Lompat ke isi

Mandar gendang: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Naval Scene (bicara | kontrib)
k sunting sedikit
Naval Scene (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 22: Baris 22:
}}
}}


'''Mandar gendang''' ({{lang-la|Habroptila wallacii}}, {{lang-en|invisible rail, Wallace's rail, drummer rail}}) adalah [[burung]] besar yang tidak terbang yang adalah hewan [[endemik]] di pulau [[Halmahera]], [[Maluku Utara]], [[Indonesia]]. Spesies ini mendiami [[rawa|rawa-rawa]] lebat pepohonan [[sagu]] yang berdekatan dengan [[hutan]]. [[Bulu]]nya didominasi warna abu-abu gelap, dengan kulit terbuka di sekitar matanya. Paruhnya panjang dan tebal, sedangkan seluruh kakinya berwarna merah cerah. Suaranya seperti tabuhan [[gendang]] yang perlahan, yang disertai dengan kepakan sayap. Karena sulit mengamati burung pemalu ini di habitatnya yang padat, maka informasi mengenai perilakunya juga terbatas.
'''Mandar gendang''' ({{lang-la|Habroptila wallacii}}, {{lang-en|invisible rail, Wallace's rail, drummer rail}}) adalah sejenis [[burung]] [[Rallidae|mandar]] besar yang tidak terbang, yang merupakan hewan [[endemik]] di pulau [[Halmahera]], [[Maluku Utara]], [[Indonesia]]. Spesies ini mendiami [[rawa|rawa-rawa]] lebat pepohonan [[sagu]] yang berdekatan dengan [[hutan]]. [[Bulu]]nya didominasi warna abu-abu gelap, dengan kulit terbuka di sekitar matanya. Paruhnya panjang dan tebal, sedangkan seluruh kakinya berwarna merah cerah. Suaranya seperti tabuhan [[gendang]] yang perlahan, yang disertai dengan kepakan sayap. Karena sulit mengamati burung pemalu ini di habitatnya yang padat, maka informasi mengenai perilakunya juga terbatas.


Menurut catatan, mandar gendang memakan tunas sagu dan [[serangga]], dan juga menelan batu-batu kecil untuk membantu mencerna yang dimakannya. Burung ini merupakan hewan [[monogami]], tetapi hanya sedikit informasi yang diketahui tentang perilakunya selama masa [[kawin]]. [[Sarang]]nya, yang diketahui, berupa sebuah mangkuk dangkal di atas tunggul pohon yang telah [[lapuk]] dan dilapisi dengan serpihan kayu serta daun kering. Kedua mandar muda diselumuti seluruhnya dengan bulu bawah (''down feather'') berwarna hitam khas burung yang baru menetas. Populasinya diperkirakan antara 3.500-15.000 ekor, dan rentang yang terbatas tersebut membuat burung yang tak dapat dilihat ini diklasifikasikan sebagai "[[Spesies rentan|Rentan]]" oleh [[International Union for Conservation of Nature]] (IUCN). Berkurangnya [[habitat]] mereka telah terjadi karena [[pemanenan]] sagu dan pengalihan [[lahan basah]] tersebut menjadi lahan [[pertanian]] [[padi]], dan mandar juga dijadikan makanan oleh penduduk setempat. Sarang mandar yang dijelaskan sebelumnya berada di daerah yang sering dikunjungi masyarakat setempat, sehingga burung tersebut mungkin sekarang lebih mudah be[[adaptasi]] terhadap perubahan habitat dibanding yang diperkirakan sebelumnya.
Menurut catatan, mandar gendang memakan tunas sagu dan [[serangga]], dan juga menelan batu-batu kecil untuk membantu mencerna yang dimakannya. Burung ini merupakan hewan [[monogami]], tetapi hanya sedikit informasi yang diketahui tentang perilakunya selama masa [[kawin]]. [[Sarang]]nya, yang diketahui, berupa sebuah mangkuk dangkal di atas tunggul pohon yang telah [[lapuk]] dan dilapisi dengan serpihan kayu serta daun kering. Kedua mandar muda diselumuti seluruhnya dengan bulu bawah (''down feather'') berwarna hitam khas burung yang baru menetas. Populasinya diperkirakan antara 3.500-15.000 ekor, dan rentang yang terbatas tersebut membuat burung yang tak dapat dilihat ini diklasifikasikan sebagai "[[Spesies rentan|Rentan]]" oleh [[International Union for Conservation of Nature]] (IUCN). Berkurangnya [[habitat]] mereka telah terjadi karena [[pemanenan]] sagu dan pengalihan [[lahan basah]] tersebut menjadi lahan [[pertanian]] [[padi]], dan mandar juga dijadikan makanan oleh penduduk setempat. Sarang mandar yang dijelaskan sebelumnya berada di daerah yang sering dikunjungi masyarakat setempat, sehingga burung tersebut mungkin sekarang lebih mudah be[[adaptasi]] terhadap perubahan habitat dibanding yang diperkirakan sebelumnya.

