Lompat ke isi

Estetika resepsi: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 7: Baris 7:
== Dasar Teori ==
== Dasar Teori ==
Ada empat macam orientasi terhadap sebuah karya sastra:
Ada empat macam orientasi terhadap sebuah karya sastra:

1. [[Mimetik]]
1. Mimetik (alam): Orientasi ini bertolak pada pandangan bahwa suatu karya sastra adalah gambaran atau rekaan dari dunia dan kehidupan manusia.<ref>Atar Semi (1989). Kritik Sastra. Bandung: Angkasa. hlm. 11-14. ISBN 979-404-457-1.</ref> Karya sastra adalah sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Segala sesuatu yang terdapat dalam karya sastra adalah wujud yang terdapat di alam semesta. Segala isi yang ada di dunia ini menjadi ide yang dituangkan dalam sebuah karya sastra.

2. Objektif (karya sastra): Orientasi ini melihat karya sastra sebagai karya yang berdiri sendiri.<ref>Ibid.</ref> Karya sastra adalah objek yang mandiri dan memiliki dunianya sendiri.<ref>Ibid.</ref> Karya sastra menjadi objek tiruan alam. Sebuah karya sastra tidak akan mampu menjadi objek yang estetis tanpa meniru dari alam karena manusia hidup di alam dengan sarana-saranya yang ada di dunia, sehingga jika manusia menjadikan karya sastra tanpa tiruan dari alam maka mustahil karya sastra itu akan menimbulkan rasa bagi pembacanya.

3. Ekspresif (pengarang): Orientasi ini menekankan analisis pada kemampuan pengarang dalam mengekspresikan atau menuangkan idenya dalam wujud sastra.<ref>Ibid.</ref> Seorang pengarang melihat kenyataan atau realitas alam lalu alam memunculkan sebuah ide dalam fikiran pengarang kemudian pengarang menuangkannya dalam sebuah karya sastra.

4. Pragmatik (pembaca): Orientasi ini melihat kegunaan suatu karya sastra. Kegunaan ini dilihat dari segi hiburan, estetika, pendidikan, dan hal lainnya.<ref>Ibid.</ref> Pembaca ketika membaca sebuah karya sastra pasti akan melakukan sebuah tanggapan atau komentar tentang karya sastra yang dibacanya, karena dalam hal ini karya sastra melakukan defamiliarisasi dalam bentuk bahasanya sehingga defamiliarisasi mampu menggugahkan hati pembaca dengan rasa yang ada di jiwanya karena bahasa defamiliarisasi berbeda dengan bahasa praktis atau bahasa komunikasi. Pembaca mendapatkan sebuah rasa ketika membaca sebuah karya sastra karena karya sastra adalah memuat tentang tiruan alam sehingga pembaca mampu merasakan apa yang dibahas oleh kajian karya sastra tersebut.

Dari keempat orientasi tersebut di atas, teori estetika resepsi terletak pada orientasi pragmatik.


== Positionen ==
== Positionen ==

Revisi per 25 Juli 2014 03.28

Estetika Resepsi atau estetika tanggapan merupakan estetika (ilmu keindahan) yang didasarkan pada penerimaan/peresepsian dan tanggapan dari pembaca terhadap karya sastra. Sebuah karya sastra tidak dapat dilepaskan dari individu atau masyarakat yang meresepsi karya sastra tersebut.

Kata "resepsi" berasal dari bahasa Latin recipere (menerima, menanggapi). Kata estetika berasal dari bahasa Yunani αἴσθησις aísthesis (keindahan). Istilah "estetika resepsi" pertama kali dipakai oleh mazhab Konstanz dari Universitas Konstanz. Untuk itu, "estetika resepsi" adalah bagian dari teori sastra.

Tokoh sentral dari mazhab Konstanz adalah Hans Robert Jauß, Manfred Fuhrmann, Wolfgang Iser dan Wolfgang Preisendanz.

Dasar Teori

Ada empat macam orientasi terhadap sebuah karya sastra:

1. Mimetik (alam): Orientasi ini bertolak pada pandangan bahwa suatu karya sastra adalah gambaran atau rekaan dari dunia dan kehidupan manusia.[1] Karya sastra adalah sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Segala sesuatu yang terdapat dalam karya sastra adalah wujud yang terdapat di alam semesta. Segala isi yang ada di dunia ini menjadi ide yang dituangkan dalam sebuah karya sastra.

