Lompat ke isi

Pembicaraan Pengguna:Eka Azwin Lubis: Perbedaan antara revisi

Konten halaman tidak didukung dalam bahasa lain.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 71: Baris 71:


Status sosial yang melekat pada diri setiap Mahasiswa selalu menggiring kita yang pernah dan sedang berada didunia kampus seakan memiliki segala sesuatu yang seakan diatas status sosial masyarakat pada umumnya. Tidak tau faktor apa yang menjadi penyebab hal tersebut dapat terjadi, semua seolah datang dengan sendirinya karena budaya yang muncul secara otodidak. Hal ini terlihat dari pandangan umum yang sering menganggap bahwa Mahasiswa merupakan kaum intelektual yang punya pola fikir dan sudut pandang yang berbeda dalam menanggapi satu masalah yang muncul ditengah dinamika kehidupan bermasyarakat. Beragam ungkapan melekat pada diri Mahasiswa yang semakin mempertegas peran Mahasiswa itu sendiri sebagai elemen yang vital dalam kehidupan. Mulai dari agent of change yang menempatkan Mahasiswa sebagai pelopor perubahan yang menjadi titik tolak berubahnya orientasi kehidupan kearah yang lebih baik. Ada juga yang beranggapan bahwa Mahasiswa merupakan agent of social control, dimana peran aktif Mahasiswa dalam mengawal berbagai bentuk kehidupan dan permasalahanya sangat dituntut karena ada pandangan bahwa Mahasiswalah kaum yang netral dan belum terkontaminasi dengan berbagai kepentingan yang berjalan seiring dengan permasalahan terutama yang menyangkut kebijakan publik. Tidak salah juga bila ungkapan yang menyatakan Mahasiswa merupakan iron stock, muncul sebagai harapan yang dititipkan kepada kaum pembaharuan dan sosok-sosok penerus peradaban dimasa yang akan datang. Sehingga pada diri Mahasiswalah kepercayaan untuk memangku dan menjalankan tatanan hidup bangsa kedepannya disematkan. Semua hal tersebut tidaklah keliru apalagi berlebihan. Sebab suka atau tidak suka jika kita berkata dalam konteks nasional, kita harus berani jujur mengatakan bahwa Mahasiswa jugalah yang mampu untuk memangku peran sebagai pengubah berbagai sistem yang dianggap sudah tidak lagi sesuai dengan pola fikir, karakter, dan keinginan mayoritas masyarakat Indonesia sehingga dinilai menyimpang dengan cita-cita hidup bangsa. Hal ini terbukti dari bagaimana Mahasiswa mampu untuk mengubah peradaban pemerintahan Orde Baru yang berkuasa tak kurang dari 32 tahun menjadi pemerintahan yang mengagungkan Reformasi sebagai cita-cita birokrasi bangsa. Saat itu Mahasiswa merupakan tonggak terdepan dari runtuhnya pemerintahan Soeharto yang akrab dikenal sebagai zaman Orde Baru. Sistem pemerintahan ala Diktator yang diterpakan oleh Soeharto pada masa itu membuat semua pihak seolah tak punya daya untuk melawan dan menyuarakan kebebasan demokrasinya. Sehingga tidak heran jika beliau mampu untuk menngemban amanah sebagai orang nomor satu di Indonesia selama 32 tahun denagn memenangkan 7 kali pemilu. Namun rasa bosan dengan pola kepemimpinannya yang dirasakan sebagian besar masyarakat Indonesia pada sat itu tidak mampu disuarakan karena kuatnya power kekuasaan pemerintah hingga tak satupun pihak yang mampu untuk membantah setiap titah yang dia kehendaki termasuk untuk terus memimpin negara ini. Hingga akhirnya dipertengahan tahun 1998 munculah perlawanan besar-besaran yang pada akhirnya membawa perubahan dalam tatanan kehidupan birokrasi Indonesia. Mahasiswa menjadi motor pergerakan untuk melawan penindasan yang dialami oleh masyarakat Indonesia. Berawal dari krisis moneter yang menerpa sebagian kawasan Asia termasuk Indonesia dan berdampak pada melonjaknya berbagai harga bahan kebutuhan pokok. Moment tersebut dimanfaatkan oleh para agent of change tersebut untuk menghimpun persatuan dan kekuatan dalam menumbangkan rezim yang dianggap sudah usang dan tidak mampu lagi membawa Indonesia untuk berlayar menuju kehidupan masyarakat yang madani. Perlawanan Mahasiswa untuk menyongsong perubahan tersebut bukanlah tanpa rintangan, sebab keberanian kaum intelektual muda ini harus dibayar mahal dengan melayangnya nyawa beberapa Mahasiswa pahlawan reformasi karena protes mereka terhadap pemerintah yang dianggap gagal menstabilkan perekonomian bangsa direspon pemerintah dengan menurunkan pasukan keamanan negara yang saat itu masih dipegang oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sehingga menimbulkan gejolak dihampir seluruh pelosok negeri. Namun perlawanan demi perubahan tersebut bukanlah satu hal yang sia-sia. Praktis Presiden Soeharto yang hampir mustahil untuk dilengserkan, harus rela meletakan jabatannya sebelum masa baktinya sebagai presiden yang memenangkan pemilu untuk ketujuh kalinya secara berturut-turut usai dan digantikan oleh wakilnya BJ. Habibie untuk menakhodai negara ini. Hal tersebut semakin mempertegas peran Mahasiswa sebagai pelaku perubahan yang mampu mengubah apapun yang dianggapnya sudah tidak sesuai dengan kamaslahatan umat termasuk kedudukan seorang presiden sekalipun. Dalam mengawal pemerintahan hingga saat inipun Mahasiswa masih berperan aktif mengingat status sosial yang disandang sebagai pengawal berbagai kehidupan sosial termasuk sistem pemerintahan. Tidak akan kita temui ada pihak yang rela berlelah letih untuk menyuarakan aspirasinya kepada pihak-pihak yang mereka anggap sudah keluar dari koridor hak akan wewenangnya kecuali Mahasiswa. Unjuk rasa seolah menjadi salah satu mata kuliah non kurikulum yang tetap dilaksanakan Mahasiswa untuk mengontrol berbagai penyimpangan yang mereka temui sebagai agent of social control. Kontradiksi Dengan Tanggung Jawab Moral Tidak ada atau hanya segelintir orang tua yang menginginkan anaknya sebagai aktivis Mahasiswa jika kelak duduk dibangku perguruan tinggi untuk menempah ilmu yang lebih optimal sebagai