Distrik Balangan
Distrik Balangan adalah bekas salah satu distrik (kedemangan) di wilayah Afdeeling Amonthaij (tahun 1861) pada zaman kolonial Hindia Belanda dahulu.
Tahun 1862
Tahun 1862 daerah Tabalong dan Balangan dikepalai А. van den Hurk, kapitein der infanterie. wd. Kontroleur dег tweede klasse (Kontroleur kelas dua).
Tahun 1870
Tahun 1870, perkembangan selanjutnya daerah Balangan menjadi salah satu distrik di wilayah Distrik-distrik Batang-Alai, Laboean-Amas en Balangan (ibukota Barabai) di bawah seorang Kontroleur der 1ste klasse yang bernama N. van der Stok.[1]
Dewasa ini wilayah distrik ini telah berkembang menjadi Kabupaten Balangan.
Tahun | Districtshoofd | Panghoeloe |
---|---|---|
1861 | Kiai Radhen Mas Wiero Yoedo[2] (ejaan Jawa) | Hadji Mohamad[2] |
1862 | Kiai Radhen Mas Wira IJoeda[3][4] | Hadji Mohamad[4] |
1863 | Kiai Radhen Mas Wira IJoeda[5] | Toean Blandoe[5] |
1868 | Kiai Radhen Mas Wira Yoeda[6] | Toean Blandoe[6] |
1870 | Kjahi Radhen Mas Wira Joeda[1] | Hadji Mat Saleh[1] |
1871 | Kjahi Majasin[7] | Hadji Moehamad Saleh[7] |
1899 | Kjahi Matsaleh[8] |
Penduduk
Penduduk asli Batang Balangan merupakan penduduk Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Balangan yang telah ditaklukan oleh mantri panganan Aria Magatsari atas perintah maharaja Negara Dipa yaitu Ampu Jatmaka yang bergelar Maharaja di Candi.
Hikayat Banjar dan Kotawaringin menyebutkan :
Kemudian daripada itu maka raja itu menyuruh Aria Magatsari menundukkan batang Tabalung dan batang Balangan dan batang Pitap serta bukitnya. Maka sekalian itu sama tunduk; sama suka hatinya karena bartantu tata perintahnya Aria Magatsari itu. Sekalian menteri-menteri itu sama dibawa Aria Magatsari menghadap maharaja Negara Dipa itu serta persembahannya. Maka kata raja Negara Dipa: "Hai sekalian kamu menteri sakai, engkau kuserahkan pada Aria Magatsari itu memerintah kamu. Maka pada tiap-tiap musim jangan kamu menanti dimudiki, kamu hantarkan sendiri upeti kamu. Jangan kamu lalai, niscaya kamu beroleh perintah kesakitan." Maka sembah segala menteri sakai itu: Hamba junjung sabda tuanku itu atas batu kepala patik."[9]
Hikayat Banjar dan Kotawaringin menyebutkan pula:
Tatkala Aria Magatsari menyerang menundukkan segala orang batang Tabalong dan batang Balangan dan batang Pitap dan serta bukitnya itu membawa orang seribu, dan Tumanggung Tatah Jiwa membawa orang seribu tatkala ia menundukkan orang batang Alai dan Hamandit dan Labuhan Amas serta bukitnya itu. Jumlahnya orang dua ribu itu seorang pun itu tiada mati, daripada bijaksananya Aria Magatsari dan Tumanggung Tatah Jiwa itu. Maka sekalian mereka itu tunduk dan kasih hatinya itu.[9]
Suku Banjar yang mendiami wilayah bekas distrik ini disebut Orang Balangan atau Orang Lampihong atau Puak Balangan. Masyarakat ini mengambil banyu badudus di bekas mata air/sungai pancar di kaki gunung Batu Piring yang dianggap keramat, yaitu tempat mengambil betung batulis sebagai tiang mahligai Putri Junjung Buih.
Suku Dayaknya merupakan bagian dari Suku Dayak Meratus yang disebut Dayak Pitap. Selain itu juga terdapat sub etnis Dayak Maanyan yang disebut suku Dayak Dusun Halong.
Dayak Pitap
Suku Dayak Pitap adalah Masyarakat Adat Dayak yang biasanya dikategorikan sebagai bagian dari suku Dayak Meratus/suku Dayak Bukit yang mendiami kecamatan Tebing Tinggi, Balangan, Kalimantan Selatan.
Daerah dengan populasi signifikan | |
---|---|
Kalimantan Selatan | |
Bahasa | |
Meratus, Banjar, Indonesia | |
Agama | |
Kaharingan | |
Kelompok etnik terkait | |
Suku Dayak Meratus, Dayak Ngaju, Banjar |
Dayak Pitap merupakan sebutan bagi kelompok masyarakat yang terikat secara keturunan dan aturan adat berdasarkan agama Kaharingan, mendiami kawasan disekitar hulu-hulu sungai Pitap dan anak sungai lainnya. Sungai Pitap itu sendiri awalnya bernama sungai Kitab. Menurut keyakinan mereka, ditanah merekalah turunnya kitab yang menjadi jadi rebutan. Oleh datu mereka supaya ajaran kitab tersebut selalu ada maka kitab tersebut ditelan/dimakan atau dalam istilah mereka dipitapkan, sehingga ajaran agama mereka akan selalu ada di hati dan ada di akal pikiran. Kata kitab pun akhirnya berubah menjadi pitap sehingga nama sungai dan masyarakat yang tinggal kawasan tersebut berubah menjadi Pitap.