2. Objektif (karya sastra): Orientasi ini melihat karya sastra sebagai karya yang berdiri sendiri.[2] Karya sastra adalah objek yang mandiri dan memiliki dunianya sendiri.[3] Karya sastra menjadi objek tiruan alam. Sebuah karya sastra tidak akan mampu menjadi objek yang estetis tanpa meniru dari alam karena manusia hidup di alam dengan sarana-saranya yang ada di dunia, sehingga jika manusia menjadikan karya sastra tanpa tiruan dari alam maka mustahil karya sastra itu akan menimbulkan rasa bagi pembacanya.

3. Ekspresif (pengarang): Orientasi ini menekankan analisis pada kemampuan pengarang dalam mengekspresikan atau menuangkan idenya dalam wujud sastra.[4] Seorang pengarang melihat kenyataan atau realitas alam lalu alam memunculkan sebuah ide dalam fikiran pengarang kemudian pengarang menuangkannya dalam sebuah karya sastra.

4. Pragmatik (pembaca): Orientasi ini melihat kegunaan suatu karya sastra. Kegunaan ini dilihat dari segi hiburan, estetika, pendidikan, dan hal lainnya.[5] Pembaca ketika membaca sebuah karya sastra pasti akan melakukan sebuah tanggapan atau komentar tentang karya sastra yang dibacanya, karena dalam hal ini karya sastra melakukan defamiliarisasi dalam bentuk bahasanya sehingga defamiliarisasi mampu menggugahkan hati pembaca dengan rasa yang ada di jiwanya karena bahasa defamiliarisasi berbeda dengan bahasa praktis atau bahasa komunikasi. Pembaca mendapatkan sebuah rasa ketika membaca sebuah karya sastra karena karya sastra adalah memuat tentang tiruan alam sehingga pembaca mampu merasakan apa yang dibahas oleh kajian karya sastra tersebut.

Dari keempat orientasi tersebut di atas, teori estetika resepsi terletak pada orientasi pragmatik.

Positionen

Sowohl für Jauß als auch für Iser stellt die Text-Leser-Auseinandersetzung den wichtigsten Bezugspunkt für die Konstitution von Sinn im Leseakt dar.

Hans Robert Jauß stellt in seiner berühmten Antrittsvorlesung den historischen Verlauf der Rezeption eines Werkes und damit dessen Bedeutung in den Vordergrund. Die Sicht auf ein Werk ist zunächst immer diese aus der Gegenwart des Lesers. Um jedoch das Werk im Sinne Jauß’ hermeneutischer Auffassung – die Iser nicht teilt, da er texttheoretisch interessiert ist – zu verstehen, muss die Rezeptionsgeschichte, wie also das Werk zu welcher Zeit wie verstanden wurde, ebenfalls berücksichtigt werden. Nach Jauß ist der ästhetische Gehalt daran zu bemessen, ob ein Werk einen Horizontwandel des Lesers bewirkt (das wäre klassisch, ästhetisch wertvoll) oder nicht (Trivialliteratur, kurz, Schund).

Nach Wolfgang Iser wird der „ästhetische Gehalt“ eines Textes erst im Vorgang des Lesens hervorgebracht. Er trifft die obige Unterscheidung nicht und ist indes ganz anders orientiert. Ihm sind die Begrifflichkeiten: Unbestimmtheitsstelle / Leerstellen, schematisierte Ansicht, impliziter Leser u. a. wichtig. Bedeutung entfalte der Text als Kommunikation mit einem „impliziten Leser“ – einer texttheoretischen, d. h. im Text angelegten Instanz des, wenn man so will, imaginierten Lesers.

