Lompat ke isi

Biara (tempat tinggal)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 16 Juli 2017 12.15 oleh HsfBot (bicara | kontrib) (Bot: Perubahan kosmetika)
Biara Santa María del Parral, tempat tinggal para rahib Ordo Santo Hieronimus di Segovia, Spanyol
Biara Santo Nilus di Pulau Stolbnyi, di Danau Seliger dekat Ostashkov, Rusia, ca. 1910
Tengboche, biara Buddha, Nepal
Biara Rumtek, Gangtok, Sikkim, India
Biara Kerajaan di San Lorenzo de El Escorial, Spanyol. Dipangun 1563–1584.
Biara Sumela, sebelah selatan Trabzon di Turki Timur. Dibangun pada abad ke-4 (diperkirakan pada 386 M).

Biara adalah bangunan atau gugus bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal dan tempat kerja para petarak, yaitu biarawan atau biarawati, baik yang hidup berguyub maupun berasingan (rahib-rahibah). Sebuah biara lazimnya memiliki tempat khusus untuk sembahyang. Tempat khusus ini dapat berupa kapel, gereja, atau kuil, dan dapat pula dipergunakan sebagai oratorium.

Ukuran biara berbeda-beda, ada yang berupa tempat tinggal kecil untuk menampung satu orang rahib saja, atau dalam kasus paguyuban berkisar dari satu bangunan tunggal yang cukup untuk menampung satu rahib atau rahibah senior bersama dua-tiga rahib atau rahibah yunior, sampai dengan pemukiman dan perumahan luas yang dapat menampung puluhan atau ratusan orang. Sebuah kompleks biara biasanya terdiri atas sekumpulan bangunan yang meliputi gedung gereja, dormitorium, claustrum, refectorium, librarium, balnearium, dan infirmarium. Bergantung pada lokasi, tarekat, dan pekerjaan para penghuninya, kompleks biara dapat pula mencakup sejumlah bangunan yang memfasilitasi keswasembadaan dan pelayanan paguyuban itu. Bangunan-bangunan ini mencakup hospes, sekolah, dan bangunan-bangunan pertanian dan manufaktur seperti gudang, besalen, atau pun kilang bir.

Etimologi

Denah Sankt Gallen, sebuah denah biara keabasan yang tidak terealisasi, menyediakan semua keperluan para biarawan dalam lingkup tembok biara

Kata biara berasal dari kata vihāra dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Pali, yang berarti "kawasan tertutup tempat berjalan-jalan", dan mula-mula digunakan oleh umat Buddha sebagai sebutan untuk "kediaman" atau "tempat bernaung" para biksu pengembara sepanjang musim hujan. Dalam bahasa Indonesia, kata biara digunakan sebagai sebutan umum untuk tempat tinggal para petarak atau petapa, sementara biara agama Buddha secara khusus disebut sebagai wihara.

Kata biara digunakan oleh umat Kristen sebagai padanan kata monasterium dalam bahasa Latin atau monastērion dalam bahasa Yunani. Monasterium sendiri berasal dari kata monastērion (μοναστήριον), bentuk netral dari monasterios (μοναστήριος), bentukan dari kata monazein (μονάζειν) yang berarti hidup menyendiri.[1] Monazein berasal dari akar kata monos (μόνος) yang berarti sendirian (mula-mula semua biarawan Kristen adalah rahib atau petapa); akhiran "-terion" bermakna "tempat". Istilah monastērion pertama kali digunakan menjelang abad pertama Masehi oleh filsuf Yahudi, Filo, dalam karya tulisnya De Vita Contemplativa (Perihal Hidup Merenung), bab III.

Istilah-istilah

Dalam artikel ini, istilah biara digunakan secara generik sebagai sebutan untuk tempat tinggal bagi segala macam paguyuban keagamaan. Agama Kristen Katolik Roma dan beberapa mazhab Agama Buddha memiliki definisi yang agak spesifik dari istilah ini serta istilah-istilah terkait lainnya.

Biara-biara Agama Buddha pada umumnya disebut wihara (bahasa Pali). Wihara dapat dihuni baik oleh pria maupun wanita. Istilah wihara dapat pula digunakan sebagai sebutan untuk rumah ibadat Agama Buddha. Biara Agama Buddha juga dikenal dengan sebutan gompa di Tibet, wat Di Thailand, Laos dan Kamboja, serta kyaung di Myanmar.

