Sekularisme Prancis: Perbedaan antara revisi
k Bot: Penggantian teks otomatis (-Namun demikian +Namun) |
|||
Baris 2: | Baris 2: | ||
== Definisi == |
== Definisi == |
||
Oleh filsuf Perancis, [[Ferdinand Buisson]] ([[1841]]-[[1932]]), yang juga adalah salah satu penggagas konsep sekularisme pada masa [[Republik Perancis Ketiga|Republik III]] di [[Perancis]], laisitas atau '''laïcité''' didefinisikan sebagai sekularisasi dari institusi-institusi politik suatu negara. Negara tersebut tidak didasarkan atas suatu agama resmi tertentu dan pemerintahan negara tersebut juga tidak diasumsikan sebagai pengejawantahan suatu peranan ilahi tertentu. Salah satu bentuk pelaksanaan dari konsep ini adalah pemisahan antara kekuasaan politik-administratif suatu negara dari kekuasaan religius atau agama-agama. Dengan demikian, harus dibedakan antara '''karakter sekuler dari suatu masyarakat''' (yang berarti kecenderungan masyarakat untuk bersifat non-agamis) dan '''konsep laisitas''' (di mana institusi-instusi pemerintahan tidak berada di bawah norma-norma agama tertentu dan tidak didasarkan pada nilai-nilai agama, rohaniah, maupun teologis). Suatu negara sekuler juga tidak mengakui apa yang disebut sebagai '''agama sipil''', seperti gerakan pengucilan terhadap kaum fanatik (seperti yang diajukan [[Jean-Jacques Rosseau|Rosseau]]), maupun penerapan mutlak faham [[ateisme]] seperti yang terjadi di negara-negara [[komunis]]. Dalam perkembangannya, konsep laisitas diharapkan menjadi konsep pemersatu dari individu-individu yang berbeda dalam pendapat, agama, maupun kepercayaan dalam suatu kehidupan politik bersama. Dari sudut pandang sekuler, berbagai faham atau kepercayaan yang terkait dengan agama-agama (baik itu agama-agama dalam pengertian sehari-hari, juga [[deisme]], [[teisme]], [[ateisme]],[[agnostisisme]], maupun kepercayaan pribadi) ialah '''semata-mata pendapat-pendapat pribadi''' yang tidak berhubungan sama sekali dengan penyelenggaraan negara. Akibatnya, politik merupakan kegiatan yang mutlak bersifat non-rohaniah. Namun |
Oleh filsuf Perancis, [[Ferdinand Buisson]] ([[1841]]-[[1932]]), yang juga adalah salah satu penggagas konsep sekularisme pada masa [[Republik Perancis Ketiga|Republik III]] di [[Perancis]], laisitas atau '''laïcité''' didefinisikan sebagai sekularisasi dari institusi-institusi politik suatu negara. Negara tersebut tidak didasarkan atas suatu agama resmi tertentu dan pemerintahan negara tersebut juga tidak diasumsikan sebagai pengejawantahan suatu peranan ilahi tertentu. Salah satu bentuk pelaksanaan dari konsep ini adalah pemisahan antara kekuasaan politik-administratif suatu negara dari kekuasaan religius atau agama-agama. Dengan demikian, harus dibedakan antara '''karakter sekuler dari suatu masyarakat''' (yang berarti kecenderungan masyarakat untuk bersifat non-agamis) dan '''konsep laisitas''' (di mana institusi-instusi pemerintahan tidak berada di bawah norma-norma agama tertentu dan tidak didasarkan pada nilai-nilai agama, rohaniah, maupun teologis). Suatu negara sekuler juga tidak mengakui apa yang disebut sebagai '''agama sipil''', seperti gerakan pengucilan terhadap kaum fanatik (seperti yang diajukan [[Jean-Jacques Rosseau|Rosseau]]), maupun penerapan mutlak faham [[ateisme]] seperti yang terjadi di negara-negara [[komunis]]. Dalam perkembangannya, konsep laisitas diharapkan menjadi konsep pemersatu dari individu-individu yang berbeda dalam pendapat, agama, maupun kepercayaan dalam suatu kehidupan politik bersama. Dari sudut pandang sekuler, berbagai faham atau kepercayaan yang terkait dengan agama-agama (baik itu agama-agama dalam pengertian sehari-hari, juga [[deisme]], [[teisme]], [[ateisme]],[[agnostisisme]], maupun kepercayaan pribadi) ialah '''semata-mata pendapat-pendapat pribadi''' yang tidak berhubungan sama sekali dengan penyelenggaraan negara. Akibatnya, politik merupakan kegiatan yang mutlak bersifat non-rohaniah. Namun, dalam suatu negara sekuler, kebebasan beragama dan berkepercayaan dan kebebasan untuk beribadat harus dijamin sepenuhnya sejauh tidak mengganggu ketentraman/ketertiban umum. Negara sekuler tidak berhak untuk turut campur dalam masalah-masalah keagamaan. Lebih jauh lagi, suatu negara sekuler tidak mendefinisikan mana kepercayaan yang merupakan agama maupun bukan. Di [[Perancis]] hal ini diatur dalam artikel no 2 UU tahun [[1905]]. |
||
== Catatan kaki == |
== Catatan kaki == |
Revisi per 15 Juli 2014 03.17
Di Perancis, laïcité ([la.isiˈte]) adalah konsep masyarakat sekular. Pada masyarakat tersebut, urusan agama dipisah dari negara.[1][2] Selama abad keduapuluh, konsep ini berkembang menjadi penyetaraan semua agama,[3] tetapi pada dasarnya konsep ini merupakan prinsip pemisahan agama dari negara.[4] Laïcité dalam kamus diterjemahkan menjadi sekularitas atau sekularisme,[5] meskipun bisa disebut juga laisitas atau laisisme.
