Lompat ke isi

Bidah: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Sagita Melati (bicara | kontrib)
k ←Suntingan 118.97.95.21 (bicara) dikembalikan ke versi terakhir oleh Wagino 20100516
Khudlory91 (bicara | kontrib)
Membatalkan revisi 6437324 oleh Sagita Melati (talk)
Baris 1: Baris 1:
{{refimprove}}
{{cakupan}}
'''Bidah''' atau '''heresi''' adalah perbuatan yang dikerjakan tidak menurut contoh yang sudah ditetapkan, termasuk menambah atau mengurangi ketetapan.


== Bidah dalam Islam ==
{{Ushul fiqih}}
'''Bid‘ah''' ([[Bahasa Arab]]: بدعة) dalam agama [[Islam]] berarti sebuah perbuatan yang tidak pernah diperintahkan maupun dicontohkan oleh [[Nabi Muhammad SAW]] tetapi banyak dilakukan oleh masyarakat sekarang ini. Hukum dari bidaah ini adalah [[haram]]. Perbuatan dimaksud ialah perbuatan baru atau penambahan dalam hubungannya dengan peribadatan dalam arti sempit ([[ibadah mahdhah]]), yaitu ibadah yang tertentu syarat dan rukunnya.


'''Pengertian Bid'ah'''
Pemakaian kata tersebut di antaranya ada pada :


* Firman Allah ta’ala : بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ
: ” (Dialah Allah) Pencipta langit dan bumi.” (Q.s.2:117)


* Firman Allah ta’ala : قُلْ مَا كُنتُ بِدْعاً مِّنْ الرُّسُلِ
: ” Katakanlah (hai Muhammad), “ Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rosul-rosul.” (Q.s:46:9)


إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
* Perkataan اِبتدع فلانٌ بدعة
: Maknanya: Dia telah merintis suatu cara yang belum pernah ada yang mendahuluinya.


"Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara baru, setiap perkara baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka." (HR. An-Nasa`i)
* Perkataan هذاأمرٌبديعٌ
: Maknanya: sesuatu yang dianggap baik yang kebaikannya belum pernah ada yang menyerupai sebelumnya. Dari makna bahasa seperti itulah pengertian bid’ah diambil oleh para ulama.


# Jadi membuat cara-cara baru dengan tujuan agar orang lain mengikuti disebut bid’ah (dalam segi bahasa).
# Sesuatu perkerjaan yang sebelumnya belum perna dikerjakan orang juga disebut bid’ah (dalam segi bahasa).
# Terlebih lagi suatu perkara yang disandarkan pada urusan ibadah (agama) tanpa adanya dalil syar’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak ada contohnya (tidak ditemukan perkara tersebut) pada zaman Rosulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam maka inilah makna bid’ah sesungguhnya.


Hadits ini merupakan salah satu dari sekian banyak hadits yang berbicara tentang bid'ah. Namun untuk memahami perkara bid'ah ini tidak asal begitu saja kita pahami secara harfiah atau tekstual dari hadits tersebut, sehingga siapapun menjadi mudah untuk mengklaim saudara-saudaranya semuslim yang melakukan satu perkara yang tidak pernah dilakukan di zaman nabi SAW kita anggap sebagai pelaku bid'ah yang sesat, dan jika ia sesat berarti tempatnya di neraka. Agar tidak berkesan tergesa-gesa ada baiknya kita memahami terlebih dahulu masalah ini melalui kajian-kajian dari para ulama salafush-shalih kita yang telah terebih dahalu mengkajinya.
Secara umum, bid'ah bermakna melawan ajaran asli suatu agama (artinya mencipta sesuatu yang baru dan disandarkan pada perkara agama/ibadah).


'''Definisi Bid'ah'''
Para ulama [http://www.salafy.or.id/modules/konten/?id=2] salaf telah memberikan beberapa definisi bidah. Definisi-definisi ini memiliki lafadl-lafadlnya berbeda-beda namun sebenarnya memiliki kandungan makna yang sama.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,Bidah dalam agama adalah perkara yang dianggap wajib maupun sunnah namun yang Allah dan rasul-Nya tidak syariatkan. Adapun apa-apa yang Ia perintahkan baik perkara wajib maupun sunnah maka harus diketahui dengan dalil-dalil syariat.


Untuk mengetahui pengertian bid'ah yang benar maka kita harus terlebih dahulu memahami arti bid'ah secara bahasa (etimologi) dan istilah (terminologi/syariat).
Imam Syathibi, bid'ah dalam agama adalah Satu jalan dalam agama yang diciptakan menyamai syariat yang diniatkan dengan menempuhnya bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah.


Ibnu Rajab, Bidah adalah mengada-adakan suatu perkara yang tidak ada asalnya dalam syariat. Jika perkara-perkara baru tersebut bukan pada syariat maka bukanlah bidah, walaupun bisa dikatakan bidah secara bahasa


'''Bid'ah Menurut Bahasa (Etimologi):'''
Imam as-Suyuthi, beliau berkata, Bidah adalah sebuah ungkapan tentang perbuatan yang menentang syariat dengan suatu perselisihan atau suatu perbuatan yang menyebabkan menambah dan mengurangi ajaran syariat.


