Tari tanggai
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampil] di bagian kanan.
|
Tari Tanggai adalah pertunjukan tari tradisional asal Palembang, Sumatera Selatan. Biasanya, Formasi gerakan Tari tanggai harus dimainkan dalam angka ganjil, dan tidak boleh lebih dari sembilan orang [butuh rujukan].
Sejarah
Dikutip dari SEJARAH MUNCULNYA TARI TANGGAI, karya Vebri Al Lintani (https://www.atmago.com/berita-warga/sejarah-munculnya-tari-tanggai), bahwa bermula dari Tari Gending Sriwijaya (TGS) yang diciptakan secara kolektif atas instruksi pemerintah Jepang yang berkuasa pada tahun 1942-45. Mula-mula dibuat musik oleh Dahlan Mahibat dan Nungcik AR sebagai penggubah lirik (versi lain sebagai penyempurna). Setelah musik selesai, Tina Haji Gung (isteri Haji Gung, pimpinan Teater Bangsawan Bintang Berlian) dan Sukainah A. Rozak menggarap gerakan tari. TGS secara resmi digelar pertama kali pada 2 Agustus 1945 untuk menyambut dua orang pejabat Jepang, yaitu: M. Syafei selaku Ketua Sumatera Tyuo Sangi In (Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera di Bukit Tinggi), dan Djamaluddin Adinegoro selaku Anggota Dewan Harian Sumatera.
Selanjutnya, di masa Republik Indonesia, TGS menjadi tari sambut pemerintah Sumatera Selatan. Namun tiba-tiba saja, setelah peristiwa politik Gerakan 30 September PKI tahun 1965 hingga bulan Mei 1969, Tari Gending Sriwijaya (TGS) tidak lagi ditampilkan sebagai tari sambut. Penyebabnya adalah nama Nungcik AR, sang pembuat lirik lagu Gending Sriwijaya merupakan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), underbou PKI.
Oleh karena kebutuhan pemerintah daerah akan tari sambut, maka ditampilkanlah “Tari Tepak”, sebagai alternatif. Tari Tepak tari yang menggunakan gerak dari Tari Gending Sriwijaya, dengan musik pengiring yang berjudul “6 Saudara” (versi lain lagi menyebut judul 9 Saudara). Dengan kata lain, Tari Tepak adalah TGS yang menggunakan musik berbeda. Apabila tampilan Tari Tepak tidak menggunakan “tepak” sebagai properti, maka tari sambut ini disebut Tari Tanggai.
Selain itu, pada tahun 1967, seorang seniman tari, Ana Kumari juga menggarap satu tari sambut, atas permintaan Ishak Juarsa, Panglima Kodam Sriwjaya pada waktu itu. Tari sambut ini oleh Ana Kumari diberi judul Tari Tepak Keraton dengan lagu pengiringnya tetap lagu “Enam Saudara”. Dalam gerakan Tari Tepak Keraton memasukkan unsur silat atau pencak Palembang.
Menurut Sulaiman Ma’ruf yang dikutip oleh Vebri Al Lintani dalam Buku Tari Gending Sriwijaya (DKP, 2012), pada bulan Mei 1969, Pemerintah Daerah Tingkat II Sumatera Selatan telah mengambil kebijakan yang baik, lagu Gending Sriwijaya kembali berkumandang untuk mengiringi TGS pada acara Pembukaan Jakarta Fair, 1969, meskipun, hanya instrumentalia, atau tanpa diikuti syairnya. Selanjutnya, Menurut beberapa pandapat tokoh tari di Palembang, di masa H. Asnawi Mangku Alam menjabat Gubernur Sumatera Selatan (1968-1978), Tari Gending Sriwijaya, diinstruksikan sebagai tari sambut bagi tamu-tamu agung yang merupakan orang nomor satu dalam negara, seperti: Presiden, Raja, Perdana Menteri, Sultan, sedangkan tamu agung lainnya disambut dengan Tari Tepak atau Tari Tanggai.