Revisi per 24 Juni 2015 04.19

Mandar gendang
Mandar gendang dewasa karya Joseph Wolf, 1859
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Filum:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Genus:
Habroptila

G R Gray, 1861
Spesies:
H. wallacii
Nama binomial
Habroptila wallacii
Gray, 1860
       Catatan terkini
       Catatan sebelum tahun 1950
       Kao, Halmahera Utara
Peta persebaran Mandar gendang di Pulau Halmahera,Maluku Utara

Mandar gendang (bahasa Latin: Habroptila wallacii, bahasa Inggris: invisible rail, Wallace's rail, drummer rail) adalah sejenis burung mandar besar yang tidak terbang, yang merupakan hewan endemik di pulau Halmahera, Maluku Utara, Indonesia. Spesies ini mendiami rawa-rawa lebat pepohonan sagu yang berdekatan dengan hutan. Bulunya didominasi warna abu-abu gelap, dengan kulit terbuka di sekitar matanya. Paruhnya panjang dan tebal, sedangkan seluruh kakinya berwarna merah cerah. Suaranya seperti tabuhan gendang yang perlahan, yang disertai dengan kepakan sayap. Karena sulit mengamati burung pemalu ini di habitatnya yang padat, maka informasi mengenai perilakunya juga terbatas.

Menurut catatan, mandar gendang memakan tunas sagu dan serangga, dan juga menelan batu-batu kecil untuk membantu mencerna yang dimakannya. Burung ini merupakan hewan monogami, tetapi hanya sedikit informasi yang diketahui tentang perilakunya selama masa kawin. Sarangnya, yang diketahui, berupa sebuah mangkuk dangkal di atas tunggul pohon yang telah lapuk dan dilapisi dengan serpihan kayu serta daun kering. Kedua mandar muda diselumuti seluruhnya dengan bulu bawah (down feather) berwarna hitam khas burung yang baru menetas. Populasinya diperkirakan antara 3.500-15.000 ekor, dan rentang yang terbatas tersebut membuat burung yang tak dapat dilihat ini diklasifikasikan sebagai "Rentan" oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN). Berkurangnya habitat mereka telah terjadi karena pemanenan sagu dan pengalihan lahan basah tersebut menjadi lahan pertanian padi, dan mandar juga dijadikan makanan oleh penduduk setempat. Sarang mandar yang dijelaskan sebelumnya berada di daerah yang sering dikunjungi masyarakat setempat, sehingga burung tersebut mungkin sekarang lebih mudah beadaptasi terhadap perubahan habitat dibanding yang diperkirakan sebelumnya.


Taksonomi

Burung ini termasuk dalam keluarga besar — yaitu Rallidae — yang tersebar sangat luas, dengan hampir 150 spesies. Mereka berukuran kecil sampai dengan sedang, hidup di daratan atau lahan basah, dan tubuh mereka yang pendek seringkali dipipihkan ke samping untuk membantu mereka bergerak melintasi vegetasi yang lebat. Spesies yang ada di pulau dengan mudahnya menjadi tidak dapat terbang; dari 53 takson yang masih ada atau baru saja punah terbatas pada kepulauan, 32 diantaranya telah kehilangan kemampuan untuk terbang.[2]

Mandar gendang, yang pertama kali diklasifikasikan oleh ahli zoologi Inggris George Robert Gray pada tahun 1860, adalah satu-satunya yang termasuk genus monotipik Habroptila.[1] Nama genus Habroptila berasal dari kata Yunani habros (lembut, cantik, indah) dan ptilon (bulu, sayap);[3] wallacii berasal dari nama ahli zoologi Britania Alfred Russel Wallace.[4] Nama lokalnya meliputi "soisa", "tibiales" dan "rèie".[5]

