yang berkarir sebagai fotografer profesional, atau menurut bahasa Gerrit Knaap (sejarawan Belanda yang menyusun buku "Cephas, Yogyakarta: photography in the Service of the Sultan" ) sebagai salah satu pionir modernitas. Namanya memang tidak seharum dan melekat di benak banyak orang seperti nama Wahidin Sudirohusodo atau KH. Dewantara yang sama-sama berasal dari Yogyakarta dan hidup satu jaman dengannya.
Apa yang menarik dari foto-foto karya Cephas? Dari foto-foto yang dipajang di Bale Bang dan di buku karya Knaap tampak bahwa Cephas memotret banyak hal: sultan dan keluarganya, bangunan-bangunan sekitar kraton, upacara garebeg di alun-alun, iring-iringan benda-benda untuk keperluan upacara, tari-tarian, pemandangan kota Yogya jaman itu saat jalan raya sepanjang Malioboro sampai depan Benteng Vredeberg masih sepi dan dipenuhi pohon-pohon besar di kiri-kanannya, sudut-sudut kota yang menurutnya menarik dan sebagainya.
Fotografi, tidak ada bedanya dulu dan sekarang, tetap dianggap sebagai kegiatan yang mahal. Banyak peralatan dan piranti yang harus dibeli, banyak biaya yang dibutuhkan. Maka itu orang yang menggeluti dunia fotografi tentulah bukan orang yang sembarangan. Pada jaman sekarang saja orang masih kerap memandang kagum kepada fotografer yang membawa seperangkat alat yang bermacam-macam bentuknya, lebih-lebih pada masa itu, masa menjelang ujung abad 19. Foto karya Cephas yang menggambarkan suasana rumah-rumah dan toko-toko di Jalan Ngabean (sekarang Jl. KH. Ahmad Dahlan) dengan bagus menunjukkan kekaguman masyarakat pribumi kepada fotografi. Bagian terbesar dari frame foto itu berisi rumah dan toko milik orang Belanda lengkap dengan tuan-tuan dan noni-noni Belanda yang duduk-duduk di teras rumah. Sementara orang-orang pribumi asli tampak kabur, berdiri berjubel di pojok kanan. Jalan depan rumah dan toko yang sedang dipotret tampak kosong, seakan sengaja dikosongkan untuk Cephas, si fotografer. Entah bagaimana perasaan mereka waktu itu. Mungkin kagum, heran, takjub, campur jadi satu.
Sebagai satu-satunya pribumi di masa itu yang sudah menguasai peralatan fotografi, tentulah Cephas sendiri orang yang sangat istimewa. Bayangkanlah seorang pribumi bernama Kassian Cephas di tahun menjelang ujung abad 19 menenteng peralatan kamera kemana-mana.
Satu pertanyaan yang mengganjal di kepala saya adalah kenapa foto-foto yang dibuat Cephas selalu indah? Foto-foto tari-tarian, upacara-upacara, model-model cantik, arsitektur rumah masa itu, semuanya adalah gambar suasana yang menyenangkan, enak dilihat dan tentu saja indah. Sebuah suasana yang agak bertolak belakang dengan kondisi Indonesia yang telah terjajah hampir 300 tahun. Tentu saja saja tak ada yang salah kalau seorang fotografer itu akan memotret pemandangan yang indah atau suasana menyedihkan yang kebetulan dilihatnya. Apa yang membuat Cephas mempunyai sudut pandang kamera tentang dunia yang selalu indah, itulah pertanyaannya.
Cephas lahir pada 15 Januari 1845 dari pasangan Kartodrono dan Minah. Ada juga yang mengatakan bahwa ia adalah anak angkat dari orang Belanda yang bernama Frederik Bernard Fr. Schalk. Cephas banyak menghabiskan masa kanak-kanaknya di rumah Christina Petronella Steven (siapa). Cephas mulai belajar menjadi fotografer profesional pada tahun 1860-an. Ia sempat magang pada Isidore van Kinsbergen, fotografer yang bekerja di Jawa Tengah sekitar 1863-1875. Tapi berita kematian Cephas di tahun 1912 menyebutkan bahwa ia belajar fotografi kepada seseorang yang bernama Simon Willem Camerik.
Publikasi luas foto-foto Cephas mulai pada tahun 1888 ketika ia membantu membuat foto-foto untuk buku karya Isaac Groneman, seorang dokter yang banyak membuat buku-buku tentang kebudayaan Jawa, yang berjudul: In den Kedaton te Jogjakarta. Pada buku karya Groneman yang lain: De Garebeg's te Ngajogjakarta, karya-karya foto Cephas juga ada disitu.
