Taman Jawa: Perbedaan antara revisi
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
Baris 50: | Baris 50: | ||
</gallery> |
</gallery> |
||
</center> |
</center> |
||
[[Berkas:Punden Berundak Modern.JPG|thumb|Punden Berundak Modern tidak untuk pemujaan melainkan hanya untuk hiasan taman]] |
|||
[[Berkas:Punden berundak di taman.jpg|thumb|Punden berundak]] |
|||
[[Berkas:Punden berundak pada taman.jpg|thumb|Punden berundak]] |
|||
[[Berkas:Taman berbentuk punden berundak.jpg|thumb|Punden berundak]] |
|||
===Retjo Pentung=== |
===Retjo Pentung=== |
Revisi per 1 Juni 2015 01.59
Taman Jawa adalah taman yang dibangun dengan gaya tradisional Jawa. Prinsip dasar taman Jawa adalah miniaturisasi dari lanskap atau pemandangan alam tropis di Jawa. Elemen dasar seperti batu-batu dan kolam dipakai untuk melambangkan lanskap alam berukuran besar.
Taman Jawa dahulunya di bangun di areal keraton, dan yang diperbolehkan masuk hanya keluarga Raja. Kini taman Jawa yang dibuka untuk umum, konsep taman Jawa kini dibangun di hotel, kantor, di taman kota, dan di rumah masyarakat.
Taman dalam bahasa Jawa adalah "Pasren", asal usul kata pasren[1] terdiri dari kata asri yang berarti indah. Mendapat awalan ‘pa’ dan akhiran ‘an’. Sehingga di rangkai menjadi ‘pa + asri + an’. Jadi artinya suatu tempat yang banyak keindahan. Taman Jawa yang terdiri dari sebuah ruangan yang terdapat bangunan pendopo, kolam, serta dilengkapi dengan bangunan berbentuk punden berundak terbuat dari batu, dan pohon yang di keramatkan seperti pohon bambu kuning, pohon beringin, pohon bunga kantil, dan yang lainnya. Umumnya taman Jawa dibuat menurut selera pribadi, yang menuntut suasana tenang dan asri, menjadikannya sebagai tempat untuk bertafakur, introspeksi dan istirahat. Taman Jawa mementingkan makna dan hitungan Jawa kuno.
Taman klasik Jawa bentuk taman umumnya terdapat air, simetris, dan alami lalu ditambahkan bangunan buatan manusia seperti punden berundak, kolam pemandian keluarga raja. Fungsi bangunan berguna sebagai kerangka atau menambahkan kecantikan pemandangan dan juga sebagai dekorasi. Bangunan-bangunan yang ditemukan di taman Tiongkok antara lain balai, pendopo, Dwarapala, Paduraksa, Candi bentar, dan punden berundak.
Ornamen
Taman Jawa Terdapat beberapa ornamen khas, yaitu:
Pendopo
Pendapa (atau dibaca pendopo dalam bahasa Jawa), pengejaan Jawa: pendåpå, berasal dari kata mandapa dari bahasa Sanskerta yang artinya bangunan tambahan) adalah bagian bangunan yang terletak di muka bangunan utama. Sejumlah tipe bangunan rumah tradisional di Sumatera, Semenanjung Malaya (dan juga Indocina), Jawa, Bali, dan Pulau Kalimantan diketahui memiliki pendopo sebagai hal yang "wajib". Struktur ini kebanyakan dimiliki rumah besar atau keraton, letaknya biasanya di depan dalem, bangunan utama tempat tinggal penghuni rumah. Masjid-masjid berarsitektur asli Nusantara, kerap kali juga memiliki pendopo.
Pendopo biasanya berbentuk bangunan tanpa dinding dengan tiang yang banyak. Fungsi utamanya adalah sebagai tempat menerima tamu. Namun, karena pendopo biasanya besar, bangunan ini difungsikan pula sebagai tempat pertemuan, latihan tari atau karawitan, rapat warga, dan sebagainya.
-
Pendapa di komplek Kantor Bupati Jepara
-
Pendapa di komplek Kantor Bupati Bekasi
-
Pendopo dalam lukisan
Candi Bentar
Candi bentar adalah sebutan bagi bangunan gapura berbentuk dua bangunan serupa dan sebangun tetapi merupakan simetri cermin yang membatasi sisi kiri dan kanan pintu masuk. Candi bentar tidak memiliki atap penghubung di bagian atas, sehingga kedua sisinya terpisah sempurna, dan hanya terhubung di bagian bawah oleh anak tangga.
