Lompat ke isi

Kampung Dukuh: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
SU34Marlina (bicara | kontrib)
←Membuat halaman berisi 'thumb|Kampung Dukuh Setelah Kebakaran ==Sejarah== Kampung dukuh di dirikan oleh seorang ulama yang bernama '''syekh Abdul Jalil'''.<ref n...'
 
SU34Marlina (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 2: Baris 2:


==Sejarah==
==Sejarah==
Kampung dukuh di dirikan oleh seorang ulama yang bernama '''syekh Abdul Jalil'''.<ref name="Buku"/> Landasan budaya kasebut mangaruhan dina jieunan fisik pilemburan kasebut sarta adat istiadat masarakat Kampung Dukuh. <ref name="Buku"> Darpan, Suhardiman Budi. 2007. Seputar Garut. Tarogong: Komunitas Srimaganti. </ref> Ia adalah seorang ulama yang diminta oleh Bupati Sumedang untuk menjadi penghulu/ kepala agama di kesultanan Sumedang pada abad ke-17, dimana pada waktu itu Bupati sumedang adalah Rangga Gempol II dan penunjukan Syekh Abdul Jalil tersebut atas dasar saran dari raja mataram. Pada waktu diminta menjadi penghulu/kepala agama di Sumedang, syekh abdul jalil mengajukan 2 syarat, yang pertama tidak boleh melanggar hukum syara (hukum agama, seperti membunuh, berzinah, merampok dsb), dan yang kedua adalah bupati/pemimpin dan rakyatnya harus bersatu. Jika kedua syarat tersebut tidak di langgar maka ia ia akan mengundurkan diri dari jabatan penghulu/kepala agama.<ref name="Buku"/> Dua belas tahun kemudian terjadilah pembunuhan utusan dari kerajaan banten. Pembunuhan itu diperintahakan aleh Rangga Gempol II karena, rangga gempol menolak untuk tunduk ke kerajaan banten, bukannya pada mataram. Pada saat peristiwa itu terjadi Syekh Abdul Jalil sedang berada di Mekkah, Setelah mendengar berita itu dari wakilnya, ia merasa sedih karena telah terjadi pelanggaran terhadap hukum syara. Maka ia pun pergi meninggalkan Sumedang dan menetap di Batuwangi selama tiga setengah tahun. Kemudian ia melanjutkan lagi perjalanannya ke selatan dan tinggal di suatu daerah yang bernama Tonjong selama setengah tahun. Di setiap tempat yang disinggahinya Syekh Abdul Jalil selalu betafakur memohon kepada Allah untuk mendapatkan tempat yang cocok untuk tinggal dan dan menggajarkan ilmu agamanya dengan tenang. Pada saat bertafakur, ia melihat sebuah sinar sebesar pohon aren ( Arenga Sacchan fera). Sinar itu bergerak menuju suatu tempat, di ikuti oleh Syekh Abdul Jalil, dan sinar itu menghilang diantara sungai Cimangke dan Cipasarangan.<ref name="Buku"/> Ternyata tempat tersebut sudah ada penghuninya yaitu pakebon dan nikebon (orang yang menunggui huma atau ladang) yang bernama Aki dan Nini Candradiwangsa. Setelah kedatangan Syekh Abdul Jalil, tempat tersebut diserahkan kepadanya oleh aki dan nini Candra dan merekapun pulang ke rumahanya. Sepeninggal aki dan nini Candra, Syekh Abdul Jalil menetap di daerah tersebut dan menyebarkan pengetahuan agama yang ia miliki, sehingga terbentuklah kampung adat dukuh dan masih tetap berdiri sampai saat ini. Kalau dilihat dari sejarahnya masyarakat adat dukuh itu memiliki hak ulayat atau wilayah adat yang mempunyai batas sebagai berikut : pada sebelah utara dibatasi oleh Gunung ragas (haur duni Istilah masyrakat lokalnya), sebelah selatan dibatasi oleh laut kidul (Pantai selatan), sebelah barat dibatasi oleh Sungai Cimangke, dan sebelah timur dibatasi oleh sungai Cipasarangan. Batas-batas ini kemudian secara administratif di jadikan batas desa Cijambe. Dimana sekitar tahun 1984 batas wilayah adat dukuh secara administratif dilakukan pemekarkan menjadi 2 desa, yaitu menjadi desa karang sari dan desa cijambe, kondisi ini masih bertahan sampai saat ini. Wilayah ulayat kampung dukuh merupakan sumber kekayaan masyarakat adat dukuh, karena di dalamnya terdapat kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan bagi kehidupan, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat adat tersebut.<ref name="Buku"> Darpan, Suhardiman Budi. 2007. Seputar Garut. Tarogong: Komunitas Srimaganti. </ref>
