Lompat ke isi

Sastra eksil Indonesia: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
WL8 Wikan (bicara | kontrib)
menambah data dan referensi
WL8 Wikan (bicara | kontrib)
menambah data dan referensi
Baris 4: Baris 4:


Kebudayaan [[eksil]], termasuk [[sastra eksil]], lahir sebagai akibat terjadinya dua atau lebih kekuatan ideologi dan kekuatan politik – sekaligus juga kekuatan ideologi-politik – yang tidak terdamaikan, sehingga pihak yang satu harus dilenyapkan atau diusir sejauh-jauhnya oleh pihak yang lain. Hindu-Budha vs Islam (Badui, Wong Using, Bali Kuno – abad ke-15), Belanda vs Jawa (Samin – abad ke-19), Kiri vs Kanan/Militerisme (Diaspora Indonesia – dua dasawarsa pasca-PD II).<ref name="sastraeksil2"/> Atau, dalam bentuk yang lebih lunak, hasil dari sekelompok makhluk yang kalah kuat yang dipindahkan dengan paksa dari tempat satu ke tempat lain oleh sekelompok makhluk yang lebih kuat. Seperti misalnya, antara lain, sastra Jawa Suriname dan sastra Jawa Afrika Selatan, yang lahir dari kuli-kuli kontrak dari Jawa di kawasan-kawasan tersebut.<ref name="sastraeksil2"/>
Kebudayaan [[eksil]], termasuk [[sastra eksil]], lahir sebagai akibat terjadinya dua atau lebih kekuatan ideologi dan kekuatan politik – sekaligus juga kekuatan ideologi-politik – yang tidak terdamaikan, sehingga pihak yang satu harus dilenyapkan atau diusir sejauh-jauhnya oleh pihak yang lain. Hindu-Budha vs Islam (Badui, Wong Using, Bali Kuno – abad ke-15), Belanda vs Jawa (Samin – abad ke-19), Kiri vs Kanan/Militerisme (Diaspora Indonesia – dua dasawarsa pasca-PD II).<ref name="sastraeksil2"/> Atau, dalam bentuk yang lebih lunak, hasil dari sekelompok makhluk yang kalah kuat yang dipindahkan dengan paksa dari tempat satu ke tempat lain oleh sekelompok makhluk yang lebih kuat. Seperti misalnya, antara lain, sastra Jawa Suriname dan sastra Jawa Afrika Selatan, yang lahir dari kuli-kuli kontrak dari Jawa di kawasan-kawasan tersebut.<ref name="sastraeksil2"/>

Sama yang umum dialami kaum eksil, para penulis eksil Indonesia juga harus membuang ciri-ciri dan jatidiri mereka.<ref name="sastraeksil2"/> Penghilangan jati diri itu dilakukan atas desakan dari penguasa di mana mereka berlindung – semua eksil Indonesia yang bermukim di China mereka harus bernama China, bahkan sampai di Eropa Barat pun (Perancis) mereka ‘mengubah nama’ mereka menjadi nama-nama Perancis.<ref name="sastraeksil2"/> Goncangan perubahan itu terlebih dirasakan oleh para eksil, karena di dalam ideologi mereka telah ditanamkan ajaran, bahwa ‘dunia proletariat mereka’ adalah ‘dunia murni’, sedang dunia di luar mereka adalah ‘lautan burjuasi’ yang serba kotor.<ref name="sastraeksil2"/>







Revisi per 9 Desember 2011 07.27

Sastra Eksil Indonesia adalah karya-karya pengarang Indonesia yang terdampar di luar negeri dan tidak bisa atau tidak diperbolehkan pulang ke tanah air setelah peristiwa 30 September 1965.[1]

Sastra eksil Indonesia ialah karya sastra orang-orang eksil Indonesia, yakni orang-orang Indonesia yang terpaksa tidak bisa pulang kembali ke Indonesia karena situasi politik pada tahun 1965, khususnya mereka yang bermukim di Eropa Barat, dan lebih khusus lagi yang di Belanda. Situasi politik yang dimaksud ialah perubahan pemerintahan secara drastis dari pemerintahan sipil ke pemerintahan di bawah kekuasaan militer. [2] Keadaan ini terjadi sejak sekitar kuartal pertama tahun 1966, yang diawali dengan apa yang dinamakan ‘Peristiwa G30S’ tahun 1965. Terhambatnya warga Indonesia tidak bisa kembali ke tanah air, dan harus hidup dari satu negeri ke negeri lain, oleh mantan Presiden Abdulrachman Wahid alias Gus Dur menamai orang-orang eksil Indonesia sebagai ‘orang-orang yang terhalang pulang’ atau ‘orang-orang klayaban’.[2]

Kebudayaan eksil, termasuk sastra eksil, lahir sebagai akibat terjadinya dua atau lebih kekuatan ideologi dan kekuatan politik – sekaligus juga kekuatan ideologi-politik – yang tidak terdamaikan, sehingga pihak yang satu harus dilenyapkan atau diusir sejauh-jauhnya oleh pihak yang lain. Hindu-Budha vs Islam (Badui, Wong Using, Bali Kuno – abad ke-15), Belanda vs Jawa (Samin – abad ke-19), Kiri vs Kanan/Militerisme (Diaspora Indonesia – dua dasawarsa pasca-PD II).[2] Atau, dalam bentuk yang lebih lunak, hasil dari sekelompok makhluk yang kalah kuat yang dipindahkan dengan paksa dari tempat satu ke tempat lain oleh sekelompok makhluk yang lebih kuat. Seperti misalnya, antara lain, sastra Jawa Suriname dan sastra Jawa Afrika Selatan, yang lahir dari kuli-kuli kontrak dari Jawa di kawasan-kawasan tersebut.[2]

Sama yang umum dialami kaum eksil, para penulis eksil Indonesia juga harus membuang ciri-ciri dan jatidiri mereka.[2] Penghilangan jati diri itu dilakukan atas desakan dari penguasa di mana mereka berlindung – semua eksil Indonesia yang bermukim di China mereka harus bernama China, bahkan sampai di Eropa Barat pun (Perancis) mereka ‘mengubah nama’ mereka menjadi nama-nama Perancis.[2] Goncangan perubahan itu terlebih dirasakan oleh para eksil, karena di dalam ideologi mereka telah ditanamkan ajaran, bahwa ‘dunia proletariat mereka’ adalah ‘dunia murni’, sedang dunia di luar mereka adalah ‘lautan burjuasi’ yang serba kotor.[2]



Rujukan

  1. ^ (Indonesia) Alham, Asahan (ed). Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil, Lontar, 2002, ISBN 979-8083-42-3
  2. ^ a b c d e f g (Indonesia) Setiawan, Hersri.Sastra Eksil Indonesia [1], makalah lokakarya tentang ‘Indonesian exiles: crossing cultural, political and religious borders’, Maret 2009, Canberra, Australia