Dengan memperhatikan definisi-definisi ini akan nampak tanda-tanda yang mendasar bagi batasan bidah secara syariat yang dapat dimunculkan ke dalam beberapa point di bawah ini :


Yaitu hal baru yang disisipkan pada syariat setelah setelah ia sempurna. Ibnu As-Sikkit berpendapat bahwa bid'ah adalah segala hal yang baru. Sementara istilah pelaku bid'ah (baca: mubtadi') menurut adat terkesan tercela.
# Bahwa bidah adalah mengadakan suatu perkara yang baru dalam agama. Adapun mengadakan suatu perkara yang tidak diniatkan untuk agama tetapi semata diniatkan untuk terealisasinya maslahat duniawi seperti mengadakan perindustrian dan alat-alat sekedar untuk mendapatkan kemaslahatan manusia yang bersifat duniawi tidak dinamakan bidah.
# Bahwa bidah tidak mempunyai dasar yang ditunjukkan syariat. Adapun apa yang ditunjukkan oleh kaidah-kaidah syariat bukanlah bidah, walupun tidak ditentukan oleh nash secara khusus. Misalnya adalah apa yang bisa kita lihat sekarang: orang yang membuat alat-alat perang seperti kapal terbang,roket, tank atau selain itu dari sarana-sarana perang modern yang diniatkan untuk mempersiapkan perang melawan orang-orang kafir dan membela kaum muslimin maka perbuatannya bukanlah bidah. Bersamaan dengan itu syariat tidak memberikan nash tertentu dan rasulullah tidak mempergunakan senjata itu ketika bertempur melawan orang-orang kafir. Namun demikian pembuatan alat-alat seperti itu masuk ke dalam keumuman firman Allah taala,Dan persiapkanlah oleh kalian untuk mereka (musuh-musuh) kekuatan yang kamu sanggupi.Demikian pula perbuatan-perbuatan lainnya. Maka setiap apa-apa yang mempunyai asal dalam sariat termasuk bagian dari syariat bukan perkara bidah.
# Bahwa bidah semuanya tercela (hadits Al 'Irbadh bin Sariyah dishahihkan oleh syaikh Al Albani di dalam Ash Shahiihah no.937 dan al Irwa no.2455)
# Bahwa bidah dalam agama kadang-kadang menambah dan kadang-kadang mengurangi syariat sebagaimana yang dikatakan oleh Suyuthi di samping dibutuhkan pembatasan yaitu apakah motivasi adanya penambahan itu agama. Adapun bila motivasi penambahan selain agama, bukanlah bidah. Contohnya meninggalkan perkara wajib tanpa udzur, maka perbuatan ini adalah tindakan maksiat bukan bidah. Demikian juga meninggalkan satu amalan sunnah tidak dinamakan bidah. Masalah ini akan diterangkan nanti dengan beberapa contohnya ketika membahas pembagian bidah. InsyaAllah.


Adapun Abu Adnan berpendapat bahwa bid'ah adalah melakukan satu perbuatan yang nyaris belum pernah dilakukan oleh siapapun, seperti perkataan Anda: si fulan berbuat bid'ah dalam perkara ini, artinya ia telah mendahului untuk melakukan hal itu sebelum orang lain.
Bidah merupakan pelanggaran yang sangat besar dari sisi melampaui batasan-batasan hukum Allah dalam membuat syariat, karena sangatlah jelas bahwa hal ini menyalahi dalam meyakini kesempurnaan syariat.Menuduh Rasulullah Muhammad SAW menghianati risalah, menuduh bahwa syariat Islam masih kurang dan membutuhkan tambahan serta belum sempurna. Jadi secara umum dapat diketahui bahwa semua bid'ah dalam perkara ibadah/agama adalah haram atau dilarang sesuai kaedah ushul fiqih bahwa hukum asal ibadah adalah haram kecuali bila ada perintah dan tidaklah tepat pula penggunaan istilah bid'ah hasanah jika dikaitkan dengan ibadah atau agama sebagaimana pandangan orang banyak, namun masih relevan jika dikaitkan dengan hal-hal baru selama itu berupa urusan keduniawian murni misal dulu orang berpergian dengan unta sekarang dengan mobil, maka mobil ini adalah bid'ah namun bid'ah secara bahasa bukan definisi bid'ah secara istilah syariat dan contoh penggunaan sendok makan, mobil, mikrofon, pesawat terbang pada masa kini yang dulunya tidak ada inilah yang hakekatnya bid'ah hasanah. Dan contoh-contoh perkara ini tiada lain merupakan bagian dari perkara [[Ijtihad]]iyah


'''Bid'ah Menurut Istilah (Terminologi/Syariat):'''


Ada dua cara yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan bid'ah menurut syara':

Cara yang pertama:
cara atau jalan yang dimotori oleh Al Izz bin Abdussalam (ulama madzhab Syafi'i), dia menganggap bahwa segala hal yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW sebagai bid'ah. Bid'ah ini pun terbagi kepada hukum yang lima. Berikut perkataan Al Izz:

"Amal perbuataan yang belum pernah ada di zaman Nabi SAW atau tidak pernah dilakukan di zaman beliau terbagi lima macam;


1. Bid'ah wajib.


2. Bid'ah haram


3. Bidah sunah


4. Bid'ah makruh


5. Bid'ah mubah


Adapun untuk mengetahui semua itu adalah menegembalikan semua perbuatan yang dinggap bid'ah itu di hadapan kaidah-kaidah syariat, jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip wajib maka perbuatan itupun menjadi wajib (bid'ah wajib), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip haram maka perbuatan itupun menjadi haram (bid'ah haram), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip sunah maka perbuatan itupun menjadi sunah (bid'ah sunah), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip mubah (boleh) maka perbuatan itupun menjadi mubah (bid'ah mubah). (Lih. Qawa'id Al Ahkam fi Mashalihil Anam, juz 2. h. 204)


Makna tersebut juga dikatakan oleh Imam An-Nawawi yang berpendapat bahwa segala perbuatan yang tidak pernah ada di zaman Nabi dinamakan bid'ah, akan tetapi hal itu ada yang baik dan ada yang kebalikannya/buruk . (lih. Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al Asqalani. Juz 2.h. 394).


