Lompat ke isi

Ibnu Qutaibah: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
BP47Dhorifah (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: BP2014
BP47Dhorifah (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: BP2014
Baris 2: Baris 2:




Ibnu Qutaibah adalah seorang ahli [[sejarah]] [[politik]].<ref name="Ilmy"> Ilmy, Bachrul (2007).''Pendidikan Agama Islam''.Bandung:PT Grafindo Media Pratama.Hal 142 </ref> Dia juga adalah seorang [[cendekiawan]] [[Islam]] dan pakar [[bahasa]] [[Arab]] serta pembela [[ahli]] [[hadits]].<ref name="Ilmy"/> <ref name="Ainol"> Radzi, Khusyairi Ainol (2005).''Cerita-cerita Motivasi untuk Iman''.Kuala Lumpur:PTS Millennia.SDN. BHD. Hal64 Cet.3 </ref> <ref name="Ismail"> Ismail, Nurjannah (2003).''Perempuan dalam pasungan:Bias laki-laki dalam penafsiran''.Yogyakarta:LKiS. Hal 99 </ref> Ibnu Qutaibah lahir pada tahun 828 M dan meninggal pada tahun 889 M.<ref name="Ismail"/> Namun, para sejarawan berbeda pendapat mengenai tempat kelahirannya.<ref name="Ibnu"> Qutaibah, Ibnu.''www.pondokpesantren.net'' </ref> Menurut Ibnu Khalikan, dia lahir di Baghdad, sedangkan menurut an-Nadim dan Ibnu al-Anbar dia lahir di Kufah pada awal Rajab tahun 313 H.<ref name="Ibnu"/> Salah satu karya Ibnu Qutaibah yang terkenal adalah [[Kitab]] Al Ma'arif (setebal empat jilid) yang merupakan ensiklopedia pertama berbahasa Arab. <ref name="Wahid"> Wahid, Abdurrahman (2001).''Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren''.Yogyakarta:LKiS. Hal 220 </ref>
Ibnu Qutaibah adalah seorang ahli [[sejarah]] [[politik]].<ref name="Ilmy"> Ilmy, Bachrul (2007).''Pendidikan Agama Islam''.Bandung:PT Grafindo Media Pratama.Hal 142 </ref> Dia juga adalah seorang [[cendekiawan]] [[Islam]] dan pakar [[bahasa]] [[Arab]] serta pembela [[ahli]] [[hadits]].<ref name="Ilmy"/> <ref name="Ainol"> Radzi, Khusyairi Ainol (2005).''Cerita-cerita Motivasi untuk Iman''.Kuala Lumpur:PTS Millennia.SDN. BHD. Hal64 Cet.3 </ref> <ref name="Ismail"> Ismail, Nurjannah (2003).''Perempuan dalam pasungan:Bias laki-laki dalam penafsiran''.Yogyakarta:LKiS. Hal 99 </ref> Ibnu Qutaibah lahir pada tahun 828 M dan meninggal pada tahun 889 M.<ref name="Ismail"/> Namun, para sejarawan berbeda pendapat mengenai tempat kelahirannya.<ref name="Ibnu"> Qutaibah, Ibnu.''www.pondokpesantren.net'' </ref> Menurut Ibnu Khalikan, dia lahir di [[Baghdad]], sedangkan menurut an-Nadim dan Ibnu al-Anbar dia lahir di [[Kufah]] pada awal [[Rajab]] tahun 313 H.<ref name="Ibnu"/> Salah satu karya Ibnu Qutaibah yang terkenal adalah [[Kitab]] Al Ma'arif (setebal empat jilid) yang merupakan ensiklopedia pertama berbahasa Arab. <ref name="Wahid"> Wahid, Abdurrahman (2001).''Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren''.Yogyakarta:LKiS. Hal 220 </ref>


==Konsep Pemikiran==
==Konsep Pemikiran==


Ibnu Qutaibah hidup semasa dengan al-Jahith, seorang teolog terkemuka dari kalangan Muktazilah.<ref name="Ismail"/> Kendatipun demikian, dia berseberangan dengan al-Jahith, sebab dia bukanlah seseorang yang berpaham Muktazilah melainkan pengikut paham Ahli [[Sunnah]] sebagaimana yang dikatakan oleh [[Ibnu Taimiyah]].<ref name="Ismail"/>
Ibnu Qutaibah hidup semasa dengan al-Jahith, seorang teolog terkemuka dari kalangan [[Muktazilah]].<ref name="Ismail"/> Kendatipun demikian, dia berseberangan dengan al-Jahith, sebab dia bukanlah seseorang yang berpaham Muktazilah melainkan pengikut paham Ahli [[Sunnah]] sebagaimana yang dikatakan oleh [[Ibnu Taimiyah]].<ref name="Ismail"/>


