Lompat ke isi

Stoikisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Zeno dari Citium.

Stoikisme di dalam bahasa Indonesia juga disebut Stoa (bahasa Yunani: Στοά) adalah suatu mazhab filsafat Hellenistik yang didirikan di Athena, Yunani, oleh Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 SM. [1] [2] [3][4] Stoikisme populer hingga lima abad, hingga abad 3M, dan selanjutnya mempengaruhi banyak pemikir Kristen, baik dalam dunia akademis maupun sikap hidup.[3] Fokus filsafat Stoikisme adalah dalam bidang etika, menurut filsuf Jerman bernama Dilthey, Stoikisme adalah filafat terkuat dan terlama yang dapat diterima ketimbang filsfat lainnya.[3] Stoa memiliki perbedaan tajam dengan gagasan intelektual tua lainnya, yaitu epikureanisme dan skeptisisme, dan Stoikisme merupakan aliran filsafat yang paling berhasil dan sangat berpengaruh dalam aliran filsafat Yunani Kuno karena relevansinya terhadap sikap manusia dan sistem pemerintahan saat itu.[1]


Tokoh-tokoh Stoikisme

Semenjak Zeno dari Citium mendirikan sekolah Stoa atau Stoikismenya, muncul beberapa filsuf lainnya yang menjadi tokoh Stoa, misalnya Chrisipus dari Soli, Cleanthes dari Assos, Lucius Annaeus Seneca atau Seneca Junior, Cicero, Epictetus, dan Marcus Aurelius.[3] [1] Dalam Kamus Filsafat Cambridge, tokoh dan pandangat Stoa dibagi menjadi tiga: 1. Sto Awal, teridi dari Zeno (334-262SM), Chrisipus (280-206), dan Cleanthes (331-232).[4] 2. Stoa Perantara (Middle Stoicsm), dikembangkan oleh Rhodes di bawah Panaetius (185-110SM) dan Posidonius (135-50), mereka sama-sama dipengaruhi oleh Cicero (106-43).[4] 3. Kelompok ketiga disebut Stoa Romawi (Roman Stoicsm) terdapat Seneca Muda (1-65M), Epictetus (55-135M), dan Marcus Aurelius (121-180M).[4].[4]

  • Tahun-tahun hidup dari tokoh Stoa tidak sama dalam beberapa buku, misalnya jika dibandingkan dalam buku yang ditulis Sanbach, the Stoics, Cleanthes (303-233SM), Epictetus (60-117M), Seneca Muda (4SM-65M).[3]

Samuel Enoch Stumph menulis (Stumph 1975, 119), rupanya Zeno muda telah terinspirasi oleh ajaran etika Socrates, khususnya keberanian Socrates dalam menempuh jalan kematian dengan sukarela.[3] Tindakan ini seolah menjadi gambaran ajaran Stoa dalam etika, bahwa seseorang tidak perlu terbawa emosi negatif pathos, namun bahagia dengan kemerdekaan penuh, termasuk menerima cara kematian.[2]

Prinsip dan ajaran Stoikisme banyak mempengaruhi pemikiran para teolog Kristen dan filsuf di sepanjang abad, bahkan hingga saat sekarang, dan warisan yang menyolok dari filsafat Stoikisme adalah tentang hidup etis dengan moralitas yang baik, seperti diwarisi oleh beberapa pemikir, yaitu Baruch Spinoza, Bishop Buttler, Immanuel Kant,[1] dan Helmut Richard Niebuhr. [5]

Tokoh Etika Masa Kini yang sangat Stoik

Tokoh etika terkenal dari Amerika yang sangat dipengaruhi oleh cara berpikir Stoa misalnya Helmut Richard Niebuhr.[5] Selain Niebuhr membangun diskursus etika yang sangat radikal mengakui peran Ilahi dalam berbagai peristiwa kehidupan dunia yang nampak dalam salah satu karyanya berjudul Radical Monotheism, Niebuhr juga sangat menekankan tindakan manusia untuk tidak secara dikotomis memisahkan unsur-unsur alam secara bertentangan, yang kemudian hanya akan melahirkan permusuhan antar manusia.[5] Niebuhr mengajak manusia menyelaraskan diri terhadap perubahan-perubahan dalam masyarakat dengan tidak panik, tidak melakukan perlawanan yang menghasilkan kekerasan, melainkan mengajak manusia bertindak bertanggungjawab mulai dari diri sendiri.[5]

