Lompat ke isi

HIV

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 2 Agustus 2024 18.16 oleh Baedowi Odoy (bicara | kontrib) (Lihat pula)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
HIV
Lentivirus Edit nilai pada Wikidata

Edit nilai pada Wikidata
Taksonomi
KerajaanPararnavirae
FilumArtverviricota
KelasRevtraviricetes
OrdoOrtervirales
FamiliRetroviridae
GenusLentivirus Edit nilai pada Wikidata
Spesies
  • Human immunodeficiency virus 1
  • Human immunodeficiency virus 2

Virus imunodefisiensi manusia[1] atau virus lemah kebal manusia (bahasa Inggris: human immunodeficiency virus; sering disingkat HIV) adalah virus mematikan dari dua spesies lentivirus penyebab AIDS.[2] Virus ini menyerang manusia dan menyerang sistem kekebalan tubuh, sehingga tubuh menjadi lemah dalam melawan infeksi. Jika virus ini terus menyerang tubuh, sistem pertahanan tubuh kita akan semakin lemah. Tanpa pengobatan, seorang dengan HIV bisa bertahan hidup selama 9-11 tahun setelah terinfeksi, tergantung tipenya. Dengan kata lain, kehadiran virus ini dalam tubuh akan menyebabkan penurunan sistem imun.[2] Penyaluran virus HIV bisa melalui penyaluran Semen (reproduksi), Darah, cairan vagina, dan ASI. HIV bekerja dengan membunuh sel-sel penting yang dibutuhkan oleh manusia, salah satunya adalah Sel T pembantu, Makrofaga, Sel dendritik.

Pada tahun 2014, the Joint United Nation Program on HIV/AIDS (UNAIDS) memberikan rapor merah kepada Indonesia sehubungan penanggulangan HIV/AIDS. Pasien baru meningkat 47 persen sejak 2005. Kematian akibat AIDS di Indonesia masih tinggi, karena hanya 8 persen Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) yang mendapatkan pengobatan obat antiretroviral (ARV).[3] Indonesia adalah negara ketiga di dunia yang memiliki penderita HIV terbanyak yaitu sebanyak 640.000 orang, setelah China dan India, karena ketiga negara ini memiliki jumlah penduduk yang banyak. Hanya saja prevalensi di Indonesia hanya 0,43 persen atau masih di bawah tingkat epidemi sebesar satu persen.[4]


Sejarah

Pada tahun 1983, Jean Claude Chermann dan Françoise Barré-Sinoussi dari Prancis berhasil mengisolasi HIV untuk pertama kalinya dari seorang penderita sindrom limfadenopati.[5] Pada awalnya, virus itu disebut ALV (lymphadenopathy-associated virus)[6] Bersama dengan Luc Montagnier, mereka membuktikan bahwa virus tersebut merupakan penyebab AIDS.[6] Pada awal tahun 1984, Robert Gallo dari Amerika Serikat juga meneliti tentang virus penyebab AIDS yang disebut HTLV-III.[5][7] Setelah diteliti lebih lanjut, terbukti bahwa ALV dan HTLV-III merupakan virus yang sama dan pada tahun 1986, istilah yang digunakan untuk menyebut virus tersebut adalah HIV, atau lebih spesifik lagi disebut HIV-1.[8]

Tidak lama setelah HIV-1 ditemukan, suatu subtipe baru ditemukan di Portugal dari pasien yang berasal dari Afrika Barat dan kemudian disebut HIV-2.[5] Melalui kloning dan analisis sekuens (susunan genetik), HIV-2 memiliki perbedaan sebesar 55% dari HIV-1 dan secara antigenik berbeda.[5] Perbedaan terbesar lainnya antara kedua strain (galur) virus tersebut terletak pada glikoprotein selubung.[5] Penelitian lanjutan memperkirakan bahwa HIV-2 berasal dari SIV (retrovirus yang menginfeksi primata) karena adanya kemiripan sekuens dan reaksi silang antara antibodi terhadap kedua jenis virus tersebut.[5]

Klasifikasi

Pohon kekerabatan (filogenetik) yang menunjukkan kedekatan SIV dan HIV.