Grundlegend ist für Iser der „professionelle Leser“ / „ideale Leser“. Dies ist in diesem Sinne der erfahrene Leser, welcher über fundierte literarische Erfahrung und Wissen verfügt und damit im Stande ist, die im Text angelegten Signale und Querverweise zu erkennen. Die Rezeptionsästhetik, respektive Wirkungsästhetik, erwies sich mit diesen Setzungen teils als Fortsetzung bestehender Interpretationspraxis. Jauß und Isers Untersuchungen waren vom Kommunikationsmodell mit (entschlüsselndem) Empfänger geprägt. Jauß’ hermeneutischer Ansatz, der auf Gadamer zurückgeht, bemüht sich im Verstehensprozess des hermeneutischen Zirkels, während Iser sich – wie oben angesprochen – für den Text, dessen Beschaffenheit sowie Aufbau interessiert. Durch den impliziten Leser ist hier die Bedeutung des Textes jedoch stark vorgeprägt. Die Literaturwissenschaft erhielt mit den Setzungen eine privilegierte Position: Sie kann Bedeutungen entfalten, die reale Leser bislang nicht entfalteten; nämlich dann, wenn sie nachweist, welches ästhetische Erlebnis der Sender dem Rezipienten vorgestaltete. Mit poetologischer Expertise und Wissen über Zeithorizonte kommt die Literaturwissenschaft hier realen Lesern zu Hilfe. Sie erlangt auf der anderen Seite neue Kontrolle. So kann sie durchaus zu dem Schluss gelangen, dass der Autor nicht an einen Leser dachte, der diese oder jene neue Interpretation wagt, und diesem Leser damit sagen, dass er hier sein eigenes Spiel spielt – ein wissenschaftlich nicht haltbares.

Eine historische Leserforschung bewirkten die Arbeiten der Konstanzer Schule am ehesten durch den Widerstand, den sie hervorriefen. Die Frage nach historischen Zeugnissen des Umgangs mit Texten, nach tatsächlichen Rezeptionszeugnissen, nach Tagebucheinträgen von Lesern, nach Briefen, aus denen ersichtlich wird, wie Texte gelesen wurden, stellte sich weit eher in der Literatursoziologie und der Buchwissenschaft. Vertreter der Konstanzer Schule notierten hierin eine drohende Einengung der Forschung, ihre Beschränkung auf zufällige Dokumente und deren zeitbedingte Perspektiven. Ein Stillstand der Forschung drohe hier, wo die Ergründung noch gar nicht realisierter Textbedeutung das Ziel bleiben müsse.

Lihat pula

Literatur

  • Umberto Eco: Lector in fabula. Die Mitarbeit der Interpretation in erzählenden Texten. München (3. Auflage) 1998.
  • Roman Ingarden: Vom Erkennen des literarischen Kunstwerks. Tübingen 1968.
  • Wolfgang Iser: Die Appellstruktur der Texte. In: R. Warning (Hrsg.): Rezeptionsästhetik. München (4. Auflage) 1994, S. 228–252.
  • Hans Robert Jauß: Literaturgeschichte als Provokation der Literaturwissenschaft. In: R. Warning (Hrsg.): Rezeptionsästhetik. 4. Auflage. München 1994, S. 126–162.
  • Wolfgang Kemp (Hrsg.): Der Betrachter ist im Bild. Kunstwissenschaft und Rezeptionsästhetik. Ostfildern 1991.
  • Ulrich H. J. Körtner: Der inspirierte Leser. Göttingen 1994.
  • Christoph Metzger: Mahler-Rezeption. Perspektiven der Rezeption Gustav Mahlers. Wilhelmshaven 2000.
  • Horst Turk: Wirkungsästhetik. Theorie und Interpretation der literarischen Wirkung. edition text, München 1976.
  • Harald Weinrich: Für eine Literaturgeschichte des Lesers. In: Ders.: Literatur für Leser. Stuttgart 1970, S. 23–34.
  • Klaus Semsch, Artikel Rezeptionsästhetik. In: Historisches Wörterbuch der Rhetorik, hrsg. v. Gert Ueding. Niemeyer, Tübingen 1992 ff., Bd. 7 (2005), 1363–1374.
  • Simone Winko, Tilmann Köppe: Kap. 6 Rezeptionsästhetik. In: Dies. (Hrsg.): Neuere Literaturtheorien. Eine Einführung. Metzler 2008, ISBN 978-3-476-02059-8, S. 85–96.

Pranala luar

  1. ^ Atar Semi (1989). Kritik Sastra. Bandung: Angkasa. hlm. 11-14. ISBN 979-404-457-1.
  2. ^ Ibid.
  3. ^ Ibid.
  4. ^ Ibid.
  5. ^ Ibid.