Lompat ke isi

Ki Ageng Enis: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Re. suhendar (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Re. suhendar (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 17: Baris 17:
}}
}}
Dalam sejarah [[Pajang]], [[Ki Ageng Pamanahan]] dan [[Sutawijaya]] bersama-sama dengan [[Ki Juru Martani]] dan [[Ki Panjawi]], sangat berjasa kepada Sultan Pajang Hadiwijaya (Jaka Tingkir atau Mas Karebet) sebab telah berhasil membunuh Arya Panangsang, musuhnya dari Jipang. Selanjutnya atas jasa tersebut, Sultan Hadiwijaya memberi anugerah tanah Pati kepada [[Ki Panjawi]], dan tanah Mataram kepeda Ki Ageng Pamanahan. Sedang kepada Ki Ageng Enis dianugerahi tanah perdikan di [[Laweyan]] Karena ketaatan para kawulanya, Ki Ageng Enis mendapatkan sebutan Ki Ageng Luwih, makamnya di Astana Lawiyan. Istilah Lawiyan berasal dari kata Luwih (sakti) dari Ki Ageng Enis tersebut.
Dalam sejarah [[Pajang]], [[Ki Ageng Pamanahan]] dan [[Sutawijaya]] bersama-sama dengan [[Ki Juru Martani]] dan [[Ki Panjawi]], sangat berjasa kepada Sultan Pajang Hadiwijaya (Jaka Tingkir atau Mas Karebet) sebab telah berhasil membunuh Arya Panangsang, musuhnya dari Jipang. Selanjutnya atas jasa tersebut, Sultan Hadiwijaya memberi anugerah tanah Pati kepada [[Ki Panjawi]], dan tanah Mataram kepeda Ki Ageng Pamanahan. Sedang kepada Ki Ageng Enis dianugerahi tanah perdikan di [[Laweyan]] Karena ketaatan para kawulanya, Ki Ageng Enis mendapatkan sebutan Ki Ageng Luwih, makamnya di Astana Lawiyan. Istilah Lawiyan berasal dari kata Luwih (sakti) dari Ki Ageng Enis tersebut.

Serat Kandha menyebutkan bahwa Ki Ageng Ngenis dengan seluruh keluarganya mendapat pekerjaan pada raja Pajang (Sultan Hadiwijaya) yang begitu senang padanya, sehingga ia diberi tanah Laweyan (di Surakarta, ada hingga kini) sebagai hadiah. Ki Ageng Ngenis meninggal di sana. Setelah meninggalnya, Ki Pemanahan dan Ki Panjawi menjadi lurah para prajurit tamtama Pajang.

Ki Ageng Ngenis, kakek Panembahan Senapati (=Danang-Sutawijaya) adalah berasal dari Sela, karena ia adalah putra Ki Ageng Sela. Jadi, Ki Ageng Sela adalah kakek buyut Panembahan Senapati. Nama-nama Ki Gede (=Ki Ageng) adalah menunjukkan bahwa ia adalah pembesar dari wilayah tersebut. Namun perlu diketahui, bahwa Sela yang disebut di sini bukanlah wilayah Sela yang terletak di antara gunung Merapi dan Merbabu, melainkan Sela yang ada di wilayah Grobogan. Ki Ageng Sela kakek buyut dari Panembahan Senapati inilah yang diceritakan dalam cerita legenda turun-temurun memiliki kesaktian mampu menangkap petir itu. Saya masih ingat sedikit di masa kecil orang tua-tua cerita bahwa kami sebagai orang Mataram bila saat petir menyambar dapat menyahutnya dengan bilang, “Gandrik! Putune Ki Ageng Sela!” (Astaga! (Saya) cucu Ki Ageng Sela!). Dengan begitu, petir akan menghindar [http://kijurumartani.blogspot.com/].