Kedua spesies HIV yang menginfeksi manusia (HIV-1 dan -2) pada mulanya berasal dari Afrika barat dan tengah, berpindah dari primata ke manusia dalam sebuah proses yang dikenal sebagai zoonosis.[9] HIV-1 merupakan hasil evolusi dari simian immunodeficiency virus (SIVcpz) yang ditemukan dalam subspesies simpanse, Pan troglodyte troglodyte. Sedangkan, HIV-2 merupakan spesies virus hasil evolusi strain SIV yang berbeda (SIVsmm), ditemukan pada Sooty mangabey, monyet dunia lama Guinea-Bissau.[9] Sebagian besar infeksi HIV di dunia disebabkan oleh HIV-1 karena spesies virus ini lebih virulen dan lebih mudah menular dibandingkan HIV-2.[9] Sedangkan, HIV-2 kebanyakan masih terkurung di Afrika barat.[9]

Berdasarkan susunan genetiknya, HIV-1 dibagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu M, N, dan O.[10] Kelompok HIV-1 M terdiri dari 16 subtipe yang berbeda.[10] Sementara pada kelompok N dan O belum diketahui secara jelas jumlah subtipe virus yang tergabung di dalamnya.[10] Namun, kedua kelompok tersebut memiliki kekerabatan dengan SIV dari simpanse.[10] HIV-2 memiliki 8 jenis subtipe yang diduga berasal dari Sooty mangabey yang berbeda-beda.[10]

Apabila beberapa virus HIV dengan subtipe yang berbeda menginfeksi satu individu yang sama, maka akan terjadi bentuk rekombinan sirkulasi (circulating recombinant forms-CRF)[11] (bahasa Inggris: circulating recombinant form, CRF). Bagian dari genom beberapa subtipe HIV yang berbeda akan bergabung dan membentuk satu genom utuh yang baru.[12] Bentuk rekombinan yang pertama kali ditemukan adalah rekombinan AG dari Afrika tengah dan barat, kemudian rekombinan AGI dari Yunani dan Siprus, kemudian rekombinan AB dari Rusia dan AE dari Asia tenggara.[12] Dari seluruh infeksi HIV yang terjadi di dunia, sebanyak 47% kasus disebabkan oleh subtipe C, 27% berupa CRF02_AG, 12,3% berupa subtipe B, 5.3% adalah subtipe D dan 3.2% merupakan CRF AE, sedangkan sisanya berasal dari subtipe dan CRF lain.[12]

Struktur dan materi genetik

HIV memiliki diameter 100-150 nm dan berbentuk sferis (spherical) hingga oval karena bentuk selubung yang menyelimuti partikel virus (virion).[13] Selubung virus berasal dari membran sel inang yang sebagian besar tersusun dari lipida.[13] Di dalam selubung terdapat bagian yang disebut protein matriks.[13]

Bagian internal dari HIV terdiri dari dua komponen utama, yaitu genom dan kapsid.[14] Genom adalah materi genetik pada bagian inti virus yang berupa dua kopi utas tunggal RNA.[14] Sedangkan, kapsid adalah protein yang membungkus dan melindungi genom.[14]

Berbeda dengan sebagian besar retrovirus yang hanya memiliki tiga gen (gag, pol, dan env), HIV memiliki enam gen tambahan (vif, vpu, vpr, tat, ref, dan nef).[15] Gen-gen tersebut disandikan oleh RNA virus yang berukuran 9 kb.[13] Kesembilan gen tersebut dikelompokkan menjadi tiga kategori berdasarkan fungsinya, yaitu gen penyandi protein struktural (Gag, Pol, Env), protein regulator (Tat, Rev), dan gen aksesoris (Vpu hanya pada HIV-1, Vpx hanya pada HIV-2; Vpr, Vif, Nef).[14]