Definisi
Oleh filsuf Perancis, Ferdinand Buisson (1841-1932), yang juga adalah salah satu penggagas konsep sekularisme pada masa Republik III di Perancis, laisitas atau laïcité didefinisikan sebagai sekularisasi dari institusi-institusi politik suatu negara. Negara tersebut tidak didasarkan atas suatu agama resmi tertentu dan pemerintahan negara tersebut juga tidak diasumsikan sebagai pengejawantahan suatu peranan ilahi tertentu. Salah satu bentuk pelaksanaan dari konsep ini adalah pemisahan antara kekuasaan politik-administratif suatu negara dari kekuasaan religius atau agama-agama. Dengan demikian, harus dibedakan antara karakter sekuler dari suatu masyarakat (yang berarti kecenderungan masyarakat untuk bersifat non-agamis) dan konsep laisitas (di mana institusi-instusi pemerintahan tidak berada di bawah norma-norma agama tertentu dan tidak didasarkan pada nilai-nilai agama, rohaniah, maupun teologis). Suatu negara sekuler juga tidak mengakui apa yang disebut sebagai agama sipil, seperti gerakan pengucilan terhadap kaum fanatik (seperti yang diajukan Rosseau), maupun penerapan mutlak faham ateisme seperti yang terjadi di negara-negara komunis. Dalam perkembangannya, konsep laisitas diharapkan menjadi konsep pemersatu dari individu-individu yang berbeda dalam pendapat, agama, maupun kepercayaan dalam suatu kehidupan politik bersama. Dari sudut pandang sekuler, berbagai faham atau kepercayaan yang terkait dengan agama-agama (baik itu agama-agama dalam pengertian sehari-hari, juga deisme, teisme, ateisme,agnostisisme, maupun kepercayaan pribadi) ialah semata-mata pendapat-pendapat pribadi yang tidak berhubungan sama sekali dengan penyelenggaraan negara. Akibatnya, politik merupakan kegiatan yang mutlak bersifat non-rohaniah. Namun, dalam suatu negara sekuler, kebebasan beragama dan berkepercayaan dan kebebasan untuk beribadat harus dijamin sepenuhnya sejauh tidak mengganggu ketentraman/ketertiban umum. Negara sekuler tidak berhak untuk turut campur dalam masalah-masalah keagamaan. Lebih jauh lagi, suatu negara sekuler tidak mendefinisikan mana kepercayaan yang merupakan agama maupun bukan. Di Perancis hal ini diatur dalam artikel no 2 UU tahun 1905.
Catatan kaki
- ^ Religion and Society in Modern Europe, by René Rémond (Author), Antonia Nevill (Translator), Malden, MA, U.S.A.: Blackwell Publishers, 1999.
- ^ Evelyn M. Acomb, : The French Laic Laws, 1879-1889: The First Anti-Clerical Campaign of the Third French Republic, New York : Columbia University Press, 1941
- ^ "The deep roots of French secularism". BBC News. 2004-09-01. Diakses tanggal 2010-05-07.
- ^ TLFi dictionary: http://www.cnrtl.fr/lexicographie/laicit%E9?
- ^ Collins Robert French Dictionary Unabridged, Harper Collins publishers
Pranala luar
- One of the architects of the law against religious symbols in schools defends the liberalism of laicite in the Harvard Law Record
- The deep roots of French secularism, article by Henri Astier on BBC News online, Sept 1st, 2004
- Karakas, Cemal (2007): Turkey. Islam and Laicism Between the Interests of State, Politics and Society. Peace Research Institute Frankfurt (PRIF), Germany, PRIF-Report No. 78/2007.
- Conference on Laicite and secularism