Lompat ke isi

Putih Sari: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
k menambahkan Kategori:Anggota DPR 2009-2014 menggunakan HotCat
Baris 8: Baris 8:


[[Kategori:Anggota DPR 2009-2014]]
[[Kategori:Anggota DPR 2009-2014]]
'''Putih Sari Taslam:
Terinspirasi Perjuangan Sang Ayah'''

Usianya baru 24 tahun ketika ia memutuskan terjun ke dunia politik. kala itu Agustus 2008, tekad perempuan kelahiran Jakarta, 20 Juli 1984 ini telah bulat bergabung dalam Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Garis perjuangan politik yang diusung partai besutan Prabowo Subianto ini menggerakkan hatinya untuk mengembalikan kedaulatan bangsa dari segala keterpurukan.

“Saya setuju dengan garis perjuangan politik Gerindra yang tegas-tegas ingin memenangkan sistem ekonomi kerakyatan sebagai koreksi terhadap sistem ekonomi liberal yang berlaku selama ini,” ucapnya mantap. Sistem ekonomi liberal disebutnya nyata-nyata hanya menguntungkan pelaku ekonomi bermodal kuat, para kapitalis.

Putih Sari Taslam, perempuan muda itu ahirnya mencalonkan diri dalam Pemilihan Anggota Legislatif 2009. Langkah ke arah itu sudah jelas tidak mudah. Sebagai ‘anak bawang’ di panggung politik, ia mesti melalui jalan berliku dan penuh gelombang agar bisa menjejakkan kaki di Senayan.

Berada di Daerah Pemilihan (Dapil) VII Jawa Barat yang meliputi Kabupaten/Kota Bekasi, Kabupaten Karawang dan Kabupaten Purwakarta, Putih harus bersaing dengan sejumlah politisi yang namanya sudah dikenal di Indonesia. Di situ ada Ade Komarudin dan Nurul Arifin dari Partai Golkar. Selain itu ada Hary Kartana mantan Dirut Indosat dari Partai Demokrat. “Sementara saya, boleh dibilang masih anak bawang,” ujarnya merendah.

Tapi nama-nama itu tidak membuat nyali ‘anak bawang’ itu ciut. Persaingan yang sengit justru membuat semangatnya bertarung memperebutkan hati rakyat kian menggelora. Selama masa kampanye, ia mnyambangi para konstituen hingga ke pelosok-pelosok kampung.
Putih bahkan sampai ke sebuah kampung terpencil di kawasan waduk Jatiluhur Purwakarta yang tidak ada satu pun partai yang mau kampanye. “Saya datang ke situ. Bahkan selama masa kampanye saya hanya seminggu sekali pulang ke rumah,” dokter gigi lulusan Universitas Trisakti ini mengisahkan pengalamannya.

Kerja kerasnya embuahkan hasil. Putih mengumpulkan 27.341 suara. Jumlah ini cukup untuk menjadi tiket baginya untuk melangkah masuk berkantor di Senayan, menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Rrpublik Indonesia (DPR-RI). Ia termasuk salah seorang dari tiga anggota DPR-RI termuda.

Perjuangannya tak berakhir sebatas menyandang status anggota parlemen. Duduk Komisi IX –yang membidangi kesehatan, tenaga kerja dan transmigrasi, serta kependudukan— berkewajiban melakukan aktifitas legislasi dan pengawasan terhadap kinerja mitra kerja, terutama yang menyangkut upaya perbaikan pelayanan kesehatan masyarakat dan kesejahteraan para pekerja dan buruh.

Di komisi ini, kesehatan dan tenaga kerja adalah bidang yang nyaris tak pernah usai dirundung masalah. Mulai dari penyiksaan TKI/TKW, tuntutan kesejahteraan dan upah yang layak bagi karyawan atau buruh, biaya pengobatan yang tak terjangkau, minimnya fasilitas kesehatan, jaminan sosial dan lainnya. Belum lagi persoalan program KB (Keluarga Berencana) yang nyaris tak diperhatikan lagi.

Selain di Komisi IX, Putih juga dipercaya sebagai bendahara fraksi dan anggota Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR-RI. Di luar pekerjaan di DPR, ia tetap berkecimpung di organisasi sayap partai, yakni PIRA (Perempuan Indonesia Raya). Mau tidak mau, ia mesti pandai-pandai membagi waktu untuk bisa menjamah berbagai aktivitas tersebut.

Menurut Putih, kondisi perpolitikan sekarang ini sangat memprihatinkan. Hal itu menurutnya bisa dilihat dari bagaimana politik luar negeri ini, politik pertahanan, politik ekonomi, termasuk politik kebudayaan negeri ini, sungguh sangat mengecewakan. Akibat dari kondisi perpolitikan itu, lanjut Putih, sepertinya negara ini sudah tidak punya jati diri lagi sebagai bangsa yang bermartabat dan berdaulat.

Untuk itu, sebagai anggota DPR, Putih banyak berharap bahwa lembaga yang kini ditempatinya itu bisa efektif dan maksimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya demi terwujudnya kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa. “Inilah tugas saya dan teman-teman di DPR maupun partai untuk mengembalikan kedaulatan bangsa ini,” tegasnya. [G]
catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA, Edisi Agustus 2011

Revisi per 18 Oktober 2012 02.55

Putih Sari adalah salah satu politisi perempuan termuda Indonesia yang berhasil duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia. Wanita yang lahir di Jakarta, 20 Juli 1984 ini terpilih menjadi anggota DPR pada usia 25 tahun. Politisi ini terpilih di Daerah Pemilihan Jawa Barat VII, dan diusung oleh Partai Gerakan Indonesia Raya.

