The Age of Reason: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 31: Baris 31:
Dengan menggunakan metode yang tidak umum dalam bidang keilmuan kitab suci hingga abad ke-19, Paine menguji konsistensi internal Alkitab dan mempertanyakan keakuratan historisnya, sehingga menyimpulkan bahwa buku tersebut tidak diilhami oleh Tuhan.
Dengan menggunakan metode yang tidak umum dalam bidang keilmuan kitab suci hingga abad ke-19, Paine menguji konsistensi internal Alkitab dan mempertanyakan keakuratan historisnya, sehingga menyimpulkan bahwa buku tersebut tidak diilhami oleh Tuhan.


Paine juga menyatakan bahwa [[Perjanjian Lama]] pastilah salah karena menggambarkan Tuhan yang lalim. "Sejarah kejahatan" dalam Perjanjian Lama membuat Paine yakin bahwa kitab tersebut hanyalah mitos lain yang dikarang oleh manusia.<ref>Smylie, 207–209; Claeys, 181–82; Davidson and Scheick, 64–65; 72–73.</ref> Ia menyayangkan orang-orang yang mudah percaya: "Karena dibiasakan dengan takhayul, secara umum orang-orang tidak tahu seberapa banyak kejahatan yang ada dalam teks yang dibuat seolah seperti kata-kata Tuhan ini." Misalnya, dalam [[Kitab Bilangan]] 31:13–47, Musa memerintahkan pembantaian ribuan laki-laki dan perempuan dan mendukung pemerkosaan ribuan perempuan, atas perintah Tuhan.<ref>{{bibleverse||Numbers|31:13–47}}</ref> Akibatnya, Paine menyebut kitab suci sebagai "buku kebohongan, kejahatan, dan penistaan; karena penistaan terbesar adalah menganggap kejahatan manusia sebagai perintah yang maha kuasa!"<ref>{{cite book|last=Vickers|first=Vikki J.|title="My pen and my soul have ever gone together": Thomas Paine and the American Revolution|publisher=Routledge|year=2006|page=75|isbn=978-0-415-97652-7}}</ref>
Paine juga menyatakan bahwa [[Perjanjian Lama]] pastilah salah karena menggambarkan Tuhan yang lalim. "Sejarah kejahatan" dalam Perjanjian Lama membuat Paine yakin bahwa kitab tersebut hanyalah mitos lain yang dikarang oleh manusia.<ref>Smylie, 207–209; Claeys, 181–82; Davidson and Scheick, 64–65; 72–73.</ref> Ia menyayangkan orang-orang yang mudah percaya: "Karena dibiasakan dengan takhayul, secara umum orang-orang tidak tahu seberapa banyak kejahatan yang ada dalam teks yang dibuat seolah seperti kata-kata Tuhan ini." Misalnya, dalam [[Kitab Bilangan]] 31:13–47, Musa memerintahkan pembantaian ribuan laki-laki dan perempuan dan mendukung pemerkosaan ribuan perempuan, atas perintah Tuhan.<ref>{{bibleverse|Bilangan|31:13–47}}</ref> Akibatnya, Paine menyebut kitab suci sebagai "buku kebohongan, kejahatan, dan penistaan; karena penistaan terbesar adalah menganggap kejahatan manusia sebagai perintah yang maha kuasa!"<ref>{{cite book|last=Vickers|first=Vikki J.|title="My pen and my soul have ever gone together": Thomas Paine and the American Revolution|publisher=Routledge|year=2006|page=75|isbn=978-0-415-97652-7}}</ref>


=== Agama dan negara ===
=== Agama dan negara ===

Revisi per 10 Oktober 2013 17.04

Halaman judul The Age of Reason

The Age of Reason; Being an Investigation of True and Fabulous Theology adalah pamflet yang ditulis oleh tokoh revolusi Amerika Thomas Paine. Pamflet ini menentang institusi agama dan keabsahan kitab suci Kristen. The Age of Reason diterbitkan dalam tiga bagian pada tahun 1794, 1795, dan 1807, dan segera menjadi bestseller di Amerika Serikat serta menyebabkan kebangkitan deistik singkat. Namun, Britania Raya tidak menyambut pamflet ini dengan baik karena takut akan radikalisme politik yang disebabkan oleh revolusi Perancis. The Age of Reason menyajikan argumen-argumen deistik umum; misalnya, Paine menekankan bahwa gereja Kristen sudah korup dan mengkritik upayanya untuk memperoleh kekuasan politik. Paine menganjurkan penggunaan nalar daripada memercayai wahyu, dan memandang kitab suci sebagai karya sastra biasa daripada kitab yang terilhami secara ilahi. Pamflet ini mendukung teologi alam dan mendukung keberadaan pencipta.