Kampung dukuh di dirikan oleh seorang ulama yang bernama '''Syekh Abdul Jalil'''.<ref name="Buku"/> Landasan budaya kasebut mangaruhan dina jieunan fisik pilemburan kasebut sarta adat istiadat masarakat Kampung Dukuh. <ref name="Buku"> Darpan, Suhardiman Budi. 2007. Seputar Garut. Tarogong: Komunitas Srimaganti. </ref> Ia adalah seorang ulama yang diminta oleh Bupati [[Sumedang]] untuk menjadi penghulu atau kepala agama di kesultanan Sumedang pada abad ke-17, dimana pada waktu itu Bupati sumedang adalah '''Rangga Gempol II''' dan penunjukan Syekh Abdul Jalil tersebut atas dasar saran dari raja [[mataram]].<ref name="Potensi Wisata"> [Rostiyati, Ani dkk.(2004).''Potensi Wisata Di Daerah Pameungpeuk Kabupaten Garut''.Bandung: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung Proyek Pemanfaatan Kebudayaan Daerah Jawa Barat.) (kaca 36) </ref> Pada waktu diminta menjadi penghulu atau kepala agama di Sumedang, syekh abdul jalil mengajukan 2 syarat, yang pertama tidak boleh melanggar hukum syara (hukum agama, seperti membunuh, berzinah, merampok dsb), dan yang kedua adalah bupati/pemimpin dan rakyatnya harus bersatu.<ref name="Potensi Wisata"> Jika kedua syarat tersebut tidak di langgar maka ia ia akan mengundurkan diri dari jabatan penghulu/kepala agama.<ref name="Buku"/> Dua belas tahun kemudian terjadilah pembunuhan utusan dari kerajaan banten.<ref name="Potensi Wisata"/> Pembunuhan itu diperintahakan aleh Rangga Gempol II karena, rangga gempol menolak untuk tunduk ke kerajaan [[Banten]], bukannya pada mataram.<ref name="Potensi Wisata"/> Pada saat peristiwa itu terjadi Syekh Abdul Jalil sedang berada di Mekkah, Setelah mendengar berita itu dari wakilnya, ia merasa sedih karena telah terjadi pelanggaran terhadap hukum syara.<ref name="Potensi Wisata"/> Maka ia pun pergi meninggalkan Sumedang dan menetap di Batuwangi selama tiga setengah tahun.<ref name="Potensi Wisata"/> Kemudian ia melanjutkan lagi perjalanannya ke selatan dan tinggal di suatu daerah yang bernama Tonjong selama setengah tahun.<ref name="Potensi Wisata"/> Di setiap tempat yang disinggahinya Syekh Abdul Jalil selalu betafakur memohon kepada Allah untuk mendapatkan tempat yang cocok untuk tinggal dan dan menggajarkan ilmu agamanya dengan tenang.<ref name="Potensi Wisata"/> Pada saat bertafakur, ia melihat sebuah sinar sebesar pohon aren ( Arenga Sacchan fera).<ref name="Potensi Wisata"/> Sinar itu bergerak menuju suatu tempat, di ikuti oleh Syekh Abdul Jalil, dan sinar itu menghilang diantara [[sungai Cimangke]] dan [[Cipasarangan]].<ref name="Potensi Wisata"/> Ternyata tempat tersebut sudah ada penghuninya yaitu pakebon dan nikebon (orang yang menunggui huma atau ladang) yang bernama Aki dan Nini Candradiwangsa.<ref name="Potensi Wisata"/> Setelah kedatangan Syekh Abdul Jalil, tempat tersebut diserahkan kepadanya oleh aki dan nini Candra dan merekapun pulang ke rumahanya.<ref name="Potensi Wisata"/> Sepeninggal aki dan nini Candra, Syekh Abdul Jalil menetap di daerah tersebut dan menyebarkan pengetahuan agama yang ia miliki, sehingga terbentuklah kampung adat dukuh dan masih tetap berdiri sampai saat ini.<ref name="Potensi Wisata"/> Kalau dilihat dari sejarahnya masyarakat adat dukuh itu memiliki hak ulayat atau wilayah adat yang mempunyai batas sebagai berikut : pada sebelah utara dibatasi oleh Gunung ragas (haur duni Istilah masyrakat lokalnya), sebelah selatan dibatasi oleh laut kidul (Pantai selatan), sebelah barat dibatasi oleh Sungai Cimangke, dan sebelah timur dibatasi oleh sungai Cipasarangan. Batas-batas ini kemudian secara administratif di jadikan batas [[desa Cijambe]]. Dimana sekitar tahun 1984 batas wilayah adat dukuh secara administratif dilakukan pemekarkan menjadi 2 desa, yaitu menjadi desa karang sari dan desa cijambe, kondisi ini masih bertahan sampai saat ini.<ref name="Potensi Wisata"/> Wilayah ulayat kampung dukuh merupakan sumber kekayaan masyarakat adat dukuh, karena di dalamnya terdapat kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan bagi kehidupan, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat adat tersebut.<ref name="Buku"> Darpan, Suhardiman Budi. 2007. Seputar Garut. Tarogong: Komunitas Srimaganti. </ref>


