Noto Soeroto
Raden Mas Noto Soeroto (5 Juni 1888 – 25 November 1951) adalah wartawan, penulis, aktivis budaya, penari, dan penyair Indonesia. Ia adalah penyair Jawa pertama yang karya-karyanya dikenal dalam ranah kesusasteraan Belanda. Atas kebaikan Frederik Willem van Eeden, banyak karyanya yang tampil di De Amsterdammer. Ia banyak diingat akan syair prosanya, yang banyak dipengaruhi oleh Rabindranath Tagore (yang kepadanya RM. Noto Soeroto mempersembahkan beberapa studinya).
Biografi
Noto Soeroto adalah putera Pangeran Ario Notodirodjo (1858-1917) yang berasal dari keluarga bangsawan Pakualam. Noto Soeroto sendiri selalu memelihara hubungan baik dengan sahabat masa kecilnya Soerjo Soeparto, yang pada tahun 1916 diangkat sebagai Mangkunegara VII di Kadipaten Mangkunegaran (Surakarta).
Noto Soeroto merupakan penganjur "politik asosiasi", di mana orang Belanda dan Indonesia harus menggabungkan sifat-sifat terbaiknya - rasionalisme Barat di jantung Timur - mencapai keberhasilan tertinggi dalam nilai-nilai material dan spiritual (nyata terkait dengan Tagore). Ia dikirim ayahnya ke Belanda untuk belajar. Noto Soeroto belajar hukum di Universitas Leiden, menjadi sarjana namun tak mencapai magister. Ia mendapat penghasilan sebagai redaktur Nederlandsch-Indië Oud en Nieuw dan menerbitkan buah pemikirannya dalam berbagai media cetak (Bandera Wolanda, Het getij, Wederopbouw, De Gids, Oedaya, De Tijdspiegel). Ia juga salah satu pendiri Perhimpunan Hindia dan menjadi pimpinannya antara tahun 1911-1914. Bersama Louis Petit, pada tahun 1920 ia mendirikan perusahaan penerbitan Hadi Poestaka. Ia aktif di dunia budaya Den Haag dan bersahabat dekat dengan Ben van Eysselsteijn.
Pada tahun 1918, Noto Soeroto menikah dengan Jo Meijer, seorang wanita Belanda. Dari pernikahan tersebut lahirlah Rawindo (1918), Dewatya (1922), dan Harindro Dirodjo (1928). Jo, Rawi dan Dewi kelak aktif dalam melawan pendudukan Nazi di Belanda.
Perhimpunan Hindia berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia dan makin menunjukkan rasa nasionalisme yang kian menguat. Dengan harian Oedaya, Noto Soeroto lebih banyak bersikap konservatif dan pada tahun 1924 keluar dari perhimpunan itu. Pada tahun 1930, ia menjadi ketua Perserikatan Indonesia-Belanda (NIV), dan tak sampai setahun menjabatnya. Di awal tahun 1932, ia kembali ke Hindia-Belanda tanpa keluarganya. Ia bekerja di asuransi dan juga sebagai sekretaris pribadi Mangkunagara VII (sahabat masa kecilnya Soerjo Soeparto yang telah naik tahta) di Soerakarta.
Dalam pendudukan Jepang di Indonesia, Noto Soeroto dianggap bekerja sama dengan angkatan kolonial Belanda sehingga disiksa Jepang. Setelah mangkatnya Mangkunagara VII, ia mencoba karier kewartawanan di De Locomotief. Noto Soeroto meninggal dalam keadaan miskin.
Karya
- Melatiknoppen (1915)
- De geur van moeders haarwrong (1916)
- Fluisteringen van den avondwind (1917)
- Bloeme-ketenen (1918)
- Lotos en morgendauw (1920)
- Kleurschakeeringen (1925)
- Nieuwe fluisteringen van den avondwind (1925)
- Wayang-liederen (1931)
- Goden, mensen dieren (1956)
Karya-karya Noto Soeroto diterjemahkan dalam bahasa Jawa, Indonesia, Perancis, Inggris, dan Jerman, dan dibuat nadanya oleh sejumlah komponis, seperti Bernhard van den Sigtenhorst Meijer.
Trivia
- Pada saat diminta untuk memberikan nama bagi KLM Interinsulair Bedrijf yang diserahkan Belanda kepada Indonesia, Presiden Soekarno menyebutkan nama Garuda, seraya mengutip sajak karya Noto Soeroto yang termuat dalam Wayang-liederen.
- Roman Schimmenspel (1958) karya Johan Fabricius didasarkan pada kehidupan Noto Soeroto.