Lompat ke isi

Kekuatan pangan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 31 Januari 2022 07.41 oleh Agung Snd (bicara | kontrib) (Paragraf subjudul Afrika dan Sudan.)
Panen jagung di Iowa, Amerika Serikat

Kekuatan pangan dalam politik internasional adalah penggunaan pertanian sebagai alat kontrol politik di mana satu negara atau kelompok negara menawarkan komoditas kepada, atau menahannya dari negara atau kelompok negara lain untuk kepentingan tertentu. Potensi penggunaannya sebagai senjata diakui setelah penggunaan minyak OPEC sebelumnya pernah digunakan sebagai senjata politik. Pangan memiliki pengaruh besar terhadap tindakan politik suatu bangsa. Mengantisipasi kekuatan pangan sebagai senjata, suatu negara akan berusaha bertindak untuk memenuhi ketersediaan pangan warganya.[1][2]

Kekuatan pangan merupakan bagian integral dari politik pangan. Gagasan penggunaan kekuatan pangan telah digunakan dalam embargo, lapangan kerja, dan politik pangan. Agar suatu negara dapat memanfaatkan kekuatan pangan secara efektif, negara tersebut harus mampu secara efektif menerapkan dan menampilkan kelangkaan, penguasaan pasokan, penyebaran permintaan, dan kemandirian tindakan.[3] Pada tahun 1970-an, empat negara pengekspor komoditas pertanian dalam jumlah yang dianggap cukup sebagai sebuah pengerahan kekuatan pangan adalah Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru.[1] Saat ini empat negara yang mendominasi produk pangan dunia yaitu Amerika Serikat, Brazil, India, dan China.[4] Dalam skala yang lebih kecil, khususnya di beberapa negara Afrika, kekuatan pangan telah digunakan sebagai senjata oleh pihak-pihak yang berseberangan dalam perang saudara dan konflik melawan rakyatnya sendiri.[3][5][6]

Latar belakang sejarah

Pada era 1970-an, empat negara ini memiliki kemampuan mengekspor komoditas pertanian dalam skala yang dianggap cukup sebagai kekuatan pangan hipotetis, yaitu: Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru.[1][2]Ketergantungan negara-negara yang kekurangan pangan kepada negara pengekspor utama itu mungkin akan menyebabkan krisis pangan seandainya pasokan dihentikan. Akan tetapi, sementara para pemimpin politik di negara-negara pengimpor pangan dilanda kekhawatiran atas ketergantungan mereka, negara-negara pengekspor tadi umumnya tidak menahan karena produsen pertanian di negara-negara tersebut menekan pemerintah mereka untuk terus mengekspor.[7]

Kebijakan

Impor pangan dunia pada tahun 2005

Politik pangan adalah aspek politik produksi, pengendalian, pengaturan, pemeriksaan, dan distribusi pangan. Politik itu sendiri dapat dipengaruhi oleh perdebatan etika, budaya, medis dan lingkungan tentang bagaimana bercocok tanam yang tepat, metode pertanian dan pemasaran, juga regulasi-regulasi yang mengaturnya. Kekuatan pangan merupakan bagian integral dari politik pangan.[1][2]

Earl Butz, Sekretaris Departemen Pertanian Amerika Serikat, mengatakan bahwa “Pangan adalah senjata” pada tahun 1974.[8]Politik minyak OPEC menginspirasi Amerika untuk menggunakan pangan sebagai alat dalam menghadapi negara-negara lain demi tercapainya tujuan-tujuan mereka.[8]Beberapa alternatif penggunaan kekuatan pangan bisa terjadi. Seorang importir dapat menolak untuk melanjutkan impor kecuali ada konsesi politik. Efeknya sama dengan kasus eksportir yang menolak untuk mengekspor.[1] Salah satu contoh yaitu pengurangan kuota gula Kuba oleh Amerika.[1][9] Secara sederhana, dalam kondisi permintaan yang terpusat (satu importir menjadi pembeli dominan) sementara pasokannya tersebar (beberapa eksportir bersaing untuk menjual produk yang sama), importir dapat memanfaatkan kesenjangan ini secara politis demi meraih keuntungan. Hal itu akan sangat efektif terutama jika eksportir tidak punya banyak pilihan kecuali mengekspor (kemandirian rendah).[10]