Burung ini juga ada kaitannya dengan mandar tak terbang Nugini (Megacrex inepta) dan mandar kastanye (Eulabeornis castaneoventris), dimana ketiga genus Australasia tersebut kemungkinan berasal dari leluhur Amaurornis.[1][6]. Storrs Olson berpendapat bahwa genus Megacrex sangatlah mirip dengan Habroptila sehingga Megacrex seharusnya dianggap sebagai padanan baru dari Habroptila, yang mengakibatkan adanya dua spesies dalam genus tersebut.[7] Selanjutnya Sidney Dillon Ripley menyamakan keduanya dalam monografnya tentang Rallidae tahun 1977; ia memasukkan Habroptila dalam genus besar Rallus. Usulan ini, bagaimanapun, tidak diterima oleh Gerlof Fokko Mees, yang menunjukkan perbedaan-perbedaan tersendiri dalam bentuk dan struktur paruh.[8] Suatu analisis filogenetik molekuler berdasarkan kesamaan urutan DNA mitokondria menemukan bahwa Habroptila merupakan bagian dari radiasi evolusioner dalam genus Gallirallus yang lebih luas, yang terjadi sekitar 400.000 tahun yang lalu di wilayah tersebut.[9]

Deskripsi

Habroptila wallacii di perangko Indonesia tahun 2012

Mandar gendang adalah seekor burung besar yang tak dapat terbang dengan panjang 33 hingga 40 cm (13–16 in).[1] Burung dewasa memiliki tubuh yang utamanya berwarna abu-abu gelap, bulu coklat gelap pada punggung bagian bawah, pantat dan sayap, serta ekor berwarna hitam. Bagian bawah tubuhnya sedikit lebih pucat warna abu-abunya dibanding punggungnya, kulit tak berbulu di sekitar mata, paruh yang panjang dan tebal, serta kaki-kaki yang kuat berwarna merah cerah.[10] Ia juga memiliki sebuah tulang kecil di lekukan sayapnya.[11] Jenis kelamin mereka identik dalam penampilannya; sementara bulu burung muda yang belum dewasa belum pernah terdeskripsikan.[10]

Mandar gendang secara sepintas mirip dengan mandar besar (Porphyrio porphyrio) yang baru-baru ini ditemukan di Halmahera, tetapi spesies tersebut lebih besar, memiliki paruh berwarna merah yang pendek dan tebal, dengan sebuah jengger merah; Porphyrio juga memiliki bagian bawah tubuh yang berwarna ungu, dan ekor bagian bawah berwarna putih.[10] Mandar gendang berbeda dengan mandar Calayan (Gallirallus calayanensis), dimana mandar gendang berukuran lebih besar dan tidak memiliki bulu-bulu pembatas seperti pada mandar Calayan; tidak ada saling tumpang tindih dalam rentang kedua spesies ini.[12]

Burung ini mengeluarkan suara seperti suara gendang yang pelan, disertai dengan bunyi tuk, tuk, tuk yang dibuat dengan sayapnya.[10] Sifat suaranya menciptakan sebuah legenda lokal, dimana suara itu —diceritakan— dibuat oleh burung tersebut dengan memukul-mukul dalam sebuah rongga pohon atau cabang dengan kaki-kakinya.[5] Gerd Heinrich mencatat nama lokal atau sebutan khas burung ini adalah "soisa", yang berarti gendang, dan menggambarkan suaranya sebagai sebuah gendang yang terkendali purre - purre - purre - purre - purre yang terkadang berakhir dengan suatu jeritan melengking yang nyaring. Mandar gendang juga menghasilkan suatu dengungan membosankan mirip dengan suara Sus scrofa vittatus (sebuah subspesies babi hutan), dan mengingatkan pada suara yang dihasilkan mandar dengkur (Aramidopsis plateni).[13] Suaranya paling sering terdengar pada dini hari atau malam hari, dan seseorang yang sedang mencacah batang sagu dengan sebilah parang mungkin akan mendapatkan respon dari burung tersebut.[10] Versi yang lebih tenang dari suaranya dapat terdengar pada sarangnya.[14] Orang yang mengira suara seperti jeritan nyaring berasal dari mandar gendang mungkin saja salah, karena suara seperti itu juga dihasilkan oleh Amaurornis moluccana (spesies burung yang juga termasuk familia Rallidae).[10]

Pembagian wilayah dan habitat

Mandar gendang mendiami hutan rawa yang padat, sagu runcing, terutama di mana hutan yang lokasinya berdekatan daerah berawa. Mandar juga tinggal di daerah yang terdapat alang-alang.[10][15] Seorang ahli ornitologi (ilmu burung) Jerman Gerd Heinrich, menyiapkan perjalanan ke Halmahera, menulis tentang habitat rawa sagu di tahun 1930-an:[16]

Saya yakin tidak ada orang Eropa yang pernah melihat Mandar ini secara hidup-hidup, untuk itu membutuhkan tingkat seperti ketangguhan dan tuntutan tersebut pada diri sendiri karena saya tidak bisa begitu mudah menghubungkan kepada orang lain. Habroptila terlindung oleh duri mengerikan dari rawa sagu ... Dalam duri padang gurun ini, aku berjalan bertelanjang kaki dan setengah telanjang selama berminggu-minggu.