lanjutan dari jenjang pendidikan sebelumnya. Tanggung jawab moral seorang anak kepada orang tuanya apabila memasuki dunia kampus adalah menyelesaikan studi dengan baik tanpa harus mengalami kendala yang berarti apalagi yang datang dari diri sendiri. Sebab disinilah peran aktif seorang peserta didik dipertaruhkan. Bila waktu duduk dibangku Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah, seorang guru memiliki peran yang lebih optimal dalam memancing minat belajar siswanya. Namun di perguruan tinggi pola tersebut diubah 180 derajat, dimana peserta didik yang kemudian disebut Mahasiswa, yang harus berperan aktif untuk mendapatkan ilmu yang maksimal, sementara sang dosen lebih berperan sebagai fasilitator transformasi ilmu yang sedang ditimbah. Apapun hasil yang didapat oleh Mahasiswa, semua berpulang pada pribadi masing-masing dalam mengaktualisasikan diri sesuai pola transformasi yang diterapkan dosen. Sehingga dengan cara yang seperti ini tanggung jawab akademisi secara awam harus lebih dikedepankan oleh setiap Mahasiswa agar tidak blunder dikala masa studi berakhir. Mahasiswa seakan dituntut untuk tidak memfokuskan diri pada hal lain kecuali mata kuliah yang mereka hadapi agar konsentrasi yang dimiliki tidak terpecah dan semua ilmu yang diberi mampu diterima secara optimal. Namun apakah hal tersebut sejalan dengan peran Mahasiswa sebagaimana yang telah dijabarkan diatas. Bukankah jika Mahasiswa harus fokus pada studinya dikampus, meraka akan melupakan peran yang mereka emban sebagai agent of change, agent of social control, maupun iron stock. Tidak salah jika kita menilai bahwa mereka yang menyandang status sebagai sarjana dengan pengalaman ilmu yang optimal karena didapat dengan cara fokus pada pelajaran semasa kuliah akan menjadi penerus peradaban bangsa, namun apakah peran mereka yang lainnya seperti pelaku perubahan dan pelaku pengawal kehidupan sosial dapat terimplementasikan jikalau mereka melulu terfokus pada doktrin mata kuliah yang tentunya mengharamkan mereka untuk turun kejalan melakukan unjuk rasa sebagai perwujudan pengawal dinamika sosial. Atau mungkinkah perubahan yang dinantikan oleh mayoritas masyarakat Indonesia akan datang jika mereka semua yang berhak untuk mengenakan almamater kampus harus berdiam diri dikampusnya masing-masing pada saat gejolak ekonomi melanda Indonesia pada akhir tahun 1990an demi tanggung jawab akademis yang tidak boleh ditinggalkan barang sedetikpun. Disinilah kedewasaan Mahasiswa sesungguhnya tertempa dengan matang karena mereka mampu untuk menyesuaikan ruang yang mereka tempati dengan peran dan tanggung jawab yang mereka emban. Tidak adil jika kita berfikir bahwa setiap Mahasiswa yang hari-harinya disibukan untuk aktif mengikuti perkembangan dan mengawal dinamika birokrasi yang terjadi, memiliki Indeks Prestasi yang rendah. Sebab Mahasiswa yang dapat menempatkan diri sesuai dengan dunianyalah yang memiliki kecerdasan akan ruang dan kedisiplinan akan waktu.
Status sosial yang melekat pada diri setiap Mahasiswa selalu menggiring kita yang pernah dan sedang berada didunia kampus seakan memiliki segala sesuatu yang seakan diatas status sosial masyarakat pada umumnya. Tidak tau faktor apa yang menjadi penyebab hal tersebut dapat terjadi, semua seolah datang dengan sendirinya karena budaya yang muncul secara otodidak. Hal ini terlihat dari pandangan umum yang sering menganggap bahwa Mahasiswa merupakan kaum intelektual yang punya pola fikir dan sudut pandang yang berbeda dalam menanggapi satu masalah yang muncul ditengah dinamika kehidupan bermasyarakat. Beragam ungkapan melekat pada diri Mahasiswa yang semakin mempertegas peran Mahasiswa itu sendiri sebagai elemen yang vital dalam kehidupan. Mulai dari agent of change yang menempatkan Mahasiswa sebagai pelopor perubahan yang menjadi titik tolak berubahnya orientasi kehidupan kearah yang lebih baik. Ada juga yang beranggapan bahwa Mahasiswa merupakan agent of social control, dimana peran aktif Mahasiswa dalam mengawal berbagai bentuk kehidupan dan permasalahanya sangat dituntut karena ada pandangan bahwa Mahasiswalah kaum yang netral dan belum terkontaminasi dengan berbagai kepentingan yang berjalan seiring dengan permasalahan terutama yang menyangkut kebijakan publik. Tidak salah juga bila ungkapan yang menyatakan Mahasiswa merupakan iron stock, muncul sebagai harapan yang dititipkan kepada kaum pembaharuan dan sosok-sosok penerus peradaban dimasa yang akan datang. Sehingga pada diri Mahasiswalah kepercayaan untuk memangku dan menjalankan tatanan hidup bangsa kedepannya disematkan. Semua hal tersebut tidaklah keliru apalagi berlebihan. Sebab suka atau tidak suka jika kita berkata dalam konteks nasional, kita harus berani jujur mengatakan bahwa Mahasiswa jugalah yang mampu untuk memangku peran sebagai pengubah berbagai sistem yang dianggap sudah tidak lagi sesuai dengan pola fikir, karakter, dan keinginan mayoritas masyarakat Indonesia sehingga dinilai menyimpang dengan cita-cita hidup bangsa. Hal ini terbukti dari bagaimana Mahasiswa mampu untuk mengubah peradaban pemerintahan Orde Baru yang berkuasa tak kurang dari 32 tahun menjadi pemerintahan yang mengagungkan Reformasi sebagai cita-cita birokrasi bangsa. Saat itu Mahasiswa merupakan tonggak terdepan dari runtuhnya pemerintahan Soeharto yang akrab dikenal sebagai zaman Orde Baru. Sistem pemerintahan ala Diktator yang diterpakan oleh Soeharto pada masa itu membuat semua pihak seolah tak punya daya untuk melawan dan menyuarakan kebebasan demokrasinya. Sehingga tidak heran jika beliau mampu untuk menngemban amanah sebagai orang nomor satu di Indonesia selama 32 tahun denagn memenangkan 7 kali pemilu. Namun rasa bosan dengan pola kepemimpinannya yang dirasakan sebagian