Kekuatan pangan dan ketahanan pangan

Ketahanan pangan dan kekuatan pangan tidaklah sama. Namun, keduanya sering berhubungan langsung satu sama lain. Ketahanan pangan adalah ketika semua orang di suatu wilayah pada senantiasa tercukupi kebutuhan makanannya untuk tetap hidup aktif dan sehat.[11] Kekuatan pangan yaitu pada saat pemerintah, perusahaan, pemimpin, negara, dan semuanya, menggunakan faktor ketahanan pangan ini untuk memperoleh sesuatu sebagai balasan. Banyak negara mengeksploitasi kekuatan pangan untuk mengancam ketahanan pangan negara lain. Kesejahteraan suatu negara berkorelasi langsung dengan kesejahteraan rakyat; oleh karena itu setiap negara menginginkan suplai pangan yang layak bagi warganya. Keinginan tersebut selanjutnya dapat menjadi pengungkit dalam politik pangan yang menunjukkan kekuatan pangan.[11]

Kekuatan pangan dan embargo

Fidel Castro dalam sebuah pertemuan Sidang Umum PBB

Embargo tidak sama dengan kekuatan pangan tetapi kekuatan pangan bisa digunakan dalam embargo. Faktanya, embargo yang tidak memasukkan pangan dalam daftar barang yang terlarang sering kali tidak berhasil.[12]Contohnya, pada 20 Agustus 1914 negara-negara Sekutu mulai mengembargo barang-barang penting yang biasanya dikirim ke Jerman. Namun, embargo itu tidak lengkap dan tidak efektif sampai komoditas pangan ditambahkan ke dalam daftar embargo.[12] Pangan memiliki kekuatan yang nyata. Setelah pasokan pangan dihentikan, blokade mulai mencekik ekonomi Jerman karena kebutuhan pangan mereka bergantung pada impor. Karena Sekutu menggunakan kekuatan pangan dalam embargo mereka, Jerman terpaksa melakukan tindakan putus asa meskipun pada akhirnya tetap saja gagal.[12]

Pada awal 1980-an, Amerika Serikat mengembargo komoditas gandum terhadap Uni Soviet. Hal ini adalah tindakan AS dalam memanfaatkan kekuatan pangan meskipun hal itu tidak terkonfirmasi. Soviet kemudian mengimpor biji-bijian dari pemasok yang berbeda; embargo menyebabkan peningkatan impor biji-bijian selama periode waktu itu tetapi dengan biaya yang lebih tinggi.[7] Upaya embargo pangan yang gagal lainnya yaitu oleh Dewan Keamanan PBB pada tahun 1990 terhadap Irak.[7]

Contoh lain lagi yaitu embargo Amerika Serikat terhadap Kuba. Embargo ini masih berlangsung, dan, karena situasi dan kondisi kesehatan masyarakat Kuba yang menurun, embargo tersebut menuai banyak kecaman.[13]

Penerapan

Kondisi struktural

Kekuatan pangan hanya dapat digunakan secara efektif jika kondisi struktural tertentu berlaku:[1][10]

  1. Kelangkaan: Jika permintaan tinggi dan penawaran terbatas, nilai komoditas tertentu meningkat. Harga seringkali mencerminkan potensi barang sebagai senjata karena menunjukkan nilai penting yang melekat padanya. Contoh: Jika seorang konsumen bersedia membayar mahal dari segi keuangan, dia juga mungkin bersedia membayar mahal dalam konsesi-konsesi politik.
  2. Suplai yang terpusat: Pasokan seharusnya hanya berada di tangan segelintir produsen/penjual, yang memungkinkan persaingan terbatas, penetapan harga, atau potensi monopoli.
  3. Permintaan yang tersebar: Penjual memiliki kemampuan untuk mengendalikan konsumen satu sama lain serta menaikkan harga, atau membuat persyaratan tertentu. Hal ini mendukung penggunaan pangan sebagai senjata ekonomi.
  4. Kemandirian tindakan: Untuk memastikan efektivitas, penjual/produsen harus dapat mengontrol asetnya sendiri. Penjual/produsen juga harus dapat mengendalikan proses produksi (mungkin melalui kontrol pemerintah atas perusahaan produsen), atau dia harus memiliki akses ke sarana di ranah yang berbeda untuk memastikan bahwa dia dapat mempertahankan atau memperluas kendali atas asetnya.