Pranala luar

Putih Sari Taslam: Terinspirasi Perjuangan Sang Ayah

Usianya baru 24 tahun ketika ia memutuskan terjun ke dunia politik. kala itu Agustus 2008, tekad perempuan kelahiran Jakarta, 20 Juli 1984 ini telah bulat bergabung dalam Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Garis perjuangan politik yang diusung partai besutan Prabowo Subianto ini menggerakkan hatinya untuk mengembalikan kedaulatan bangsa dari segala keterpurukan.

“Saya setuju dengan garis perjuangan politik Gerindra yang tegas-tegas ingin memenangkan sistem ekonomi kerakyatan sebagai koreksi terhadap sistem ekonomi liberal yang berlaku selama ini,” ucapnya mantap. Sistem ekonomi liberal disebutnya nyata-nyata hanya menguntungkan pelaku ekonomi bermodal kuat, para kapitalis.

Putih Sari Taslam, perempuan muda itu ahirnya mencalonkan diri dalam Pemilihan Anggota Legislatif 2009. Langkah ke arah itu sudah jelas tidak mudah. Sebagai ‘anak bawang’ di panggung politik, ia mesti melalui jalan berliku dan penuh gelombang agar bisa menjejakkan kaki di Senayan.

Berada di Daerah Pemilihan (Dapil) VII Jawa Barat yang meliputi Kabupaten/Kota Bekasi, Kabupaten Karawang dan Kabupaten Purwakarta, Putih harus bersaing dengan sejumlah politisi yang namanya sudah dikenal di Indonesia. Di situ ada Ade Komarudin dan Nurul Arifin dari Partai Golkar. Selain itu ada Hary Kartana mantan Dirut Indosat dari Partai Demokrat. “Sementara saya, boleh dibilang masih anak bawang,” ujarnya merendah.

Tapi nama-nama itu tidak membuat nyali ‘anak bawang’ itu ciut. Persaingan yang sengit justru membuat semangatnya bertarung memperebutkan hati rakyat kian menggelora. Selama masa kampanye, ia mnyambangi para konstituen hingga ke pelosok-pelosok kampung. Putih bahkan sampai ke sebuah kampung terpencil di kawasan waduk Jatiluhur Purwakarta yang tidak ada satu pun partai yang mau kampanye. “Saya datang ke situ. Bahkan selama masa kampanye saya hanya seminggu sekali pulang ke rumah,” dokter gigi lulusan Universitas Trisakti ini mengisahkan pengalamannya.

Kerja kerasnya embuahkan hasil. Putih mengumpulkan 27.341 suara. Jumlah ini cukup untuk menjadi tiket baginya untuk melangkah masuk berkantor di Senayan, menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Rrpublik Indonesia (DPR-RI). Ia termasuk salah seorang dari tiga anggota DPR-RI termuda.

Perjuangannya tak berakhir sebatas menyandang status anggota parlemen. Duduk Komisi IX –yang membidangi kesehatan, tenaga kerja dan transmigrasi, serta kependudukan— berkewajiban melakukan aktifitas legislasi dan pengawasan terhadap kinerja mitra kerja, terutama yang menyangkut upaya perbaikan pelayanan kesehatan masyarakat dan kesejahteraan para pekerja dan buruh.

Di komisi ini, kesehatan dan tenaga kerja adalah bidang yang nyaris tak pernah usai dirundung masalah. Mulai dari penyiksaan TKI/TKW, tuntutan kesejahteraan dan upah yang layak bagi karyawan atau buruh, biaya pengobatan yang tak terjangkau, minimnya fasilitas kesehatan, jaminan sosial dan lainnya. Belum lagi persoalan program KB (Keluarga Berencana) yang nyaris tak diperhatikan lagi.

Selain di Komisi IX, Putih juga dipercaya sebagai bendahara fraksi dan anggota Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR-RI. Di luar pekerjaan di DPR, ia tetap berkecimpung di organisasi sayap partai, yakni PIRA (Perempuan Indonesia Raya). Mau tidak mau, ia mesti pandai-pandai membagi waktu untuk bisa menjamah berbagai aktivitas tersebut.

Menurut Putih, kondisi perpolitikan sekarang ini sangat memprihatinkan. Hal itu menurutnya bisa dilihat dari bagaimana politik luar negeri ini, politik pertahanan, politik ekonomi, termasuk politik kebudayaan negeri ini, sungguh sangat mengecewakan. Akibat dari kondisi perpolitikan itu, lanjut Putih, sepertinya negara ini sudah tidak punya jati diri lagi sebagai bangsa yang bermartabat dan berdaulat.

Untuk itu, sebagai anggota DPR, Putih banyak berharap bahwa lembaga yang kini ditempatinya itu bisa efektif dan maksimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya demi terwujudnya kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa. “Inilah tugas saya dan teman-teman di DPR maupun partai untuk mengembalikan kedaulatan bangsa ini,” tegasnya. [G] catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk Majalah GARUDA, Edisi Agustus 2011