===Konsep tentang Qadha===
===Konsep tentang Qadha===


Menurut Ibnu Qutaibah, [[qadha]] ialah [[hukum]], ciptaan, kepastian, dan penjelasan.<ref name="Ezza"> Ezza, Abu (2012).''Setiap Doa Pasti Allah Kalbukan''.Jakarta:Qultum Media.Hal 58 </ref> Asal maknanya adalah memutuskan, memisahkan, menentukan sesuatu, mengukuhkannya, menjalankaannya, dan menyelesaikannya.<ref name="Ezza"/> Qadha terbagi menjadi dua, yakni ''qadha mahtum'' (definitif)dan ''qadha ghairu mahtum'' (tidak definitif).<ref name="Ezza"/> Qadha mahtum adalah sebuah [[takdir]] pasti yang tidak bisa dirubah, [[Allah]] bukan tidak bisa merubahnya melainkan itu memang suatu kebijakan yang telah ditentukan-Nya.<ref name="Ezza"/> Hal ini misalnya disebutkan dalam [[Surat]] Al Kahfi [[ayat]] 29: ''Allah menciptakan [[manusia]] sebagai [[makhluk]] yang bebas dalam bertindak dan menetukan [[nasib]]nya sendiri.<ref name="Ezza"/> Kemudian qadha ghairu mahtum adalah sebuah ketentuan yang masih bisa berubah karena bersifat tidak pasti, tetapi hal ini tidak bisa dilakukan secara instan karena Allah akan merubah takdir seseorang jika terpenuhinya syarat-syarat tertentu.<ref name="Ezza"/>
Menurut Ibnu Qutaibah, [[qadha]] ialah [[hukum]], ciptaan, kepastian, dan penjelasan.<ref name="Ezza"> Ezza, Abu (2012).''Setiap Doa Pasti Allah Kalbukan''.Jakarta:Qultum Media.Hal 58 </ref> Asal maknanya adalah memutuskan, memisahkan, menentukan sesuatu, mengukuhkannya, menjalankaannya, dan menyelesaikannya.<ref name="Ezza"/> Qadha terbagi menjadi dua, yakni ''qadha mahtum'' (definitif)dan ''qadha ghairu mahtum'' (tidak definitif).<ref name="Ezza"/> Qadha mahtum adalah sebuah [[takdir]] pasti yang tidak bisa dirubah, [[Allah]] bukan tidak bisa merubahnya melainkan itu memang suatu kebijakan yang telah ditentukan-Nya.<ref name="Ezza"/> Hal ini misalnya disebutkan dalam [[Surat]] Al Kahfi [[ayat]] 29: ''Allah menciptakan [[manusia]] sebagai [[makhluk]] yang bebas dalam bertindak dan menetukan [[nasib]]nya sendiri.<ref name="Ezza"/> Kemudian qadha ghairu mahtum adalah sebuah ketentuan yang masih bisa berubah karena bersifat tidak pasti, tetapi hal ini tidak bisa dilakukan secara instan karena Allah akan merubah [[takdir]] seseorang jika terpenuhinya syarat-syarat tertentu.<ref name="Ezza"/>


===Konsep Ibadah===
===Konsep Ibadah===


Ibnu Qutaibah tidak hanya berhenti sampai di situ saja, tetapi pembahasannya juga sampai kepada pluralitas jalan menuju Allah.<ref name="Ibnu"/> Baginya, [[jalan]] menuju Allah tidak tunggal dan kebaikan bukan hanya sebatas [[shalat]] malam, [[puasa]] terus menerus, mengetahui mana yang [[halal dan mana yang [[haram]], tetapi jalan menuju Allah adalah sangat banyak dan pintu kebaikan terbuka lebar-lebar.<ref name="Ibnu"/> Kemaslahatan [[agama]] terkait dengan kemaslahatan zaman, kemaslahatan zaman terkait dengan kemasalahatan yang disertai bimbingan dan pengajaran yang baik.<ref name="Ibnu"/>
Ibnu Qutaibah tidak hanya berhenti sampai di situ saja, tetapi pembahasannya juga sampai kepada pluralitas jalan menuju Allah.<ref name="Ibnu"/> Baginya, [[jalan]] menuju Allah tidak tunggal dan kebaikan bukan hanya sebatas [[shalat]] malam, [[puasa]] terus menerus, mengetahui mana yang [[halal]] dan mana yang [[haram]], tetapi jalan menuju Allah adalah sangat banyak dan pintu kebaikan terbuka lebar-lebar.<ref name="Ibnu"/> Kemaslahatan [[agama]] terkait dengan kemaslahatan [[zaman]], kemaslahatan zaman terkait dengan kemasalahatan yang disertai bimbingan dan pengajaran yang baik.<ref name="Ibnu"/>