Cara kedua yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan bid'ah adalah:
menjadikan pengertian bid'ah menurut syariat lebih khusus dari pada menurut bahasa. Sehingga istilah bid'ah hanya berlaku untuk suatu perkara yang tercela saja, dan tidak perlu ada penamaan bid'ah wajib, sunah, mubah dan seterusnya seperti yang diutarakan oleh Al Izz bin Abdussalam. Cara kedua ini membatasi istilah bid'ah pada suatu amal yang diharamkan saja. Cara kedua ini diusung oleh Ibnu Rajab Al Hambali, ia pun memjelaskan bahwa bid'ah adalah suatu perbuatan yang tidak memiliki dasar syariat yang menguatkannya, adapun jika suatu perbuatan ini memiliki dasar syariat yang menguatkannya maka tidak dinamakan bid'ah, sekalipun hal itu bid'ah menurut bahasa. (lih. Jami' Al Ulum Wa Al Hikam h. 223)


Sebenarnya kedua cara yang ditempuh para ulama ini sepakat mengenai hakikat pegertian bid'ah, perbedaan mereka terjadi pada pintu masuk yang akan mengantarkan pada pengertian yang disepakati ini, yaitu bahwa bid'ah yang tercela (madzmumah) adalah yang berdosa jika megerjakannya, dimana perbuatan itu tidak memiliki dasar syar'i yang menguatkannya, inilah makna yang dimaksud dari sabda Nabi SAW,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

"Setiap perbuatan bid'ah itu sesat."


Definisi yang jelas inilah yang dipegang oleh para ulama, ahli fikih dan imam yang diikuti. Imam Syafi'i —sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi— bahwa beliau berkata, "Perkara baru yang tidak ada di zaman nabi SAW itu ada dua ketagori, pertama, perkara baru yang bertolak belakang dengan Al Qur`an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka itu termasuk bid'ah yang sesat (bid'ah dhalalah). Kedua, perkara baru yang termasuk baik (hasanah), tidak bertentangan dengan Al Qur`an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka perkara baru ini tidak tercela." (Riwayat Al Baihaqi. Lih. kitab Manaqib Asy-Syafi'i, juga oleh Abu Nu'aim dalam kitab Hilyatul Auliya`. 9/113)


Sementara Hujjatul Islam, Abu Hamid Al Ghazali berpendapat bahwa tidak semua perkara baru yang tidak dilakukan di zaman nabi SAW itu dilarang, akan tetapi yang dilarang adalah perkara bid'ah yang bertolak belakang dengan Sunnah dan menghilangkan apa yang sudah ditetapkan syari'at. (Lih.Ihya` Ulumuddin, juz 2, h. 248)

Imam An-Nawawi telah menukil dari Sulthanul ulama, Imam Izzuddin bin Abdussalam, dia berkata di akhir kitab Qawa'id Al Ahkam (kaidah-kaidah hukum), "Bid'ah itu tebagi kepada wajib, sunah, mubah, haram dan makruh…" di kesempatan lain, dalam pembicaraan tentang hukum bersalaman usai shalat, dia juga berkata, "Ketahuilah bahwa bersalaman ini disunahkan pada setiap pertemuan, adapun orang-orang membiasakan bersalaman pada setiap kali usai shalat maka ini tidak ada dasarnya sama sekali, akan tetapi hal itu tidak mengapa dilakukan, karena dasar bersalaman itu adalah Sunnah. Adapun mereka yang membiasakannya pada kondisi tertentu seperti usai shalat maka hal ini tidak keluar dari keberadaan bersalaman yang disinggung oleh dasar syariat (Sunnah).
(lih. An-Nanawi dalam Al Adzkar)


Adapun Ibnu Al Atsir berkata, "Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah huda (yang berpetunjuk) dan bid'ah dhalal (sesat), jika perkaranya bertolak belakang dengan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW maka itu termasuk tercela dan dikecam. Jika perkara itu termasuk yang disunahkan dan dianjurkan maka perkara itu terpuji… dia pun menambahkan: bid'ah yang baik pada dasarnya adalah sunah. Karena itu hadits Nabi SAW, "Bahwa setiap perkara baru itu bid'ah." Dipahami jika perkara baru itu bertentangan dengan dasar-dasar syariat dan bertolak belakang dengan Sunnah." (lih. An-Nihayah, karangan Ibnu Al Atsir juz 1. h. 80)