Keempat kondisi di atas harus hadir bersamaan untuk mengubah aset ekonomi pangan menjadi instrumen politik. Ini tidak berarti bahwa aset akan digunakan setiap kali empat kondisi di atas ada. Keputusan seperti itu dipertimbangkan hanya jika ada kondisi lebih lanjut, misalnya, sifat alami konflik yang terjadi dan penilaiannya, tujuan, pilihan-pilihan alternatif, dan penilaian manfaat.[1][10]

Penerapan sebagai senjata ekonomi

Ada beberapa kegunaan dalam  penerapan senjata ekonomi untuk melawan satu negara atau yang  lain. Pertama, penggunaan sebagai  senjata ekonomi akan berkaitan dengan tawar-menawar oleh penjual/pembeli dalam sebuah kontrak bisnis. Hal ini menyangkut   harga, transportasi, jadwal pengiriman dan pembayaran, dll. Meskipun ini adalah contoh penerapan kekuatan pangan yang berhasil, tetapi ini bukan tujuan politik.[1][10] Penerapan kedua menyangkut tujuan ekonomi selain yang berkaitan dengan transaksi barang yaitu kebijakan ekonomi umum pembeli. Kaitannya yaitu dengan neraca pembayaran, masalah umum, seperti inflasi atau perpajakan dan penguasaan tanah. Perbedaannya  dengan yang pertama yaitu, kenyataan bahwa tidak ada hubungan antara kondisi yang ditetapkan dengan  transfer produk.[1][10]

Kondisi tersebut di atas mengacu pada ranah ekonomi kehidupan. Sebuah penerapan dalam ranah politik berkaitan dengan pembeli  luar negeri dan kebijakan pertahanan. Banyak yang percaya adanya ambang batas moral antara ekonomi dan politik sehingga  penggunaan sarana ekonomi untuk keuntungan politik akan dipertanyakan. Contoh penggunaan senjata ekonomi untuk tujuan politik yaitu  pemboikotan  terhadap negara tertentu serta pembelian suara di PBB.[1][10]

Penerapan  keempat berkaitan dengan asumsi dasar kategori ketiga: pemerintah tidak lagi menerima satu sama lain sebagai yang sah. Tujuan ekonomi tidak lagi dilihat sebagai sarana untuk mempengaruhi pemerintah negara lawan, melainkan untuk merangsang oposisi dan mencapai penggulingan atau penyerahan pemerintah.[1][10]

Amerika Serikat

Pada saat Amerika Serikat menjadi negara yang paling dominan di semua bidang seperti militer, energi, ekspor, dll. kekuatan pangan tidak terlalu dihiraukan.[13]Namun, karena beberapa dari kekuatan telah berkurang, wacana kekuatan pangan kemudian mencuat ke permukaan.[13] Dalam bidang pangan pun AS tetap berada di puncak dan tak tertandingi.[13] Amerika Serikat memiliki posisi sebagai produsen dan pengekspor makanan terbesar.[14] Sementara itu negara-negara lain, terutama negara-negara berkembang dan bahkan beberapa negara eksportir minyak terkaya,[13] mulai mengalami kekurangan pangan dan semakin tergantung pada impor dari Amerika Serikat. Kondisi ini memberikan kekuatan yang semakin bertambah besar kepada negara tersebut.[13 ] Amerika Serikat bisa berharap bahwa negara-negara yang pengimpor makanan itu menjadi lebih ramah.[14] Hal ini juga berarti memungkinkan bagi AS untuk memiliki beberapa bentuk pengaruh atas negara-negara itu.[14] Ketika beberapa negara OPEC termiskin menjadi tergantung pada impor gandum yang menjadi komoditinya,[15] Amerika Serikat di sisi lain dapat memanfaatkan pembatasan ekspor untuk tujuan politik.[15] Kekuatan pangan memungkinkan untuk dapat digunakan sebagai sarana untuk menekan negara-negara OPEC.[15] Kekuatan ini akan efektif penggunaannya pada saat kekurangan pangan atau kelaparan melanda karena pada saat tersebut negara-negara yang memiliki ketergantungan pada Amerika Serikat dalam keadaan putus asa.[14]