Nama Gen dan Protein yang disandikan Ukuran Lokalisasi Fungsi
Tat (trans-aktivator transkripsi) 86 asam amino (AA), 2 ekson, 14 kDalton nukleus, nukleolus, protein awal Penting untuk replikasi; Trans-aktivasi ekspresi mRNA virus, mengatur ekspresi sitokin dan reseptor.[16]
Rev (regulator ekspresi protein virus) 116 AA, 2 ekson, 19 kDalton nukleus, di antara sitoplasma dan nukleolus Penting untuk replikasi; mengatur transkripsi dan ekspresi protein Gag, Pol, Env, Vif, Vpu, dan Vpr.[16]
Vif (faktor infektivitas virus) 192 AA, 23 kDalton sitoplasma, beberapa molekul yang terbungkus dalam virion dewasa Penting untuk infektivitas dan replikasi pada sel primer; berperan dalam tahap awal replikasi HIV[16]
Vpr (Protein R virus) 96-106 AA, 10-15 kDalton komponen dari inti virus dan kompleks membran Mediasi replikasi di sel yang tidak membelah[16]
Vpx (Protein X virus) 112 AA, 12-16 kDalton komponen virion Berfungsi seperti Vpr[16]
Vpu (Protein U virus) 81 AA (terfosforilasi), 9,2 & 16 kDalton retikulum endoplasma, protein transmembran Degradasi CD4; meningkatkan pelepasan HIV; pembentukan membran protein integral; regulasi ekpresi permukaan sel terhadap MHC I[16]
Nef (Faktor Negatif) 206 AA, 27 kDalton virion, sitoplasma, nukleus Meningkatkan produksi HIV di tahap akhir; mengatur ekspresi MHC I dan CD4[16]

Siklus

Struktur HIV.

Seperti virus lain pada umumnya, HIV hanya dapat bereplikasi dengan memanfaatkan sel inang. Siklus HIV diawali dengan penempelan partikel virus (virion) dengan reseptor pada permukaan sel inang, di antaranya adalah CD4, CXCR5, dan CXCR5. Sel-sel yang menjadi target HIV adalah sel dendritik, sel T, dan makrofaga.[14] Sel-sel tersebut terdapat pada permukaan lapisan kulit dalam (mukosa) penis, vagina, dan oral yang biasanya menjadi tempat awal infeksi HIV.[14] Selain itu, HIV juga dapat langsung masuk ke aliran darah dan masuk serta bereplikasi di noda limpa.[14]

Setelah menempel, selubung virus akan melebur (fusi) dengan membran sel sehingga isi partikel virus akan terlepas di dalam sel.[17] Selanjutnya, enzim transkriptase balik yang dimiliki HIV akan mengubah genom virus yang berupa RNA menjadi DNA.[17] Kemudian, DNA virus akan dibawa ke inti sel manusia sehingga dapat menyisip atau terintegrasi dengan DNA manusia.[17] DNA virus yang menyisip di DNA manusia disebut sebagai provirus dan dapat bertahan cukup lama di dalam sel.[17] Saat sel teraktivasi, enzim-enzim tertentu yang dimiliki sel inang akan memproses provirus sama dengan DNA manusia, yaitu diubah menjadi mRNA.[17] Kemudian, mRNA akan dibawa keluar dari inti sel dan menjadi cetakan untuk membuat protein dan enzim HIV.[17] Sebagian RNA dari provirus yang merupakan genom RNA virus.[17] Bagian genom RNA tersebut akan dirakit dengan protein dan enzim hingga menjadi virus utuh.[17] Pada tahap perakitan ini, enzim HIV protease virus berperan penting untuk memotong protein panjang menjadi bagian pendek yang menyusun inti virus.[17] Apabila HIV utuh telah matang, maka virus tersebut dapat keluar dari sel inang dan menginfeksi sel berikutnya.[18] Proses pengeluaran virus tersebut melalui pertunasan (budding), di mana virus akan mendapatkan selubung dari membran permukaan sel inang.[18]

Deteksi HIV

Seorang wanita sedang menggunakan alat tes HIV.

Pada saat paling awalpun deteksi HIV dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah, walaupun tidak ada gejala apapun. Pada tahap kedua telah ada gejala klinis, misalnya kulitnya jelek, gatal-gatal dan batuk pilek seperti flu biasa. Pada tahap ketiga akan mengalami penurunan berat badan dan terkena TBC. Dan pada tahap keempat telah mengalami komplikasi, sulit disembuhkan dan biasanya diikuti dengan kematian.[19]