Penampakan Mandar tahun 1950-2003 berasal dari daerah perbatasan Kabupaten Halmahera Barat, di dasar semenanjung barat pulau, tapi tercatat sebelum tahun 1950 sejauh titik selatan Halmahera. [6] Catatan lebih baru menunjukkan bahwa masih ada di daerah secara signifikan lebih besar, termasuk timur laut dari pulau, [14] dan penduduk setempat mengklaim bahwa burung ini juga terdapat di rawa-rawa dekat Kao, di barat laut.[6]

Perilaku

Tanaman Sagu

Habitat yang sulit dan sifat bermalas-malasan dari Mandar terlihat berarti bahwa informasi tentang gaya hidup yang jarang, dan ada beberapa penampakan Mandar yang telah dikonfirmasi.[17] Makanannya meliputi tunas sagu dan serangga. Dan juga beberapa potongan sagu, meskipun tidak jelas apakah itu makan tanaman yang telah membusuk atau mencari barang-barang lainnya yang dapat dimakan [6]Mandar juga menelan batu kecil. Seperti semua Mandar, untuk membantu memecah makanan di rempela.[18]

Mandar gendang dianggap hewan monogami, tetapi sedikit yang diketahui tentang perilaku pacaran yang sebelum bersarang. Sebuah laporan dari 4-5 anak Mandar bergaris telah lama dianggap tidak benar, karena bulu tersebut tidak normal untuk seekor Mandar.[6] Dalam keluarga ini, anak Mandar biasanya precocial, berbulu halus dan hitam, dengan ornamen yang terbatas pada kepala, daging telanjang, atau bulu bulu yang dimodifikasi khusus.[19]

Masalah ini diselesaikan pada bulan November 2010 ketika sarang ditemukan di atas tunggul pohon yang telah membusuk, 1 meter di atas permukaan tanah dan 46 m dari tepi hutan rawa kering di Taman Nasional Aketajawe-Lolobata. Sarangnya selebar 15 cm secara mendalam, dengan lapisan bawah serpihan kayu kecil di dasar dan lapisan daun mati. Kulit telur yang putih kecoklatan gelap dengan tanda coklat dan hitam dengan ukuran yang berbeda. Dua anak Mandar yang baru lahir seluruhnya tertutup bulu hitam, kontras dengan Pollux putih (setara dengan jempol pada tangan manusia). Paruh berwarna hitam dengan ujung putih, dan kaki hitam-coreng coklat. Matanya memiliki iris abu-abu dan pupil biru. Anak Mandar meninggalkan sarang segera setelah menetas, sehingga anak-anak Mandar diasumsikan hanya satu atau dua hari umurnya.[14]

Status

Spesies burung adalah spesies yang terbatas dalam kisaran biologi . Sangat rentan terhadap aktivitas manusia, dan delapan dari 26 spesies burung di Maluku Utara dalam "Wilayah Burung Endemik Maluku Utara" terancam, termasuk Mandar gendang.[6] Hampir seperempat dari semua spesies Mandar memiliki masalah konservasi, dan spesies yang tak dapat terbang di pulau yang sangat berisiko, setidaknya 15 spesies telah punah sejak 1600.[20] Populasi diperkirakan yaitu 3,500-15,000 burung, [17] dengan jangkauan terbatas serta populasi yang sedikit berarti bahwa spesies ini diklasifikasikan sebagai spesies rentan menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN)[1].

Hilangnya habitat terjadi akibat pemanenan sagu secara komersial , [6] atau pengalihan hutan ke budidaya padi dan tambak.[1] Manadar adalah makanan lezat bagi orang-orang lokal yang menangkapnya dengan perangkap yang terbuat dari string kulit kayu dan juga berburu dengan anjing.[10]Sarang hanya terdapat di daerah baik digunakan oleh penduduk lokal, danMandar mungkin lebih mudah beradaptasi terhadap perubahan habitat dari yang diperkirakan sebelumnya. Ada juga beberapa tanda-tanda kemunculan Mandar di timur laut Halmahera pada tahun 2008 dan 2011, memperluas daerah di mana burung ini telah terlihat dalam beberapa tahun terakhir.[14]