Kebijakan Gubernur Asnawi Mangku Alam ini dimaksudkan untuk menempatkan TGS agar lebih sakral dengan pakem yang mantap. Umpamanya, jumlah penari tidak boleh kurang dari 9 orang, kostum, gerakan yang digunakan juga tidak boleh sembarangan, harus betul-betul menurut pedoman yang telah ditetapkan oleh para pendahulu. Sedangkan Tari Tepak atau Tari Tanggai, penarinya boleh tidak berjumlah 9 orang, asalkan masih dalam hitungan ganjil, misalnya 7,5 atau 3 orang.
Saat ini tari tanggai telah mentradisi di masayarakat, tidak hanya sebagai tari sambut di kegiatan seremonial pemerintahan daerah saja, namun juga pada acara-acara oleh organisasi non pemerintah maupun acara resepsi pernikahan. Seolah-olah tari tanggai merupakan tari sambut yang penting ada sebagai pembuka acara, meskipun bukanlah bagian dari adat yang diadatkan.
Menyoal Polemik Pencipta Tari Tanggai
Dalam waktu sekitar empat tahun terakhir ini tersebar di media massa dan kalangan seniman, bahwa ada yang mengaku sebagai pencipta Tari Tanggai. Hal ini tentu keliru, karena pada paktanya tidak ada orang yang dapat mengklaim sebagai penciptak tari tanggai. . Sebab jika melihat proses terbentuknya, seperti yang diuraikan di atas, Tari Tanggai adalah nama lain dari Tari Tepak yang menggantikan TGS yang absen pada kurun waktu antara 1965 hingga 1969. Gerakan Tari Tepak mengambil gerakan TGS yang kemudian disebut juga dengan tari tanggai yang gerakannya pun tidak berubah. Menurut Lina Muchtar, pelatih dan penari senior tari Gending Sriwijaya, gerakan Tari Tanggai saat ini, 90 persen adalah gerakan Tari Gending Sriwijaya.
Tahun 2006 saya bersama Yuli Sudartati dan Sartono menulis buku Tari Tanggai dengan nara sumber para tokoh tari Palembang yang bertemu dalam diskusi kelompok terpumpun (FGD) di sekretariat Dewan Kesenian Palembang. Para tokoh tari tersebut diantaranya adalah R.A. Tuti Zahara Akib (Penari Gending Sriwijaya tahun 1945), Ana Kumari, Ailuni Husni, Elly Rudi, Lina Muchtar, H. Soleh Umar, M. Ali Ujang, Sartono (akademisi), Yuli Sudartati (akademisi) dan Tugiyo (Akademisi). Selanjutnya, tahun 2012 saya menulis buku Tari Gending Sriwijaya yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Palembang dan Tari Tepak Keraton (Balitbangnovda Prov SUmsel, 2016). Ketika menulis buku Tari Gending Sriwijaya, dua nara sumber saya adalah Elly Rudi dan Lina Muchtar. Dari tiga buku yang terkait tersebut, tidak satu pun saya menyatakan bahwa Elly Rudi adalah pencipta Tari Tanggai, karena tidak ada yang mengatakan seperti itu baik dari para tokoh tari maupun dari Elly Rudi sendiri.
Banyak yang mengatakan bahwa Tari Tanggai adalah tari seribu versi. Namun dari beberapa diskusi dengan para penari, kami meyimpulkan, sebenarnya ada dua versi Tari Tanggai yang berkembang di masyarakat saat ini, yaitu versi yang diteruskan oleh Lina Muchtar dan versi kreasi Eli Rudi. Pada versi Lina Muchtar adalah Tari Tanggai yang ragam geraknya sangat mirip dengan TGS, sedangkan pada versi Elly Rudi terdapat beberapa perbedaan kreasi gerak dengan TGS. Versi bukan berarti pencipta.