Ibnu Al Manzhur juga memiliki pendapat yang bagus mengenai definisi bid'ah secara istilah syar'i, menurutnya: Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah berpetunjuk (huda) dan bid'ah yang sesat (dhalal). Jika perkara itu bertolak belakang dengan perintah Allah dan Rasul-Nya maka itu termasuk tercela dan dikecam. Adapun jika perkaranya termasuk atau sesuai dengan apa yang dianjurkan Allah dan Rasul-Nya maka itu termasuk perkara terpuji.
Adapun perkara yang tidak ada contohnya di zaman nabi SAW seperti macam-macam jenis kebaikan dan kedermawanan serta perbuatan baik lainnya maka itu termasuk perbuatan yang terpuji (seperti bersedekah dengan pulsa, voucher, mengucapkan selamat via email dan SMS atau MMS, mengaji via telepon, dan lain sebagainya. Red)

Perkara baru ini tidak boleh bertentangan dengan dasar-dasar syariat, karena Nabi SAW telah menilai perbuatan ini (yang sesuai dengan dasar-dasar syari'at) berhak mendapatkan pahala: beliau bersabda,

"Siapa yang memulai perbuatan baik maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya."

Pada perbuatan kebalikannya beliau bersabda pula,

"Siapa yang memulai suatu kebiasaan buruk, maka dia mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengamalkannya."

Hal itu terjadi jika perbuatannya bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Begitupula dengan yang dikatakan Umar,

"Ini (shalat Tarawih berjama'ah) bid'ah yang baik".

Jika perbuatan itu termasuk katagori kebaikan dan terpuji maka dinamakannya dengan bid'ah yang baik dan terpuji, karena Nabi SAW tidak menyunahkan shalat Tarawih secara berjamaah kepada mereka, Rasulullah hanya melakukannya beberapa hari lalu meninggalkannya dan tidak lagi mengumpulkan jamaah untuk melakukan shalat Tarawih.

Praktik shalat Tarawih berjamaah ini juga tidak dilakukan pada masa Abu Bakar. Namun hal itu dipraktikkan di masa Umar bin Al Khaththab, belia menganjurkannya serta membiasakannya, sehingga Umar menamakannya dengan bid'ah pula, namun pada hakikatnya praktik tersebut adalah sunah, berdasarkan sabda Nabi SAW, "Ikutilah Sunnahku, dan sunah khulafa rasyidun setelahku." Juga sabda beliau lainnya, "Ikuti orang-orang setelahku, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali…" Adapun hadits nabi SAW, "Setiap perkara baru adalah bid'ah" dipahami jika perkara itu bertolak belakang dengan dasar-dasar syariat dan tidak sesuai dengan Sunnah. (lih. Lisan Al 'Arab juz 8. h. 6)


Sikap Para Ulama terhadap Definisi Bid'ah:
Jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa bid'ah terbagi beberapa macam, hal ini nampak pada pendapat imam Syafi'i dan para pengikutnya seperti, Al Izzu bin Abdussalam, An-Nawawi dan Abu Syamah. Dari Madzhab Maliki seperti, Al Qarafi dan Az-Zarqani. Dari Madzhab Hanafi, seperti Ibnu Abidin. Dari Madzhab Hambali, seperti Ibnu Al Jauzi. Dari madzhab Zhahiriyah, seperti Ibnu Hazm.

Semua ini tercermin dalam definisi yang diberikan Al Izz bin Abdussalam mengenai bid'ah, yaitu perbuatan atau amal yang tidak pernah ada di zaman Nabi SAW, dan hal ini tebagi pada bid'ah wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.


Para ulama ini memberikan contoh-contoh mengenai pembagian bid'ah ini:


a. Bid'ah wajib: seperti mempelajari ilmu nahwu dan sharaf (gramatika bahasa Arab) yang dengannya dapat memahami kalam Ilahi dan sabda Rasulullah. Ini termasuk bid'ah wajib, karena ilmu ini berfungsi untuk menjaga kemurnian syariat, sebagaimana dijelaskan dalam kaidah fikih,
مَا لاَيَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
"Sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak akan berjalan sempurna maka sesuatu itu pun menjadi wajib hukumnya."


b. Bid'ah haram: seperti pemikiran sekte Al Qadariyah, sekte Al Jabariyah, sekte Al Murji`ah dan sekte Al Khawarij, paham bahwa Al Qur`an adalah produk budaya, dan paham bahwa zamant ini masih jahiliyah shingga hukum-hukum Islam belum bisa diterapkan, dan lain sebagainya.

c. Bid'ah sunah: seperti merenovasi sekolah, membangun jembatan, shalat tarawih secara bejamaah dengan satu imam, dan adzan dua kali pada shalat Jum'at.


d. Bid'ah makruh: seperti menghiasi atau memperindah Masjid dan Kitab Al Qur`an.


e. Bid'ah mubah: seperti, bersalaman usai shalat jamaah, tahlil, memperingati Maulid Nabi SAW, berdoa dan membaca Al Qur`an di kuburan, dzikir secara berjamaah dengan dipimpin imam usai shalat, dzikir dengan suara keras secara berjamaah, dan keanekaragaman bentuk pakaian dan makanan.