==Keadaan Penduduk==
==Keadaan Penduduk==
Mata pencaharian utama masyarakat kampung dukuh adalah bertani.<ref name="sumber2"> [http://masyarakatadat.org/en/database.html?idkom=179] </ref> Model pertanian yang biasa di lakukan yaitu model pertanian lahan basah (sawah) dan pertanian lahan kering (huma/berladang).<ref name="sumber2"/> Masyarakat kampung dukuh dalam bertani pada lahan basah (sawah) biasanya menggunakan lahan yang terletak pada pinggir-pinggir sungai, dan lahan yang dapat digunakan untuk cara bertani ini cukup sedikit.<ref name="sumber2"/> Sedangkan untuk bertani pada lahan kering itu cukup luas, karena biasanya masyarakat adat kampung dukuh akan mebukah hutan untuk dijadikan lahan untuk berladang atau bertani.<ref name="sumber2"/> Karena lahan ini cukup luas.<ref name="sumber2"/> maka masyarakat biasanya banyak yang melakukan bertani pada lahan kering, yaitu seperti ngehuma,berladang.<ref name="sumber2"/> Selain itu juga masyarakat kampung adat dukuh sering memanfaatkan hutan sekitarnya, untuk memenuhi kekebutuhan hidup.<ref name="sumber2"/> Biasanya dimanfaatkan untuk mengambil kayu bakar, mengambil bahan untuk membuat rumah. Hal ini biasa dilakukan oleh masyarakat kampung dukuh sebelum masuknya jawatan kehutanan atau perhutani.<ref name="sumber2"/> Dimana setelah masuknya perhutani ke wilayah adat dukuh, masyarakat menjadi tidak punya akses terhadap hak ulayat mereka.<ref name="sumber2"/>
Mata pencaharian utama masyarakat kampung dukuh adalah bertani.<ref name="sumber2"> [http://masyarakatadat.org/en/database.html?idkom=179] </ref> Model pertanian yang biasa di lakukan yaitu model pertanian lahan basah (sawah) dan pertanian lahan kering (huma/berladang).<ref name="sumber2"/> Masyarakat kampung dukuh dalam bertani pada lahan basah (sawah) biasanya menggunakan lahan yang terletak pada pinggir-pinggir sungai, dan lahan yang dapat digunakan untuk cara bertani ini cukup sedikit.<ref name="sumber2"/> Sedangkan untuk bertani pada lahan kering itu cukup luas, karena biasanya masyarakat adat kampung dukuh akan mebukah hutan untuk dijadikan lahan untuk berladang atau bertani.<ref name="sumber2"/> Karena lahan ini cukup luas.<ref name="sumber2"/> maka masyarakat biasanya banyak yang melakukan bertani pada lahan kering, yaitu seperti ngehuma,berladang.<ref name="sumber2"/> Selain itu juga masyarakat kampung adat dukuh sering memanfaatkan hutan sekitarnya, untuk memenuhi kekebutuhan hidup.<ref name="sumber2"/> Biasanya dimanfaatkan untuk mengambil kayu bakar, mengambil bahan untuk membuat rumah.<ref name="Potensi Wisata"/> Hal ini biasa dilakukan oleh masyarakat kampung dukuh sebelum masuknya jawatan kehutanan atau perhutani.<ref name="sumber2"/> Dimana setelah masuknya perhutani ke wilayah adat dukuh, masyarakat menjadi tidak punya akses terhadap hak ulayat mereka.<ref name="sumber2"/>