Pada tanggal 17 Desember 2017, saya wawancara langsung dengan Elly Rudi di rumahnya. Menurut Elly, setelah TGS dilarang tampil, dia menggagas dan membuat tari sambut alternatif yang kemudian dinamakan “Tari Tanggai” pada tahun 1965. Tari Tanggai yang dibuat Elly Rudi menggunakan irama musik pengiring yang berjudul “Enam Saudara”, lagu rakyat yang tidak diketahui siapa pengarangnya. Sebelumnya tari ini digunakan untuk mengiringi Tari Kipas. Gerakan tari bersumber dari gerakan TGS namun kemudian diolah dan dikreasikan.
Menurut Elly, karya ini diinspirasi juga oleh peristiwa adat “rasan tuo” yang terjadi di beberapa daerah dalam wilayah Sumbagsel (Batanghari Sembilan). Penari utama (primadona) yang berada di depan merupakan seorang gadis yang matang dan terbuka untuk dipinang. Tarian ini kemudian ditampilkan sebagai pengiring pengantin pada acara resepsi pernikahan atau hajatan keluarga (bukan tari sambut pemerintahan).
Pada tahun 1967 Elly Rudi menikah dan pindah dan beraktivitas di Jakarta. Elly Rudi kembali ke Palembang tahun 1979 dan bergabung dengan kegiatan seni di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Propinsi Sumatera Selatan. Lalu, Elly Rudi kemudian sedikit mengkreasikan gerakan dalam Tari Tanggai yang kemudian menjadi kontroversial. Gerakan yang dikembangkan ini dianggap menyalahi etika tari di Palembang, misal pada gerakan pinggul yang terkesan genit dan tangan yang terlalu diangkat.
Simpulan
Tari Tanggai yang awalnya disebut dengan Tari Tepak muncul ketika ada insiden politik G30S PKI antara tahun 1965-1969. Gerakan tari tanggai didominasi (oleh sekitar 90 persen) gerakan tari Gending Sriwijaya. Dengan demikian, gerakan tari tanggai diciptakan oleh pencipta tari Gending Sriwijaya, yaitu Sukaenah Rozak dan Tina Haji Gung. Elly Rudi tidak dapat mengklaim sebagai pencipta Tari Tanggai. Beberapa bentuk gerakan yang sedikit berbeda dapat disebut sebagai versi.
Biasanya, Penari Tari tanggai menggunakan pakaian khas daerah seperti kain songket, dodot, pending, kalung, sanggul malang, kembang urat atau ramai, tajuk cempako, kembang goyang dan tanggai yang berbentuk kuku yang terbuat dari lempengan tembaga dan karena tanggai yang dipakai penari, maka tari ini dinamakan Tari Tanggai.[1][2]
Tari Tanggai ini masih digelar hingga sekarang, selain dalam acara pernikahan masyarakat Palembang, tari ini juga ditarikan untuk menyambut tamu yang dihormati, pemerintahan, organisasi dan pergelaran seni di sekolah-sekolah.[2] Sanggar-sanggar seni di kota Palembang banyak yang menyediakan jasa pergelaran tarian tanggai ini, lengkap dengan kemewahan pakaian adat Sumatera Selatan.[2]
Ibu Elly Rudy Pencipta Tari Tanggai