Sehingga menurut Ibnu Qutaibah, ibadah kepada Allah bukan hanya sebatas shalat, puasa, dan [[zakat]], tetapi berperilaku yang baik kepada sesama juga termasuk jalan menuju Allah.<ref name="Ibnu"/> Dengan kata lain, [[etika]] yang baik adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan ini dan merupakan kebaikan yang bisa menghantarkan kita wushul ilallah (sampai kepada Allah).<ref name="Ibnu"/>
Sehingga menurut Ibnu Qutaibah, ibadah kepada Allah bukan hanya sebatas [[shalat]], [[puasa]], dan [[zakat]], tetapi berperilaku yang baik kepada sesama juga termasuk jalan menuju Allah.<ref name="Ibnu"/> Dengan kata lain, [[etika]] yang baik adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan ini dan merupakan kebaikan yang bisa menghantarkan kita wushul ilallah (sampai kepada Allah).<ref name="Ibnu"/>


===Konsep Al-Iktiwa===
===Konsep Al-Iktiwa===


Al Iktiwa adalah memanaskan [[besi]] dengan menggunakan [[api]] dengan tujuan pengobatan.<ref name="Adnan"> Tharsyah, Adnan (2006).''Yang Disukai Nabi SAW dan yang Tidak Disukai''.Jakarta:Gema Insani. Hal 442-443 </ref> Menurutnya iktiwa itu terbagi dalam dua macam.<ref name="Adnan"/> Pertama, iktiwa pada anggota tubuh yang sehat di mana seseorang berharap bagian tersebut tidak mengalami sakit.<ref name="Adnan"/> Dia mengungkapkan bahwa hal semacam ini tidak diperbolehkan karena keadaannya tidak sakit melainkan [[sehat]].<ref name="Adnan"/> Kedua, iktiwa yang dilakukan pada anggota tubuh yang mengalami pembusukan atau kerusakan, maupun anggota tubuh yang terpotong.<ref name="Adnan"/> Hal inilah yang memperbolehkan dilakukannya iktiwa.<ref name="Adnan"/> Apabila iktiwa dilaksanakan hanya sebagai rekaan belaka, maka itu bertolak belakang terhadap hal yang utama, di mana menggunakan [[api]] untuk pengobatan pada anggota [[tubuh]] yang belum jelas sakitnya.<ref name="Adnan"/>
Al Iktiwa adalah memanaskan [[besi]] dengan menggunakan [[api]] dengan tujuan pengobatan.<ref name="Adnan"> Tharsyah, Adnan (2006).''Yang Disukai Nabi SAW dan yang Tidak Disukai''.Jakarta:Gema Insani. Hal 442-443 </ref> Menurutnya iktiwa itu terbagi dalam dua macam.<ref name="Adnan"/> Pertama, iktiwa pada anggota [[tubuh]] yang [[sehat]] di mana seseorang berharap bagian tersebut tidak mengalami [[sakit]].<ref name="Adnan"/> Dia mengungkapkan bahwa hal semacam ini tidak diperbolehkan karena keadaannya tidak sakit melainkan [[sehat]].<ref name="Adnan"/> Kedua, iktiwa yang dilakukan pada anggota tubuh yang mengalami pembusukan atau kerusakan, maupun anggota tubuh yang terpotong.<ref name="Adnan"/> Hal inilah yang memperbolehkan dilakukannya iktiwa.<ref name="Adnan"/> Apabila iktiwa dilaksanakan hanya sebagai rekaan belaka, maka itu bertolak belakang terhadap hal yang utama, di mana menggunakan [[api]] untuk pengobatan pada anggota [[tubuh]] yang belum jelas sakitnya.<ref name="Adnan"/>