Umumnya, ada tiga tipe deteksi HIV, yaitu tes PCR, tes antibodi HIV, dan tes antigen HIV.[20] Tes reaksi berantai polimerase (PCR) merupakan teknik deteksi berbasis asam nukleat (DNA dan RNA) yang dapat mendeteksi keberadaan materi genetik HIV di dalam tubuh manusia.[21] Tes ini sering pula dikenal sebagai tes beban virus atau tes amplifikasi asam nukleat (HIV NAAT).[20] PCR DNA biasa merupakan metode kualitatif yang hanya bisa mendeteksi ada atau tidaknya DNA virus.[22] Sedangkan, untuk deteksi RNA virus dapat dilakukan dengan metode real-time PCR yang merupakan metode kuantitatif.[22] Deteksi asam nukleat ini dapat mendeteksi keberadaan HIV pada 11-16 hari sejak awal infeksi terjadi.[10] Tes ini biasanya digunakan untuk mendeteksi HIV pada bayi yang baru lahir, namun jarang digunakan pada individu dewasa karena biaya tes PCR yang mahal dan tingkat kesulitan mengelola dan menafsirkan hasil tes ini lebih tinggi bila dibandingkan tes lainnya.[20]

Untuk mendeteksi HIV pada orang dewasa, lebih sering digunakan tes antibodi HIV yang murah dan akurat.[20] Seseorang yang terinfeksi HIV akan menghasilkan antibodi untuk melawan infeksi tersebut.[20] Tes antibodi HIV akan mendeteksi antibodi yang terbentuk di darah, saliva (liur), dan urin.[20] Sejak tahun 2002, telah dikembangkan suatu penguji cepat (rapid test) untuk mendeteksi antibodi HIV dari tetesan darah ataupun sampel liur (saliva) manusia.[23] Sampel dari tubuh pasien tersebut akan dicampur dengan larutan tertentu. Kemudian, kepingan alat uji (test strip) dimasukkan dan apabila menunjukkan hasil positif maka akan muncul dua pita berwarna ungu kemerahan.[23] Tingkat akurasi dari alat uji ini mencapai 99.6%, namun semua hasil positif harus dikonfirmasi kembali dengan ELISA.[23] Selain ELISA, tes antibodi HIV lain yang dapat digunakan untuk pemeriksaan lanjut adalah Western blot.[21]

Tes antigen dapat mendeteksi antigen (protein P24) pada HIV yang memicu respon antibodi.[20] Pada tahap awal infeksi HIV, P24 diproduksi dalam jumlah tinggi dan dapat ditemukan dalam serum darah.[20] Tes antibodi dan tes antigen digunakan secara berkesinambungan untuk memberikan hasil deteksi yang lebih akurat dan lebih awal.[20] Tes ini jarang digunakan sendiri karena sensitivitasnya yang rendah dan hanya bisa bekerja sebelum antibodi terhadap HIV terbentuk.[20]

Kesemua cara di atas mendeteksi virusnya, tetapi cara paling murah adalah tes CD4 yang hanya Rp 100,000 lebih di RS Kanker. CD4 tidak mengetes kehadiran virus HIVnya, atau antibodi spesifik yang melawan HIV, CD4 mengukur sistem imunitas pasien. Sebelumnya jika CD4 belum mencapai nilai tertentu, walaupun diketahui keberadaan virus HIV, maka belum dilakukan pengobatan apapun, tetapi sekarang ini jika sudah diketahui keberadaan virus HIV, maka berapapun nilai CD4 harus dilakukan pengobatan.Di Indonesia, dimana masalah dana menjadi kendala, maka tes CD4 sudah cukup memadai untuk deteksi awal kemungkinan keberadaan virus HIV. Dan perlu diingat bahwa HIV belum tentu menjadi AIDS dengan pengobatan yang adekuat. CD4 juga berguna sebagai indikasi awal keberadaan kanker atau segala hal yang berhubungan dengan sistem imunitas pasien. Jika CD4 telah mencapai nilai tertentu, maka perlu dilakukan tes CD8.

