Teori Musik Pop Theodor Adorno
Budaya merupakan hal yang hidup dalam masyarakat serta memiliki nilai-nilai yang umumnya tidak dapat diperjual belikan. Nilai-nilai tersebutlah yang menjadi pedoman diri individu dalam masyarakat sebagai filter diri terhadap hal-hal yang dinilai jauh dari tindakan, katakanlah, tidak bermoral dan sejenisnya. Budaya dengan nilai-nilai yang dikandungnya, merupakan proses berfikir yang tidak dapat dipertukarkan dan lebih memiliki asas manfaat ketimbang asas tukar.
Pertumbuhan industri dan kapitalisme, memaksa budaya untuk keluar dari pakemnya demi memuaskan beberapa elit modal. Kekuatan nilai-nilai yang hidup dalam budaya di masyarakat sebagai filter terhadap produk-produk industri, membuat kaum kapitalis resah dan mencari celah demi dominasi ekonomi yang berkelanjutan. Pemanfaatan celah melalui jalan packaging memunculkan industri tersendiri dalam budaya yang kemudian akrab disebut dengan industri budaya. Kemunculannya juga menghasilkan fetisisme komoditas demi melancarkan proses industri budaya. Adorno menganalisis fenomena tersebut melalui teori musik pop. Teori musik pop merupakan analisis yang terkenal dari Adorno dalam menjelaskan industri budaya. Menurutnya, teori pop ini terkait dengan teori industri budaya dan fetisisme komoditas.
Fetisisme Komoditas dan Teori Industri Budaya
Fetisisme komoditas ialah suatu upaya yang dilakukan industri sedemikian rupa hingga menciptakan pemujaan yang salah terhadap suatu produk industri budaya kepada masyarakat. Masyarakat bukan lagi memuja suatu produk industri budaya yang secara nyata ada, tetapi pemujaan tersebut lebih cenderung dialamatkan kepada simbol dan merek dari produk tersebut. Mereka merasakan kenikmatan semu melalui merek dan simbol-simbol dari produk industri budaya dan menganggap hal tersebut kenikmatan yang mereka dapatkan sejatinya dari produk yang memiliki nilai tersendiri. Contohnya ialah ketika seseorang membeli tiket konser, maka yang dipuja-puja bukanlah konser tersebut tetapi simbol dan brand dari konser tersebut yakni tiket konser yang berlabel serta dibeli dengan harga yang tidak murah. Fetisisme komoditas ingin berbicara mengenai kenikmatan semu yang dirasakan masyarakat dalam mengkonsumsi produk industri budaya dan mengenai kesalahan penempatan pemujaan terhadap produk tersebut.
Sedangkan teori industri budaya ingin menyatakan bahwa industri budaya membentuk selera dan kecenderungan massa, sehingga mencetak kesadaran mereka atas kebutuhan-kebutuhan palsu. Maka dari itu industri budaya berusaha mengaburkan kebutuhan-kebutuhan riil masyarakat. Industri budaya sangat efektif dalam menjalankan hal tersebut hingga orang tidak menyadari apa yang tengah terjadi (Strinati, 2007: 69). Melalui industri budaya dan fetisisme komoditas inilah teori musik pop muncul dan membuat musik menjadi unit analisis Adorno demi membuktikannya.
Teori Musik Pop
Menurut Adorno, musik pop dihasilkan melalui dua proses dominasi industri budaya, yakni standarisasi dan individualitas semu. Standarisasi menjelaskan mengenai tantangan dan permasalahan yang dihadapi musik pop dalam hal originalitas, autentisitas ataupun rangsangan intelektual. Standarisasi menyatakan bahwa musik pop mempunyai kemiripan dalam hal nada dan rasa antara satu dengan lainnya hingga dapat dipertukarkan (Strinati, 2007: 73). Dengan kata lain ada kemiripan mendasar pada musik pop dalam berbagai hal yang dikandungnya yang mampu dipertukarkan hingga menjadi komoditas tersendiri. Pengkomodifikasian tersebut yang menghasilkan fetisisme komoditas nantinya. Hal tersebut membuat individu maupun masyarakat salah alamat terhadap pemujaan mereka atas musik pop.