besar masyarakat Indonesia pada sat itu tidak mampu disuarakan karena kuatnya power kekuasaan pemerintah hingga tak satupun pihak yang mampu untuk membantah setiap titah yang dia kehendaki termasuk untuk terus memimpin negara ini. Hingga akhirnya dipertengahan tahun 1998 munculah perlawanan besar-besaran yang pada akhirnya membawa perubahan dalam tatanan kehidupan birokrasi Indonesia. Mahasiswa menjadi motor pergerakan untuk melawan penindasan yang dialami oleh masyarakat Indonesia. Berawal dari krisis moneter yang menerpa sebagian kawasan Asia termasuk Indonesia dan berdampak pada melonjaknya berbagai harga bahan kebutuhan pokok. Moment tersebut dimanfaatkan oleh para agent of change tersebut untuk menghimpun persatuan dan kekuatan dalam menumbangkan rezim yang dianggap sudah usang dan tidak mampu lagi membawa Indonesia untuk berlayar menuju kehidupan masyarakat yang madani. Perlawanan Mahasiswa untuk menyongsong perubahan tersebut bukanlah tanpa rintangan, sebab keberanian kaum intelektual muda ini harus dibayar mahal dengan melayangnya nyawa beberapa Mahasiswa pahlawan reformasi karena protes mereka terhadap pemerintah yang dianggap gagal menstabilkan perekonomian bangsa direspon pemerintah dengan menurunkan pasukan keamanan negara yang saat itu masih dipegang oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sehingga menimbulkan gejolak dihampir seluruh pelosok negeri. Namun perlawanan demi perubahan tersebut bukanlah satu hal yang sia-sia. Praktis Presiden Soeharto yang hampir mustahil untuk dilengserkan, harus rela meletakan jabatannya sebelum masa baktinya sebagai presiden yang memenangkan pemilu untuk ketujuh kalinya secara berturut-turut usai dan digantikan oleh wakilnya BJ. Habibie untuk menakhodai negara ini. Hal tersebut semakin mempertegas peran Mahasiswa sebagai pelaku perubahan yang mampu mengubah apapun yang dianggapnya sudah tidak sesuai dengan kamaslahatan umat termasuk kedudukan seorang presiden sekalipun. Dalam mengawal pemerintahan hingga saat inipun Mahasiswa masih berperan aktif mengingat status sosial yang disandang sebagai pengawal berbagai kehidupan sosial termasuk sistem pemerintahan. Tidak akan kita temui ada pihak yang rela berlelah letih untuk menyuarakan aspirasinya kepada pihak-pihak yang mereka anggap sudah keluar dari koridor hak akan wewenangnya kecuali Mahasiswa. Unjuk rasa seolah menjadi salah satu mata kuliah non kurikulum yang tetap dilaksanakan Mahasiswa untuk mengontrol berbagai penyimpangan yang mereka temui sebagai agent of social control. Kontradiksi Dengan Tanggung Jawab Moral Tidak ada atau hanya segelintir orang tua yang menginginkan anaknya sebagai aktivis Mahasiswa jika kelak duduk dibangku perguruan tinggi untuk menempah ilmu yang lebih optimal sebagai lanjutan dari jenjang pendidikan sebelumnya. Tanggung jawab moral seorang anak kepada orang tuanya apabila memasuki dunia kampus adalah menyelesaikan studi dengan baik tanpa harus mengalami kendala yang berarti apalagi yang datang dari diri sendiri. Sebab disinilah peran aktif seorang peserta didik dipertaruhkan. Bila waktu duduk dibangku Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah, seorang guru memiliki peran yang lebih optimal dalam memancing minat belajar siswanya. Namun di perguruan tinggi pola tersebut diubah 180 derajat, dimana peserta didik yang kemudian disebut Mahasiswa, yang harus berperan aktif untuk mendapatkan ilmu yang maksimal, sementara sang dosen lebih berperan sebagai fasilitator transformasi ilmu yang sedang ditimbah. Apapun hasil yang didapat oleh Mahasiswa, semua berpulang pada pribadi masing-masing dalam mengaktualisasikan diri sesuai pola transformasi yang diterapkan dosen. Sehingga dengan cara yang seperti ini tanggung jawab akademisi secara awam harus lebih dikedepankan oleh setiap Mahasiswa agar tidak blunder dikala masa studi berakhir. Mahasiswa seakan dituntut untuk tidak memfokuskan diri pada hal lain kecuali mata kuliah yang mereka hadapi agar konsentrasi yang dimiliki tidak terpecah dan semua ilmu yang diberi mampu diterima secara optimal. Namun apakah hal tersebut sejalan dengan peran Mahasiswa sebagaimana yang telah dijabarkan diatas. Bukankah jika Mahasiswa harus fokus pada studinya dikampus, meraka akan melupakan peran yang mereka emban sebagai agent of change, agent of social control, maupun iron stock. Tidak salah jika kita menilai bahwa mereka yang menyandang status sebagai sarjana dengan pengalaman ilmu yang optimal karena didapat dengan cara fokus pada pelajaran semasa kuliah akan menjadi penerus peradaban bangsa, namun apakah peran mereka yang lainnya seperti pelaku perubahan dan pelaku pengawal kehidupan sosial dapat terimplementasikan jikalau mereka melulu terfokus pada doktrin mata kuliah yang tentunya mengharamkan mereka untuk turun kejalan melakukan unjuk rasa sebagai perwujudan pengawal dinamika sosial. Atau mungkinkah perubahan yang dinantikan oleh mayoritas masyarakat Indonesia akan datang jika mereka semua yang berhak untuk mengenakan almamater kampus harus berdiam diri dikampusnya masing-masing pada saat gejolak ekonomi melanda Indonesia pada akhir tahun 1990an demi tanggung jawab akademis yang tidak boleh ditinggalkan barang sedetikpun. Disinilah kedewasaan Mahasiswa sesungguhnya tertempa dengan matang karena mereka mampu untuk menyesuaikan ruang yang mereka tempati dengan peran dan tanggung jawab yang mereka emban. Tidak adil jika kita berfikir bahwa setiap Mahasiswa yang hari-harinya disibukan untuk aktif mengikuti perkembangan dan mengawal dinamika birokrasi yang terjadi, memiliki Indeks Prestasi yang rendah. Sebab Mahasiswa yang dapat menempatkan diri sesuai dengan dunianyalah yang memiliki kecerdasan akan ruang dan kedisiplinan akan waktu.