Sebagian besar argumen Paine sudah lama didengar oleh elit-elit yang terdidik. Dengan menyajikannya kepada umum, ia mampu menjelaskan deisme pada banyak orang. Buku ini juga tidak mahal dan dapat dibeli oleh banyak orang. Karena dikhawatirkan akan menyebarkan gagasan revolusioner, pemerintah Britania menangkap penerbit dan penjual buku yang mencoba menyebarkan pamflet ini. Namun, Paine mengilhami dan memandu banyak pemikir bebas Britania pada abad ke-19 dan 20.

Struktur dan argumen utama

The Age of Reason dibagi menjadi tiga bagian. Pada bagian I, Paine menguraikan argumen-argumen utama dan keyakinan pribadinya. Pada bagian II dan III, ia menganalisis beberapa bagian kitab suci untuk menunjukkan bahwa kitab tersebut bukan wahyu dari Tuhan.

Keyakinan

Lukisan minyak Thomas Paine karya Auguste Millière (1880).

Pada permulaan Bagian I Age of Reason, Paine menekankan keyakinan pribadinya:

Saya percaya akan satu Tuhan, dan tidak lebih; dan saya mengharapkan kebahagian di luar kehidupan ini.
Saya mendukung kesetaraan manusia; dan saya yakin bahwa tugas-tugas religius meliputi berperilaku adil, berbelas kasih, dan mencoba membahagiakan sesama.
Namun, jangan dikira saya memercayai lebih dari ini. Dalam karya ini, saya akan menyatakan hal yang tidak saya percayai dan alasan saya untuk tidak memercayainya.
Saya tidak memercayai kredo Gereja Yahudi, Gereja Roma, Gereja Yunani, Gereja Turki, Gereja Protestan, atau gereja apapun. Pikiranku adalah gerejaku.
Semua institusi gereja nasional, baik itu Yahudi, Kristen, atau Turki, tidak lebih dari sekadar buatan manusia, yang didirikan untuk menakuti dan memperbudak manusia, dan memonopoli kekuatan dan keuntungan.
Dengan mendeklarasikan hal ini, saya tidak bermaksud mengutuk mereka yang memercayainya; mereka punya hak untuk percaya sama seperti saya punya hak untuk percaya. Namun, seseorang sebaiknya beriman kepada dirinya sendiri demi kebahagiaan manusia. Ketiadaan kepercayaan agama tidak meliputi percaya atau tidak percaya, tetapi meliputi pernyataan kepercayaan akan sesuatu yang tidak ia percayai.[1]

Keyakinan Paine merangkum tema utama dalam pamfletnya: kepercayaan akan pencipta; keraguan akan klaim-klaim supernatural (di sini "kehidupan setelah kematian", dan dalam teks berikutnya "mukjizat"); keyakinan bahwa kebajikan berasal dari pertimbangan akan orang lain daripada diri sendiri; penentangan institusi agama yang korup; dan dukungan terhadap kebebasan berkeyakinan.[2]

Nalar dan wahyu

Paine memulai The Age of Reason dengan menentang wahyu. Menurutnya, wahyu hanya dapat dipastikan oleh orang yang menerima pesan tersebut dan maka dari itu bukan bukti yang kuat. Paine menolak nubuat dan mukjizat dengan menulis: "wahyu hanya untuk orang pertama, dan hanya sesuatu yang pernah didengar orang yang lain, dan maka dari itu mereka tidak harus memercayainya".[3] Ia juga menekankan bahwa wahyu Kristen tampaknya telah diubah dan disesuaikan dengan keadaan politik saat ini. Setelah mengajak pembaca untuk menggunakan nalar daripada memercayai wahyu, Paine menyatakan bahwa satu-satunya bukti keberadaan Tuhan yang dapat dipercaya, tidak berubah, dan universal adalah alam itu sendiri. Kitab Suci Para Deis sebaiknya bukan kitab buatan manusia seperti kitab suci, tetapi buatan Tuhan, yaitu ciptaan itu sendiri.[4] Paine juga menyatakan bahwa peraturan logika dan standar bukti yang digunakan untuk teks sekuler juga harus diterapkan untuk kitab suci. Pada Bagian II, ia melakukan hal ini dan menunjukkan kontradiksi yang ada dalam kitab suci.[5]

Analisis kitab suci Paine

Paine menyatakan bahwa ia tidak akan menggunakan sumber di luar alkitab untuk mengembangkan kritikannya, namun akan menggunakan kitab suci itu sendiri. Ia mempertanyakan kesucian kitab suci dan menganalisisnya seperti orang lain menganalisis buku lain. Misalnya, dalam analisis Kitab Amsal, ia menyatakan bahwa isinya "tidak setajam pepatah orang Spanyol, dan tidak lebih bijak dan ekonomis daripada Franklin".[6] Setelah mendeskripsikan alkitab sebagai "mitologi yang menakjubkan", Paine mempertanyakan fakta bahwa kitab tersebut diwahyukan kepada penulisnya dan tidak yakin bahwa penulis aslinya dapat diketahui (misalnya, ia menolak gagasan bahwa Musa menulis Pentateuch).