Di Sumatera Selatan ini, memang sejak jaman kolonial sudah dikenal banyak tarian yg membawa tepak, memakai tanggai, yg berfungsi sebagai Tari Sambut, tetapi judul, gerak dan irama disesuaikan dengan masing2 daerah. Ibu Ana Kumari menciptakan Tari Tepak Kraton, memakai tanggai dan membawa tepak, Ibu Maimunah Hasbullah Bandar Nata memberi judul Tari Tepak, juga membawa tepak dan memakai tanggai, gerakannya diambil dari Tari Gending Sriwijaya. Sedangkan Ibu Elly Rudy, menciptakan tari yg berjudul Tari Tanggai, juga membawa tepak dan memakai tanggai, dan Tari Tanggai ini juga sebagai Tari Sambut atas inisiatif almarhum Raden Husin Natodirajo dan Mgs Nungcik Asaari tahun 1965 di Jakarta krn tari Gending Sriwijaya tidak ditampilkan karena alasan politik. Diperkuat oleh budayawan Palembang almarhum R. Johan Hanafiah. Diangkat dari adat rasan tuo. Dan Tari Tanggai versi Elly Rudy bahkan sdh dibukukan oleh almarhum Sartono M.Sn,Yuli Sudartati M.Sn, dan Vebri Al Lintani dalam buku Selayang Pandang. Jadi yang memang meneliti adalah Saudara Sartono M.Sn dan Yuli Sudartati M.Sn dan Tari Tanggai versi Elly Rudy setelah selesai diteliti diangkat menjadi bahan ajar di Universitas PGRI FKIP jurusan sendratasik. Dan dalam buku Tari Tanggai Selayang Pandang, hal 49, saudara Vebri menulis sendiri beliau tidak menggeluti seni tari dan hanya sebagai fasilitator Diskusi dan Lokakarya Tari Tanggai yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Palembang.
Jadi sebenarnya tidak ada polemik yang berkembang di masyarakat karena Elly Rudy memang benar menciptakan Tari yang berjudul Tari Tanggai yang menurut Sartono M.Sn. versi Elly Rudy, maka permasalahan tentang siapa pencipta tari Tanggai, Tari yang memakai tanggai banyak di Sumatera Selatan. Jadi kalo memang ada yang beranggapan polemik, maka Tari Tanggai mana yang sebenarnya dimaksud? Tapi tari yang berjudul Tari Tanggai Versi Elly Rudy memang benar ciptaan Elly Rudy karena telah dilakukan penelitian secara akademisi oleh Sartono, M.Sn. pada tahun 2000. Dalam bukunya yang berjudul Tari Tanggai Versi Elly Rudy sebagai Tari Penyambutan Tamu Kehormatan, yang diterbitkan tahun 2000, Sartono telah melakukan penelitian berupa analisis, koreografi dan fungsi Tari yang berjudul Tari Tanggai Versi Elly Rudy.
Selama 57 tahun menciptakan Tari yang berjudul Tari Tanggai, tidak pernah ada polemik yang berkembang dalam masyarakat dan bisa diterima oleh masyarakat bahkan menjadi bahan ajar di SMKIK tahun 1984, dan menjadi bahan ajar di Universitas PGRi Prodi Seni Pertunjukan kurikulum Tari Daerah Setempat (TDS) sejak tahun 2006 sampai hari ini.
Sebenarnya dari dulu sampai sekarang tidak polemik yang berkembang dimasyarakat tentang siapa pencipta tari Tari Tanggai, Karena tari yang berjudul Tari Tanggai Versi Elly Rudy telah dilakukan penelitian secara akademisi oleh Sartono, M.Sn. pada tahun 2000. Dalam bukunya yang berjudul Tari Tanggai Versi Elly Rudy sebagai Tari Penyambutan Tamu di Kotamadya Palembang Sumsel, yang diterbitkan tahun 2000, Sartono telah melakukan penelitian berupa analisis, koreografi dan fungsi Tari yang berjudul Tari Tanggai Versi Elly Rudy. Dan pada bulan Januari tahun 2007 diadakan wawancara untuk penerbitan buku Tari Tanggai: Selayang Pandang yang digagas oleh Dewan Kesenian Palembang yang pada waktu itu Ketua DKP adalah R. Syahril Erwin, S.E. Nara sumber yang hadir