Sedangkan sebutan Dayak ini mengacu pada kesukuan mereka. Oleh beberapa literatur mereka dimasukkan kedalam rumpun Dayak Bukit, namun pada kenyataanya mereka lebih senang disebut sebagai orang Pitap atau Dayak Pitap, ini juga terjadi pada daerah-daerah lain di Meratus.
Para leluhur masyarakat Dayak Pitap mula-mula tinggal di daerah Tanah Hidup, yaitu daerah perbatasan antara Kabupaten Balangan dengan Kabupaten Kotabaru (dipuncak pegunungan Meratus). Tanah hidup menjadi wilayah tanah keramat yang diyakini sebagai daerah asal mula leluhur mereka hidup.
Secara administratif, orang Dayak Pitap berada di 3 Desa yaitu Dayak Pitap, Langkap dan Mayanau pada Kecamatan Tebing Tinggi, Balangan.
Semula merupakan satu Dayak Pitap memiliki pemerintahan sendiri dengan pusat pemerintahan berada di Langkap. Dengan adanya peraturan sistem pemerintahan desa pada tahun 1979 dibentuk pemerintahan desa Dayak Pitap dengan pusat pemerintahan waktu itu berada di Langkap. Dayak Pitap terbagi terdiri dari 5 kampung besar yaitu
- Langkap
- Iyam
- Ajung
- Panikin
- Kambiyain.
Kemudian tahun 1982 wilayah Dayak Pitap dibagi menjadi 5 desa, berdasarkan peraturan menteri dalam negeri no 2/tahun 1980 tentang pedoman pembentukan, pemecahan, penyatuan dan penghapusan kelurahan dan peraturan menteri dalam negeri no 4 tahun 1981 tentang pembentukan, pemecahan, penyatuan dan penghapusan desa . Selanjutnya berdasarkan Sk camat tahun 1993 kampung Ajung digabung ke Iyam. Tahun 1998 kampung Iyam dan kampung Kambiyain digabungkan jadi satu dengan kampung Ajung dengan pusat pemerintahan di Ajung Hilir.
Secara geografis, wilayah Dayak Pitap berada di bentangan pegunungan Meratus yang terletak antara 115035'55" sampai 115047'43" Bujur timur dan 02025'32" sampai 02035'26" Lintang selatan. Jarak desa ke ibu kota kecamatan 35 Km, Jarak desa ke ibu kota Kab. 48 Km dan jarak desa ke ibu kota provinsi 231 Km.
Sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kecamatan Sungai Durian, Kotabaru, sebelah barat berbatasan dengan Desa Gunung Batu dan Desa Auh, sebelah utara berbatasan dengan Halong, Balangan dan sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Sungai Durian, Kotabaru dan Kecamatan Batang Alai Selatan, Hulu Sungai Tengah.
Pranala luar
- (Indonesia) Konflik Pemanfaatan Lahan & Pengelolaan Sumber Daya Alam Pertambangan Di Komunitas Dayak Pitap Kalsel Diarsipkan 2008-02-25 di Wayback Machine.
- (Indonesia) Budaya Dayak Pitap Diarsipkan 2016-03-05 di Wayback Machine.
- Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z Oleh M. Junus Melalatoa
Bahasa
Bahasa yang digunakan pada Distrik Balangan (atau Paringin) adalah bahasa rumpun Dayak yaitu bahasa Dayak Maanyan, bahasa Dayak Dusun Deyah, bahasa Dayak Pitap dan bahasa Banjar (dialek Paringin).
Indonesia | Banjar Paringin | Banjar standar/Martapura |
dengan | gala/lain | lawan |
jalan-jalan | balalah | bakunjang |
dia | 'ndin | sidin |
aku | aku | aku |
kamu | kawu | ikam |
bangun kesiangan | malayur | malandau |
anda | (an-)dika | piyan |
malam ini | lamini | malam ni |
benar | (ba-)naran | bujur |
belum | (bal-)uman | balum |
selesai | imbah | tuntung |
mampu | hingkat | kawa |
habis | talah | habis |
gayung | cuntang | gayung |
basah kuyup | cumut | jimus |
jalan raya | timbuk | kertak |
anjing | duyu | hadupan |
tuang | lingir | tuang |
toleh | tingau | jinguk |
wajah-mu | muha-mu | muha nyawa |
panggil | hiyau | kiyau |
kapan | wayahapa | pabila |
kejar | kapung | sasah |
kalian | naun | buhan nyawa |
warga | hiri | buhan |
misalnya | pariannya | amun
Referensi
|