== ADIL DALAM BERFIKIR ==

Hari ini kita dihadapkan oleh berbagai peristiwa sosial yang senantiasa terjadi silih berganti seolah tanpa henti. Mulai dari ketimpangan sosial yang terus menjadi masalah ditengah kehidupan berbangsa sehingga perlahan mulai mengikis eksistensi kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pemerintah yang seyogyanya merupakan wakil dari seluruh rakyat Indonesia karena dipilih langsung oleh masyarakat Indonesia melalui pemilihan umum untuk diamanatkan menjadi orang-orang yang dapat menyambung berbagai aspirasi rakyat untuk mendapatkan kelayakan hidup dalam berkebangsaan.
Selain itu masalah ekonomi yang tak kunjung usai juga menjadi satu hal yang cukup urgen dalam setiap pembahasan kinerja pemerintah diberbagai tempat. Belum lagi masalah-masalah lain seperti kebebasan berkeyakinan dan beragama yang kerap menimbulkan konflik antar sesama pemeluk agama yang memiliki pola fikir dan sudut pandang yang berbeda dalam menjalankan ritual agama dan kepercayaannya, dimana makin hari rakyat Indonesia makin tidak dewasa dalam menerima berbagai perbedaan yang ada karena Indonesia memang bukanlah tempat atau negaranya satu golongan saja sehingga kita tetap harus bersentuhan langsung dengan mereka yang memiliki perbedaan dan kedewasaan untuk dapat menerima dan saling bertoleransi dengan perbedaan itu kerap menjadi tuntutan.
Yang paling menjadi fenomena belakangan adalah terindikasinya kasus pelanggaran HAM dikarenakan beberapa konflik yang dipicu oleh sengketa lahan yang akhirnya melibatkan aparat keamanan negara dalam penyelasaaiannya yang berujung pada tindakan sporadis dari pihak yang seharusnya menjadi penengah atau mediator dari pihak-pihak yang bersengketa.
Negara ini sangat disubukan oleh banyaknya masalah yang diakibatkan oleh ketidak harmonisan antara pihak pemerintah dan masyarakatnya dalam menjalankan roda kehidupan bernegara. Hal ini dikarenakan pemerintah yang seharusnya menjadi orientasi seluruh masyarakat Indonesia untuk mendapatkan kesejahteraan, kemakmuran dan keamanan justru sibuk mementingkan masalah pribadinya sehingga menghilangkan rasa idealismenya sebagai pelayan rakyat yang bertugas memberikan atau memfasilitasi rakyat untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara.
Tidak hanya pemerintah saja yang saat ini mengalami krisis identitas, rakyat juga seolah tidak menyadari apa substansi dari bagaimana cara menjadi warga negara yang baik. Kita disibukan dengan cara kita yang lebih mengedepankan kritisi tanpa memberi solusi. Hal ini dapat dilihat dari kurang dewasanya masyarakat kita dalam menanggapi masalah-masalah yang timbul ditengah-tengah mereka. Yang mereka pahami hanyalah jika ada berbagai ketimpangan baik itu sosial, ekonomi, maupun ranah kehidupan lain yang berbau nepotisme itu semata – mata merupakan kesalahan dari pemerintah. Sementara rakyat hanyalah orang yang menjalankan aturan yang ada sehingga tidak pantas untuk dipersalahkan. Cara pandang yang seperti inilah yang saat ini masih tertanam kuat dalam pola fikir sebahagian besar masyarakat Indonesia.
Jika begini harus kita akui secara cerdas bahwa hal yang harus dibenahi tidak hanya dari pihak pemerintahnya saja, tetapi yang lebih urgen adalah bagaimana pola fikir masyarakat yang juga harus mendapat perhatian lebih untuk diperbaiki agar keduanya berjalan seimbang. Kerana jikalau pemerintahan berjalan bagus sekalipun namun tidak didukung dengan kedewasaan masyarakat dalam menjalankan kehidupan berbangsa maka harapan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang madani hanya akan menjadi suatu mimpi yang utopis.
Vox Populity Vox Dai
Suara rakyat adalah suara Tuhan. Bagitu sakralnya kalimat tersebut dimana rakyatlah yang dijadikan orientasi dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia sekarang mencoba untuk menerapkan hal tersebut. Terbukti dari pemerintahan yang ada saat ini baik Legislatif maupun Eksekutif semuanya dipilih secara langsung oleh masyarakat Indonesia yang telah memiliki hak untuk memilih. Tidak hanya ditataran pusat, sistem pemilihan ala demokrasi secara langsung ini juga dipraktikan untuk memilih pemerintahan daerah.
Berarti teori yang ada dikonstitusi yang menyatakan bahwa kedaulatan negara berada ditangan rakyat telah teraplikasi secara real. Namun yang jadi masalah adalah bagaimana mungkin jika pemangku kedaulatan itu sendiri didominasi oleh orang – orang yang tidak cerdas yang cenderung masih berfikiran pragmatisme dan egosentris seperti yang diutarakan oleh Quadi Azam bahwa kecil kemungkinan negara dapat berjalan stabil jika rakyatnya hanya bisa memberi sumbangsih pada pemerintah sekedar kritisi tanpa diiringi oleh solusi.
Kita paham betul bagaimana tiap kali pesta demokrasi akan segera digelar, maka dengan otomatis masyarakat mulai ternyamankan oleh hamburan uang yang dikucurkan oleh orang-orang yang memiliki niatan untuk duduk dikursi pemerintahan yang mengatasnamakan wakil rakyat. Apa pernah kita melihat jika ada oknum yang mencoba untuk melakukan praktik Money Politic dalam rangka mencari dukungan, maka ramai-ramai masyarakat yang diajak untuk konsolidasi menolaknya. Jawabnya tentu tidak, mereka justru memanfaatkan moment ini untuk memperbaiki ekonomi mereka yang sifatnya sementara.
Masyarakat sangat jarang berfikir dampak yang luar biasa hebat apabila mereka memilih orang-orang yang memberikan uang untuk mengambil simpati mereka. Mereka enggan untuk memfilter calon-calon wakil mereka yang memiliki kapasitas dan tentunya loyalitas kepada mereka jika terpilih nanti meskipun mereka tidak memiliki uang atau benda yang bisa dibagi pada saat kampanye namun siap memberi perubahan perekonomian masyarakat dimasa depan. Masyarakat sangat malas berfikir secara idealis akan hal itu, yang ada justru fikiran pragmatis dimana sangat bodoh jika menyia-nyiakan rezeki yang ada meskipun boomerang kemiskinan akan tetap bersahabat dengan mereka.
Karena sudah hal yang lazim apabila seorang calon yang menghaburkan uang untuk mendapat dukungan, maka saat ia terpilih menjadi wakil rakyat yang ada bukanlah fikiran bagaimana untuk menyejahterakan rakyat tetapi justru bagaimana untuk mengembalikan modal yang banyak terbuang saat kampanye. Maka wajar jika hari ini kita dihadapkan pada realita dimana pemerintah tidak lagi respons terhadap masalah kemiskinan rakyatnya karena jauh sebelum mereka terpilih, masyarakat sendirilah yang menagajari mereka untuk berfikiran pragmatis.
Contoh lain yang lebih sederhana namun jarang kita sadari adalah, bagaimana kita sangat membenci oknum kepolisian yang juga merupakan alat negara yang tergabung dalam lembaga Eksekutif pemerintahan.
Kita menganggap saat ini polisi tidak lagi menjadi simbol keamanan negara namun sudah menjadi musuh bersama masyarakat awam. Hal ini dikarenakan setiap ada polisi yang berada dipinggir jalan maka ketakutan yang luar biasa juga akan muncul karena pola fikir yang masih tertidur dimana apabila terjaring operasi razia polisi maka kita harus siap-siap untuk mengeluarkan uang yang cukup besar agar tidak terjadi penahanan oleh aparat kepolisian.
Disini sekali lagi kita harus cerdas dalam menyikapinya, selain kesalahan dari oknum polisi yang memang harus diakui kerap ”memeras” meskipun caranya lebih santun dibanding pemalak jalanan apabila ada orang yang melanggar lalu lintas meskipun tidak ada operasi resmi. Masyarakat juga tidak bisa dibenarkan dalam rangka negosisasi ala polisi yang tidak profesional dengan mereka. Yang pertama jelas mereka melanggar lalu lintas sehingga wajar untuk ditertibkan. Yang kedua adalah apabila oknum kepolisian yang tidak profesional tadi menawarkan negosiasi, masyarakat juga harus cerdas untuk menolaknya dan harus lebih memilih untuk diproses dan diselesaikan secara legalitas formal.
Dari sini kita dapat berkesimpulan bahwa kesalahan tidak hanya mutlak terletak dari pemerintah yang berkewajiban menjalankan roda birokrasi negara, tetapi rakyat juga dituntut kecerdasannya dalam peran sertanya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara. Seperti yang diungkapkan seorang pemerhati Sosial, Husni Mubarok yang menyatakan Keadilan dalam berfikir untuk menjatuhkan penilaian dalam menanggapi peliknya kehidupan berbangsa memang sangat dituntut keberadaannya.

