Lompat ke isi

Palebohu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Palebohu adalah sebuah sastra atau puisi yang menggunakan bahasa Gorontalo yang sering digunakan pada upacara adat pernikahan saat pengantin bersanding di pelaminan ditujukan untuk kedua mempelai yang akan menjalani kehidupan, tidak hanya untuk pernikahan tetapi palebohu digunakan saat penobatan jabatan seperti gubernur, camat, lurah atau kepala desa. Palebohu diperankan sebagai penasehat dalam pernikahan maupun penobatan jabatan. Palebohu dipercayakan sebagai petunjuk, ajaran atau nasehat untuk menjalani kehidupan manusia. [1]

Saat ini palebohu masih sering digunakan oleh masyarakat, kita bisa menemukan tradisi ini di daerah Kabila, Suwawa, Kota tengah dan Limboto. Palebohu masih menjadi tradisi yang digunakan oleh masyarakat setempat, palebohu ini dibawakan oleh pemangku adat atau pemimpin yang ada di wilayah tersebut, pengharapan dari palebohu untuk Pernikahan adalah terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah begitu juga dengan penobatan pejabat harapan dari palebohu adalah untuk memiliki jiwa pemimpin yang arif dan bijaksana, agar bisa mengemban amanat yang dipercayakan.

Rima yang digunakan dalam syair sastra lisan palebohu adalah a-a-a-a. Unsur yang dimiliki Palebohu adalah nasehat pengajaran, pengamalan, saling menjaga, motivasi, pujian dan peringatan. Palebohu juga memiliki nilai pendidikan yang mengandung nasehat serta ajaran dari segi pernikahan, palebohu sering dimanfaatkan menjadi salah satu petunjuk dalam menjalani kehidupan rumah tangga untuk kedua mempelai, karena begitu banyak ajaran atau nilai-nilai kehidupan yang bisa diungkap dan diulas didalamnya. bahkan sudah diberikan peringatan pada suami maupun istri yang lalai pada hak dan kewajiban dalam menjalani rumah tangga mereka.

Banyak hal yang dapat diambil dari palebohu ini, namun kembali lagi pada diri masing-masing dan pemahaman dalam memahami palebohu ini.

Referensi

  1. ^ Fajri, Muhammad (2017). Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia Tahun 2017. Jakarta: Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya. hlm. 255.