Dengan kamera barunya yang bisa dipakai untuk membuat "photographe instanee", Cephas mulai menjual karya-karya fotonya. Sejak itu karya-karyanya mulai dikenal dan dipakai sebagai suvenir atau oleh-oleh bagi para masyarakat elit Belanda ketika mereka akan pergi ke luar kota atau ke Eropa. Misalnya ketika JM. Pijnaker Hordijk, leaseholder and prominent freemason, akan meninggalkan Yogya, ia diberi hadiah album indah berisi kompilasi karya-karya foto Cephas dengan cover indah yang dilukis oleh Cephas sendiri dan bertuliskan "Souvenir von Jogjakarta". Album-album semacam itu yang berisi foto-foto sultan dan keluarganya juga kerap diberikan sebagai hadiah untuk pejabat pemerintahan seperti residen dan asisten residen. Keadaan seperti ini tentunya membuat Cephas dikenal luas masyarakat kelas tinggi, dan memberinya keleluasaan bergaul di lingkungan mereka.
Cephas mulai bekerja sebagai fotografer kraton pada masa kekuasaan Sultan Hamengkubuwono VII. Karena kedekatannya dengan pihak kraton maka ia bisa memotret momen-momen khusus yang hanya diadakan di kraton semisal tari-tarian untuk kepentingan buku karya Groneman.
Cephas juga membantu pemotretan untuk penelitian monumen kuno peninggalan jaman Hindu-Jawa yaitu kompleks Candi Loro Jonggrang di Prambanan yang dilakukan oleh Archaeologische Vereeniging atau Archeological Union di Yogyakarta. Proyek ini berlangsung tahun 1889-1890. Dalam bekerja, Kassian Cephas banyak dibantu Sem, anak laki-lakinya yang paling tertarik pada dunia fotografi seperti ayahnya. Kassian Cephas memotret sementara Sem menggambar profil bangunannya.
Ia juga membantu memotret untuk lembaga yang sama ketika dasar tersembunyi Candi Borobudur mulai ditemukan. Ada sekitar 300 foto yang dibuat Cephas untuk penggalian ini. Pemerintah Belanda mengalokasikan dana 9000 gulden untuk penelitian ini. Cephas dibayar 10 gulden per lembar fotonya. Cephas mengantongi 3000 gulden (sepertiga dari seluruh uang penelitian). Jumlah yang sangat besar untuk ukuran waktu itu. Bahkan tiket nonton di Bioskop Al Hambra (sekarang Bioskop Indra), bioskop termahal waktu itu, pada tahun 1946 pun hanya 5 gulden yang waktu itu setara 2-3 kilogram beras. Pada bulan Maret 1946, harga tiket Al Hambra naik jadi 10 gulden. Tapi masih tetap sedikit dibanding dengan gaji Cephas.
Cephas adalah pribumi satu-satunya yang berhasil menguasai alat peradaban modern, itu juga yang membuatnya diakui di kalangan golongan masyarakat kelas tinggi. Buktinya ia bisa menjadi anggota istimewa "Batavian Society" yang terkenal itu. Tahun 1896 ia dinominasikan menjadi anggota KITLV (Royal Institute of Linguistics and Anthropology) atas dedikasinya memotret untuk penelitian Archaeological Union. Ia benar-benar diterima menjadi anggota KITLV pada tanggal 15 Juni 1896. Ketika Raja Chulangkorn dari Thailand berkunjung ke Yogya tahun 1896, ia mendapat hadiah berupa tiga buah kancing permata. Bahkan Ratu Wilhelmina memberi penghargaan berupa medali emas Orange-nassau kepada Cephas pada tahun 1901.
Cephas sendiri sudah sejak tahun 1888 memulai prosedur untuk mendapatkan status "gelijkgesteld met europeanen" atau "equivalent to Europeans" (sama dengan orang Eropa) untuk dirinya sendiri dan anak-anak laki-lakinya: Sem dan Fares.
Dunia Kassian Cephas memang dunia yang indah bagi ukuran orang pribumi. Waktu itu penjajahan sudah berjalan hampir 300 tahun. Orang Belanda sudah menjadi seperti bagian sehari-hari bangsa Jawa, bangsanya Kassian Cephas. Dan Cephas termasuk sedikit orang yang persis berada di tengah-tengahnya. Menikmati seluruh keistimewaan pergaulan sosial dan penghargaan dari masyarakat elit Eropa di Yogyakarta. Mungkin itu sebabnya kenapa karya-karya foto Cephas berisi suasana yang menyenangkan dan indah. Bukan lantaran ia adalah fotografer sultan dan juga bukan karena ia diminta untuk membuat foto-foto seperti itu oleh pemesan fotonya. Tapi mungkin karena "world view" Kassian Cephas sendiri memang indah, dunia sehari-harinya indah dan menyenangkan, maka lensa kameranya pun hanya mampu meneropong suasana yang indah.
Versi Bahasa Inggris artikel ini dimuat di The Jakarta Post, 24 Juni 1999 dengan judul "Classic Photographer Cephas Presents Beautiful Past".