Saya hendak menunjukkan bahwa buku-buku tersebut bohong, dan bahwa Musa bukan pengarangnya; lebih lagi, buku-buku tersebut tidak ditulis pada masa Musa, atau hingga beberapa ratus tahun kemudian; bahwa buku-buku tersebut tidak lebih dari sekadar upaya untuk menulis sejarah Musa, dan masa kehidupannya, dan juga masa sebelumnya, oleh beberapa orang yang sangat bodoh dan menginginkan kekuasaan beberapa ratus tahun setelah kematian Musa, seperti manusia pada saat ini menulis sejarah tentang apa yang telah terjadi, atau diduga telah terjadi beberapa ratus atau ribuan tahun yang lalu .[7]

Dengan menggunakan metode yang tidak umum dalam bidang keilmuan kitab suci hingga abad ke-19, Paine menguji konsistensi internal Alkitab dan mempertanyakan keakuratan historisnya, sehingga menyimpulkan bahwa buku tersebut tidak diilhami oleh Tuhan.

Paine juga menyatakan bahwa Perjanjian Lama pastilah salah karena menggambarkan Tuhan yang lalim. "Sejarah kejahatan" dalam Perjanjian Lama membuat Paine yakin bahwa kitab tersebut hanyalah mitos lain yang dikarang oleh manusia.[8] Ia menyayangkan orang-orang yang mudah percaya: "Karena dibiasakan dengan takhayul, secara umum orang-orang tidak tahu seberapa banyak kejahatan yang ada dalam teks yang dibuat seolah seperti kata-kata Tuhan ini." Misalnya, dalam Kitab Bilangan 31:13–47, Musa memerintahkan pembantaian ribuan laki-laki dan perempuan dan mendukung pemerkosaan ribuan perempuan, atas perintah Tuhan.[9] Akibatnya, Paine menyebut kitab suci sebagai "buku kebohongan, kejahatan, dan penistaan; karena penistaan terbesar adalah menganggap kejahatan manusia sebagai perintah yang maha kuasa!"[10]

Agama dan negara

Halaman judul Rights of Man (1792).

Paine juga menyerang institusi agama, menuduh para pendeta haus akan kekuasaan dan kekayaan, serta mengkritik penentangan Gereja terhadap sains. Ia menyatakan sejarah Kekristenan sebagai sejarah korupsi dan opresi[11] dan mengkritik tindakan gereja yang lalim seperti ia mengkritik pemerintah dalam Rights of Man dan Common Sense, serta menyatakan bahwa "teori Kristen tidak lebih dari pemujaan berhala mitologis zaman dahulu, yang disesuaikan dengan kepentingan kekuasaan dan pendapatan."[12] Serangan semacam ini membedakan buku Paine dari karya deistik lain, yang jarang menentang hierarki sosial dan politik.[13] Paine menekankan bahwa gereja dan negara adalah institusi korup tunggal yang tidak memedulikan kepentingan rakyat - keduanya harus diubah:

Segera setelah saya menerbitkan pamflet Common Sense di Amerika, saya melihat kemungkinan besar bahwa revolusi sistem pemerintahan akan diikuti oleh revolusi sistem agama. Hubungan antara gereja dan negara, dimanapun itu berlangsung . . . telah secara efektif melarang diskusi tentang kredo dan asas utama agama, dan hingga sistem pemerintahan diubah, subjek-subjek tersebut tidak dapat diangkat secara adil dan terbuka; namun bila [perubahan] dilancarkan, revolusi sistem agama juga akan terjadi. Karangan manusia dan penipuan imam akan diketahui; dan manusia akan kembali pada kepercayaan murni, tidak tercampur, dan tak terpalsukan akan satu Tuhan, dan tidak lebih.[14]

Seperti yang ditulis oleh Jon Mee "Paine meyakini . . . revolusi agama adalah akibat wajar, dan bahkan prasyarat, revolusi politik yang berhasil."[15] Menurut Davidson dan Scheick, Paine menguraikan visi "masa kebebasan intelektual, ketika nalar mengalahkan takhayul, ketika kebebasan manusia akan menggantikan imam dan raja, yang merupakan efek sekunder dari legenda bodoh dan takhayul religius yang diatur secara politik."[16] Para ahli menyebut visi ini "milenialisme sekuler" Paine dan tema ini dapat ditemui di semua karyanya—misalnya, dalam The Rights of Man, ia mengakhiri buku tersebut dengan menyatakan "Dari apa yang kita bisa lihat sekarang, tidak ada reformasi dalam dunia politik yang patut dianggap tidak mungkin. Ini adalah masa revolusi, ketika semuanya dicari."[17] Paine "mentransformasi visi milenial Protestan akan kekuasaan Kritus di Bumi menjadi gambaran utopia yang sekuler", menekankan kemungkinan "kemajuan" dan "kesempurnaan manusia" yang dapat dicapai tanpa bantuan Tuhan.[18]

