Lompat ke isi

Pembicaraan:Tionghoa: Perbedaan antara revisi

Konten halaman tidak didukung dalam bahasa lain.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Roscoe x (bicara | kontrib)
tanggapan
Rintojiang (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 17: Baris 17:
ad 2. Kalau tidak berdasarkan dari sumber2 tertentu, mungkin bisa meminta sang penulis menulis sumbernya, atau dicari sendiri, atau bagian tersebut dihilangkan.
ad 2. Kalau tidak berdasarkan dari sumber2 tertentu, mungkin bisa meminta sang penulis menulis sumbernya, atau dicari sendiri, atau bagian tersebut dihilangkan.
[[Pengguna:Roscoe x|roscoe_x]] 14:45, 23 Agustus 2005 (UTC)
[[Pengguna:Roscoe x|roscoe_x]] 14:45, 23 Agustus 2005 (UTC)

== Tanggapan ==

Maaf, saya bikin sub-judul baru supaya tidak membingungkan.

1. Masalah ganti nama adalah berupa "penghimbauan", tidak ada paksaan. Namun karena ada kekuatiran akan penyulitan urusan birokratif, maka banyak orang Tionghoa yang mengganti namanya secara "sukarela". Jadi, Bung Roscoe dan Bung Mersault benar.

Ini sebenarnya ada sejarahnya, pihak Tionghoa pro-asimilasi menganggap bahwa penghilangan seluruh unsur ke-tionghoa-an adalah jalan satu2nya dalam memecahkan masalah Tionghoa di Indonesia. Ganti nama adalah salah satu dari program mereka dalam mendorong asimilasi, beberapa waktu setelah peristiwa anti Cina pasca G30S, Sindhunata, seorang tokoh pro-asimilasi mendorong agar orang Tionghoa mengganti namanya. Tindakan ini kemudian dikecam oleh Yap Thiam Hien yang menganggap ini sebuah tindakan yang ridiculous, karena ganti nama tidak berarti seseorang akan berubah warna kulit atau ras-nya. Jadi, ini sebenarnya adalah salah satu langkah politis golongan Tionghoa pro-asimilasi dan Tionghoa pro-integrasi yang memang telah berseberangan sejak lama. Cuma kebetulan kaum pro-asimilasi di atas angin pasca G30S dan di masa Orba setelahnya. [[Pengguna:Rintojiang|Rinto Jiang]] 16:27, 23 Agustus 2005 (UTC)

2. 90% ini tidak berdasar, karena tidak ada pendataan statistik suku Tionghoa di Indonesia. Data resmi statistik yang menyatakan bahwa jumlah Tionghoa sekitar 3-4% adalah didata berdasarkan agama dan SBKRI yang dikeluarkan. Namun ini perkiraan kasar karena masih banyak orang Tionghoa WNA, stateless yang tidak terdata sama sekali. Saya kira dihapus saja kalau tidak ada referensi yang kuat. [[Pengguna:Rintojiang|Rinto Jiang]] 16:27, 23 Agustus 2005 (UTC)

Revisi per 23 Agustus 2005 16.27

Beberapa komentar

Pengguna:69.88.3.179 pada 12:24, 22 Agustus 2005 menambahkan informasi berikut:

1. Akibat tekanan rejim Orde Baru, banyak dari antara orang Tionghoa telah menanggalkan nama aslinya dan menggunakan nama-nama lokal, meskipun secara diam-diam masih memakainya untuk kegiatan di kalangan mereka. Namun seiring dengan terjadinya Reformasi, tanpa rasa takut mereka kembali menggunakan nama Tionghoa mereka, meskipun masih banyak yang enggan memakainya kembali.
2. Berdasarkan agama yang dianut, sekitar 90% dari populasi Tionghoa di Indonesia masih menganut agama kepercayaan yang dibawa sejak merantau dari negeri China, 8%nya telah dibaptis menjadi Katolik Roma, Kristen Protestan, ataupun aliran Kristen lainnya, 1% telah menjadi Muslim. Dan 1% sisanya diperkirakan menganut agama lain selain agama yang disebut di atas.