Inti-inti Ajaran Stoikisme

Orang-orang Stoik percaya bahwa emosi yang menghancurkan dihasilkan dari keputusan yang salah, dan bahwa seorang Sage atau Sophos, atau orang yang memiliki "kesempurnaan moral dan intelektual," tidak akan pernah mengalami emosi-emosi yang merusak kebahagiaan, misalnya marah berlebihan, panik berlebihan, sedih berlebihan, dsb.[6] Seorang Stoik, seperti kata Epictetus hendaknya tidak banyak bicara tentang ide-ide besar, apalagi kepada orang-orang awam, melainkan bertindak selaras dengan apa yang dipikirkannya tentang kebaikan.[7] Hal ini dibedakan dengan istilah filsuf atau filosof (pecinta kebijaksanaan) yang hanya menyukai ide-ide kebijaksanaan, namun biasanya gagal melakukan ide-ide kebijaksanaan itu (sophia).[7] Stoikisme adalah cara hidup yang menekankan dimensi internal manusia, seorang Stoik dapat hidup bahagia ketika ia tidak terpengaruh oleh hal-hal di luar dirinya.[7] Di mata kaum Stoa, Logos Universal (Sang Ilahi) adalah yang menata alam semesta ini dengan rasional, senegatif apa pun kejadian yang menimpa, seorang Stoa yang bijak akan melihat kejadian tersebut sebagai bagian dari tenunan indah Logos. Ia akan menyesuaikan kodrat rasional dirinya sebagai manusia dengan rasionalitas Alam Semesta.[7]

Ajaran Stoa berpijak pada tiga elemen yang meminjam cara berfilsafat aliran filsafat sekolah milik Aristoteles, Akademia, yakni logika atau rasio, materi atau fisika, dan etika .[1] F.H. Sandbach dalam bukunya The Stoics mengulas dengan komprehensif tema-tema inti ajaran Stoa, yaitu tentang sistem etika, fisika, dan logika [3] yang sangat mempertimbangkan dimensi manusia sebagai fokus utama, di antaranya mengenai takdir, kehendak bebas, pemeliharaan Ilahi, dan kejahatan.[3]

Ajaran Stoa yang paling menonjol adalah bagaimana manusia bertindak menurut keteraturan hukum alam yang diselenggarakan yang Ilahi.[3][4] Cleanthes menulis beberapa versi dalam ekspresi gamblang sebuah daya tarik elemen yang didesakkan oleh imannya,

Lead me, O Zeus, and lead me thou, O Fate,

Unto that place where you have stationed me: I shall not flinch, but follow: and if become

Wicked I should refuse, I still must follow

— Cleanthes dari Assos


Sikap hidup yang menyelaraskan diri dengan kehendak ilahi yang tampak dalam sikap hidup menyelaraskan diri dengan keteraturan alam ini disebut sebagai etika katekontik.[1][3][7] Dalam Stoa mula-mula, ajaran Stoa tidak pernah melepaskan diri dari keberadaan para dewa-dewa dalam miologi Yunani Kuno, hal ini juga mempengaruhi pemikir Kristen dalam pemikiran etika, yaitu selalu melibatkan Sang Ilahi, yaitu Allah.[1]


Etika Katekontik

Menurut para Stoik, manusia dalah binatang bernalar, nalar (reason) itu didapatinya dari Yang Ilahi, dan dengan nalar itu, manusia menjadi elemen terpenting bagi Sang Ilahi untuk menyelenggarakan keteraturan dunia.[4] Namun, manusia bukan satu-satunya elemen, ia hanya bagian dari keseluruhan, ia hanya salah satu organ saja.[4] Eksistensi manusia selalu terkait dengan eksistensi pihak lain, merusak tatanan sama dengan merusak atau mengancam eksistensi manusia itu sendiri.[4] Seorang sophis sejati -orang yang hidupnya selaras dengan ide-ide yang ia pelajari-, hendaknya dalam hidupnya yang harus mencari pemenuhan kebutuhan, tidak melupakan relasinya terhadap pihak lain, termasuk Yang Ilahi sebagai penyelenggara tunggal dunia.[4] Seorang sophis harus sadar bahwa ia hanya bagian dari rangkaian tak terpisahkan keteraturan dunia, bahwa ia setara posisinya dengan ciptaan lain, dan kepentingan dirinya harus terintegrasi terhadap kepentingan orang atau pihal lain itu.[8] Perspektif kosmik harusnya membayangi kehidupan pribadi, walau tidak menggantikannya secara keseluruhan.[8] Rasio atau nalar manusia harus terintegrasi terhadap penyelenggaraan kosmis Ilahi.[4] Jika seseorang bertindak selaras (katekontik sebagai tindakan yang sejati atau katorthomata sebagai tindakan yang tepat), ia akan merasa bahagia, merdeka, bertindak secara tepat dalam kebaikan, dan hidup dalam harmoni yang sempurna. [4]

Stoikisme dan Politik Yunani

Tokoh-tokoh Stoa atau para Stoik, dalam sikap politik terbagi dalam dua golongan, yang anti-politik atau menjauhi keterlibatan politik, dan yang terlibat aktif dalam politik.[8] Kedua kelompok tersebut memiliki pandangan yang berbeda.[8] Para Stoik awal, Zeno, Chrisipus, Cleanthes jelas menjauhi dunia politik. Alasannya, mereka masih sangat dipengaruhi oleh aliran Sinisme yang sangat membenci dunia politik. Seperti kutipan Plutarch (Moralia, 329A), dari Politeia karya Zeno[3],