Sementara standarisasi berjalan, individualitas semu dijalankan demi membuat kabur individualitas rasa yang seharusnya ada dalam diri individu dalam menikmati musik. Individualitas rasa merupakan hal yang dihasilkan produk budaya dalam mempengaruhi suasana individual (Strinati, 2007: 70). Demi mengaburkannya, individualitas semu diciptakan. Individualitas semu mengacu pada perbedaan-perbedaan dalam musik pop yang sifatnya hanya kebetulan, hal ini dapat tercipta melalui pengaburan kemiripan-kemiripan dalam musik pop dengan cara memberi variasi.
Adorno mencoba membandingkan hal ini dengan musik klasik dan titik temunya adalah pembahasan mengenai standarisasi dan non standarisasi. Musik klasik dinilai sebagai musik yang mampu menjelaskan tantangan fetisisme komoditas karena musik klasik seperti Beethoven adalah musik serius yang meninggalkan komoditas (Strinati, 2007: 74). Musik klasik dianggap mempunyai detail yang membuatnya berbeda satu sama lain serta dapat membangkitkan rasa individualitas masyarakat. Sementara itu, ketidakhadiran detail dalam musik pop dimaknai sebagai kerangka, yakni standarisasi terhadap musik-musik pop yang ada dan menentang prinsip-prinsip liberalitas karena tidak diperbolehkannya individu memilih musik yang lebih variatif dalam musik pop. Hal tersebut karena sudah terpakemkan, baik dari segi produksi maupun konsumsi.
Namun demi memunculkan detail-detail dalam musik pop, kaum industri menciptakan individualitas semu, yakni membuat suatu kebebasan individu dalam memilih musik pop, tetapi kebebasan tersebut pun telah distandarisasi sebelumnya oleh elit-elit industri. Hal ini disebut kebebasan yang ada karena standarisasi itu sendiri. Contohnya terdapat dalam musik Jazz, improvisasi yang ada merupakan individualisasi semu guna mengaburkan standar maupun pakem-pakem yang telah dibuat.
Kemunculan musik pop macam ini, menurut Adorno merupakan kehendak kaum kapitalis yang ingin memanipulasi selera musik masyarakat. Melihat potensi pasar yang besar dalam budaya, membuat kaum kapitalis tergiur untuk kembali menciptakan pasar yang sangat menguntungkan dengan masyarakat sebagai aset hidup sekaligus menekan pesaingnya, yakni budaya yang berperan sebagai filter masyarakat terhadap dominasi kapitalis. Musik tidak lagi dinilai sebagai karya intelektual yang dapat dinikmati dan dipelajari, tetapi menjadi produk industri yang berperan hanya sebatas hiburan dikala lelah dan waktu senggang.
Kritik Terhadap Teori Musik Pop Adorno
Teori Adorno mengenai musik populer mungkin adalah aspek yang paling dikenal dalam analisisnya mengenai industri budaya. Aspek tersebut berhubungan dengan teori fetisisme budaya dan industri budaya. Sebagai seorang musisi terlatih, komposer handal, ahli teori musik dan musisi garda depan yang tidak komersial, Adorno tidak memiliki banyak waktu untuk musik yang diproduksi oleh monopoli perusahaan–perusahaan yang di konsumsi oleh masyarakat, kecuali sebagai sebuah cara untuk menggambarkan kekuatan dari indutri budaya dan penemuan akan adanya alienasi di antara masyarakat massa kapitalis.