Revisi per 25 Mei 2012 09.04

Halo, Eka Azwin Lubis. Selamat datang di Wikipedia bahasa Indonesia!
Memulai
Memulai
Memulai
  • Para pengguna baru dapat melihat halaman Pengantar Wikipedia terlebih dahulu.
  • Anda bisa mengucapkan selamat datang kepada Wikipediawan lainnya di Halaman perkenalan.
  • Bingung mulai menjelajah dari mana? Kunjungi Halaman sembarang.
  • Untuk mencoba-coba menyunting, silakan gunakan bak pasir.
  • Tuliskan juga sedikit profil Anda di Pengguna:Eka Azwin Lubis, halaman profil dan ruang pribadi Anda, agar kami dapat lebih mengenal Anda.
  • Baca juga aturan yang disederhanakan sebelum melanjutkan. Ini adalah hal-hal mendasar yang perlu diketahui oleh semua penyunting Wikipedia.
Bantuan
Bantuan
Bantuan
  • Bantuan:Isi - tempat mencari informasi tentang berkontribusi di Wikipedia, sebelum bertanya kepada pengguna lain.
  • FAQ - pertanyaan yang sering diajukan tentang Wikipedia.
  • Portal:Komunitas - informasi aktivitas di Wikipedia.
Tips
Tips
Kiat
Membuat kesalahan?
Membuat kesalahan?
Membuat kesalahan?
  • Jangan takut! Anda tidak perlu takut salah ketika menyunting atau membuat halaman baru, menambahkan atau menghapus kalimat.

    Pengurus dan para pengguna lainnya yang memantau perubahan terbaru akan segera menemukan kesalahan Anda dan mengembalikannya seperti semula.

Welcome! If you are not an Indonesian speaker, you may want to visit the Indonesian Wikipedia embassy or a slight info to find users speaking your language. Enjoy!
Selamat menjelajah, kami menunggu suntingan Anda di Wikipedia bahasa Indonesia!

Nama  : Eka Azwin Lubis Tempat/Tanggal Lahir : Kisaran, 11 Oktober 1992 Alamat  : Jl. Perjuangan No. 4 Medan Ayah  : A. Ridwan Lubis Ibu  : Asnawiyah Saudara : Dwi Fazriansyah Lubis, Noor Fahmi Lubis, M. Azli Alfaqih Lubis Pekerjaan : Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan UNIMED & Staf Pusat Study Hak Asasi Manusia ( PUSHAM ) UNIMED Hobby : Belajar Menulis untuk menuangkan segala inspirasi dalam diri menjadi setitik sumbangsih dalam mengubah peradaban yang kaku. Motto : Ilmu, lebih baik tidak tau dari pada tau tapi tidak mau memberi tau Pendidikan : - TK Dharma Wanita Kisaran 1998-1999

           - SD Swasta TPI Kisaran 1999-2004
           - SMP Negerei 2 Kisaran 2004-2007
           - SMA Swasta Daerah Kisaran 2007-2010

Organisasi : Ketua Osis SMA Daerah Kisaran 1009/2010

           Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
           LK I HMI Cabang Medan, Sumut 2010
           LK II HMI Cabang Pandeglang, Banten 2011
           Sekretaris Umum Himpunan Nasional Mahasiswa PKn 2012/2014