AS kerap menggunakan kekuatan ekonomi untuk menghukum negara lain.[perlu pembahasan lebih lanjut] Salah satu caranya yaitu dengan menahan ekspor makanan. Alasan pemberian hukuman kepada negara lain berbeda-beda, tetapi secara umum dapat dipecah menjadi dua kelompok utama: bertujuan sebagai penahanan negara asing dan untuk pengembangan pasar/kemanusiaan.[16] Tujuan penahanan negara asing yaitu untuk menghukum negara-negara yang mengancam AS. Contoh ancaman semacam itu adalah negara-negara yang bentuk pemerintahannya berbeda. Contoh yang terkait dengan tujuan penahanan yaitu tidak ada bantuan untuk negara komunis, pemerintah sosialis, negara yang mendukung rezim radikal, rezim dengan demokrasinya terlalu lemah untuk bersikap anti-komunis (secara efektif), dan negara-negara yang tidak menerima perjanjian AS.[16] Contoh tujuan pengembangan pasar dan kemanusiaan yaitu untuk kategori negara yang mencoba bersaing dengan AS secara ekonomi. AS akan mengeksekusi hukuman bantuan asing terhadap negara-negara yang mencoba menasionalisasi properti perusahaan AS, negara yang ingin mengambil alih fungsi perusahaan AS, dan negara yang mencoba memulai kebijakan ekonomi nasionalistik.[16]

AS telah mengubah pendiriannya sejak tahun 1970-an, ketika Departemen Luar Negeri dan CIA mengeluarkan laporan yang mengeksplorasi potensi embargo pangan.[17] Rancangan UU Kongres H. R. 5426, Reformasi Sanksi Perdagangan dan Undang-Undang Peningkatan Ekspor tahun 2000, menghapus sanksi ekspor produk pertanian yang diterapkan atas Libya, Sudan, dan Korea Utara (perdagangan pertanian dengan Kuba dipertahankan dengan beberapa pembatasan) dan memberi Kongres hak veto atas tindakan sepihak presiden dalam hal ini.[18][19]

Afrika

Politik pangan di Afrika berbeda dengan kasus di Amerika Utara dan Eropa, di mana terdapat penggunaan kekuatan pangan dalam skala kecil di Afrika, khususnya di Sudan.[20] Beberapa ahli mengatakan bahwa kelaparan dan kerawanan pangan di Afrika disebabkan oleh produksi pangan yang tidak konsisten dan hubungan yang terus memburuk antara pertumbuhan penduduk dan kelestarian lingkungan.[21] Namun, setelah dicermati lebih dekat, terungkap fakta bahwa alam bukanlah satu-satunya faktor yang menjadi penyebab berbagai masalah kerawanan pangan Afrika.[21]

Sudan

Kelaparan umumnya dibentuk oleh dua teori. Yang pertama adalah Penurunan Ketersediaan Pangan (Food Availability Decline atau FAD).[20] Penyebabnya yaitu kekeringan, perang, atau perubahan drastis lain pada sistem pertanian.[22] Ini adalah penyebab alami kelaparan. Teori lain terutama berkaitan dengan kemampuan penduduk untuk mengakses atau mendapatkan hak-hak atas pemenuhan kebutuhan pangan.[20] Dalam kasus di Sudan, penggunaan kekuatan pangan menjadi lazim dalam skala kecil, karena kekuatan-kekuatan politik yang berlawanan bersaing untuk mendapatkan suara rakyat dengan cara menghasut atau mengkondisikan terjadinya kelaparan.[20]