Menurut Adorno, musik yang diproduksi oleh industri budaya di dominasi oleh dua proses : standarisasi dan individualisasi semu. Pokok pikiran disini adalah bahwa musik populer semakin mirip bunyinya satu sama lain. Musik pop dapat diketahui dengan sebuah struktur inti, bagian di dalam lagu yang dapat dipertukarkan satu sama lain. Bagaimanapun, bagian ini tersembunyi oleh embel–embel tidak penting, inovasi atau variasi tertentu yang di tambahkan ke dalam lagu sebagai penanda dari keunikan. Standarisasi merujuk pada kesamaan materi di antara lagu–lagu populer, individualisasi semu yang membedakan secara kebetulan. Standarisasi menegaskan cara industri budaya menekan berbagai bentuk tantangan, orisinalitas, autentisitas atau tantangan intelektual dari musik yang di produksi, sementara indvidualisasi semu menjadi ‘kail’, kebaruan semu atau keunikan dari sebuah lagu untuk konsumen. Standarisasi berarti bahwa lagu–lagu populer menjadi semakin mirip satu sama lain dan bagian–bagian, sajak dan harmoni di dalamnya dapat dipertukarkan. Individualisasi semu menyamarkan proses ini dengan membuat lagu tersebut muncul lebih bervariasi dan berbeda satu sama lain.
Perbedaan yang di gambarkan Adorno antara musik klasik dan musik garda depan, dan musik populer di sisi lain, memungkinkan Adorno untuk memperluas argumentasinya. Menurut Adorno, dengan musik klasik atau musik garda depan, setiap detail mendapatkan harmoni musiknya dari keseluruhan musik tersebut, dan detail tersebut berada di dalam totalitas musik. Hal ini tidak benar dalam musik populer dimana “permulaan dari bagian chorus dapat ditukar dengan chorus dari lagu lainnya yang tidak terhitung jumlahnya…setiap detail dapat dipertukarkan : berfungsi hanya sebagai bagian-bagian dari mesin” (1991:303). Perbedaannya tidak semata di gambarkan antara kompleksitas dan kesederhanaan. Perbedaan yang menjadi kuncinya adalah antara standarisasi dan non-standarisasi yang menjadikan musik serius mengatasi musik populer. alasan yang penting untuk hal ini adalah bahwa ‘standarisasi struktural bertujuan pada reaksi yang di standarisasikan’.
Dalam sebuah artikel yang sangat berguna berjudul “Theodor Adorno bertemu dengan Cadillacs” (1986), Gendron mencoba menilai teori Adorno mengenai musik populer dengan mengaplikasikannya pada contoh musik doo-wop. Ia memperkenalkan penilaian kritis terhadap teori Adorno. Cadillac yang disebut dalam judul artikel dapat di artikan sebagai merk mobil dan kelompok musik doo-wop.
Gendron menggunakan contoh produksi mobil untuk menjelaskan maksud Adorno ketika ia mengatakan bahwa kapitalisme berfungsi untuk melakukan standarisasi komoditi. Standarisasi mengaitkan kemampuan untuk mempertukarkan bagian, bersamaan dengan individualisasi semu. Salah satu bagian dari sebuah mobil dapat ditukar dengan bagian mobil yang lain sebagai sebuah bentuk standarisasi, sementara penggunaan gaya atau individualisasi semu, seperti penambahan sayap belakang pada mobil Cadillac, membedakan satu mobil dengan mobil lainnya, dan menyembunyikan fakta bahwa standarisasi sedang terjadi. Menurut Gendron, Adorni berpendapat bahwa apa yang terjadi pada mobil juga terjadi pada musik populer. Proses standarisasi menandai kehidupan masyarakat yang berada di lingkungan kapitalis dan memastikan bahwa musik pop lebih inferior dibandingkan dengan musik klasik atau musik garda depan. Gendron mengatakan bahwa bagi Adorno standarisasi juga terjadi secara diakronis (seiring waktu sebagaimana standar musik pop dibentuk) dan sinkronis (standar yang dapat di gunakan pada titik tertentu seiring waktu).