== Asal usul ==
== Asal usul ==

Revisi per 29 Maret 2014 09.25

Ki Ageng Ngenis
Perintis Kesultanan Mataram / Explorer
Berkas:Ki Ageng Ngenis.jpg
Makam Ki Ageng Enis Sumber [1]]]
PasanganNyai Ageng Ngenis
KeturunanKi Ageng Pemanahan
Ki Ageng Karatongan
Nama lengkap
Ki Ageng Enis / Kyai Ageng Laweyan
WangsaMajapahit Rajasa
AyahKi Ageng Selo
IbuNyai Ageng Selo II / Nyai Bicak / Roro Kasihan
AgamaIslam

Dalam sejarah Pajang, Ki Ageng Pamanahan dan Sutawijaya bersama-sama dengan Ki Juru Martani dan Ki Panjawi, sangat berjasa kepada Sultan Pajang Hadiwijaya (Jaka Tingkir atau Mas Karebet) sebab telah berhasil membunuh Arya Panangsang, musuhnya dari Jipang. Selanjutnya atas jasa tersebut, Sultan Hadiwijaya memberi anugerah tanah Pati kepada Ki Panjawi, dan tanah Mataram kepeda Ki Ageng Pamanahan. Sedang kepada Ki Ageng Enis dianugerahi tanah perdikan di Laweyan Karena ketaatan para kawulanya, Ki Ageng Enis mendapatkan sebutan Ki Ageng Luwih, makamnya di Astana Lawiyan. Istilah Lawiyan berasal dari kata Luwih (sakti) dari Ki Ageng Enis tersebut.

Serat Kandha menyebutkan bahwa Ki Ageng Ngenis dengan seluruh keluarganya mendapat pekerjaan pada raja Pajang (Sultan Hadiwijaya) yang begitu senang padanya, sehingga ia diberi tanah Laweyan (di Surakarta, ada hingga kini) sebagai hadiah. Ki Ageng Ngenis meninggal di sana. Setelah meninggalnya, Ki Pemanahan dan Ki Panjawi menjadi lurah para prajurit tamtama Pajang.

Ki Ageng Ngenis, kakek Panembahan Senapati (=Danang-Sutawijaya) adalah berasal dari Sela, karena ia adalah putra Ki Ageng Sela. Jadi, Ki Ageng Sela adalah kakek buyut Panembahan Senapati. Nama-nama Ki Gede (=Ki Ageng) adalah menunjukkan bahwa ia adalah pembesar dari wilayah tersebut. Namun perlu diketahui, bahwa Sela yang disebut di sini bukanlah wilayah Sela yang terletak di antara gunung Merapi dan Merbabu, melainkan Sela yang ada di wilayah Grobogan. Ki Ageng Sela kakek buyut dari Panembahan Senapati inilah yang diceritakan dalam cerita legenda turun-temurun memiliki kesaktian mampu menangkap petir itu. Saya masih ingat sedikit di masa kecil orang tua-tua cerita bahwa kami sebagai orang Mataram bila saat petir menyambar dapat menyahutnya dengan bilang, “Gandrik! Putune Ki Ageng Sela!” (Astaga! (Saya) cucu Ki Ageng Sela!). Dengan begitu, petir akan menghindar [2].

Asal usul

Ki Ageng Enis adalah putra dari Ki Ageng Sela dengan Nyai Bicak putri Ki Ageng Ngerang / Sunan Ngerang I keturunan Maulana Maghribi II. Ki Ageng Enis berputra Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Pemanahan berputra Sutawijaya atau Mas Ngabehi Loring Pasar atau Senapati pendiri kerajaan Mataram Islam.

Ki Ageng Enis adalah putra bungsu dari tujuh bersaudara, dimana semua saudaranya adalah perempuan.