Sebagai contoh, kelaparan di Sudan tahun 1980-an benar-benar disengaja, dan hanya menjadi pion bagi kepentingan sekumpulan elit yang berbeda untuk meningkatkan status politik dan ekonomi mereka.[23] Namun, partai-partai politik ini bukan satu-satunya kelompok yang diuntungkan. Para pedagang diketahui menimbun biji-bijian dan membeli ternak dengan harga sangat rendah ketika kelaparan telah mengubah syarat-syarat perdagangan.[22] Pedagang Sudan Barat selama kelaparan tahun 1987 diketahui tanpa perikemanusiaan telah menolak menjual gandumnya ke desa-desa yang membutuhkan di Darfur dengan harga yang masuk akal.[20] Kelaparan Sudan adalah contoh lain dari kekuatan pangan di mana makanan dijadikan sebagai alat kebijakan yang sepenuhnya mengabaikan kebutuhan rakyat dan justru memupuk kekuatan-kekuatan politik yang saling bertentangan di negara tersebut.[23]

Kelaparan di Sudan pada tahun 1998 adalah bencana kemanusiaan yang disebabkan terutama oleh pelanggaran Hak Asasi Manusia, kekeringan, dan kegagalan masyarakat internasional untuk bereaksi terhadap potensi risiko kelaparan dengan kecepatan yang memadai. Daerah yang terkena dampak paling buruk adalah Bahr El Ghazal di barat daya Sudan. Di wilayah ini tercatat lebih dari 70.000 orang meninggal selama kelaparan.[25]

Lihat juga

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l Wallensteen, Peter (1976). "Scarce Goods as Political Weapons: The Case of Food". Journal of Peace Research. 13 (4). doi:10.1177/002234337601300402. 
  2. ^ a b c Thompson, Paul B.; MacLean ·, ‎Doug (1992). The Ethics of Aid and Trade: U.S. Food Policy, Foreign Competition, and Social Contract. Cambridge University Press. hlm. 20–40. 
  3. ^ a b Владимирович, ринкевич Владислав (3 April 2014). "Food as a Weapon". HSE University. Diakses tanggal 31 Januari 2022. 
  4. ^ Ross, Sean (29 April 2021). "4 Countries That Produce the Most Food". Investopedia. Diakses tanggal 31 Januari 2022. 
  5. ^ Human Rights Watch (8 Februari 1999). "Famine in Sudan 1998". Human Right Watch. Diakses tanggal 31 Januari 2022. 
  6. ^ Grunwald, Michael (1 Januari 2003). "In Hungry Zimbabwe, Food Used as Political Weapon". Washington Post. Diakses tanggal 31 Januari 2022. 
  7. ^ a b c Paarlberg, Robert L. (2015). Hard Case: What Blocks Improvement agriculture in Africa? Dalam Ronald J. Herring (ed.). The Oxford Handbook of Food, Politics, and Society. Oxford: Oxford University Press. 
  8. ^ a b McDonald, Bryan L. (2017). Food Power: The Rise and Fall of the Postwar American Food System. doi:10.1093/acprof:oso/9780190600686.001.0001. ISBN 9780190600686. 
  9. ^ "Foreign Relations of the United States, 1952–1954, The American Republics, Volume IV". Office of The Historian. Diakses tanggal 31 Januari 2022. 
  10. ^ a b c d e f g Wallensteen, Peter (2021). Peter Wallensteen: A Pioneer in Making Peace Researchable. Springer, Cham. ISBN 978-3-030-62848-2. 
  11. ^ a b Maxwell, Simon (Mei 1996). "Food security: a post-modern perspective". Food Policy. 21 (2): 157–158. doi:10.1016/0306-9192(95)00074-7. 
  12. ^ a b c Doughty, Robert A.; Raugh Jr., Harold E. (1991). "Embargo in Historical Perspective". The US Army War College Quarterly: ParametersThe US Army War College Quarterly: Parameters. 21 (1): 21–30. ISSN 0031-1723. 
  13. ^ Chaguaceda, Armando; Fusco, Coco (7 Agustus 2021). "Cubans Want Much More Than an End to the U.S. Embargo". New York Times. Diakses tanggal 31 Januari 2022.