Gendron menggunakan contoh musik doo-wop sebagai gaya lain dari musik pop untuk melakukan penilaian kritis terhadap teori Adorno. Ia bukannya tidak menganggap serius karya Adorno. Sebagai contoh, ia menyarankan bahwa ‘ standarisasi industrial adalah ciri penting dari musik pop, dan harus di tanggapi dengan serius dalam penilaian akan bentuk politiknya’ (1986:25). Ia juga mengatakan bahwa teori Adorno memiliki potensi baik untuk menggabungkan ekonomi politik dan perspektif semiologi, atau budaya dengan eknomi, dan untuk menyiapkan sebuah argumen kritis yang dapat dilihat konsumer dari budaya populer baik makna maupun interpretasi yang mereka inginkan (Strinati, 2007:34-35).
Bagaimanapun, Gendron mengatakan bahwa Adorno terlalu jauh mengambil klaim tentang standarisasi. Menurut Gendron, salah satu kesulitan dalam teori Adorno adalah kegagalannya untuk membedakan antara artefak fungsional seperti mobil dan Cadillac, dengan artefak tekstual seperti musik pop dan kelompok doo-wop, Cadillac. Kegunaan dari inovasi teknologi dalam produksi artefak fungsional biasanya mendorong standarisasi karena dapat memperluas lingkup dari sebuah bagian untuk dapat dipertukarkan. Namun, pada artefak tekstual, inovasi teknologi, seperti menggunakan teknik eksperimental pada alat perekam yang dilakukan oleh The Beatles, justru dapat membedakan, katakanlah, grup musik pop atau gaya musik daripada membuatnya menjadi serupa (Strinati, 2007:26). Produksi dari artefak tekstual juga berbeda karena yang di produksi adalah sebuah pernyataan universal, sebuah lagu atau serangkaian lagu, dan bukan komoditas yang dapat dihasilkan industri dalam jumlah besar. apa yang mungkin di produksi adalah sebuah lagu di dalam studio rekaman oleh kelompok vokal, musisi, dll. hal ini hanya dapat dijadikan artefak fungsional ketika ia di produksi dalam jumlah besar sebagai sebuah rekaman. Artefak fungsional dan tekstual adalah hasil dari proses produksi yang berbeda. Ini berarti bahwa musik, seperti budaya populer kebanyakan, tidak dapat diperlakukan hanya sebgai produk komersial.
Artefak fungsional dan tekstual merupakan objek dari jenis konsumsi yang berbeda. Jika artefak fungsional di beli dan ternyata berguna, maka artefak tersebut akan di beli lagi ketika dibutuhkan. Hal ini benar–benar terjadi pada komoditi seperti mobil. Tapi jika artefak tekstual seperti kaset/rekaman di beli dan di sukai, tidak berarti kaset/rekaman yang sama persis akan di beli lagi. Tidak peduli seberapa kagumnya Anda dengan tulisan ini, maka Anda akan pergi untuk membelinya lagi. Yang mungkin Anda lakukan adalah, mungkin, membeli buku yang sejenis (jika bisa ditemukan). Jika Anda menyukai musik doo-wop maka Anda akan mencari gaya yang berbeda dari musik tersebut, tapi bukan kaset/rekaman yang sama untuk kedua kalinya. Hal inilah yang memunculkan ‘genre’ dalam budaya populer, dan hal ini penting untuk keabsahan konsumsi dan kenikmatan. Meskipun Adorno mengatakan, lagu–lagu populer mengiklankan individualitas (lagu ini, contoh dari Doo-Wop, dan bukan yang lain) dan kemampuannya untuk dipertukarkan (jika Anda menyukai lagu ini, contohnya lagu doo-wop ini, maka Anda mungkin menyukai yang lain yang memiliki gaya yang sama atau genre yang sama). ‘Kita dapat mempertimbangkan standarisasi tidak hanya sebagai ekspresi kekakuan tapi juga sebagai sumber kenikmatan’ (Strinati, 2007:29). Kenikmatan yang di dapatkan masyarakat dari muncul cenderung dari kesadaran mereka akan standarisasi seperti yang mereka terima dari individualitas dari lagu–lagu tertentu.