  1. Ki Ageng Enis (? - 1503) memiliki 2 orang putra :
    1. Ki Ageng Pemanahan / Kyai Gede Mataram (Membuka Kota Gede Mataram pada tahun 1558 sebagai hadiah dari Raja Pajang), wafat pada tahun 1584, menikah dengan Nyai Sabinah (putri Ki Ageng Saba) mempunyai putra-putri 26 orang :
      1. Adipati Manduranegara
      2. Kanjeng Panembahan Senopati / Raden Sutawijaya (Sultan Mataram ke 1, pendiri, 1587-1601) menikah dengan 3 istri melahirkan putra-putri 14 orang :
        1. Gusti Kanjeng Ratu Pambayun / Retna Pembayun
        2. Pangeran Ronggo Samudra (Adipati Pati)
        3. Pangeran Puger / Raden Mas Kentol Kejuro (Adipati Demak)
        4. Pangeran Teposono
        5. Pangeran Purbaya / Raden Mas Damar
        6. Pangeran Rio Manggala
        7. Pangeran Adipati Jayaraga / (Raden Mas Barthotot)
        8. Panembahan Hadi Prabu Hanyokrowati/Panembahan Seda ing Krapyak (Sultan Mataram ke 2, 1601-1613) menikah dengan Ratu Tulung Ayu dan Dyah Banowati / Ratu Mas Hadi (Cicit dari Raden Joko Tingkir & Ratu Mas Cempaka), menurunkan putra-putri 12 orang :
          1. Sultan Agung / Raden Mas Djatmika (1593-1645), Sultan Mataram ke 3 (1613-1645) menikah dengan Permaisuri ke 1 Kanjeng Ratu Kulon / Ratu Mas Tinumpak (putri Panembahan Ratu Cirebon ke 4 setelah Sunan Gunung Jati), permaisuri ke 2 Kanjeng Ratu Batang / Ratu Ayu Wetan / Kanjeng Ratu Kulon mempunyai 9 orang putra-putri :
            1. Raden Mas Sahwawrat / Pangeran Temenggong Pajang
            2. Raden Mas Kasim / Pangeran Demang Tanpa Nangkil
            3. Pangeran Ronggo Kajiwan
            4. Gusti Ratu Ayu Winongan
            5. Pangeran Ngabehi Loring Pasar
            6. Pangeran Ngabehi Loring Pasar
            7. Sunan Prabu Amangkurat Agung / Amangkurat I / Raden Mas Sayidin (Sultan Mataram ke 4, 1646-1677) wafat 13 Juli 1677 di Banyumas.
              1. Sunan Prabu Mangkurat II / Sunan Amral / Raden Mas Rahmat (Sunan Kartasura ke 1, 1677-1703)
                1. Sunan Prabu Amangkurat III (Sunan Kartasura ke 2, 1703-1705)
              2. Susuhunan Pakubuwono I / Pangeran Puger / Raden Mas Drajat (Sunan Kartasura ke 3, 1704-1719)
                1. Raden Mas Sengkuk
                2. Prabu Amangkurat IV (Mangkurat Jawi) wafat 20 April 1726
                  1. Kanjeng Pangeran Arya Mangkunegara (Mangkunegara I, 1757-1795)
                  2. Gusti Raden Ayu Suroloyo, di Brebes
                  3. Gusti Raden Ayu Wiradigda
                  4. Gusti Pangeran Hario Hangabehi
                  5. Gusti Pangeran Hario Pamot
                  6. Gusti Pangeran Hario Diponegoro
                  7. Gusti Pangeran Hario Danupaya
                  8. Sri Susuhunan Pakubuwono II / Raden Mas Prabasuyasa (Sunan Surakarta ke 1, 1726-1742)
                  9. Gusti Pangeran Hario Hadinagoro
                  10. Gusti Kanjeng Ratu Maduretno, Garwa Pangeran Hindranata
                  11. Gusti Raden Ajeng Kacihing, Dewasa Sedho
                  12. Gusti Pangeran Hario Hadiwijoyo
                  13. Gusti Raden Mas Subronto, Wafat Dalam Usia Dewasa
                  14. Gusti Pangeran Hario Buminoto
                  15. Pangeran Hario Mangkubumi Hamengku Buwono I (Sultan Yogyakarta Ke 1, 1717-1792)
                  16. Sultan Dandunmatengsari
                  17. Gusti Raden Ayu Megatsari
                  18. Gusti Raden Ayu Purubaya
                  19. Gusti Raden Ayu Pakuningrat di Sampang
                  20. Gusti Pangeran Hario Cokronegoro
                  21. Gusti Pangeran Hario Silarong