ad 1. Rezim Orde Baru setahu saya hanya menganjurkan atau menyarankan (meski mungkin dengan menekankan) untuk menggunakan nama-nama Indonesia dan tidak memaksa. Ataupun kalau memaksa secara halus. Walaupun begitu masih banyak warga keturunan Tionghoa yang tetap memakai nama-nama Tionghoa, bahkan tidak secara diam-diam. Kalaupun sudah memakai nama Indonesia/Islam masih banyak pula pada papan-papan nama seringkali ditulis nama dalam dua 'versi'. Misalkan tertulis nama: "Sudono Salim (Liem Soei Liong). Notaris. bla bla bla". Selain itu keengganan memakai nama Tionghoa itu bisa pula karena sudah kebiasaan atau mungkin menjadi bagian dari identitas diri pula memakai nama Indonesia. Banyak migran2 dari Indonesia yang keturunan Tionghoa masih memakai nama Indonesia meski sudah di luar negeri dan pihak luar negeri memberikan kesempatan untuk menggunakan nama Tionghoa. Hal ini mungkin mirip dengan anggota komunitas Yahudi Ashkenazim yang sering memakai nama berbau Jerman meski tidak tinggal di Jerman.

ad 2. Kelihatannya data ini berhubungan dengan penduduk Tionghoa di Malaysia dan Singapura. Sebab saya pernah membaca, meski sumbernya saya tidak tahu, bahwa di Indonesia warga keturunan Tionghoa yang menganut agama Kong Hu Cu atau Buddha berjumlah sekitar 40%, dan sisanya menganut agama Kristen dan Islam. Sementara penganut agama Islam berkisar antara 5% - 10%.

Meursault2004 14:33, 23 Agustus 2005 (UTC)

ad 1. Dari yang saya dengar, ada beberapa penjelasan

  1. Penggunaan nama Indonesia lebih dipilih karena takut dalam hal birokras dipersulit
  2. Hubungan kerabat atau keturunan. Imigran dari Tiongkok ada yang sudah berabad-abad tiba di Indonesia dan banyak pula yang hanya puluhan atau hanya beberapa tahun saja.

ad 2. Kalau tidak berdasarkan dari sumber2 tertentu, mungkin bisa meminta sang penulis menulis sumbernya, atau dicari sendiri, atau bagian tersebut dihilangkan. roscoe_x 14:45, 23 Agustus 2005 (UTC)

Tanggapan

Maaf, saya bikin sub-judul baru supaya tidak membingungkan.

1. Masalah ganti nama adalah berupa "penghimbauan", tidak ada paksaan. Namun karena ada kekuatiran akan penyulitan urusan birokratif, maka banyak orang Tionghoa yang mengganti namanya secara "sukarela". Jadi, Bung Roscoe dan Bung Mersault benar.

Ini sebenarnya ada sejarahnya, pihak Tionghoa pro-asimilasi menganggap bahwa penghilangan seluruh unsur ke-tionghoa-an adalah jalan satu2nya dalam memecahkan masalah Tionghoa di Indonesia. Ganti nama adalah salah satu dari program mereka dalam mendorong asimilasi, beberapa waktu setelah peristiwa anti Cina pasca G30S, Sindhunata, seorang tokoh pro-asimilasi mendorong agar orang Tionghoa mengganti namanya. Tindakan ini kemudian dikecam oleh Yap Thiam Hien yang menganggap ini sebuah tindakan yang ridiculous, karena ganti nama tidak berarti seseorang akan berubah warna kulit atau ras-nya. Jadi, ini sebenarnya adalah salah satu langkah politis golongan Tionghoa pro-asimilasi dan Tionghoa pro-integrasi yang memang telah berseberangan sejak lama. Cuma kebetulan kaum pro-asimilasi di atas angin pasca G30S dan di masa Orba setelahnya. Rinto Jiang 16:27, 23 Agustus 2005 (UTC)

2. 90% ini tidak berdasar, karena tidak ada pendataan statistik suku Tionghoa di Indonesia. Data resmi statistik yang menyatakan bahwa jumlah Tionghoa sekitar 3-4% adalah didata berdasarkan agama dan SBKRI yang dikeluarkan. Namun ini perkiraan kasar karena masih banyak orang Tionghoa WNA, stateless yang tidak terdata sama sekali. Saya kira dihapus saja kalau tidak ada referensi yang kuat. Rinto Jiang 16:27, 23 Agustus 2005 (UTC)