Pengalaman : Juara III Lomba Debat Nasional 2011 Di Malang, Jawa Timur

           Peserta Lomba Debat Nasional 2012 Di Bandung, Jawa Barat

Tokoh Inspiratif : Muhammad SAW Pemimpin Negara : Mahmou Ahmadinejad Penulis  : Pramodya Ananta Toer Motivator : Majda El Muhtaj

MAHASISWA, ANTARA PERAN DAN TANGGUNG JAWAB

Status sosial yang melekat pada diri setiap Mahasiswa selalu menggiring kita yang pernah dan sedang berada didunia kampus seakan memiliki segala sesuatu yang seakan diatas status sosial masyarakat pada umumnya. Tidak tau faktor apa yang menjadi penyebab hal tersebut dapat terjadi, semua seolah datang dengan sendirinya karena budaya yang muncul secara otodidak. Hal ini terlihat dari pandangan umum yang sering menganggap bahwa Mahasiswa merupakan kaum intelektual yang punya pola fikir dan sudut pandang yang berbeda dalam menanggapi satu masalah yang muncul ditengah dinamika kehidupan bermasyarakat. Beragam ungkapan melekat pada diri Mahasiswa yang semakin mempertegas peran Mahasiswa itu sendiri sebagai elemen yang vital dalam kehidupan. Mulai dari agent of change yang menempatkan Mahasiswa sebagai pelopor perubahan yang menjadi titik tolak berubahnya orientasi kehidupan kearah yang lebih baik. Ada juga yang beranggapan bahwa Mahasiswa merupakan agent of social control, dimana peran aktif Mahasiswa dalam mengawal berbagai bentuk kehidupan dan permasalahanya sangat dituntut karena ada pandangan bahwa Mahasiswalah kaum yang netral dan belum terkontaminasi dengan berbagai kepentingan yang berjalan seiring dengan permasalahan terutama yang menyangkut kebijakan publik. Tidak salah juga bila ungkapan yang menyatakan Mahasiswa merupakan iron stock, muncul sebagai harapan yang dititipkan kepada kaum pembaharuan dan sosok-sosok penerus peradaban dimasa yang akan datang. Sehingga pada diri Mahasiswalah kepercayaan untuk memangku dan menjalankan tatanan hidup bangsa kedepannya disematkan. Semua hal tersebut tidaklah keliru apalagi berlebihan. Sebab suka atau tidak suka jika kita berkata dalam konteks nasional, kita harus berani jujur mengatakan bahwa Mahasiswa jugalah yang mampu untuk memangku peran sebagai pengubah berbagai sistem yang dianggap sudah tidak lagi sesuai dengan pola fikir, karakter, dan keinginan mayoritas masyarakat Indonesia sehingga dinilai menyimpang dengan cita-cita hidup bangsa. Hal ini terbukti dari bagaimana Mahasiswa mampu untuk mengubah peradaban pemerintahan Orde Baru yang berkuasa tak kurang dari 32 tahun menjadi pemerintahan yang mengagungkan Reformasi sebagai cita-cita birokrasi bangsa. Saat itu Mahasiswa merupakan tonggak terdepan dari runtuhnya pemerintahan Soeharto yang akrab dikenal sebagai zaman Orde Baru. Sistem pemerintahan ala Diktator yang diterpakan oleh Soeharto pada masa itu membuat semua pihak seolah tak punya daya untuk melawan dan menyuarakan kebebasan demokrasinya. Sehingga tidak heran jika beliau mampu untuk menngemban amanah sebagai orang nomor satu di Indonesia selama 32 tahun denagn memenangkan 7 kali pemilu. Namun rasa bosan dengan pola kepemimpinannya yang dirasakan sebagian besar masyarakat Indonesia pada sat itu tidak mampu disuarakan karena kuatnya power kekuasaan pemerintah hingga tak satupun pihak yang mampu untuk membantah setiap titah yang dia kehendaki termasuk untuk terus memimpin negara ini. Hingga akhirnya dipertengahan tahun 1998 munculah perlawanan besar-besaran yang pada akhirnya membawa perubahan dalam tatanan kehidupan birokrasi Indonesia. Mahasiswa menjadi motor pergerakan untuk melawan penindasan yang dialami oleh masyarakat Indonesia. Berawal dari krisis moneter yang menerpa sebagian kawasan Asia termasuk Indonesia dan berdampak pada melonjaknya berbagai harga bahan kebutuhan pokok. Moment tersebut dimanfaatkan oleh para agent of change tersebut untuk menghimpun persatuan dan kekuatan dalam menumbangkan rezim yang dianggap sudah usang dan tidak mampu lagi membawa Indonesia untuk berlayar menuju kehidupan masyarakat yang madani. Perlawanan Mahasiswa untuk menyongsong perubahan tersebut bukanlah tanpa rintangan, sebab keberanian kaum intelektual muda ini harus dibayar mahal dengan melayangnya nyawa beberapa Mahasiswa pahlawan reformasi karena protes mereka terhadap pemerintah yang dianggap gagal menstabilkan perekonomian bangsa direspon pemerintah dengan menurunkan pasukan keamanan negara yang saat itu masih dipegang oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sehingga