Kita seharusnya hidup tidak dalam kota-kota atau wilayah yang terorganisasi, masing-masing kelompok dibedakan oleh pandangan kebaikan sendiri, tetapi seharusnya berpikir semua orang adalah warga dan anggota, dan seharusnya ada satu jalan hidup dan satu tatanan, seperti segerumbul rumput menyatu di padang

— Zeno dari Citium

Alasannya sederhana, para Stoik awal menolak sistem pemerintahan kala itu, pemerintahan yang sangat tirani.[8] Para Stoik Awal juga menolak sistem dan ajaran pendidikan yang mengabaikan pentingnya hidup bersama dalam persahabatan, persaudaraan, dan anti permusuhan.[8] Setiap sistem politik agaknya mereka tolak, bahkan penggunaan mata uang pun mereka tidak anjurkan.[8]

Sedangkan para Stoik yang kemudian, misalnya Cicero, Seneca, dan Markus Aurelius justru terlibat dalam kancah politik, Cicero adalah salah satu anggota dewan Kota, Seneca pernah jadi penasihat Kaisar Nero, dan Marcus Aurelius adalah seorang Kaisar.[8] Jadi, Stoa memang memiliki paradoks ajaran dalam berpolitik, ada yang anti-politik, dan ada pula yang justru dalam lingkaran politik.[8]

Bagi Seneca, Cicero, dan Marcus Aurelius, seorang pemerintah, atau orang-orang yang memiliki kedudukan politik tetap harus memiliki integritas diri, ia seharusnya bukan hanya dihuni orang-orang yang tahu kebijaksanaan -seperti pernah digagas oleh Plato dalam sistem pemerintahan Aristokrasi-, melainkan harus juga seorang sophis, yaitu orang yang benar-benar melakukan kebijaksanaan.[8] Marcus Aurelius sendiri mengarang buku berjudul Meditations hingga 4 jilid.[9]

Etika Stoikisme

Etika Stoikisme berpijak pada prinsip bahwa kebajikanlah yang baik, selebihnya mewakili buruk.[4] Hal-hal lain sifatnya netral saja (Inggris: indifferent, Yunani: adiaphora), walaupun beberapa di antaranya, misalnya kesehatan, kemakmuran, kehormatan secara alamiah dianjurkan, sedangkan yang berseberangan dari itu tidak dianjurkan.[4] Misalnya, kepemilikan pribadi sama sekali tidak dianjurkan karena tidak selaras dengan prinsip manusia yang ingin bahagia.[4] Jika manusia tidak sadar terhadap godaan hal-hal yang netral itu, ia dapat terjebak pada tindakan menghalalkan cara untuk mencapai hal-hal yang netral, atau ia justru tidak bahagia ketika diperalat hal-hal yang netral itu.[4] Misalnya, seseorang yang mengejar harta benda terus menerus, sesungguhnya ia tak lagi dapat bahagia, karena dirinya telah dikuasai hal-hal yang seharusnya tidak merintanginya untuk berbahagia.[4]

Seorang Stoik seharusnya mampu mengendalikan diri dari setiap hal-hal di luar dirinya, ia mampu membedakan hal-hal yang dapat ia kendalikan maupun yang tak dapat ia kendalikan.[7] Ia dapat menemukan kebahagiaan dalam ketenangan batin.[7]


Catatan kaki

  1. ^ a b c d e f g (Inggris)A.A Long., Hellenistic Philosophy,Los Angeles: University of California Press, 1974
  2. ^ a b (Inggris) Samuel Enoch Stumph., Socrates to Sartre: A History of Philosophy,New York: McGraw-Hill, Inc, 1966
  3. ^ a b c d e f g h i j k (Inggris) F. H. Sandbach., The Stoics, London: Bristol Classical Press, 1989
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q (Inggris) Robert Audi., The Cambridge Dictionary of Philosophy, Edinburg: Cambridge University Press, 1995
  5. ^ a b c d (Inggris)H.R. Niebuhr., Responsible Self,New York: Harper and Row, 1963
  6. ^ Stoicism, Stanford Encyclopedia of Philosophy.
  7. ^ a b c d e f g (Inggris) A. Setyo Wibowo., Stoikisme,Jakarta: Jurnal Filsfat Driyarkara: Senat Mahasiswa STF Driyarkara, 2013
  8. ^ a b c d e f g h i j Christoper Rowe, Malcolm Schofield, Simon Harrison, and Melissa Lane., Sejarah Pemikiran Politik Yunani Romawi, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001
  9. ^ (Inggris) Great Books of the Western World, Edited by Mortimer J. Adler, London: Encyclopedia Britannica, Inc., 2003

Templat:Link GA