Gendron kritis akan catatan Adorno mengenai standarisasi diakronis karena hal tersebut menyiratkan bahwa musik populer tak pernah berubah. Kembali kepada perbedaan antara bagian inti dengan bagian luar (periferi), ia menggaris bawahi poin ini : ‘ Pendekatan Adorno terhadap musik populer dari cara pandang musik klasik barat; jika kita melihat musik populer pada masa konvensinya sendiri, batas antara bagian inti dengan dengan bagian luar akan terlihat dengan jelas’ (Strinati, 2007:30). Bagi musik klasik barat, sebuah lagu membagi bagian inti musik yang sama jika lagu tersbut membagi melodi yang sama, harmoni dan progresi kord, sementara suara, ‘rasa’ dan konotasi dari lagu tersebut membentuk bagian batas luarnya. Bagaimanapun, tidak ada alasan untuk menganggap bahwa hierarki ini relevan secara universal.
‘Musik klasik barat fokus pada melodi dan harmoni, sementara musik pop kontemporer fokus pada timbre (warna nada) dan konotasi’, konotasi dari musik Doo-Wop menjadi “budaya pop remaja 50’an’ dan ‘urban street corners (musik urban)” (Strinati, 2007:31). Hal inilah yang menjadikan bagian inti dan bagian luar sebagai artefak tekstual; mereka dapat berbeda secara radikal antara jenis musik yang berbeda–beda. Hal ini mampu di kembangkan lebih jauh lagi karena Gendron mempertanyakan perluasan dimana ide mengenai bagian inti dan bagian luar dapat di aplikasikan pada musik pop. Ia melakukan ini berdasarkan kecepatan perubahan gaya musik pop.
Perubahan yang konstan dalam genre musik mendasari paling tidak sebuah bukti yang prima facie dan terjadi pada transformasi sejarah dari musik populer. Sebelum rock ‘n’ roll, orang–orang mendengarkan lagu ragtime, dixieland, swing, crooning, be–bop, rhythm and blues, diantara yang lain. Apapun kesamaan harmoni dan melodinya, corak dari lagu/genre tersebut cukup berbeda dalam hal timbre (kualitas suara yang membedakan satu instrumen, vokal, atau sumber suara yang satu dengan yang lain), evokasi, konotasi, dan ekspresi. Dengan datangnya rock ‘n’ roll, gerakan perubahan telah menemukan momentumnya. Tiga puluh tahun era musik rock telah melihat datang dan perginya musik Doo–Wop, rockabilly, kelompok musik perempuan, musik surf, invasi musik Inggris, psychedelic rock, folk rock, heavy metal, dan punk, hingga yang tidak disebut disini. Sementara hal ini pun bisa dikatakan hanyalah perubahan mode, dan karena itu bersifat permukaan, repon seperti ini cenderung gagal untuk melihat perbedaan penting antara artefak tekstual dan fungsional. Pada akhirnya, mode dapat berubah sementara mekanismenya tetap sama; mode adalah batas luar, mekanisme pada pusat.
Di dalam teks, tidak ada mekanisme yang membedakan dari mode, semenjak teks adalah seluruh gaya atau seluruh mode(Strinati, 2007:32). Menurut Gendron, catatan Adorno mengenai standarisasi diakronis memiliki kesulitan menangani bukti seperti ini. Ia mengatakan bahwa Adorno mungkin akan menganggapnya sebagai bukti dari kontinuitas daripada perubahan, mengenai bagaimana standarisasi musik populer sudah tidak bisa dihindari dan ditutupi oleh kebaruan sesaat. Tapi bagi Gendron, respon seperti ini gagal untuk mengapresiasi bagaimana sulitnya untuk mendefinisikan inti dari musik populer secara independen dengan tidak mengaitkan perubahan mode dan genre.
Referensi
- Strinati, Dominic. 2007. Budaya Populer: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Penerbit Jejak: Yogyakarta