menimbulkan gejolak dihampir seluruh pelosok negeri. Namun perlawanan demi perubahan tersebut bukanlah satu hal yang sia-sia. Praktis Presiden Soeharto yang hampir mustahil untuk dilengserkan, harus rela meletakan jabatannya sebelum masa baktinya sebagai presiden yang memenangkan pemilu untuk ketujuh kalinya secara berturut-turut usai dan digantikan oleh wakilnya BJ. Habibie untuk menakhodai negara ini. Hal tersebut semakin mempertegas peran Mahasiswa sebagai pelaku perubahan yang mampu mengubah apapun yang dianggapnya sudah tidak sesuai dengan kamaslahatan umat termasuk kedudukan seorang presiden sekalipun. Dalam mengawal pemerintahan hingga saat inipun Mahasiswa masih berperan aktif mengingat status sosial yang disandang sebagai pengawal berbagai kehidupan sosial termasuk sistem pemerintahan. Tidak akan kita temui ada pihak yang rela berlelah letih untuk menyuarakan aspirasinya kepada pihak-pihak yang mereka anggap sudah keluar dari koridor hak akan wewenangnya kecuali Mahasiswa. Unjuk rasa seolah menjadi salah satu mata kuliah non kurikulum yang tetap dilaksanakan Mahasiswa untuk mengontrol berbagai penyimpangan yang mereka temui sebagai agent of social control. Kontradiksi Dengan Tanggung Jawab Moral Tidak ada atau hanya segelintir orang tua yang menginginkan anaknya sebagai aktivis Mahasiswa jika kelak duduk dibangku perguruan tinggi untuk menempah ilmu yang lebih optimal sebagai lanjutan dari jenjang pendidikan sebelumnya. Tanggung jawab moral seorang anak kepada orang tuanya apabila memasuki dunia kampus adalah menyelesaikan studi dengan baik tanpa harus mengalami kendala yang berarti apalagi yang datang dari diri sendiri. Sebab disinilah peran aktif seorang peserta didik dipertaruhkan. Bila waktu duduk dibangku Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah, seorang guru memiliki peran yang lebih optimal dalam memancing minat belajar siswanya. Namun di perguruan tinggi pola tersebut diubah 180 derajat, dimana peserta didik yang kemudian disebut Mahasiswa, yang harus berperan aktif untuk mendapatkan ilmu yang maksimal, sementara sang dosen lebih berperan sebagai fasilitator transformasi ilmu yang sedang ditimbah. Apapun hasil yang didapat oleh Mahasiswa, semua berpulang pada pribadi masing-masing dalam mengaktualisasikan diri sesuai pola transformasi yang diterapkan dosen. Sehingga dengan cara yang seperti ini tanggung jawab akademisi secara awam harus lebih dikedepankan oleh setiap Mahasiswa agar tidak blunder dikala masa studi berakhir. Mahasiswa seakan dituntut untuk tidak memfokuskan diri pada hal lain kecuali mata kuliah yang mereka hadapi agar konsentrasi yang dimiliki tidak terpecah dan semua ilmu yang diberi mampu diterima secara optimal. Namun apakah hal tersebut sejalan dengan peran Mahasiswa sebagaimana yang telah dijabarkan diatas. Bukankah jika Mahasiswa harus fokus pada studinya dikampus, meraka akan melupakan peran yang mereka emban sebagai agent of change, agent of social control, maupun iron stock. Tidak salah jika kita menilai bahwa mereka yang menyandang status sebagai sarjana dengan pengalaman ilmu yang optimal karena didapat dengan cara fokus pada pelajaran semasa kuliah akan menjadi penerus peradaban bangsa, namun apakah peran mereka yang lainnya seperti pelaku perubahan dan pelaku pengawal kehidupan sosial dapat terimplementasikan jikalau mereka melulu terfokus pada doktrin mata kuliah yang tentunya mengharamkan mereka untuk turun kejalan melakukan unjuk rasa sebagai perwujudan pengawal dinamika sosial. Atau mungkinkah perubahan yang dinantikan oleh mayoritas masyarakat Indonesia akan datang jika mereka semua yang berhak untuk mengenakan almamater kampus harus berdiam diri dikampusnya masing-masing pada saat gejolak ekonomi melanda Indonesia pada akhir tahun 1990an demi tanggung jawab akademis yang tidak boleh ditinggalkan barang sedetikpun. Disinilah kedewasaan Mahasiswa sesungguhnya tertempa dengan matang karena mereka mampu untuk menyesuaikan ruang yang mereka tempati dengan peran dan tanggung jawab yang mereka emban. Tidak adil jika kita berfikir bahwa setiap Mahasiswa yang hari-harinya disibukan untuk aktif mengikuti perkembangan dan mengawal dinamika birokrasi yang terjadi, memiliki Indeks Prestasi yang rendah. Sebab Mahasiswa yang dapat menempatkan diri sesuai dengan dunianyalah yang memiliki kecerdasan akan ruang dan kedisiplinan akan waktu.