adalah, Ana Kumari, Ailuny Husni, Elly Rudy, Tuti Zahara Akib. Wawancara dilakukan di Palembang bulan Januari 2007 oleh Sartono, M Sn, Sudarto Marelo, Kemas Ari, Sobri Ichwan, dan Muksin (fotografer). Sumber foto koleksi ibu Yuli Sudartati dan Pak Sartono. Model penari (ilustrasi) Tari yang berjudul Tari Tanggai adalah Ibu Elly Rudy, bisa dilihat jelas pada halaman 21 – 30. Menengok ke belakang, bahwa pada tahun 1985 Tari yang berjudul Tari Tanggai Versi Elly Rudy sudah menjadi mata pelajaran di Sekolah Menengah Industri dan Kerajinan (SMKIK) di JI. Demang Lebar Daun Palembang. Kemudian pada tahun 2007 masuk kurikulum bahan ajar Tari Daerah Setempat (TDS) di FKIP Prodi Seni Drama Tari dan Musik (Sendratasik) yang sekarang bernama FKIP Prodi Seni Pertunjukan, Universitas PGRI Palembang, dan masih menjadi bahan ajar TDS sampai sekarang. Dan bahwa Elly Rudy adalah pencipta gerak dan Tari Tanggai juga tidak terbantahkan. Karena pada tahun 2014, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (DISBUDPAR) Kota Palembang merilis DVD Dokumentasi Tari yang di dalamnya berisi video 4 tarian termasuk Tari Tanggai ciptaan Elly Rudy. DVD tersebut merupakan produksi Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kota Palembang dengan Pembina, Drs. M. Yanurpan Yany, MM, Pengarah : A. Zajulli, M.Si, Ketua Lisa Surya Andika, MM, Koordinator : Iman Setiawan, S. Kom, Studio Music BALIGA, Video Shooting, Graphic Designer MANSETHA Video Editing MANG UJUK, Music Aransemen A. SAKUR Koreografer MIRZA INDAH D, EKO S. KARTINI L, SUHADA. Dalam video dokumentasi tari milik DISBUDPAR kota Palembang tersebut, Tari Tanggai Elly Rudi berada di posisi nomor 1. Dan tertulis bahwa pencipta gerak dan Tari Tanggai adalah Elly Rudy.
Menyikapi tentang pernyataan Elly Rudi adalah plagiat tari atau pencuri karya orang lain karena menurut yang menulis artikel itu ragam gerak dan komposisi yang sekitar 90 persen dengan Tari gending Sriwiijaya. Ini sungguh merupakan hal yang tidak lucu, tidak masuk akal. dan sangat mengada-ada. Menurut Lina Muchtar, pelatih dan penari senior tari Gending Sriwijaya, gerakan Tari Tanggai saat ini, 90 persen adalah gerakan Tari Gending Sriwijaya. Sedang penulis artikel “SEJARAH MUNCULNYA TARI TANGGAI” ini dengan jelas menyatakan kalau tari Tepak yang membawa Tepak disebut tari Tepak, sedangkan kalau tari Tepak ditarikan tanpa membawa Tepak menurut penulis artikel dan Lina Muchtar menyebutnya sebagai Tari Tanggai. Bagaimana mungkin satu tarian bisa berganti nama sedemikian hanya karena menggunakan tepak atau tidak? Jadi bisa ditarik kesimpulan, bahwa Tari Tanggai yang penciptanya menjadi polemik menurut penulis artikel “SEJARAH MUNCULNYA TARI TANGGAI” ini, sebenarnya adalah Tari Tepak yang tidak memakai Tepak alias Tari Tanggai menurut Lina Muchtar. Hal ini selaras dengan pernyataan Lina yang Muchtar bahwa gerakan Tari Tepak yang tidak memakaiTepak yang menurut Lina Muchtar adalah Tari Tanggai gerakannya 90 persen adalah gerakan Tari Gending Sriwijaya. Ini pun sesuai dengan