Biara Kristen dapat berupa Keabasan (dikepalai oleh seorang abas), priorat (dikepalai oleh seorang prior), atau pertapaan (tempat tinggal petapa). Biara dapat dihuni oleh paguyuban pria (biarawan) atau wanita (biarawati). Dalam Gereja Kristen Timur, paguyuban terkecil para petarak disebut skete, dan biara yang sangat besar atau penting disebut laura.

Dalam biara Kristen, cara hidup berguyub disebut senobitis, berlawanan dengan cara hidup anakoritis (cara hidup seorang anakorit) dan eremitis (cara hidup seorang eremit). Ada pula cara hidup "idioritmis", yang tumbuh subur pada masa pendudukan Utsmaniyah di Yunani dan Siprus, yakni rahib-rahib hidup bersama tetapi diperbolehkan memiliki harta-benda pribadi dan tidak diwajibkan bekerja demi kepentingan bersama.

Dalam Agama Hindu, biara disebut matha, mandir, kuil, atau pun asrama.

Dalam Agama Jain, biara disebut wihara, sama seperti sebutan untuk biara dalam Agama Buddha.

Hidup membiara

Dalam kebanyakan agama, kehidupan di biara berjalan menurut aturan-aturan paguyuban yang menentukan jenis kelamin para penghuni, dan mewajibkan mereka untuk untuk tetap hidup selibat dengan sedikit atau tanpa harta-benda pribadi. Taraf keterpisahan kehidupan dalam biara secara sosial dari lingkungan sekitarnya pun berbeda-beda antara satu biara dengan yang lain. Beberapa tradisi keagamaan mewajibkan para penghuni biara untuk mengucilkan diri sehingga dapat berkontemplasi jauh dari keramaian dunia, penghuni biara semacam ini dapat saja menghabiskan sebagian besar waktunya dalam keterkucilan, bahkan antara satu sama lain. Tradisi keagamaan yang lain mencurahkan perhatian pada interaksi dengan masyarakat di sekitarnya agar dapat melaksanakan karya-karya pelayanan berupa pengajaran, perawatan medis, atau pun penginjilan. Beberapa biara paguyuban hanya ditinggali secara musiman, tergantung tradisi yang dianut serta keadaan cuaca setempat, dan ada pula biara paguyuban yang memperbolehkan orang untuk menjadi anggota selama jangka waktu tertentu, mulai dari beberapa hari sampai nyaris seumur hidup.

Kehidupan di dalam kungkungan tembok sebuah biara ditunjang dengan berbagai cara: dengan menghasilkan dan menjual barang yang seringkali berupa hasil bumi, dengan sumbangan atau derma, dengan pendapatan sewa atau investasi, dan dengan dana dari organisasi-organisasi lain yang pada masa lalu merupakan penyokong tradisional bagi biara-biara agamanya. Sudah lama ada tradisi dalam biara-biara Kristen untuk menyediakan pelayan-pelayanan sebagai suaka, panti derma, dan panti husada. Biara-biara sudah seringkali dikait-kaitkan dengan ketersediaan pendidikan dan dukungan bagi kesarjanaan dan penelitian, yang kelak menghasilkan sekolah-sekolah, kolese-kolese, dan universitas-universitas. Kehidupan dalam biara Kristen telah beradaptasi dengan masyarakat modern dengan menawarkan jasa komputer, jasa dan manajemen akuntansi, serta administrasi rumah sakit dan pendidikan modern.

Agama Buddha

Agama Kristen

Dayro d-Mor Gabriel didirikan pada 397 oleh Mor Shmu'el dan muridnya, Mor Shem'un, di atas reruntuhan sebuah kuil Asyur kuno.
Biara Mor Hananyo, salah satu dari sekian banyak biara di Gunung Izla
Biara Santa María de Valdediós, Spanyol

Menurut tradisi, monastisisme dalam agama Kristen bermula di Mesir, dirintis oleh Santo Antonius. Mula-mula semua biarawan Kristen adalah petapa yang jarang bersua orang lain. Namun karena begitu beratnya kesukaran hidup menyendiri, banyak biarawan yang gagal dan kembali ke kehidupan lamanya atau tersesat secara rohani.

Suatu bentuk transisional dari monastisisme di kemudian hari dibentuk oleh Santo Amun. Dalam bentuk monastisisme transisional ini, para biarawan "penyendiri" hidup cukup berdekatan satu sama lain sehingga dapat saling membantu dan dapat berkumpul pada hari Minggu untuk beribadat bersama-sama.