ADIL DALAM BERFIKIR

Hari ini kita dihadapkan oleh berbagai peristiwa sosial yang senantiasa terjadi silih berganti seolah tanpa henti. Mulai dari ketimpangan sosial yang terus menjadi masalah ditengah kehidupan berbangsa sehingga perlahan mulai mengikis eksistensi kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pemerintah yang seyogyanya merupakan wakil dari seluruh rakyat Indonesia karena dipilih langsung oleh masyarakat Indonesia melalui pemilihan umum untuk diamanatkan menjadi orang-orang yang dapat menyambung berbagai aspirasi rakyat untuk mendapatkan kelayakan hidup dalam berkebangsaan. Selain itu masalah ekonomi yang tak kunjung usai juga menjadi satu hal yang cukup urgen dalam setiap pembahasan kinerja pemerintah diberbagai tempat. Belum lagi masalah-masalah lain seperti kebebasan berkeyakinan dan beragama yang kerap menimbulkan konflik antar sesama pemeluk agama yang memiliki pola fikir dan sudut pandang yang berbeda dalam menjalankan ritual agama dan kepercayaannya, dimana makin hari rakyat Indonesia makin tidak dewasa dalam menerima berbagai perbedaan yang ada karena Indonesia memang bukanlah tempat atau negaranya satu golongan saja sehingga kita tetap harus bersentuhan langsung dengan mereka yang memiliki perbedaan dan kedewasaan untuk dapat menerima dan saling bertoleransi dengan perbedaan itu kerap menjadi tuntutan. Yang paling menjadi fenomena belakangan adalah terindikasinya kasus pelanggaran HAM dikarenakan beberapa konflik yang dipicu oleh sengketa lahan yang akhirnya melibatkan aparat keamanan negara dalam penyelasaaiannya yang berujung pada tindakan sporadis dari pihak yang seharusnya menjadi penengah atau mediator dari pihak-pihak yang bersengketa. Negara ini sangat disubukan oleh banyaknya masalah yang diakibatkan oleh ketidak harmonisan antara pihak pemerintah dan masyarakatnya dalam menjalankan roda kehidupan bernegara. Hal ini dikarenakan pemerintah yang seharusnya menjadi orientasi seluruh masyarakat Indonesia untuk mendapatkan kesejahteraan, kemakmuran dan keamanan justru sibuk mementingkan masalah pribadinya sehingga menghilangkan rasa idealismenya sebagai pelayan rakyat yang bertugas memberikan atau memfasilitasi rakyat untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Tidak hanya pemerintah saja yang saat ini mengalami krisis identitas, rakyat juga seolah tidak menyadari apa substansi dari bagaimana cara menjadi warga negara yang baik. Kita disibukan dengan cara kita yang lebih mengedepankan kritisi tanpa memberi solusi. Hal ini dapat dilihat dari kurang dewasanya masyarakat kita dalam menanggapi masalah-masalah yang timbul ditengah-tengah mereka. Yang mereka pahami hanyalah jika ada berbagai ketimpangan baik itu sosial, ekonomi, maupun ranah kehidupan lain yang berbau nepotisme itu semata – mata merupakan kesalahan dari pemerintah. Sementara rakyat hanyalah orang yang menjalankan aturan yang ada sehingga tidak pantas untuk dipersalahkan. Cara pandang yang seperti inilah yang saat ini masih tertanam kuat dalam pola fikir sebahagian besar masyarakat Indonesia. Jika begini harus kita akui secara cerdas bahwa hal yang harus dibenahi tidak hanya dari pihak pemerintahnya saja, tetapi yang lebih urgen adalah bagaimana pola fikir masyarakat yang juga harus mendapat perhatian lebih untuk diperbaiki agar keduanya berjalan seimbang. Kerana jikalau pemerintahan berjalan bagus sekalipun namun tidak didukung dengan kedewasaan masyarakat dalam menjalankan kehidupan berbangsa maka harapan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang madani hanya akan menjadi suatu mimpi yang utopis. Vox Populity Vox Dai Suara rakyat adalah suara Tuhan. Bagitu sakralnya kalimat tersebut dimana rakyatlah yang dijadikan orientasi dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia sekarang mencoba untuk menerapkan hal tersebut. Terbukti dari pemerintahan yang ada saat ini baik Legislatif maupun Eksekutif semuanya dipilih secara langsung oleh masyarakat Indonesia yang telah memiliki hak untuk memilih. Tidak hanya ditataran pusat, sistem pemilihan ala demokrasi secara langsung ini juga dipraktikan untuk memilih pemerintahan daerah. Berarti teori yang ada dikonstitusi yang menyatakan bahwa kedaulatan negara berada ditangan rakyat telah teraplikasi secara real. Namun yang jadi masalah adalah bagaimana mungkin jika pemangku kedaulatan itu sendiri didominasi oleh orang – orang yang tidak cerdas yang cenderung masih berfikiran pragmatisme dan egosentris seperti yang diutarakan oleh Quadi Azam bahwa kecil kemungkinan negara dapat berjalan stabil jika rakyatnya hanya bisa memberi sumbangsih pada pemerintah sekedar kritisi tanpa diiringi oleh solusi. Kita paham betul bagaimana tiap kali pesta demokrasi akan segera digelar, maka dengan otomatis masyarakat mulai ternyamankan oleh hamburan uang yang dikucurkan oleh orang-orang yang memiliki niatan untuk duduk dikursi pemerintahan yang mengatasnamakan wakil rakyat. Apa pernah kita melihat jika ada oknum yang mencoba untuk melakukan praktik Money Politic dalam rangka mencari dukungan, maka ramai-ramai masyarakat yang diajak untuk konsolidasi menolaknya. Jawabnya tentu tidak, mereka justru memanfaatkan moment ini untuk memperbaiki ekonomi mereka yang sifatnya sementara. Masyarakat sangat jarang berfikir dampak yang luar biasa hebat apabila mereka memilih orang-orang yang memberikan uang untuk mengambil simpati mereka. Mereka enggan untuk memfilter calon-calon wakil mereka yang memiliki kapasitas dan tentunya loyalitas kepada mereka jika terpilih nanti meskipun mereka tidak memiliki uang atau benda yang bisa dibagi pada saat kampanye namun siap memberi perubahan perekonomian masyarakat dimasa depan. Masyarakat sangat malas berfikir secara idealis akan hal itu, yang ada justru fikiran pragmatis dimana sangat bodoh jika menyia-nyiakan rezeki yang ada meskipun boomerang kemiskinan akan tetap bersahabat dengan mereka. Karena sudah hal yang lazim apabila seorang calon yang menghaburkan uang untuk mendapat dukungan, maka saat ia terpilih menjadi wakil rakyat yang ada bukanlah fikiran bagaimana untuk menyejahterakan rakyat tetapi justru bagaimana untuk mengembalikan modal yang banyak terbuang saat kampanye. Maka wajar jika hari ini kita dihadapkan pada realita dimana pemerintah tidak lagi respons terhadap masalah kemiskinan rakyatnya karena jauh sebelum mereka terpilih, masyarakat sendirilah yang menagajari mereka untuk berfikiran pragmatis. Contoh lain yang lebih sederhana namun jarang kita sadari adalah, bagaimana kita sangat membenci oknum kepolisian yang juga merupakan alat negara yang tergabung dalam lembaga Eksekutif pemerintahan. Kita menganggap saat ini polisi tidak lagi menjadi simbol keamanan negara namun sudah menjadi musuh bersama masyarakat awam. Hal ini dikarenakan setiap ada polisi yang berada dipinggir jalan maka ketakutan yang luar biasa juga akan muncul karena pola fikir yang masih tertidur dimana apabila terjaring operasi razia polisi maka kita harus siap-siap untuk mengeluarkan uang yang cukup besar agar tidak terjadi penahanan oleh aparat kepolisian. Disini sekali lagi kita harus cerdas dalam menyikapinya, selain kesalahan dari oknum polisi yang memang harus diakui kerap ”memeras” meskipun caranya lebih santun dibanding pemalak jalanan apabila ada orang yang melanggar lalu lintas meskipun tidak ada operasi resmi. Masyarakat juga tidak bisa dibenarkan dalam rangka negosisasi ala polisi yang tidak profesional dengan mereka. Yang pertama jelas mereka melanggar lalu lintas sehingga wajar untuk ditertibkan. Yang kedua adalah apabila oknum kepolisian yang tidak profesional tadi menawarkan negosiasi, masyarakat juga harus cerdas untuk menolaknya dan harus lebih memilih untuk diproses dan diselesaikan secara legalitas formal. Dari sini kita dapat berkesimpulan bahwa kesalahan tidak hanya mutlak terletak dari pemerintah yang berkewajiban menjalankan roda birokrasi negara, tetapi rakyat juga dituntut kecerdasannya dalam peran sertanya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara. Seperti yang diungkapkan seorang pemerhati Sosial, Husni Mubarok yang menyatakan Keadilan dalam berfikir untuk menjatuhkan penilaian dalam menanggapi peliknya kehidupan berbangsa memang sangat dituntut keberadaannya.