Penularan dan pencegahan

HIV dapat ditularkan melalui injeksi langsung ke aliran darah, serta kontak membran mukosa atau jaringan yang terlukan dengan cairan tubuh tertentu yang berasal dari penderita HIV.[24] Cairan tertentu itu meliputi darah, semen, sekresi vagina, dan ASI.[24] Beberapa jalur penularan HIV yang telah diketahui adalah melalui hubungan seksual, dari ibu ke anak (perinatal), penggunaan obat-obatan intravena, transfusi dan transplantasi, serta paparan pekerjaan.[25] Tetapi untuk tiap satu kali tindakan, maka yang paling berisiko adalah transfusi darah dari donor darah penderita HIV dimana kemungkinan resipien terkena HIV mencapai 90 persen, sedangkan ibu hamil penderita HIV yang melahirkan dan menyusuinya kemungkinan akan menularkan pada bayinya HIV sebesar 25 persen, tetapi dengan pemberian obat-obatan dan penanganan yang tepat pada saat kelahiran dan sesudahnya, maka angka ini dapat ditekan menjadi 1 sampai 2 persen saja.Sekarang ini semua darah dari donor mengalami penapisan HIV, sehingga kasus penularan melalui transfusi darah boleh dikatakan sudah tidak ada lagi.

Hubungan seksual

Menurut data WHO, pada tahun 1983-1995, sebanyak 70-80% penularan HIV dilakukan melalui hubungan heteroseksual, sedangkan 5-10% terjadi melalui hubungan homoseksual. Kontak seksual melalui vagina dan anal memiliki risiko yang lebih besar untuk menularkan HIV dibandingkan dengan kontak seks secara oral.[26] Beberapa faktor lain yang dapat meningkatkan risiko penularan melalui hubungan seksual adalah kehadiran penyakit menular seksual, kuantitas beban virus, penggunaan douche. Seseorang yang menderita penyakit menular seksual lain (contohnya: sifilis, herpes genitali, kencing nanah, dsb.) akan lebih mudah menerima dan menularkan HIV kepada orang lain yang berhubungan seksual dengannya.[27][28] Beban virus merupakan jumlah virus aktif yang ada di dalam tubuh. Penularah HIV tertinggi terjadi selama masa awal dan akhir infeksi HIV karena beban virus paling tinggi pada waku tersebut.[28] Pada rentan waktu tersebut, beberapa orang hanya menimbulkan sedikit gejala atau bahkan tidak sama sekali.[28] Penggunaan douche dapat meningkatkan risiko penularan HIV karena menghancurkan bakteri baik di sekitar vagina dan anus yang memiliki fungsi proteksi.[28] Selain itu, penggunaan douche setelah berhubungan seksual dapat menekan bakteri penyebab penyakit masuk ke dalam tubuh dan mengakibatkan infeksi.[28]

Pencegahan HIV melalui hubungan seksual dapat dilakukan dengan tidak berganti-ganti pasangan dan menggunakan kondom.[25] Cara pencegahan lainnya adalah dengan melakukan hubungan seks tanpa menimbulkan paparan cairan tubuh.[27] Untuk menurunkan beban virus di dalam saluran kelamin dan darah, dapat digunakan terapi anti-retroviral.[28]

Ibu ke anak (transmisi perinatal)

Penularan HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui infeksi in utero, saat proses persalinan, dan melalui pemberian ASI.[25] Beberapa faktor maternal dan eksternal lainnya dapat mempengaruhi transmisi HIV ke bayi, di antaranya banyaknya virus dan sel imun pada trisemester pertama, kelahiran prematur, dan lain-lain.[25] Penurunan sel imun (CD4+) pada ibu dan tingginya RNA virus dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak. Selain itu, sebuah studi pada wanita hamil di Malawi dan AS juga menyebutkan bahwa kekurangan vitamin A dapat meningkatkan risiko infeksi HIV. Risiko penularan perinatal dapat dilakukan dengan persalinan secara caesar, tidak memberikan ASI, dan pemberian ARV pada masa akhir kehamilan dan setelah kelahiran bayi.[25] Di sebagian negara berkembang, pencegahan pemberian ASI dari penderita HIV/AIDS kepada bayi menghadapi kesulitan karena harga susu formula sebagai pengganti relatif mahal.[29] Selain itu, para ibu juga harus memiliki akses ke air bersih dan memahami cara mempersiapan susu formula yang tepat.[29]