                  22. Gusti Pangeran Hario Prangwadono
                  23. Gusti Raden Ayu Suryawinata di Demak
                  24. Gusti Pangeran Hario Panular
                  25. Gusti Pangeran Hario Mangkukusumo
                  26. Gusti Raden Mas Jaka
                  27. Gusti Raden Ayu Sujonopuro
                  28. Gusti Pangeran Hario Dipawinoto
                  29. Gusti Raden Ayu Adipati Danureja I
                3. Pangeran Diposonto / Ki Ageng Notokusumo
                4. Raden Ayu Lembah
                5. Raden Ayu Himpun
                6. Raden Suryokusumo
                7. Pangeran Blitar
                8. Pangeran Dipanegara Madiun
                9. Pangeran Purbaya
                10. Kyai Adipati Nitiadiningrat I Raden Garudo (groedo)
                11. Raden Suryokusumo
                12. Tumenggung Honggowongso / Joko Sangrib (Kentol Surawijaya)
              3. Gusti Raden Ayu Pamot
              4. Pangeran Martosana
              5. Pangeran Singasari
              6. Pangeran Silarong
              7. Pangeran Notoprojo
              8. Pangeran Satoto
              9. Pangeran Hario Panular
              10. Gusti Raden Ayu Adip Sindurejo
              11. Raden Ayu Bendara Kaleting Kuning
              12. Gusti Raden Ayu Mangkuyudo
              13. Gusti Raden Ayu Adipati Mangkupraja
              14. Pangeran Hario Mataram
              15. Bandara Raden Ayu Danureja / Bra. Bendara
              16. Gusti Raden Ayu Wiromenggolo / R.Aj. Pusuh
            8. Gusti Raden Ayu Wiromantri
            9. Pangeran Danupoyo/Raden Mas Alit
          2. Pangeran Mangkubumi
          3. Pangeran Bumidirja
          4. Pangeran Arya Martapura / Raden Mas Wuryah (1605-1688)
          5. Ratu Mas Sekar / Ratu Pandansari
          6. Kanjeng Ratu Mas Sekar
          7. Pangeran Bhuminata
          8. Pangeran Notopuro
          9. Pangeran Pamenang
          10. Pangeran Sularong / Raden Mas Chakra (wafat Desember 1669)
          11. Gusti Ratu Wirokusumo
          12. Pangeran Pringoloyo
        9. Gusti Raden Ayu Demang Tanpa Nangkil
        10. Gusti Raden Ayu Wiramantri
        11. Pangeran Adipati Pringgoloyo I (Bupati Madiun, 1595-1601)
        12. Ki Ageng Panembahan Djuminah/Pangeran Djuminah/Pangeran Blitar I (Bupati Madiun, 1601-1613)
        13. Pangeran Adipati Martoloyo / Raden Mas Kanitren (Bupati Madiun 1613-1645)
        14. Pangeran Tanpa Nangkil
      3. Pangeran Ronggo
      4. Nyai Ageng Tumenggung Mayang menikah dengan Kyai Ageng Tumenggung Mayang berputra 1 orang :
        1. Raden Pabelan (wafat 1587)
      5. Pangeran Hario Tanduran
      6. Nyai Ageng Tumenggung Jayaprana
      7. Pangeran Teposono
      8. Pangeran Mangkubumi
        1. Adipati Sukawati
        2. Bagus Petak Madiun
      9. Pangeran Singasari/Raden Santri
        1. Pangeran Blitar
      10. Raden Ayu Kajoran
      11. Pangeran Gagak Baning (Adipati Pajang, 1588-1591)
      12. Pangeran Pronggoloyo
      13. Nyai Ageng Haji Panusa, ing Tanduran
      14. Nyai Ageng Panjangjiwa
      15. Nyai Ageng Banyak Potro, ing Waning
      16. Nyai Ageng Kusumoyudo ing Marisi
      17. Nyai Ageng Wirobodro, ing Pujang
      18. Nyai Ageng Suwakul
      19. Nyai Ageng Mohamat Pekik ing Sumawana
      20. Nyai Ageng Wiraprana ing Ngasem
      21. Nyai Ageng Hadiguno ing Pelem
      22. Nyai Ageng Suroyuda ing Kajama
      23. Nyai Ageng Mursodo ing Silarong
      24. Nyai Ageng Ronggo ing Kranggan
      25. Nyai Ageng Kawangsih ing Kawangsen
      26. Nyai Ageng Sitabaya ing Gambiro
    2. Ki Ageng Karatongan