==catatan==
==catatan==

Revisi per 30 Oktober 2011 15.14

Berkas:Kampung Dukuh.jpg
Kampung Dukuh Setelah Kebakaran

Sejarah

Kampung dukuh di dirikan oleh seorang ulama yang bernama Syekh Abdul Jalil.[1] Landasan budaya kasebut mangaruhan dina jieunan fisik pilemburan kasebut sarta adat istiadat masarakat Kampung Dukuh. [1] Ia adalah seorang ulama yang diminta oleh Bupati Sumedang untuk menjadi penghulu atau kepala agama di kesultanan Sumedang pada abad ke-17, dimana pada waktu itu Bupati sumedang adalah Rangga Gempol II dan penunjukan Syekh Abdul Jalil tersebut atas dasar saran dari raja mataram.[2] Pada waktu diminta menjadi penghulu atau kepala agama di Sumedang, syekh abdul jalil mengajukan 2 syarat, yang pertama tidak boleh melanggar hukum syara (hukum agama, seperti membunuh, berzinah, merampok dsb), dan yang kedua adalah bupati/pemimpin dan rakyatnya harus bersatu.Kesalahan pengutipan: Tag <ref> harus ditutup oleh </ref>

Keadaan Penduduk

Mata pencaharian utama masyarakat kampung dukuh adalah bertani.[3] Model pertanian yang biasa di lakukan yaitu model pertanian lahan basah (sawah) dan pertanian lahan kering (huma/berladang).[3] Masyarakat kampung dukuh dalam bertani pada lahan basah (sawah) biasanya menggunakan lahan yang terletak pada pinggir-pinggir sungai, dan lahan yang dapat digunakan untuk cara bertani ini cukup sedikit.[3] Sedangkan untuk bertani pada lahan kering itu cukup luas, karena biasanya masyarakat adat kampung dukuh akan mebukah hutan untuk dijadikan lahan untuk berladang atau bertani.[3] Karena lahan ini cukup luas.[3] maka masyarakat biasanya banyak yang melakukan bertani pada lahan kering, yaitu seperti ngehuma,berladang.[3] Selain itu juga masyarakat kampung adat dukuh sering memanfaatkan hutan sekitarnya, untuk memenuhi kekebutuhan hidup.[3] Biasanya dimanfaatkan untuk mengambil kayu bakar, mengambil bahan untuk membuat rumah.[2] Hal ini biasa dilakukan oleh masyarakat kampung dukuh sebelum masuknya jawatan kehutanan atau perhutani.[3] Dimana setelah masuknya perhutani ke wilayah adat dukuh, masyarakat menjadi tidak punya akses terhadap hak ulayat mereka.[3]

catatan

  1. ^ a b Darpan, Suhardiman Budi. 2007. Seputar Garut. Tarogong: Komunitas Srimaganti.
  2. ^ a b [Rostiyati, Ani dkk.(2004).Potensi Wisata Di Daerah Pameungpeuk Kabupaten Garut.Bandung: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung Proyek Pemanfaatan Kebudayaan Daerah Jawa Barat.) (kaca 36)
  3. ^ a b c d e f g h i [1]