===Konsep Penafsiran AlQuran===
===Konsep Penafsiran AlQuran===


Ibnu Qutaibah telah menjelaskan dalam kitabnya ''Takwil Musykilu AlQur'an'' tentang penafsiran AlQuran menggunakan rasio. <ref name="Yusuf"> {{ar}} Qaradawi, Yusuf (1999).''Berinteraksi dengan AlQur'an''.Jakarta:Gema Insani Press. Terj. Abdul Hayyie Hal 1298-1299 Cet. 1 </ref> Ada [[hadits]] [[Nabi]] yang menerangkan bahwa penafsiran dengan menggunakan rasio adalah perbuatan yang dilarang.<ref name="Yusuf"/> Dalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa [[sahabat ]]dan para pembesar [[ulama]]' tabiin sangat takut untuk menafsirkan AlQuran sembarangan, padahal mereka adalah orang-orang yang kadar ke[[ilmu]]wan dan ke[[taqwa]]annya sudah tinggi. <ref name="Yusuf"/> Lantas kenapa kita harus masuk kubangan masalah tersebut jika orang-orang dahulu telah meninggalkannya dan justru takut untuk memasukinya. <ref name="Yusuf"/>
Ibnu Qutaibah telah menjelaskan dalam [[kitab]]nya ''Takwil Musykilu AlQur'an'' tentang penafsiran AlQuran menggunakan rasio. <ref name="Yusuf"> {{ar}} Qaradawi, Yusuf (1999).''Berinteraksi dengan AlQur'an''.Jakarta:Gema Insani Press. Terj. Abdul Hayyie Hal 1298-1299 Cet. 1 </ref> Ada [[hadits]] [[Nabi]] yang menerangkan bahwa penafsiran dengan menggunakan rasio adalah perbuatan yang dilarang.<ref name="Yusuf"/> Dalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa [[sahabat ]]dan para pembesar [[ulama]]' tabiin sangat takut untuk menafsirkan AlQuran sembarangan, padahal mereka adalah orang-orang yang kadar ke[[ilmu]]wan dan ke[[taqwa]]annya sudah tinggi. <ref name="Yusuf"/> Lantas kenapa kita harus masuk kubangan masalah tersebut jika orang-orang dahulu telah meninggalkannya dan justru takut untuk memasukinya. <ref name="Yusuf"/>


==Referensi==
==Referensi==

Revisi per 21 April 2014 06.26


Ibnu Qutaibah adalah seorang ahli sejarah politik.[1] Dia juga adalah seorang cendekiawan Islam dan pakar bahasa Arab serta pembela ahli hadits.[1] [2] [3] Ibnu Qutaibah lahir pada tahun 828 M dan meninggal pada tahun 889 M.[3] Namun, para sejarawan berbeda pendapat mengenai tempat kelahirannya.[4] Menurut Ibnu Khalikan, dia lahir di Baghdad, sedangkan menurut an-Nadim dan Ibnu al-Anbar dia lahir di Kufah pada awal Rajab tahun 313 H.[4] Salah satu karya Ibnu Qutaibah yang terkenal adalah Kitab Al Ma'arif (setebal empat jilid) yang merupakan ensiklopedia pertama berbahasa Arab. [5]

Konsep Pemikiran

Ibnu Qutaibah hidup semasa dengan al-Jahith, seorang teolog terkemuka dari kalangan Muktazilah.[3] Kendatipun demikian, dia berseberangan dengan al-Jahith, sebab dia bukanlah seseorang yang berpaham Muktazilah melainkan pengikut paham Ahli Sunnah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah.[3]

Konsep tentang Qadha

Menurut Ibnu Qutaibah, qadha ialah hukum, ciptaan, kepastian, dan penjelasan.[6] Asal maknanya adalah memutuskan, memisahkan, menentukan sesuatu, mengukuhkannya, menjalankaannya, dan menyelesaikannya.[6] Qadha terbagi menjadi dua, yakni qadha mahtum (definitif)dan qadha ghairu mahtum (tidak definitif).[6] Qadha mahtum adalah sebuah takdir pasti yang tidak bisa dirubah, Allah bukan tidak bisa merubahnya melainkan itu memang suatu kebijakan yang telah ditentukan-Nya.[6] Hal ini misalnya disebutkan dalam Surat Al Kahfi ayat 29: Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang bebas dalam bertindak dan menetukan nasibnya sendiri.[6] Kemudian qadha ghairu mahtum adalah sebuah ketentuan yang masih bisa berubah karena bersifat tidak pasti, tetapi hal ini tidak bisa dilakukan secara instan karena Allah akan merubah takdir seseorang jika terpenuhinya syarat-syarat tertentu.[6]