Kilas tentang Saudagar Laweyan

Laweyan merupakan kampung tradisional yang sudah ada sejak sebelum tahun 1500 M. Kelurahan/Kampung Laweyan, Surakarta – Jawa Tengah merupakan kawasan sentra industri batik yang unik, spesifik dan bersejarah.

Berdasarkan buku yang ditulis oleh RT. Mlayadipuro, desa Laweyan (sekarang wilayah Kelurahan Laweyan) sudah ada sebelum munculnya kerajaan Pajang. Sejarah kawasan Laweyan masih bisa dirunut dengan fakta artefak makam maupun letak geografisnya yaitu setelah dekade Kyai Ageng Ngenis yang bermukim di desa Laweyan pada tahun 1546 M, tepatnya di sebelah utara pasar Laweyan (sekarang Kampung Lor Pasar Mati), era sebelumnya sangat sulit dilacak kecuali hanya dari dongeng dan tutur lisan saja. Letak pasar Laweyan membelakangi jalan yang menghubungkan antara Mentaok dengan desa Sala (sekarang jalan Dr. Rajiman).

Kyai Ageng Ngenis adalah putra dari Kyai Ageng Selo yang merupakan keturunan raja Brawijaya V. Kyai Ageng Ngenis atau Kyai Ageng Laweyan adalah juga manggala pinituwaning nagara kerajaan Pajang semasa Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang pada tahun 1546 M.

Kyai Ageng Ngenis meninggal dan dimakamkan di pesarean Laweyan (tempat Sunan Kalijaga istirahat selama lelaku menyusuri sungai Bengawan Solo). Rumah tempat tinggal Kyai Ageng Ngenis kemudian ditempati oleh cucunya yang bernama Bagus Danang atau Mas Ngabehi Sutowijaya. Kemudian Sutowijaya lebih dikenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar (pasar Laweyan), Sutowijaya pindah ke Kota Gede dan dalam perjalanannya kemudian menjadi raja pertama Dinasti Mataram Islam dengan sebutan Panembahan Senopati yang kemudian menurunkan raja-raja Mataram.

Mitos Laweyan

Ada folklor yang menjadi mitos membentuk kesan komunitas Laweyan teralienasikan. Hal ini mendorong Drs. Soedarmono, SU (Sejarahwan Surakarta - alm) menulis dalam upaya meluruskan sejarah. Wong laweyan pada jaman dahulu, ditengah peradaban dominannya budaya feodal kerajaan, agak tidak disukai oleh kalangan bangsawan kerajaan di kota Solo. Karena komunitas Laweyan lebih mencerminkan gaya hidup yang praksis dalam dunia ekonomi industri dan perdagangan batik. Wacana prilaku ekonomi perdagangan dan industri batik di Solo ini dianggap kurang pantas terlibat dalam pergaulan masyarakat feodalistik kerajaan. Sebagian besar bangsawan kerajaan yang gaya hidupnya lebih mencerminkan pola hidup establish pada system ekonomi feodom, agak kurang senang hidup berdampingan dengan wong Laweyan yang mencerminkan gaya hidup sebagai entrepreuner yang dianggap egois, kikir, dan dianggap cenderung pamer kekayaan. Bangsawan kerajaan takut bersaing dalam hal meraih ethos hedonis Jawa: drajad, semat dan pangkat, maka dengan segala cara, orang Laweyan dialienasikan, diasingkan dari pergaulan masyarakat Jawa. Folklore yang muncul untuk mengalienasikan ethos pedagang dan industriawan batik kaum perempuan ini antara lain,

  1. Eksistensi komunitas dagang Laweyan di jaman Pajang, dialienasikan dalam folklor Raden Pabelan yang melakukan perselingkuhan dengan putri raja Ratu Sekar Kedhaton. Peristiwa itu mengakibatkan dijatuhkannya eksekusi mati atas Raden Pabelan bertempat di Laweyan. Folklor ini seolah-olah menjadikan wacana memori kolektif orang Jawa dalam Babad minor Pajang, untuk akses pembenaran (legitimasi) bahwa sudah layak dan sepantasnya orang yang melanggar tata-krama adat istana harus di-eksekusi hukum "Lawe" (digantung dengan tali = lawe), dan yang sangat disengaja eksekusi itu dijatuhkan di Laweyan.
  2. Folklor Kyai Ageng Ngenis, ini adalah folklore yang sangat tendensius untuk mengklaim bahwa kawasan Laweyan adalah bagian dari ekologi cultural kraton, bukan ekologi pedagang lawe yang telah lama ada (Pajang). Konon menurut cerita lokal, asal usul nama tempat “laweyan” sangat berhubungan erat dengan nama tokoh lokal yang disakralkan, yaitu Kyai Ageng Ngenis. Di era pemerintahan Sultan Hadiwijoyo di Pajang, Kyai Ageng Ngenis, putra Kyai Ageng Selo, adalah tokoh cikal-bakal Mataram. Karena jasanya yang besar atas berdirinya kasultanan Pajang, beliau diberi hadiah tanah “perdikan”. Tanah itu diberi nama “luwihan”, folklor ini menggeser etimologi kata 'luwihan' seolah berubah sebutan menjadi “laweyan”, karena kekaguman rakyat Pajang atas “keluwihan” (kesaktian) Kyai Ageng Ngenis.

Kepustakaan

Sumber Lain


Penghargaan dan prestasi
Didahului oleh:
Ki Ageng Sela
Perintis Kesultanan Mataram
1478-1587
Diteruskan oleh:
Ki Ageng Pemanahan