Santo Pakomios adalah penggagas cara hidup berguyub dan beribadat bersama-sama di bawah satu atap (Monastisisme Senobitis). Sebagian pihak berpendapat bahwa cara hidup dalam komunitas yang digagasnya terilhami oleh cara hidup di barak Bala tentara darat Romawi yang pernah ia jalani ketika menjadi prajurit pada masa mudanya.[2] Tak lama sesudahnya, padang gurun Mesir dipenuhi biara-biara, terutama di sekitar Nitria (Wadi El Natrun), yang dijuluki "Kota Suci". Diperkirakan bahwa area ini pada suatu ketika pernah ditinggali oleh 50.000 orang biarawan.

Agama Hindu

Matha Adwaita

Matha Hindu, Kuil Widyasangkara

Semenjak zaman Weda, sudah ada orang-orang yang menjalani hidup membiara di Anak Benua India. Dalam keyakinan yang kini disebut agama Hindu, sudah ada biarawan sejak lama, dan seiring dengan keberadaan mereka, berdiri pula biara-biara yang disebut matha. Di antaranya yang penting adalah matha-matha catur-amnaya yang didirikan oleh Adi Sangkara. Adi Sangkara membentuk pusat-pusat percabangan yang menuntun reorganisasi tarekat kuno biarawan mazhab Adwaita menjadi sepuluh nama dari Dasanami Sampradaya.

Matha Sri Waisnawa

Parakala Mutt sekarang ini

Ramanuja membuka era baru dalam agama Hindu dunu dengan menghidupkan kembali keyakinan yang telah hilang dari agama ini dan memberikan ajaran-ajaran dasar filsafat Wisistadwaita yang sudah ada sejak purbakala. Ia memastikan agar sejumlah matha mazhab Sri Waisnawa Sampradaya didirikan pada pusat-pusat peziarahan penting.

Di kemudia hari, para teolog dan petinggi mazhab Sri Waisnawa mendirikan berbagai matha penting seperti,

Matha Nimbarka Waisnawa

Ukhra Nimbarka Pita Mahanta Astala

Nimbarka Sampradaya yang diajarkan oleh Nimbarkacarya sangat populer di seluruh India Utara, Barat, dan Timur, serta memiliki beberapa matha penting.

Matha Madwa

Asta matha (delapan biara) di Udupi didirikan oleh Madwacarya (Madwa acarya), seorang filsuf Dwaita.

Sufi

Islam menentang kehidupan membiara, yang menurut Al-Quran adalah perbuatan ghuluw (melampaui batas).[3] Istilah ṣūfī digunakan untuk menyebut para mistikus Muslim yang mengadopsi praktik-praktik pertarakan sebagai sarana untuk mencapai kemanunggalan dengan Allah. Praktik-praktik pertarakan ini di antaranya adalah tindakan mengenakan pakaian wol kasar yang disebut ṣūf. Istilah taṣawwuf berasal dari kata ṣūfī, artinya orang yang mengenakan ṣūf. Seiring perjalanan waktu, ṣūfī pun digunakan sebagai sebutan bagi semua orang Muslim yang percaya pada kemanunggalan mistis.[4]

Pada dasar-dasar filsafat sufi terdapat pengaruh-pengaruh dari filsafat neoplatonis dan filsafat-filsafat lainnya. Banyak praktik para rahib dan penghuni gurun Kristen Ortodoks yang ditiru dalam perkembangan gerakan sufi di tengah-tengah bekas negeri-negeri Kristen di Timur Tengah. Praktik-praktik pertarakan dalam filsafat sufi pernah pula dikait-kaitkan dengan Agama Buddha. Ajaran tentang pemurnian (membersihkan jiwa dari segalam macam kejahatan, berusaha untuk mencapai Nirwana, dan hidup kekal di Nirwana) berperan penting dalam Agama Buddha. Gagasan yang sama tampak pula pada ajaran "fanaa" (manunggal dengan Allah) dalam filsafat sufi.[5]

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ Online Etymology Dictionary
  2. ^ Dunn, Marilyn. The Emergence of Monasticism: From the Desert Fathers to the Early Middle Ages. Malden, Mass.: Blackwell Publishers, 2000. p29.
  3. ^ QS. al Hadid [57]: 27 [1]
  4. ^ "The Neoplatonist Roots of Sufi Philosophy" by Kamuran Godelek,20th World Congress of Philosophy, [2]
  5. ^ "The Neoplatonist Roots of Sufi Philosophy" by Kamuran Godelek,20th World Congress of Philosophy, [3]

Pranala luar