Konsep Ibadah

Ibnu Qutaibah tidak hanya berhenti sampai di situ saja, tetapi pembahasannya juga sampai kepada pluralitas jalan menuju Allah.[4] Baginya, jalan menuju Allah tidak tunggal dan kebaikan bukan hanya sebatas shalat malam, puasa terus menerus, mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, tetapi jalan menuju Allah adalah sangat banyak dan pintu kebaikan terbuka lebar-lebar.[4] Kemaslahatan agama terkait dengan kemaslahatan zaman, kemaslahatan zaman terkait dengan kemasalahatan yang disertai bimbingan dan pengajaran yang baik.[4]

Sehingga menurut Ibnu Qutaibah, ibadah kepada Allah bukan hanya sebatas shalat, puasa, dan zakat, tetapi berperilaku yang baik kepada sesama juga termasuk jalan menuju Allah.[4] Dengan kata lain, etika yang baik adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan ini dan merupakan kebaikan yang bisa menghantarkan kita wushul ilallah (sampai kepada Allah).[4]

Konsep Al-Iktiwa

Al Iktiwa adalah memanaskan besi dengan menggunakan api dengan tujuan pengobatan.[7] Menurutnya iktiwa itu terbagi dalam dua macam.[7] Pertama, iktiwa pada anggota tubuh yang sehat di mana seseorang berharap bagian tersebut tidak mengalami sakit.[7] Dia mengungkapkan bahwa hal semacam ini tidak diperbolehkan karena keadaannya tidak sakit melainkan sehat.[7] Kedua, iktiwa yang dilakukan pada anggota tubuh yang mengalami pembusukan atau kerusakan, maupun anggota tubuh yang terpotong.[7] Hal inilah yang memperbolehkan dilakukannya iktiwa.[7] Apabila iktiwa dilaksanakan hanya sebagai rekaan belaka, maka itu bertolak belakang terhadap hal yang utama, di mana menggunakan api untuk pengobatan pada anggota tubuh yang belum jelas sakitnya.[7]

Konsep Penafsiran AlQuran

Ibnu Qutaibah telah menjelaskan dalam kitabnya Takwil Musykilu AlQur'an tentang penafsiran AlQuran menggunakan rasio. [8] Ada hadits Nabi yang menerangkan bahwa penafsiran dengan menggunakan rasio adalah perbuatan yang dilarang.[8] Dalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa sahabat dan para pembesar ulama' tabiin sangat takut untuk menafsirkan AlQuran sembarangan, padahal mereka adalah orang-orang yang kadar keilmuwan dan ketaqwaannya sudah tinggi. [8] Lantas kenapa kita harus masuk kubangan masalah tersebut jika orang-orang dahulu telah meninggalkannya dan justru takut untuk memasukinya. [8]

Referensi

  1. ^ a b Ilmy, Bachrul (2007).Pendidikan Agama Islam.Bandung:PT Grafindo Media Pratama.Hal 142
  2. ^ Radzi, Khusyairi Ainol (2005).Cerita-cerita Motivasi untuk Iman.Kuala Lumpur:PTS Millennia.SDN. BHD. Hal64 Cet.3
  3. ^ a b c d Ismail, Nurjannah (2003).Perempuan dalam pasungan:Bias laki-laki dalam penafsiran.Yogyakarta:LKiS. Hal 99
  4. ^ a b c d e f g Qutaibah, Ibnu.www.pondokpesantren.net
  5. ^ Wahid, Abdurrahman (2001).Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren.Yogyakarta:LKiS. Hal 220
  6. ^ a b c d e f Ezza, Abu (2012).Setiap Doa Pasti Allah Kalbukan.Jakarta:Qultum Media.Hal 58
  7. ^ a b c d e f g Tharsyah, Adnan (2006).Yang Disukai Nabi SAW dan yang Tidak Disukai.Jakarta:Gema Insani. Hal 442-443
  8. ^ a b c d (Arab) Qaradawi, Yusuf (1999).Berinteraksi dengan AlQur'an.Jakarta:Gema Insani Press. Terj. Abdul Hayyie Hal 1298-1299 Cet. 1