Lain-lain

Cara efektif lain untuk penyebaran virus ini adalah melalui penggunaan jarum atau alat suntik yang terkontaminasi, terutama di negara-negara yang kesulitan dalam sterilisasi alat kesehatan.[25] Bagi pengguna obat intravena (dimasukkan melalui pembuluh darah), HIV dapat dicegah dengan menggunakan jarum dan alat suntik yang bersih.[25] Penularan HIV melalui transplantasi dan transfusi hanya menjadi penyebab sebagian kecil kasus HIV di dunia (3-5%).[25] Hal ini pun dapat dicegah dengan melakukan pemeriksaan produk darah dan transplan sebelum didonorkan dan menghindari donor yang memiliki risiko tinggi terinfeksi HIV.[25]

Penularan dari pasien ke petugas kesehatan yang merawatnya juga sangat jarang terjadi (< 0.0001% dari keseluruhan kasus di dunia).[25] Hal ini dicegah dengan memeberikan pengajaran atau edukasi kepada petugas kesehatan, pemakaian pakaian pelindung, sarung tangan, dan pembuangan alat dan bahan yang telah terkontaminasi sesuai dengan prosedur.[25] Pada tahun 2005, sempat diusulkan untuk melakukan sunat dalam rangka pencegahan HIV. Namun menurut WHO, tindakan pencegahan tersebut masih terlalu awal untuk direkomendasikan.[30]

Ada beberapa jalur penularan yang ditakutkan dapat menyebarkan HIV, yaitu melalui ludah, gigitan nyamuk, dan kontak sehari-hari (berjabat tangan, terekspos batuk dan bersin dari penderita HIV, menggunakan toilet dan alat makan bersama, berpelukan).[24] Namun, CDC (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit) menyatakan bahwa aktivitas tersebut tidak mengakibatkan penularan HIV.[24] Beberapa aktivitas lain yang sangat jarang menyebabkan penularan HIV adalah melalui gigitan manusia dan beberapa tipe ciuman tertentu.[24]