Mengenai bid'ah mubah ini diperlukan sikap toleransi yang tinggi di kalangan umat Islam untuk menjaga persatuan dan persaudaraan yang hukumnya wajib, artinya siapa saja boleh melakukan dan meninggalkannya, jangan sampai ada pemaksaan sedikitpun dalam melakukannya apalagi saling merasa benar atau menyalahkan kelompok lainnya.
Adapun dalil yang menjadi dasar pembagian bid'ah ini menjadi lima adalah:


1. Perkataan Umar tentang shalat tarawih berjamaah di masjid pada bulan Ramadhan dengan mengatakan, ni'matil bid'atu hadzihi (ini sebaik-baik bid'ah). Diriwayatkan dari Abdurrahaman bin Abdul Qari, dia berkata: aku keluar rumah bersama Umar bin Khaththab pada malam bulan Ramadhan menuju masjid. Kami menyaksikan orang-orang terbagi-bagi, masing masing melakukan shalat sendirian. Kemudian Umar berkata, "Aku berpandangan andai saja aku bisa mengumpulkan mereka pada satu imam maka ini lebih baik dan ideal." Beliaupun bertekad mengumpulkan mereka dengan imamnya Ubai bin Ka'ab. Kemudian aku keluar ke masjid pada hari berikutnya bersama beliau, kamipun melihat orang-orang sedang shalat dibelakang satu imam. Umar lalu berkata, "Ni'matil bid'atu hadzihi (inilah sebaik-baik bid'ah). Adapun melakukannya di akhir malam maka itu lebih afdhal daripada melakukannya di awal malam." (HR. Bukhari)


2. Abdullah bin Umar menilai shalat Dhuha yang dilakukan secara berjamaah di masjid adalah bid'ah, padahal itu merupakan perkara baik. Diriwayatkan dari Mujahid, dia berkata: aku dan Urwah bin Zubair masuk masjid, ternyata ada Abdullah bin Umar sedang duduk di samping serambi rumah Aisyah, lalu ada sekelompok orang melakukan shalat Dhuha secara berjamaah, kamipun menanyakan hukum shalat mereka ini kepadanya, diapun menjawab, "Bid'ah". (HR. Bukhari dan Muslim)


3. Hadits-hadits yang menunjukkan pembagian bid'ah menjadi bid'ah baik dan buruk diantaranya adalah yang
diriwayatkan secara marfu' (shahih dan sampai pada nabi SAW):
"Siapa yang memulai suatu perbuatan baik maka ia akan mendapatkan pahalanya, dan pahala dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Siapa yang memulai suatu perbuatan buruk maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat." (HR. Muslim)
Dari apa yang disampaikan dapat kita simpulkan bahwa mengenai bid'ah ini ada dua pandangan para ulama: pertama, seperti yang dikemukan oleh Ibnu Rajab Al Hambali dan selainnya, bahwa semua perbuatan yang diberi pahala dan disyariatkan melakukannya tidak dinamakan bid'ah, sekalipun hal itu pantas dinamakan bid'ah dari segi bahasa, yaitu perbuatan baru yang belum pernah ada yang melakukannya, akan tetapi penamaan bid'ah terhadap perbuatan ini tidak dimaksudkan sebagai bid'ah yang tercela apalagi sesat.
Kedua, pandangan perincian macam-macam bid'ah seperti yang dikemukakan oleh Al Izz bin Abdissalam sebagaimana yang telah kami paparkan sebelumnya.


Sementara sikap kita sebagai muslim terhadap masalah yang cukup penting ini yang mempengaruhi pemikiran Islam, masalah-masalah fikih, juga pandangan atau sikap kita terhadap saudara-saudara semuslim kita lainnya, sehingga janganlah dengan mudah kita mengklaim mereka yang melakukan bid'ah hasanah (yang baik) itu sebagai pelaku bid'ah yang sesat dan fasiq (wal 'iyadzu billah/kita memohon perlindungan kepada Allah dari hal itu), hal ini terjadi karena ketidaktahuan dengan prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah yang telah jelas tersebut, sehingga masalah inipun menjadi samar dan aneh di kalangan umat Islam.


== Bidah dalam Kristen ==
== Bidah dalam Kristen ==

Revisi per 6 Februari 2013 14.46


Pengertian Bid'ah


إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.

"Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara baru, setiap perkara baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka." (HR. An-Nasa`i)


Hadits ini merupakan salah satu dari sekian banyak hadits yang berbicara tentang bid'ah. Namun untuk memahami perkara bid'ah ini tidak asal begitu saja kita pahami secara harfiah atau tekstual dari hadits tersebut, sehingga siapapun menjadi mudah untuk mengklaim saudara-saudaranya semuslim yang melakukan satu perkara yang tidak pernah dilakukan di zaman nabi SAW kita anggap sebagai pelaku bid'ah yang sesat, dan jika ia sesat berarti tempatnya di neraka. Agar tidak berkesan tergesa-gesa ada baiknya kita memahami terlebih dahulu masalah ini melalui kajian-kajian dari para ulama salafush-shalih kita yang telah terebih dahalu mengkajinya.


Definisi Bid'ah


Untuk mengetahui pengertian bid'ah yang benar maka kita harus terlebih dahulu memahami arti bid'ah secara bahasa (etimologi) dan istilah (terminologi/syariat).


Bid'ah Menurut Bahasa (Etimologi):


Yaitu hal baru yang disisipkan pada syariat setelah setelah ia sempurna. Ibnu As-Sikkit berpendapat bahwa bid'ah adalah segala hal yang baru. Sementara istilah pelaku bid'ah (baca: mubtadi') menurut adat terkesan tercela.