Sumber gagasan

Walaupun Paine sering berkata bahwa ia tidak banyak membaca, tulisannya tidak menunjukkan hal tersebut;[19] gagasan dalam The Age of Reason berakar dari tradisi David Hume, Spinoza, dan Voltaire. Karena Hume pernah melakukan "serangan moral terhadap Kekristenan" yang sama dengan yang dipopulerkan Paine, para ahli menyimpulkan bahwa Paine mungkin membaca karya Hume atau paling tidak pernah mendengarnya di lingkar penerbitan Joseph Johnson.[20] Paine kemungkinan tertarik dengan deskripsi Hume bahwa agama adalah "sumber kemalangan pada masyarakat" yang "membuat manusia menjadi terpecah, ambisius, dan tidak toleran."[21] Namun, karya yang mungkin lebih memengaruhi Paine adalah Tractatus Theologico-politicus (1678) karya Spinoza. Paine mungkin berkenalan dengan gagasan Spinoza melalui karya-karya deis abad ke-18 lainnya, terutama Conyers Middleton.[22] Paine juga kemungkinan mengetahui karya Voltaire atau filsuf deis Perancis lainnya.

Walaupun tradisi filsafat tersebut tampak memengaruhi The Age of Reason, gagasan Paine kemungkinan banyak bergantung pada deis-deis Inggris pada awal abad ke-18, seperti Peter Annet.[23] John Toland pernah menganjurkan penggunaan nalar untuk menafsirkan kitab suci, Matthew Tindal pernah menentang wahyu, Middleton mendeskripsikan kitab suci sebagai mitologi dan mempertanyakan keberadaan mukjizat, Thomas Morgan memperdebatkan klaim-klaim Perjanjian Lama, Thomas Woolston meragukan keterpercayaan mukjizat, dan Thomas Chubb pernah menyatakan bahwa Kekristenan tidak memiliki moralitas. Semua argumen tersebut muncul di The Age of Reason, walaupun segamblang itu.[24]

Catatan kaki

  1. ^ Paine, The Age of Reason (1974), 50.
  2. ^ As Walter Woll has noted in his book on Paine, there are "remarkable similarities" between Paine's creed and his friend Benjamin Franklin's; Woll, 138, note 1. Franklin's creed: "I believe in one God, the creator of the universe. That he governs it by his Providence. That he ought to be worshipped. That the most acceptable service we render to him is doing good to his other children. That the soul of man is immortal, and will be treated with justice in another life respecting its conduct in this."
  3. ^ Paine, The Age of Reason (1974), 52.
  4. ^ Paine, The Age of Reason (1974), 185.
  5. ^ Smylie, 207–209; Claeys, 181–82; Davidson and Scheick, 70–71.
  6. ^ Paine, The Age of Reason (1974), 60–61; see also Davidson and Scheick, 49 and Fruchtman, 3–4; 28–9.
  7. ^ http://www.ushistory.org/paine/reason/reason18.htm
  8. ^ Smylie, 207–209; Claeys, 181–82; Davidson and Scheick, 64–65; 72–73.
  9. ^ Bilangan 31:13–47
  10. ^ Vickers, Vikki J. (2006). "My pen and my soul have ever gone together": Thomas Paine and the American Revolution. Routledge. hlm. 75. ISBN 978-0-415-97652-7. 
  11. ^ Smylie, 207–209; Claeys, 181; Davidson and Scheick, 79–82.
  12. ^ Paine, The Age of Reason (1974), 53.
  13. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Hawke2924
  14. ^ Paine, The Age of Reason (1974), 51.
  15. ^ Mee, 162.
  16. ^ Davidson and Scheick, 18–19.
  17. ^ Qtd. in Foner, 216; see also Fruchtman, 157–8; Harrison, 80.
  18. ^ Foner, 91; see also Fruchtman, 157–8; Claeys, 183.
  19. ^ Robbins, 135–42.
  20. ^ Robbins, 135–42; Davidson and Scheick, 58–60.
  21. ^ Hole, 69.
  22. ^ Robbins, 140–41; Davidson and Scheick, 58.
  23. ^ In Annet, Paine is said to have a direct "forerunner" in deistic argumentation, advocacy of "freedom of expression and religious inquiry" and emphasis on "social reforms." Annet even concerned himself with the price of one of his controversial religious pamphlets. Such a concern is worthy of Paine. (Herrick 130–4)
  24. ^ Smylie, 209; Davidson and Scheick, 60ff.

Bibliografi

Pranala luar