Sub-Sahara Afrika tetap merupakan daerah yang paling parah terkena HIV di antara kaum perempuan hamil pada usia 15-24 tahun di sejumlah negara di sana. Ini diduga disebabkan oleh banyaknya penyakit kelamin, praktik menoreh tubuh, transfusi darah, dan buruknya tingkat kesehatan dan gizi di sana.[31]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Kateglo- virus imunodifisiensi manusia[pranala nonaktif permanen]
  2. ^ a b Jenny Page, Maylani Louw, Delene Pakkiri, Monica Jacobs. 2006. Working with HIV/AIDS. Cape Town: Juta Legal and Academic Publishers
  3. ^ Muhammad Ridho (July 19, 2014). "Memprihatinkan, Indonesia Sumbang Empat Persen Infeksi Baru HIV di Dunia". Tribunnews.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-10. Diakses tanggal 2014-07-19. 
  4. ^ "Cho Kah Sin: Indonesia's HIV prevention should be an example". Tempo.co. 19 Agustus 2014. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-09-26. Diakses tanggal 2014-08-23. 
  5. ^ a b c d e f Jay A. Levy. 2007. HIV and the pathogenesis of AIDS. ASM Press.
  6. ^ a b Barré-Sinoussi, F., Chermann, J. C., Rey, F., Nugeyre, M. T., Chamaret, S., Gruest, J., Dauguet, C., Axler-Blin, C., Vezinet-Brun, F., Rouzioux, C., Rozenbaum, W. and Montagnier, L. (1983) Isolation of a T-lymphotropic retrovirus from a patient at risk for acquired immune deficiency syndrome (AIDS) Science 220, 868-871 PMID 6189183
  7. ^ Popovic, M., Sarngadharan, M. G., Read, E. and Gallo, R. C. (1984) Detection, isolation, and continuous production of cytopathic retroviruses (HTLV-III) from patients with AIDS and pre-AIDS. Science 224, 497-500 PMID 6200935
  8. ^ Coffin, J., Haase, A., Levy, J. A., Montagnier, L., Oroszlan, S., Teich, N., Temin, H., Toyoshima, K., Varmus, H., Vogt, P. and Weiss, R. A. (1986) What to call the AIDS virus? Nature 321, 10. PMID 3010128.
  9. ^ a b c d Reeves, J. D. and Doms, R. W. (2002) Human immunodeficiency virus type 2 Diarsipkan 2023-08-12 di Wayback Machine.. J. Gen. Virol. 83, 1253-1265 PMID 12029140
  10. ^ a b c d e f Microbiology Australia Diarsipkan 2013-04-21 di Wayback Machine. The Australian Society for Microbiology. Volume 22. Number 1. Maret 2010. Page 17-20.
  11. ^ (Inggris) "The Circulating Recombinant Forms (CRFs)". Los Alamos National Laboratory. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-20. Diakses tanggal 2010-04-02. 
  12. ^ a b c MetaPathogen.com Diarsipkan 2011-06-03 di Wayback Machine. Human Immunodeficiency Virus 1 (HIV-1). Diakses pada 19 Juni 2011.
  13. ^ a b c d (Inggris) B. D. Schoub. 1999. AIDS and HIV in Perspective: A Guide to Understanding the Virus and its Consequences. Cambridge University Press Page. 57-59.
  14. ^ a b c d e f g (Inggris) Felissa R. Lashley, Jerry D. Durham. 2009. The person with HIV/AIDS: nursing perspectives. Springer Publishing Company.
  15. ^ Mary Ropka, Ann Williams. 1998. HIV nursing and symptom management. Jones & Bartlett. Page. 4
  16. ^ a b c d e f g Andreas Holzenburg, Elke Bogner. 2002. Structure-function relationships of human pathogenic viruses. New York: Kluwer Academic/Plenum Publisher. Page. 303
  17. ^ a b c d e f g h i Avert.org Diarsipkan 2013-08-21 di Wayback Machine. HIV Structure and Life Cycle.
  18. ^ a b (Inggris) About.com Diarsipkan 2011-08-10 di Wayback Machine. Mark Cichocki, R.N. The HIV Life Cycle: Understanding HIV replication. Diakses 29 Mei 2011.
  19. ^ "Kenali Empat Stadium HIV". Tribunnews.com. 26 Nopember 2014. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-12. Diakses tanggal 2014-11-26. 
  20. ^ a b c d e f g h i j AVERT.org Diarsipkan 2013-08-21 di Wayback Machine.. HIV Testing: The different types of HIV test. Diakses 18 Juni 2011.
  21. ^ a b (Inggris) David Mahan Knipe, Peter M. Howley. Fields virology, Volume 1. 2001. Lippincott William & Wilkins. Page 596-598.
  22. ^ a b World Health Organization Diarsipkan 2022-03-05 di Wayback Machine. Early detection of HIV infection in infants and children.
  23. ^ a b c Hung Fan, Ross F. Conner, Luis P. Villarreal. 2010. AIDS: Science and Society. Jones & Bartlett Publishers. Page.150-151.
  24. ^ a b c d e "Center for Disease Control and Prevention:HIV Transmission". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-06-07. Diakses tanggal 2011-05-31. 
  25. ^ a b c d e f g h i j k Trace: Tennessee Research and Creative Exchange Diarsipkan 2021-04-12 di Wayback Machine. Jonathan Richard Hughes. 2002. HIV: Structure, Life Cycle, and Pathogenecity.
  26. ^ CDC HIV/AIDS Facts Diarsipkan 2013-05-10 di Wayback Machine., Oral Sex and HIV Risk. Juni 2009.
  27. ^ a b HIVInfo.us: An HIV Information Site & HIV Educational Resource Site (HIS & HERS) Diarsipkan 2023-05-29 di Wayback Machine., Prevention for Positives: HIV & STD Transmission Issues. Diakeses pada 12 Juni 2011.
  28. ^ a b c d e f Public Health - Seattle & King County Diarsipkan 2011-05-22 di Wayback Machine., Update on Sexual Transmission of HIV - March 2002. Diakses pada 17 Juni 2011.
  29. ^ a b RAND Health Diarsipkan 2022-07-20 di Wayback Machine. Michael A. Stoto, Ann S. Goldman. 2003. Preventing Perinatal Transmission of HIV.
  30. ^ (Inggris)WHO:UNAIDS statement on South African trial findings regarding male circumcision and HIV Diarsipkan 2021-01-26 di Wayback Machine.
  31. ^ (Inggris)Bentwich, Z., Kalinkovich., A. and Weisman, Z. (1995) Immune activation is a dominant factor in the pathogenesis of African AIDS. Immunol. Today 16, 187-191 PMID 7734046

Pranala luar