Adapun Abu Adnan berpendapat bahwa bid'ah adalah melakukan satu perbuatan yang nyaris belum pernah dilakukan oleh siapapun, seperti perkataan Anda: si fulan berbuat bid'ah dalam perkara ini, artinya ia telah mendahului untuk melakukan hal itu sebelum orang lain.


Bid'ah Menurut Istilah (Terminologi/Syariat):


Ada dua cara yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan bid'ah menurut syara':

Cara yang pertama:

cara atau jalan yang dimotori oleh Al Izz bin Abdussalam (ulama madzhab Syafi'i), dia menganggap bahwa segala hal yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW sebagai bid'ah. Bid'ah ini pun terbagi kepada hukum yang lima. Berikut perkataan Al Izz:

"Amal perbuataan yang belum pernah ada di zaman Nabi SAW atau tidak pernah dilakukan di zaman beliau terbagi lima macam;


1. Bid'ah wajib.


2. Bid'ah haram


3. Bidah sunah


4. Bid'ah makruh


5. Bid'ah mubah


Adapun untuk mengetahui semua itu adalah menegembalikan semua perbuatan yang dinggap bid'ah itu di hadapan kaidah-kaidah syariat, jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip wajib maka perbuatan itupun menjadi wajib (bid'ah wajib), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip haram maka perbuatan itupun menjadi haram (bid'ah haram), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip sunah maka perbuatan itupun menjadi sunah (bid'ah sunah), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip mubah (boleh) maka perbuatan itupun menjadi mubah (bid'ah mubah). (Lih. Qawa'id Al Ahkam fi Mashalihil Anam, juz 2. h. 204)


Makna tersebut juga dikatakan oleh Imam An-Nawawi yang berpendapat bahwa segala perbuatan yang tidak pernah ada di zaman Nabi dinamakan bid'ah, akan tetapi hal itu ada yang baik dan ada yang kebalikannya/buruk . (lih. Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al Asqalani. Juz 2.h. 394).


Cara kedua yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan bid'ah adalah:

menjadikan pengertian bid'ah menurut syariat lebih khusus dari pada menurut bahasa. Sehingga istilah bid'ah hanya berlaku untuk suatu perkara yang tercela saja, dan tidak perlu ada penamaan bid'ah wajib, sunah, mubah dan seterusnya seperti yang diutarakan oleh Al Izz bin Abdussalam. Cara kedua ini membatasi istilah bid'ah pada suatu amal yang diharamkan saja. Cara kedua ini diusung oleh Ibnu Rajab Al Hambali, ia pun memjelaskan bahwa bid'ah adalah suatu perbuatan yang tidak memiliki dasar syariat yang menguatkannya, adapun jika suatu perbuatan ini memiliki dasar syariat yang menguatkannya maka tidak dinamakan bid'ah, sekalipun hal itu bid'ah menurut bahasa. (lih. Jami' Al Ulum Wa Al Hikam h. 223)


Sebenarnya kedua cara yang ditempuh para ulama ini sepakat mengenai hakikat pegertian bid'ah, perbedaan mereka terjadi pada pintu masuk yang akan mengantarkan pada pengertian yang disepakati ini, yaitu bahwa bid'ah yang tercela (madzmumah) adalah yang berdosa jika megerjakannya, dimana perbuatan itu tidak memiliki dasar syar'i yang menguatkannya, inilah makna yang dimaksud dari sabda Nabi SAW, كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

"Setiap perbuatan bid'ah itu sesat."


Definisi yang jelas inilah yang dipegang oleh para ulama, ahli fikih dan imam yang diikuti. Imam Syafi'i —sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi— bahwa beliau berkata, "Perkara baru yang tidak ada di zaman nabi SAW itu ada dua ketagori, pertama, perkara baru yang bertolak belakang dengan Al Qur`an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka itu termasuk bid'ah yang sesat (bid'ah dhalalah). Kedua, perkara baru yang termasuk baik (hasanah), tidak bertentangan dengan Al Qur`an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka perkara baru ini tidak tercela." (Riwayat Al Baihaqi. Lih. kitab Manaqib Asy-Syafi'i, juga oleh Abu Nu'aim dalam kitab Hilyatul Auliya`. 9/113)


Sementara Hujjatul Islam, Abu Hamid Al Ghazali berpendapat bahwa tidak semua perkara baru yang tidak dilakukan di zaman nabi SAW itu dilarang, akan tetapi yang dilarang adalah perkara bid'ah yang bertolak belakang dengan Sunnah dan menghilangkan apa yang sudah ditetapkan syari'at. (Lih.Ihya` Ulumuddin, juz 2, h. 248)

Imam An-Nawawi telah menukil dari Sulthanul ulama, Imam Izzuddin bin Abdussalam, dia berkata di akhir kitab Qawa'id Al Ahkam (kaidah-kaidah hukum), "Bid'ah itu tebagi kepada wajib, sunah, mubah, haram dan makruh…" di kesempatan lain, dalam pembicaraan tentang hukum bersalaman usai shalat, dia juga berkata, "Ketahuilah bahwa bersalaman ini disunahkan pada setiap pertemuan, adapun orang-orang membiasakan bersalaman pada setiap kali usai shalat maka ini tidak ada dasarnya sama sekali, akan tetapi hal itu tidak mengapa dilakukan, karena dasar bersalaman itu adalah Sunnah. Adapun mereka yang membiasakannya pada kondisi tertentu seperti usai shalat maka hal ini tidak keluar dari keberadaan bersalaman yang disinggung oleh dasar syariat (Sunnah). (lih. An-Nanawi dalam Al Adzkar)