Referensi

  1. ^ a b c d e f (Inggris) BirdLife International (2012). "Habroptila wallacii". IUCN Red List of Threatened Species. Version 2013.2. International Union for Conservation of Nature. Diakses tanggal 26 November 2013. 
  2. ^ (Inggris) Hoyo, Josep del; Elliott, Andrew; Sargatal, Jordi; Christie, David A; de Juana, Eduardo (eds.) (2013). "Rails, Gallinules and Coots". Handbook of the Birds of the World Alive. Barcelona: Lynx Edicions. Diakses tanggal 13 April 2014.  (perlu berlangganan)
  3. ^ (Inggris)(Yunani) ἁβρός, πτίλον. Liddell, Henry George; Scott, Robert; A Greek–English Lexicon at the Perseus Project.
  4. ^ (Inggris) Jobling, James A (2010). The Helm Dictionary of Scientific Bird Names. London: Christopher Helm. hlm. 184, 406. ISBN 978-1-4081-2501-4. 
  5. ^ a b (Inggris) de Haan, G A L (1950). "Notes on the Invisible Flightless Rail of Halmahera (Habroptila wallacii Gray)". Amsterdam Naturalist. 1: 57–60. 
  6. ^ a b c d e f g (Inggris) "Invisible Rail Habroptila wallacii" (PDF). Birdbase. Hokkaido Institute of Environmental Sciences. Diakses tanggal 17 June 2011. 
  7. ^ (Inggris) Olson, Storrs L (1973). "A classification of the Rallidae" (PDF). Wilson. 85 (4): 381–416. 
  8. ^ (Inggris) Mees, G F (1982). "Birds from the lowlands of southern New Guinea (Merauke and Koembe)". Zoologische Verhandelingen. 191: 1–188. 
  9. ^ (Inggris) Kirchman, Jeremy J (2012). "Speciation of Flightless Rails on Islands: A DNA-based phylogeny of the typical rails of the Pacific". The Auk. 129 (1): 56–69. doi:10.1525/auk.2011.11096. 
  10. ^ a b c d e f g h Taylor & van Berlo (1998) pp. 451–452.
  11. ^ (Inggris) Gray, George Robert (1860). "List of birds collected by Mr. Wallace at the Molucca Islands, with descriptions of new species, &c". Proceedings of the Zoological Society of London. 28: 365. 
  12. ^ (Inggris) Allen, Desmond; Oliveros, Carl; Española, Carmela; Broad, Genevieve; Gonzalez, Juan Carlos T (2004). "A new species of Gallirallus from Calayan island, Philippines" (PDF). Forktail: Journal of Asian Ornithology. 20: 1–7. Diakses tanggal 18 Juni 2011. 
  13. ^ (Inggris) Heinrich, Gerd (1956). "Biologische Aufzeichnungen über Vögel von Halmahera und Batjan". Journal für Ornithologie (dalam bahasa German). 97 (1): 31–40. doi:10.1007/BF01670833. 
  14. ^ a b c d (Inggris) Bashari, Hanom; van Balen, Bas (2011). "First breeding record of the Invisible Rail Habroptila wallacii". BirdingASIA. 15: 20–22. 
  15. ^ Flach, Michiel (1997). Sago palm: Metroxylon sagu Rottb. Promoting the conservation and use of underutilized and neglected crops (PDF). 13. Gatersleben, Germany/Rome: Institute of Plant Genetics and Crop Plant Research/International Plant Genetic Resources Institute. hlm. 21–23. ISBN 978-92-9043-314-9. 
  16. ^ Collar, Nigel J (2009). "Pioneer of Asian ornithology: Gerd Heinrich" (PDF). BirdingASIA. 11: 33–40. 
  17. ^ a b "Invisible Rail Habroptila wallacii". Species factsheet. BirdLife International. Diakses tanggal 16 Juni 2011. 
  18. ^ Taylor & van Berlo (1998) p. 39.
  19. ^ Krebs, Elizabeth A; Putland, David A (2004). "Chic chicks: the evolution of chick ornamentation in rails" (PDF). Behavioral Ecology. 15 (6): 946–951. doi:10.1093/beheco/arh078. 
  20. ^ Taylor & van Berlo (1998) pp. 56–61.

Sumber kutipan

  • (Inggris) Taylor, Barry; van Perlo, Ber (1998). Rails. Robertsbridge, East Sussex: Pica / Christopher Helm. ISBN 1-873403-59-3. 

Pranala luar