pernyataan penulis artikel “SEJARAH MUNCULNYA TARI TANGGAI” bahwa gerakan tari tanggai (Tari Tepak yang Tidak memakai Tepak) didominasi oleh sekitar 90 persen gerakan tari Gending Sriwijaya. Dengan demikian kesimpulannya adalah: Tari Tepak yang tidak memakai Tepak yang menurut Lina Muchtar adalah Tari Tanggai, sebenarnya adalah Tari Tepak ciptaan Ibu Maimunah Hasbullah Bandarnata guru tari Lina Muchtar sendiri yang mana gerakannya menurut Lina Muchtar 90 % mengadopsi Tari Gending Sriwijaya ciptaan ibu Sukaenah Rozak. (Hal ini sudah sesuai dengan pernyataan Lina Muchtar dan Penulis artikel ini sendiri). Ibu Maimunnah Hasbullah Bandarnata merubah musik iringan tari Lagu Gending Sriwijaya ke Lagu Enam Saudara untuk mengiringi Tari Tepak. Jadi Lina Muchtar sendiri adalah murid dari ibu Maimunah Hasbullah Bandarnata yang menciptakan Tari Tepak, jadi bagaimana mungkin Lina Muchtar bisa mengatakan tari Tanggai yang 90 ℅ mengadopsi Tari Gending Sriwijaya adalah sama dengan Tari yang berjudul Tari Tanggai versi Elly Rudi? Dan menurut penulis artikel ini Elly adalah plagiat? Kalaulah Lina Muchtar sendiri yang mengatakan bahwa Tari Tanggai sekarang 90 ℅ mengambil gerakan TGS, sudah jelas Tari Tepak yang tidak membawa Tepak itulah yang dimaksud. Gerakan Tari Tanggai versi Elly Rudy yang diciptakan oleh Elly Rudy berbeda dengan gerakan Tari Tepak yang tidak membawa Tepak.
Jadi setelah uraian di atas, sudah ketahuan siapa yang sebenarnya membuat polemik? Siapa yang sebenarnya menjadi plagiat tari, pencuri karya orang lain, dan siapa yang sebenarnya membuat kebohongan publik?
Mengutip pernyataan dari beberapa artikel yang belakangan ini beredar di beberapa media daring :
“Mengatakan Elly Rudi sebagai pencipta tentu satu kebohongan. Bagaimana mungkin ragam gerak dan komposisi yang sekitar 90 persen dengan Tari gending Sriwiijaya dapat dikatakan pencipta. Jika masih juga dikatakan sebagai pencipta maka patut diduga, Elly Rudi adalah plagiat tari atau pencuri karya orang lain….”
Pernyataan di atas ini jelas adalah merupakan pembodohan publik. Siapa yang dibodohi? Ya, generasi muda kita, anak-anak kita, cucu-cucu kita, generasi penerus pelestari budaya tari tradisional kita. Mereka yang tidak mengalami masa-masa proses penciptaan tari-tari itu tentu akan dibingungkan dengan artikel-artikel yang muncul baru-baru ini. Mereka hanya bisa diam, mendengar dan berasumsi. Dari kutipan di atas jelas kalau yang dimaksud ragam gerak dan komposisi yang sekitar 90 persen Tari Gending Sriwijaya adalah Tari Tepak (yang menurut Lina Muchtar kalau tidak membawa Tepak dengan mudah bisa berganti nama menjadi Tari Tanggai) ciptaan ibu Mainunnah Hasbullah Bandarnata, guru tari Lina Muchtar sendiri. Tapi kenapa justru Elly Rudi pencipta Tari yang berjudul Tari Tanggai yang disalahkan? Bahkan Elly Rudi dianggap sebagai pembohongan publik, pencuri karya orang dan bahkan dianggap plagiat? Hal seperti ini justru adalah pembodohan publik, terutama pembodohan generasi muda pelestari tari tradisional Palembang.