Adapun Ibnu Al Atsir berkata, "Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah huda (yang berpetunjuk) dan bid'ah dhalal (sesat), jika perkaranya bertolak belakang dengan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW maka itu termasuk tercela dan dikecam. Jika perkara itu termasuk yang disunahkan dan dianjurkan maka perkara itu terpuji… dia pun menambahkan: bid'ah yang baik pada dasarnya adalah sunah. Karena itu hadits Nabi SAW, "Bahwa setiap perkara baru itu bid'ah." Dipahami jika perkara baru itu bertentangan dengan dasar-dasar syariat dan bertolak belakang dengan Sunnah." (lih. An-Nihayah, karangan Ibnu Al Atsir juz 1. h. 80)


Ibnu Al Manzhur juga memiliki pendapat yang bagus mengenai definisi bid'ah secara istilah syar'i, menurutnya: Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah berpetunjuk (huda) dan bid'ah yang sesat (dhalal). Jika perkara itu bertolak belakang dengan perintah Allah dan Rasul-Nya maka itu termasuk tercela dan dikecam. Adapun jika perkaranya termasuk atau sesuai dengan apa yang dianjurkan Allah dan Rasul-Nya maka itu termasuk perkara terpuji. Adapun perkara yang tidak ada contohnya di zaman nabi SAW seperti macam-macam jenis kebaikan dan kedermawanan serta perbuatan baik lainnya maka itu termasuk perbuatan yang terpuji (seperti bersedekah dengan pulsa, voucher, mengucapkan selamat via email dan SMS atau MMS, mengaji via telepon, dan lain sebagainya. Red)

Perkara baru ini tidak boleh bertentangan dengan dasar-dasar syariat, karena Nabi SAW telah menilai perbuatan ini (yang sesuai dengan dasar-dasar syari'at) berhak mendapatkan pahala: beliau bersabda,

"Siapa yang memulai perbuatan baik maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya."

Pada perbuatan kebalikannya beliau bersabda pula,

"Siapa yang memulai suatu kebiasaan buruk, maka dia mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengamalkannya."

Hal itu terjadi jika perbuatannya bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Begitupula dengan yang dikatakan Umar,

"Ini (shalat Tarawih berjama'ah) bid'ah yang baik".

Jika perbuatan itu termasuk katagori kebaikan dan terpuji maka dinamakannya dengan bid'ah yang baik dan terpuji, karena Nabi SAW tidak menyunahkan shalat Tarawih secara berjamaah kepada mereka, Rasulullah hanya melakukannya beberapa hari lalu meninggalkannya dan tidak lagi mengumpulkan jamaah untuk melakukan shalat Tarawih.

Praktik shalat Tarawih berjamaah ini juga tidak dilakukan pada masa Abu Bakar. Namun hal itu dipraktikkan di masa Umar bin Al Khaththab, belia menganjurkannya serta membiasakannya, sehingga Umar menamakannya dengan bid'ah pula, namun pada hakikatnya praktik tersebut adalah sunah, berdasarkan sabda Nabi SAW, "Ikutilah Sunnahku, dan sunah khulafa rasyidun setelahku." Juga sabda beliau lainnya, "Ikuti orang-orang setelahku, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali…" Adapun hadits nabi SAW, "Setiap perkara baru adalah bid'ah" dipahami jika perkara itu bertolak belakang dengan dasar-dasar syariat dan tidak sesuai dengan Sunnah. (lih. Lisan Al 'Arab juz 8. h. 6)


Sikap Para Ulama terhadap Definisi Bid'ah: Jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa bid'ah terbagi beberapa macam, hal ini nampak pada pendapat imam Syafi'i dan para pengikutnya seperti, Al Izzu bin Abdussalam, An-Nawawi dan Abu Syamah. Dari Madzhab Maliki seperti, Al Qarafi dan Az-Zarqani. Dari Madzhab Hanafi, seperti Ibnu Abidin. Dari Madzhab Hambali, seperti Ibnu Al Jauzi. Dari madzhab Zhahiriyah, seperti Ibnu Hazm.

Semua ini tercermin dalam definisi yang diberikan Al Izz bin Abdussalam mengenai bid'ah, yaitu perbuatan atau amal yang tidak pernah ada di zaman Nabi SAW, dan hal ini tebagi pada bid'ah wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.


