Metode sejarah
Artikel ini merupakan artikel yang dikerjakan oleh Peserta Kompetisi Menulis Bebaskan Pengetahuan 2014 yakni [[User:[BP13Rani]|[BP13Rani]]] ([[User talk:[BP13Rani]|bicara]]). Untuk sementara waktu (hingga 2 April 2014), guna menghindari konflik penyuntingan, dimohon jangan melakukan penyuntingan selama pesan ini ditampilkan selain oleh Peserta dan Panitia. Peserta kompetisi harap menghapus tag ini jika artikel telah selesai ditulis atau dapat dihapus siapa saja jika kompetisi telah berakhir. Halaman ini terakhir disunting oleh BP13Rani (Kontrib • Log) 3877 hari 963 menit lalu. |
Suatu metode diperlukan dalam penulisan kisah sejarah untuk mendapatkan tulisan yang sistematik dan objektif. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Menurut Gottschalk (1975:32) yang dimaksud dengan metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau (Lubis, 2011:2). Peristiwa di masa lampau dapat kita hadirkan kembali dengan cara merekonstruksi peristiwa itu dari jejak – jejak masa lampau yang disebut sumber (historical sources) (Lubis, 2011:7). Sumber sejarah menurut bentuknya digolongkan menjadi tiga, yakni sumber tertulis, sumber lisan, dan sumber benda (artefak) (Gottschalk, 1975: 35-36; Kuntowijoyo, 1995: 94-96; dalam Lubis, 2011: 7). Adapun menurut asal usulnya, sumber sejarah digolongkan menjadi sumber primer, sumber sekunder, dan sumber tersier (Garraghan, 1946: 107; Alfian, 2000: 9; dalam Lubis, 2011:9-10). Menghadirkan kembali periwtiwa di masa lampau bukan berarti kita mengulang atau menampilkan kembali peristiwa atau tokoh – tokoh peristiwa tersebut secara nyata, melainkan menghadirkannya melalui tulisan, yakni tulisan kisah peristiwa di masa lampau.
Tahapan
Dalam metode sejarah, terdapat empat tahapan yang harus dilewati. Keempat tahapan tersebut yakni heuristik, kritik atau verifikasi, interpretasi, dan historiografi (Lubis, 2011: 15-16).
Heuristik
Tahapan yang pertama adalah heuristik. Heuristik berasal dari bahasa Yunani “heuriskein” yang berarti menemukan atau memperoleh (Renier, 1997:113 dalam Lubis, 2011:17). Sejarawan Nina Herlina Lubis (2011:15) mendefinisikan heuristik sebagai tahapan / kegiatan menemukan dan menghimpun sumber, informasi, jejak masa lampau. Jadi, heuristik merupakan tahapan proses mengumpulkan sumber – sumber sejarah. Di samping sumber tertulis, terdapat pula sumber lisan. Menurut Sartono Kartodirjo, sejarah lisan merupakan cerita-cerita tentang pengalaman kolektif yang disampaikan secara lisan (Dienaputra, 2006:12). Sejarah lisan diperlukan untuk melengkapi sumber – sumber tertulis. Dalam sejarah lisan, terdapat informasi – informasi yang tidak tercantum dalam sumber – sumber tertulis. Untuk mendapatkan informasi – informasi itu, penulis harus melakukan wawancara dengan naarsumber yang disebut sebagai pengkisah dengan menggunakan alat rekam dan kaset (Dienaputra,2006:35).
Kritik
Tahapan yang kedua adalah kritik. Sumber – sumber yang telah diperoleh melalui tahapan heuristik, selanjutnya harus melalui tahapan verifikasi. Terdapat dua macam kritik, yakni kritik ekstern untuk meneliti otentisitas atau keaslian sumber, dan kritik intern untuk meneliti kredibilitas sumber (Kuntowijoyo, 2005: 100). Singkatnya, tahapan kritik ini merupakan tahapan untuk memilih sumber – sumber asli dari sumber – sumber palsu. Untuk mendapatkan fakta sejarah, perlu melakaukan proses koroborasi, yakni pendukungan suatu data dari suatu sumber sejarah dengan sumber lain (dua atau lebih), dimana tidak ada hubungan kepentingn diantara sumber-sumber tersebut, atau sumber bersifat merdeka (Herlina, 2011: 34).
Interpretasi
Tahapan yang ketiga adalah interpretasi. Interpretasi merupakan tahapan / kegiatan menafsirkan fakta-fakta serta menetapkan makna dan saling hubungan daripada fakta-fakta yang diperoleh (Herlina, 2011:15). Terdapat dua macam interpretasi, yakni analisis yang berarti menguraikan dan sintesis yang berarti menyatukan. Melalui tahapan interpretasi ini lah, kemampuan intelektual seorang sejarawan benar – benar diuji. Sejarawan dituntut untuk dapat berimajinasi membayangkan bagaimana peristiwa di masa lalu itu terjadi. Namun, bukan berarti imajinasi yang bebas seperti seorang sastrawan. Imajinasi seorang sejarawan dibatasi oleh fakta – fakta sejarah yang ada.
Historiografi
Tahapan yang keempat adalah historiografi. Historiografi (Gottschalk, 2006:39) adalah rekonstruksi yang imajinatif daripada masa lampau berdasarkan data yang diperolah dengan menempuh proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Dalam melakukan penulisan sejarah, terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, penyeleksian atas fakta-fakta, untaian fakta-fakta, yang dipilihnya berdasarkan dua kriteria: relevansi peristiwa-peristiwa dan kelayakannya. Kedua, imajinasi yang digunakan untuk merangkai fakta-fakta yang dimaksudkan untuk merumuskan suatu hipotesis (Reiner, 1997:194 dalam Herlina, 2011:57). Ketiga, kronologis. Dalam tahapan historiografi ini lah, seluruh imajinasi dari serangkaian fakta yang ada dituangkan ke dalam bentuk tulisan. Potongan – potongan fakta sejarah ditulis hingga menjadi sebuah tulisan kisah sejarah yang kronologis. Tahapan – tahapan metode sejarah mempermudah sejarawan dalam melakukan penelitian. Mulai dari proses pengumpulan sumber – sumber, memilih sumber – sumber asli, menginterpretasikan sumber – sumber, hingga penulisan sejarah