Makna
Tari tanggai menggambarkan keramahan, dan rasa hormat masyarakat Palembang atas kehadiran sang tamu, dan dalam tari ini tersirat sebuah makna ucapan selamat datang dari orang yang mempunyai acara kepada para tamu.[3][4][5]
Musik
Musik pengiring di dalam tari tanggai merupakan sebuah musik yang menggabungkan sebuah instrumental yang digarap oleh komponis dan sekaligus diiringi oleh beberapa gendang dan satu buah gong yang berperan sebagai ritme.[6]
Iringan instrumental di dalam tari tanggai sendiri menggambarkan nuansa melayu, dan tidak meninggalkan warna atau rasa dari musik daerah Palembang.[6] Adapun alat musik yang dipergunakan untuk mengiringi tari tanggai adalah:
Judul dari lagu pengiring tari tanggai adalah “Enam Bersaudara”.[6] Pada saat ini, di dalam penyajian musik tari tanggai, seseorang yang akan mengadakan acara melihat situasi dan kondisi tempat dari pemilik acara, sehingga nantinya lagu “Enam Bersaudara" bisa diiringi oleh organ tunggal, band, atau juga dapat menggunakan alat musik tradisional khas daerah.[6]
Gerakan
Ragam Gerak
Tari Tanggai mempunyai wujud atau bentuk yang tersusun dari rangkaian-rangkaian gerak atau motif gerak yang telah di kembangkan dan di kreasikan menjadi satu kesatuan yang utuh.[6] Sehingga membentuk sebuah struktur tari.[6]
Adapun struktur gerakan tari adalah sebagai berikut:
- Gerakan tari awal
- Gerak masuk posisi sembah
- Gerak Borobudur hormat
- Gerak Sembah berdiri
- Jalan keset
- Kecubung berdiri bawa kanan
- Kecubung bawah kiri
- Kecubung berdiri atas kanan
- Kecubung atas kiri
- Ukur benang.[6]
- Gerak tari pokok
- Tutur sabda
- Sembah duduk
- Tabur bunga duduk kanan dan kiri
- Memohon duduk kanan
- Kecubung duduk kanan dan kiri
- Stupa kanan dan kiri
- Tutur sabda
- Borobudur
- Ulur benang.[6]
- Gerakan tari akhir
- Tolak bala berdiri kanan dan kiri
- Nyumping berdiri kanan dan kiri
- Mendengar berdiri kanan dan kiri
- Tumpang tali/ulur benang berdiri kanan dan kiri
- Sembah berdiri
- Borobudur berdiri
- Borobudur hormat.[6]
Tujuan
Hiburan
Tari tanggai selalu ditampilkan setiap acara adat, baik secara resmi maupun tidak resmi.[6] Dalam hal ini bagi para penari, Tari tanggai mempunyai kenikmatan tersendiri bagi mereka sendiri dan secara tidak langsung dapat menghibur diri para tamu yang datang.[6]
Simbol kehormatan
Salah satu penari harus ada yang menjadi primadona dan akan membawa tepak yang berisikan sekapur sirih yang merupakan simbol kehormatan.[6] Sedangkan tamu kehormatan diberikan sekapur sirih sebagai simbol bahwa masyarakat Palembang siap menerima tamu tersebut.[6] Penari tersebut membawa kapur sirih jadi dan sirih tak jadi.[6] Sirih jadi adalah sirih yang sudah diramu, sedangkan sirih tak jadi adalah yang akan diramu oleh tamu itu sendiri.[6]
Pendidikan
Selain memiliki unsur hiburan, Tari tanggai juga memiliki unsur pendidikannya, khususnya dalam bidang seni tari.[6]
Referensi
https://perpus-bpnbsumbar.kemdikbud.go.id/index.php?p=show_detail&id=2750
https://www.youtube.com/watch?v=FHGpUY04lfE
https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=1142549
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamat
- ^ a b c Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamao
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamal
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaz
- ^ (Inggris) Aripratna. "Tari Tanggai" (pdf). Diakses tanggal 28 April 2014.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q (Indonesia) "Tari Tanggai Sumatra Selatan". Diakses tanggal 26 April 2014.