Para ulama ini memberikan contoh-contoh mengenai pembagian bid'ah ini:


a. Bid'ah wajib: seperti mempelajari ilmu nahwu dan sharaf (gramatika bahasa Arab) yang dengannya dapat memahami kalam Ilahi dan sabda Rasulullah. Ini termasuk bid'ah wajib, karena ilmu ini berfungsi untuk menjaga kemurnian syariat, sebagaimana dijelaskan dalam kaidah fikih, مَا لاَيَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ "Sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak akan berjalan sempurna maka sesuatu itu pun menjadi wajib hukumnya."


b. Bid'ah haram: seperti pemikiran sekte Al Qadariyah, sekte Al Jabariyah, sekte Al Murji`ah dan sekte Al Khawarij, paham bahwa Al Qur`an adalah produk budaya, dan paham bahwa zamant ini masih jahiliyah shingga hukum-hukum Islam belum bisa diterapkan, dan lain sebagainya.

c. Bid'ah sunah: seperti merenovasi sekolah, membangun jembatan, shalat tarawih secara bejamaah dengan satu imam, dan adzan dua kali pada shalat Jum'at.


d. Bid'ah makruh: seperti menghiasi atau memperindah Masjid dan Kitab Al Qur`an.


e. Bid'ah mubah: seperti, bersalaman usai shalat jamaah, tahlil, memperingati Maulid Nabi SAW, berdoa dan membaca Al Qur`an di kuburan, dzikir secara berjamaah dengan dipimpin imam usai shalat, dzikir dengan suara keras secara berjamaah, dan keanekaragaman bentuk pakaian dan makanan.


Mengenai bid'ah mubah ini diperlukan sikap toleransi yang tinggi di kalangan umat Islam untuk menjaga persatuan dan persaudaraan yang hukumnya wajib, artinya siapa saja boleh melakukan dan meninggalkannya, jangan sampai ada pemaksaan sedikitpun dalam melakukannya apalagi saling merasa benar atau menyalahkan kelompok lainnya. Adapun dalil yang menjadi dasar pembagian bid'ah ini menjadi lima adalah:


1. Perkataan Umar tentang shalat tarawih berjamaah di masjid pada bulan Ramadhan dengan mengatakan, ni'matil bid'atu hadzihi (ini sebaik-baik bid'ah). Diriwayatkan dari Abdurrahaman bin Abdul Qari, dia berkata: aku keluar rumah bersama Umar bin Khaththab pada malam bulan Ramadhan menuju masjid. Kami menyaksikan orang-orang terbagi-bagi, masing masing melakukan shalat sendirian. Kemudian Umar berkata, "Aku berpandangan andai saja aku bisa mengumpulkan mereka pada satu imam maka ini lebih baik dan ideal." Beliaupun bertekad mengumpulkan mereka dengan imamnya Ubai bin Ka'ab. Kemudian aku keluar ke masjid pada hari berikutnya bersama beliau, kamipun melihat orang-orang sedang shalat dibelakang satu imam. Umar lalu berkata, "Ni'matil bid'atu hadzihi (inilah sebaik-baik bid'ah). Adapun melakukannya di akhir malam maka itu lebih afdhal daripada melakukannya di awal malam." (HR. Bukhari)


2. Abdullah bin Umar menilai shalat Dhuha yang dilakukan secara berjamaah di masjid adalah bid'ah, padahal itu merupakan perkara baik. Diriwayatkan dari Mujahid, dia berkata: aku dan Urwah bin Zubair masuk masjid, ternyata ada Abdullah bin Umar sedang duduk di samping serambi rumah Aisyah, lalu ada sekelompok orang melakukan shalat Dhuha secara berjamaah, kamipun menanyakan hukum shalat mereka ini kepadanya, diapun menjawab, "Bid'ah". (HR. Bukhari dan Muslim)


3. Hadits-hadits yang menunjukkan pembagian bid'ah menjadi bid'ah baik dan buruk diantaranya adalah yang diriwayatkan secara marfu' (shahih dan sampai pada nabi SAW): "Siapa yang memulai suatu perbuatan baik maka ia akan mendapatkan pahalanya, dan pahala dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Siapa yang memulai suatu perbuatan buruk maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat." (HR. Muslim) Dari apa yang disampaikan dapat kita simpulkan bahwa mengenai bid'ah ini ada dua pandangan para ulama: pertama, seperti yang dikemukan oleh Ibnu Rajab Al Hambali dan selainnya, bahwa semua perbuatan yang diberi pahala dan disyariatkan melakukannya tidak dinamakan bid'ah, sekalipun hal itu pantas dinamakan bid'ah dari segi bahasa, yaitu perbuatan baru yang belum pernah ada yang melakukannya, akan tetapi penamaan bid'ah terhadap perbuatan ini tidak dimaksudkan sebagai bid'ah yang tercela apalagi sesat. Kedua, pandangan perincian macam-macam bid'ah seperti yang dikemukakan oleh Al Izz bin Abdissalam sebagaimana yang telah kami paparkan sebelumnya.


Sementara sikap kita sebagai muslim terhadap masalah yang cukup penting ini yang mempengaruhi pemikiran Islam, masalah-masalah fikih, juga pandangan atau sikap kita terhadap saudara-saudara semuslim kita lainnya, sehingga janganlah dengan mudah kita mengklaim mereka yang melakukan bid'ah hasanah (yang baik) itu sebagai pelaku bid'ah yang sesat dan fasiq (wal 'iyadzu billah/kita memohon perlindungan kepada Allah dari hal itu), hal ini terjadi karena ketidaktahuan dengan prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah yang telah jelas tersebut, sehingga masalah inipun menjadi samar dan aneh di kalangan umat Islam.

Bidah dalam Kristen

Dalam sejarah gereja mula-mula, beberapa bidah yang menentang ajaran resmi gereja antara lain adalah Marcion (Marcionisme), Arius (Arianisme), dan Pelagius (Pelagianisme)

Lihat pula