-
Candi bentar Ceto
-
Candi Bentar Masjid Panjunan
-
Wringin Lawang, Trowulan
Paduraksa
Paduraksa adalah bangunan berbentuk gapura yang memiliki atap penutup, yang lazim ditemukan dalam arsitektur kuno dan klasik di Jawa dan Bali. Kegunaan bangunan ini adalah sebagai pembatas sekaligus gerbang akses penghubung antarkawasan dalam kompleks bangunan khusus
-
Candi Bajangratu di kompleks Trowulan adalah suatu paduraksa
Punden berundak
Punden berundak adalah bangunan teras bertingkat-tingkat meninggi yang menyandar di kemiringan lereng gunung. Punden berundak adalah ciri khas Jawa. Ukuran teras semakin mengecil ke atas, jumlah teras umumnya 3 dan di bagian puncak teras teratas berdiri altar-altar yang jumlahnya 3 altar (1 altar induk diapit dua altar pendamping di kanan-kirinya. Tangga naik ke teras teratas terdapat di bagian tengah punden berundak, terdapat kemungkinan dahulu di kanan kiri tangga tersebut berdiri deretan arca menuju ke puncak punden yang berisikan altar tanpa arca apapun.
-
Punden Berundak Modern tidak untuk pemujaan melainkan hanya untuk hiasan taman
-
Punden berundak
-
Punden berundak
-
Punden berundak
Retjo Pentung
Retjo Pentung atau Dwarapala diletakkan di pintu gerbang masuk ke Istana, Rumah, dan Taman. Dwarapala adalah patung penjaga gerbang atau pintu, berbentuk manusia atau raksasa yang memegang gada. Hutan di daerah Tulungagung dahulunya terdapat mahluk asral yang berbentuk besar seperti raksasa dan mahluk astral tersebut merupakan positif, karena mahluk tersebut tidak mengganggu melainkan sebagai penjaga di hutan tersebut. Bagi istana, kantor kadipaten, rumah, taman, yang terdapat patung retjo pentung (Dwarapala) yaitu patung yang dibentuk menyerupai bentuk mahluk astral di hutan tulungagung, maka tempat yang ada patung retjo pentung akan di jaga oleh makhluk penjaga tersebut dari hal-hal yang tidak baik.. Dalam budaya Jawa, dwarapala (retjo pentung) dijadikan figur penjaga keraton, misalnya dapat ditemukan di gerbang masuk Keraton Yogyakarta dan gerbang Kamandungan Lor Keraton Surakarta. Patung seperti ini dibuat pada masa kerajaan Sukhothai dan Ayutthaya. Dalam budaya Jawa, dwarapala dijadikan figur penjaga keraton, misalnya dapat ditemukan di gerbang masuk Keraton Yogyakarta dan gerbang Kamandungan Lor Keraton Surakarta.
-
Arca Dwarapala terbesar di Jawa, zaman kerajaan Singhasari
-
Dwarapala penjaga Candi Plaosan
-
Dwarapala pada Kraton Surakarta
-
Sepasang Dwarapala di Puri dalem Agung Bali
-
Arca Dwarapala
Pintu Anak Tangga Naga Jawa
Umumnya ular naga Jawa dijadikan pola hias bentuk makara yaitu pipi tangga di kanan dan kiri tangga naik ke bangunan utama. Naga Jawa yang dibentuk sebagai badan dan kepala naga, mulut naga Jawa digambarkan terbuka lebar dan lidahnya menjulur keluar dalam wujud untaian manik-manik ataupun bentuk naga yang menganga dengan seekor singa di dalam mulutnya. Naga Jawa merupakan motif penting dalam arsitektur Jawa. Naga Jawa digambarkan sebagai sesosok mahluk sakti berbentuk ular raksasa yang tidak memiliki kaki meskipun adakala diwujudkan mempunyai kaki. Naga Jawa memakai badhog atau mahkota di atas kepalanya. Terkadang Naga Jawa digambarkan juga memakai perhiasan anting dan kalung emas.
-
Gerbang pintu anak tangga berbentuk kepala Naga Jawa
Peninggalan
Terdapat beberapa Taman Jawa dari masa lalu yang masih ada hingga sekarang, yaitu:
Kebun ini dibangun pada zaman Sultan Hamengku Buwono I (HB I) pada tahun 1758-1765/9. Awalnya, taman yang mendapat sebutan "The Fragrant Garden" ini memiliki luas lebih dari 10 hektare dengan sekitar 57 bangunan baik berupa gedung, kolam pemandian, jembatan gantung, kanal air, maupun danau buatan beserta pulau buatan dan lorong bawah air.
Sebagian pakar berpendapat bahwa candi ini merupakan petirtaan, tempat mandi keluarga raja,
- Petirtaan Jolotundo
merupakan sebuah pemandian suci. Dapat dilihat adanya sebuah kolam air berbentuk persegi yang airnya terjun dari batu karang di atasnya. Di dasar kolam ditemukan sebuah peti berceruk sembilan (peripih nawasanga) Di atas batu karang paling tinggi pernah ditemukan pahatan berbentuk Gunung Penanggungan yaitu sebuah puncak dikelilingi empat puncak lain.